Menangis ketika diriku terlahir ke dunia ini,
Seakan tak rela untuk menghadapi kejamnya hidup ini,
Namun apa daya diriku tak mampu menghindari
Semua telah ditakdirkan untuk ku jalani,
Tangisku dulu membuat semua bahagia,
Senyum indah selalu teriring dalam tingkahku,
Seakan tak rela untuk menghadapi kejamnya hidup ini,
Namun apa daya diriku tak mampu menghindari
Semua telah ditakdirkan untuk ku jalani,
Tangisku dulu membuat semua bahagia,
Senyum indah selalu teriring dalam tingkahku,
Kini semua itu telah berlalu,
Dalam kekakuan malam bisu,
Ku coba bertanya pada hatiku,
Masih adakah sisa-sisa tangis indahku,
Yang dulu senantiasa mengundang rindu,
Sayup-sayup terdengar di telinggaku,
“Tangismu kini hanya menyayat pilu,
Karena kelembutan hatimu telah beku,
Apa artinya air matamu membasahi pipimu,
Jika penyesalan atas semua dosamu,
Hanya sekilas hilang dan berlalu”,
Dalam kekakuan malam bisu,
Ku coba bertanya pada hatiku,
Masih adakah sisa-sisa tangis indahku,
Yang dulu senantiasa mengundang rindu,
Sayup-sayup terdengar di telinggaku,
“Tangismu kini hanya menyayat pilu,
Karena kelembutan hatimu telah beku,
Apa artinya air matamu membasahi pipimu,
Jika penyesalan atas semua dosamu,
Hanya sekilas hilang dan berlalu”,
Tersentak daku mendengar jawaban itu,
Yach! Memang begitulah kenyataan diriku,
Sesaat diriku sadar, dan menangis tersedu,
Dalam benak qalbuku daku berkata,
Ya Rabb! masihkah ada harapan untukku,
Rasa indah dalam tangis penebus dosaku
Jika tangisku kini tak lagi bermakna untuk hidupku,
Walau sampai kering air mataku, dan diriku terbujur kaku,
Daku hanya bisa mengetuk-ngetuk pintu belas kasih-Mu,
Hingga suatu saat tangis bahagia mengiringi,
Daku kembali menghadap ke Hadirat-Mu….
Yach! Memang begitulah kenyataan diriku,
Sesaat diriku sadar, dan menangis tersedu,
Dalam benak qalbuku daku berkata,
Ya Rabb! masihkah ada harapan untukku,
Rasa indah dalam tangis penebus dosaku
Jika tangisku kini tak lagi bermakna untuk hidupku,
Walau sampai kering air mataku, dan diriku terbujur kaku,
Daku hanya bisa mengetuk-ngetuk pintu belas kasih-Mu,
Hingga suatu saat tangis bahagia mengiringi,
Daku kembali menghadap ke Hadirat-Mu….
Menangis ketika sang bayi terlahirkan ke dunia ini, senyum bahagia menyambut ayah-bunda mengiringi kehadiran si buah hati. Jeritan tangis si buah hati menambah kedamaian dan rasa bahagia di dalam hati, pelukan hangat selalu menemani kemanapun dia pergi. Rasa lelah-letih tak pernah terasakan lagi dibenak ayah-bunda yang selalu setia menemani, dengan belaian penuh kelembutan siap melayani. Demikian bahagianya hidup dan kehidupan dari si kecil belahan hati, jangankan senyum dan tangisnya tidak membuat bahagia, sedang ketika dia membuang air kencingnya saja masih tetap menyenangkan hati, yach!, demikianlah keberadaan nilai fitrah suci setiap insan yang terlahirkan ke dunia ini. Namun seiring dengan berpacunya putaran sang waktu, setapak-demi setapak nilai fitrah suci yang terpendam dalam dilubuk sanubari telah terkotori oleh sikap-pola-prilaku manusia itu sendiri, kekotoran-kekotoran senantiasa hadir menghiasi setiap langkah dalam menjalani aktifitas kehidupan ini. Kini tangisan yang dulu senantiasa mengundang-hadir rasa kerinduan dan bahagia telah berubah-ganti menjadi tangisan yang menyebalkan bagi telinga yang mendengarkan, mengapa demikian? Yach! Karena kefitrahan nilai suci kini telah mengalami derita-sakit akibat dari ulah tingkah laku-prilaku diri yang senantiasa menikmati indah-manisnya kemaksiatan diri, sebagaimana isyarat dalam firman-Nya
……dan setan telah menjadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan mereka lalu menghalangi mereka dari jalan (Allah), sehingga mereka tidak dapat petunjuk.(QS:27:24)
