Hukum Berkhalwatnya Seorang Wanita dengan Beberapa Lelaki (lebih dari satu orang)

عبد الله بن عمرو بن العاص حدثه أن نفرا من بني هاشم دخلوا على أسماء بنت عميس فدخل أبو بكر الصديق وهي تحته يومئذ فرآهم فكره ذلك فذكر ذلك لرسول الله صلى الله عليه وسلم وقال لم أر إلا خيرا فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم إن الله قد برأها من ذلك ثم قام رسول الله صلى الله عليه وسلم على المنبر فقال لا يدخلن رجل بعد يومي هذا على مُغِيْبَةٍ إلا ومعه رجل أو اثنان


“Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash bahwasanya beberapa orang dari bani Hasyim masuk (menemui) Asma’ binti ‘Umais, lalu Abu Bakar masuk -dan tatkala itu Asma’ telah menjadi istri Abu Bakar As-Siddiq- lalu Abu Bakar melihat mereka dan ia membenci hal itu, lalu iapun menyampaikan hal itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan ia berkata, ‘Aku tidak melihat sesuatu kecuali kebaikan.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, ‘Sesungguhnya Allah telah menyatakan kesuciannya dari perkara tersebut (perkara yang jelek),’ kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri di atas mimbar dan berkata, ‘Setelah hari ini tidaklah boleh seorang laki-laki menemui mughibah (yaitu seorang wanita yang suaminya sedang tidak berada di rumah) kecuali bersamanya seorang laki-laki (yang lain) atau dua orang.’” (HR. Muslim 4/1711, Shahih Ibnu Hibban 12/398).


Yang dimaksud dengan mughibah adalah wanita yang suaminya sedang tidak berada di rumah, baik karena sedang bersafar keluar kota maupun keluar dari rumah namun masih dalam kota, dalilnya adalah hadits ini. Dikatakan bahwa Abu Bakar sedang tidak berada di rumah, bukan sedang keluar kota. (Al-Minhaj 4/155).


Berkata Imam An-Nawawi, “Dzohir dari hadits ini menunjukan akan bolehnya berkhalwatnya dua atau tiga orang lelaki dengan seorang wanita ajnabiah, dan yang masyhur menurut para sahabat kami (yaitu penganut madzhab syafi’iah) akan haramnya hal ini. Oleh karena itu hadits ini (bolehnya berkhalwat) dibawakan kepada kepada sekelompok orang yang kemungkinannya jauh untuk timbulnya kesepakatan diantara mereka untuk melakukan perbuatan nista karena kesholehan mereka, atau muru’ah mereka dan yang lainnya.” (Al-Minhaj 4/155).


Adapun para ulama yang mengatakan akan bolehnya berkhalwatnya seorang wanita dengan beberapa lelaki mereka menyaratkan bahwa para lelaki tersebut merupakan orang-orang yang terpercaya dan tidak bersepakat untuk melakukan hal yang nista terhadap wanita tersebut.


Berkata Imam An-Nawawi, “Adapun berkholwatnya dua orang lelaki atau lebih dengan seorang wanita maka yang masyhur adalah haramnya hal ini dikarenakan bisa jadi mereka para lelaki tersebut bersepakat untuk melakukan hal yang keji (zina) terhadap wanita itu. Dan dikatakan bahwa jika mereka adalah termasuk orang-orang yang jauh dari perbuatan seperti itu maka tidak mengapa.” (Al-Majmu’ 4/241).


Peringatan:


Diantara perkara yang dianggap remeh oleh masyarakat namun sangat berbahaya adalah berkhalwatnya kerabat suami (yang bukan mahrom istri) dengan istrinya.


عن عقبة بن عامر أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال إياكم والدخول على النساء فقال رجل من الأنصار يا رسول الله أفرأيت الحمو قال الحمو الموت


“Dari ‘Uqbah bin ‘Amir bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Waspadailah diri kalian dari masuk (menemui) para wanita!’, lalu berkatalah seseorang dari kaum Anshor, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana menurutmu dengan Al-Hamwu?’, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, ‘Al-Hamwu adalah maut (kematian).’” (HR. Al-Bukhari no. 5232)


Berkata Ibnu Hajar, “Larangan masuk (terhadap kerabat suami) untuk menemui para wanita menunjukan bahwa larangan untuk berkhalwat lebih utama untuk dilarang (min bab aula).” (Fathul Bari 9/411).


Imam Nawawi berkata, “Para ulama bahasa telah sepakat bahwa الأحماء Al-Ahmaa’ adalah karib kerabat suami seperti ayah, saudara laki-laki, keponakan laki-laki, sepupu, dan yang semisalnya, dan الأختان Al-Akhtan adalah karib kerabat dari istri, dan الأصهار Al-Ashhar mencakup keduanya (Al-Ahmam dan Al-Akhtaan)…dan yang dimaksud dengan Al-Ahmam disini adalah kerabat karib suami selain ayahnya dan anak-anaknya(*), karena mereka adalah mahrom bagi sang istri dan boleh bagi mereka untuk berkhalwat dengannya dan mereka tidak disifati dengan maut, namun yang dimaksudkan di sini adalah saudara laki-laki sang suami, paman, sepupu, dan yang semisalnya yang bukan merupakan mahrom bagi sang wanita dan kebiasaan masyarakat mereka menggampangkan hal ini (kurang peduli) dan membiarkan seseorang berkhalwat dengan istiri saudaranya. Inilah maut, dan kerabat seperti ini lebih utama untuk dilarang daripada laki-laki asing (yang tidak ada hubungan kerabat).” (Al-Minhaj 14/154).


(*) Adapun Al-Maziri, maka beliau menyatakan bahwa makna Al-Hamwu adalah bapak suami, dan pendapat inipun diikuti oleh Ibnul Atsir dalam An-Nihayah, namun dzahirnya Ibnul Atsir juga tidak membatasi makna Al-Hamwu pada bapak sang suami tapi ia memang Al-Hamwu itu adalah umum mencakup seluruh kerabat suami tanpa mengecualikan bapak dan anak-anak suami. Beliau berkata, Al-Hamwu, “Kerabat-kerabat suami.” (An-Nihayah 1/440) Berkata Imam An-Nawawi, “Ini adalah pendapat yang rusak dan tertolak.” (Al-Minhaj 14/154). Ibnu Hajar menjelaskan bahwa penafsiran dan penjelasan para imam menunjukan bahwa pendapat ini bukanlah pendapat yang rusak. (Fathul Bari 9/412).


Al-Maziri mengisyaratkan bahwa disebutkannya bapak suami untuk dilarang masuk menemui mughibah sebagai peringatan bahwa pelarangan terhadap selain bapak suami terlebih lagi. (Al-Fath 9412).


Ibnul Atsir berkata, “Jika menurut sang suami bahwa bapaknya adalah maut (jika masuk ke dalam rumahnya dan ia dalam keadaan tidak di rumah) -padahal ia adalah mahrom istrinya- bagaimana jika yang masuk adalah orang asing??!, maksudnya yaitu ‘Lebih baik ia (sang istri) mati saja dan janganlah ia (sang istri) melakukannya (membiarkan ada yang masuk rumahnya tanpa kehadiran sang suami)’…, ia berkata, ‘Maknanya adalah berkhalwatnya Al-Hamwu bersama sang istri lebih berbahya daripada berkhalwat dengan orang asing, karena terkadang jika Al-Hamwu tersebut berbuat baik pada sang istri atau memintanya untuk melakukan