Dengan demikian jelaslah sudah apa penyebab dari kekotoran-kekotoran nilai fitrah kesucian manusia, yaitu pola pandang laku-prilakunya yang senantiasa memandang indah dan nikmatnya perbuatan-perbuatan mereka sendiri, seperti telah dengan tegas-jelas dinyatakan dari firman Allah tersebut diatas. Melihat kenyataan hidup yang sudah demikian memprihatinkan, belumkah tiba saatnya bagi manusia khususnya bagi para hamba yang mengaku beriman, untuk segera merenung-fikirkan dengan penuh kedalaman dan kejernihan hati untuk menggugah titik kesadaran lubuk hati sanubari, dan bertekad untuk menemukan kembali nilai fitrah kesucian tangisan indah menuju titian jalan-jalan Ilaahi dengan penuh kesungguhan diri. Sebagaimana pesan indah yang tertuang dalam firman-Nya :
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik” (QS:29:69)
Betapa indahnya pesan yang termuat dalam firman-Nya tersebut, dengan penuh setia nan kesabaran Allah selalu menunggu gerak-laju perubahan pola-prilaku hambanya mencari dan menemukan kembali jalan-jalan kesucian hatinya, untuk membuka pintu jalan menuju keharibaan-Nya kembali, dan kesungguhan itu Allah sambut dengan penuh rasa iba-belas kasih dengan membukakan jalan dan menuntunnya meniti jalan menuju pelukkan kasih sayang-Nya yang penuh kelembutan tiada tara sepanjang masa. Sehingga sang hambapun dapat merasakan lagi tangisan indah penuh bahagia dalam dekapan hangat pelukkan kasih-Nya sebagaiman dirasakan ketika berada dalam dekapan kasih sang bunda. Dengan rangkaian gambaran yang demikian indahnya, masih sedikit diantara para manusia atau hamba-Nya yang berkesungguhan hati untuk memetik nilai perjalanan hidupnya guna menemukan jalan memperoleh kesejahteraan dan kebahagian kehidupan haqiqi baginya, kecuali yang telah dipilih oleh Allah karena kesungguhan dan keridhaan atas segala yang telah ditentukan-Nya. Sebagaimana termuat dalam firman-Nya
Katakanlah: “Segala puji bagi Allah dan kesejahteraan atas hamba-hamba-Nya yang dipilih-Nya. Apakah Allah yang lebih baik, ataukah apa yang mereka persekutukan dengan Dia?” (QS:27:59)
Wahai engkau yang bersemayam dalam rongga dadaku, siapapun adanya dirimu, ijinkan aku mengganggu damai kesendirianmu. Aku hanya ingin berbagi cerita denganmu, cerita tentang aku dan apa yang ada dalam diriku, cerita tentang makna cinta, setidaknya tentang makna cinta yang bisa ku mengerti. Aku tidak memintamu untuk mendengarkan apa yang terdengar dari bibirku, aku hanya meminta engkau merasakan makna yang bersemayam dalam ruhku ketika engkau mendengar ceritaku. Aku tidak meminta engkau untuk mau mengerti, aku hanya meminta ijinmu supaya aku dapat mengerti tentang dirimu, lewat cerita tentang diriku.
Aku adalah aku. Aku bukan orang lain dan tidak seperti orang lain. Memang seringkali aku ingin berubah menjadi sosok orang lain yang kuanggap lebih dari diriku, tapi begitu aku mulai melangkah untuk bisa menjadi orang lain, aku selalu dan selalu gagal. Kadang di satu sisi aku berhasil menjadi orang lain, dan di satu sisi yang lain, aku tetaplah diriku sendiri. Aneh memang, ketika aku berubah menjadi sosok yang lain walau hanya sedikit sisi saja, justru tidaklah seindah dan senyaman yang dibayangkan, justru yang ada hanyalah kesedihan, kegundahan, ketertekanan dan rasa tak terdefinisi lainnya. Akhirnya aku sadar, jika aku adalah aku dengan segala keunikannya, aku tidak akan pernah bisa menjadi orang lain, seperti halnya orang lain tidak akan pernah bisa menjadi diriku.
Aku adalah Aku dengan segala sisi dan pernak perniknya. Ada sisi positif juga banyak sekali sisi negatifnya. Kesimpulannya, dalam sosok diriku tergambar dua buah hal yang terkandung dalam jiwa yang sama, kelebihan dan kekurangan. Terkadang aku begitu gembira, seperti gembiranya sang bumi ketika tiba saatnya sang mentari menyingkap tabir gelap sang kuasa malam. Terkadang aku begitu sedih dan gelisah, seperti sedihnya sang bumi ketika sang surya harus tenggelam dan berganti kuasa sang kegelapan.
Aku sadar betapa menggunungnya kelemahanku. Aku harus mengalah dan berdamai dengan takdir penciptaanku, jika aku memang tidak akan pernah menjadi sempurna, tidak akan dan tidak akan pernah. Ketidaksempurnaan adalah sebuah aksioma yang tidak perlu diperdebatkan, karena itu adalah otoritas dan milik Sang Maha Pencipta.
Apapun dan bagaimanapun yang terjadi dan bergolak dalam pengembaraan ruh dan jiwa ku, sudah sebuah kepastian jika roda waktu akan terus berputar, seperti keniscayaan berputarnya sang bumi mengitari kuasa sang surya. Suatu waktu, Sang Maha Kuasa menunjukan kasih sayangnya kepadaku, dengan menunjukan padaku tentang betapa menggunungnya kelemahanku, betapa lemahnya diriku, betapa banyaknya sisi negatifku….betapa dan betapa tidak sempurnanya aku. Ruh dan jiwaku pun kemudian mengkerut, seperti halnya daun putri malu yang mengkerut ketika ada sebuah tangan yang menumbuk permukaannya. Ruh dan jiwaku seakan terus dan terus mengkerut, mengkerdil seakan tak kuasa lagi untuk mengangkat dada tanda keangkuhan dan ambisi yang menggelora akan sebuah kata kesempuraan. Aku terdiam dan terdiam, aku merenung dan merenung. Aku merintih walau tanpa suara, aku menangis, aku menjerit walau hanya dalam hati.
Dan kini, seiring dengan pergantian malam menjadi siang, seperti halnya tanah kering yang berubah menjadi basah oleh tetesan sang air hujan, bersama dengan terus berdetaknya sang waktu, membuatku semakin tersadar akan siapa adanya diriku dan betapa tidak sempurnanya diriku. Sejak itu, aku bisa lebih bijak dalam memandang kehidupan, memandang makna kesempurnaan dan ketidak sempurnaan, tentang siapa adanya diriku dengan segala sisinya dan memandang orang lain juga dengan berbagai sisi dan ketidaksempurnaannya.
Aku adalah aku dengan segala kekurangan dan kelebihannya, dan itulah pertanda ketidaksempurnaanku sebagai makhluk. Dan orang lain adalah orang lain dengan segala kekurangan dan kelebihannya, dan itulah pertanda ketidaksempurnaannya sebagai makhluk. Aku sebagai makhluk tidak sempurna dan engkau juga makhluk yang tidak sempurna.
Aku adalah aku dengan segala sisinya, dan aku yang kini hidup adalah aku yang berusaha proporsional melihat kehidupanku dengan segala pernak perniknya. Aku yang kini hidup adalah aku yang tidak lagi berambisi melihat dan mendamba adanya kesempurnaan pada diriku juga pada dirmu dan pada orang lain, untuk menjadi sosok yang sempurna, sesempurna angan dan ambisi yang ada dibalik ketidaksempurnan.
Jika aku adalah sosok yang tidak sempurna, mengapa aku harus mendamba jiwa lain, dirimu dan dirinya harus menjadi sosok yang sempurna ?.
Dan sungguh aku merasa lebih damai dengan prinsip sederhana ini, ketika aku bisa berdamai dengan takdirku, seperti halnya aku bisa berdamai melihat segala kelebihan yang ada pada ruh diluar sang diri. Aku bisa menerima adanya kelemahanku, sepertihalnya aku lebih terbuka menerima adanya kelemahan pada diri diluar sang diri, juga pada dirimu. Kelemahan adalah sebuah keniscayaan, dan letak masalah sesungguhnya bukan pada kelemahan itu sendiri, tetapi pada penyikapan kita terhadap adanya kelemahan itu sendiri.
Aku bisa mencintai diriku dengan segala kelebihan dan kelemahanku, seperti halnya aku akan selalu berusaha untuk mencintai dan menyayangi ruh di luar sang diri, dengan segala kelebihan juga kelemahannya. Aku tidak akan bertanya apa kelebihanmu dan apa saja kekuranganmu, karena tanpa engkau menceritakannya, aku sudah tahu jika pasti ada setumpuk kelebihan bersemayam dalam dadamu, bersama segunung kelemahan bercokol dalam sisi dadamu yang lain.
Aku hanya ingin berkata, aku bisa menerima ruh lain, ruh mu dengan utuh. Aku berjanji untuk mensyukuri segala kelebihanmu dan aku akan mencintai segala kelemahanmu seperti halnya aku mencintai kelebihanmu.
Aku tidak akan pernah meminta engkau, siapapun adanya dirimu untuk bisa mencintai kelemahanku, untuk mencintai diriku dengan utuh, seutuh langit dan bumi, seutuh terang dan kegelapan. Karena bagiku, bisa mencintaimu dan mencintai orang lain dengan tulus dan utuh telah cukup untuk membuatku tersenyum dan merasa bahagia. Aku tidak akan pernah menuntut engkau untuk mencintaiku, karena aku hanya bisa berjanji untuk hanya mencintaimu dengan seutuhnya, berjanji untuk memberikan yang terbaik dari diriku untukmu, memberikan yang terbaik dari ruhku untuk membuatmu selalu tersenyum dalam damai, tersenyum dalam suka maupun duka, tersenyum siang maupun malam, tersenyum sampai engkau berada dalam tidur panjangmu. Aku hanya ingin memberi, karena yang aku tahu, hakikat dari cinta adalah ketika kita bisa memberi kepada orang yang kita cintai.
Aku tidak akan pernah menuntut engkau untuk menerima kelemahanku, karena bagiku, ketika engkau bisa merasa damai dengan cinta yang aku berikan, itu sudah cukup bagiku untuk merasa berarti dalam pengembaraan diriku.Dan aku tidak akan menuntut engkau untuk bisa menjadi pelipur laraku, karena aku hanya ingin diriku bisa menjadi pelipur lara bagi segala dukamu, melupakan segala kepedihan hidup dan penderitaanmu.
Kini aku baru mengerti tentang makna ikhtiar dan esensi dari kata tawakal, aku baru menyadari akan pentingnya bisa memahami dari pada sekadar untuk meminta dipahami. Aku semakin tidak kuasa walau hanya untuk mencibir dan menyalahkan orang lain, sepertihalnya aku semakin ingin mencintai daripada mengotori hati dengan kata benci. Kini aku belajar untuk bisa semakin bijak memandang makna takdir dan keputusan Sang Pembuat Takdir, seperti halnya aku ingin bisa merasakan setumpuk mutiara makna dari setitik peristiwa yang terjadi dalam setiap episode kehidupan, baik episode menyenangkan ataupun episode yang lebih menguras air mata dan kepedihan di hati. Kini aku semakin menyadari jika Sang Kuasa jauh lebih mencintaiku daripada cintaku pada diriku sendiri, jika Sang Pencipta menyayangiku dan hanya ingin memberikan makna hidup yang terbaik dalam pengembaraan hidupku. Kini aku semakin mengerti, jika aku ingin mendapat mutiara cinta makhluk-MU bersemayam dalam hatiku, terlebih dahulu aku harus mempersembahkan mutiara terindah cintaku kepada Rabb ku. Jika aku ingin mendapat cinta suci sesuci penciptaan diriku, aku terlebih dahulu harus mentuluskan cintaku pada sang pemberi makna cinta itu sendiri.
Aku adalah aku dengan segala ketidaksempurnaanya. Engkau adalah engkau dengan segala ketidaksempurnaannya. Aku dan engkau adalah sama tidak sempurnanya.
Cinta tidak memberikan apa-apa kecuali hanya dirinya,
Cinta pun tidak mengambil apa-apa dari dirinya,
Cinta tidak memiliki ataupun dimiliki,
Karena cinta telah cukup untuk cinta.
(Gibran)
Cinta itu sebatang kayu yang baik.
Akarnya tetap di bumi, tapi cabangnya di langit
Dan buahnya lahir di hati, lidah dan anggota badannya.
Ditunjukan oleh pengharuh-pengaruh yang muncul dari cinta itu dalam hati dan anggota badan,
Seperti ditunjukkannya asap dalam api dan ditunjukkannya buah dalam pohon.
(Ghazali)
Terimakasih engkau telah sudi mendengar bisikan dalam hatiku. Engkau mungkin tidak akan pernah mengerti tentang apa yang telah aku tulis ini. Tapi percayalah jika aku bisa mengerti tentang apapun yang belum sempat engkau ungkapkan. Semoga Allah senantiasa melimpahkan cahayanya dalam dalam dadamu, semoga Tuhan senantiasa melindungi mu, karena Dia mencintai-Mu.
0 komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan komentar anda di sini "but no SPAM,sara,or porno list because I will erase it"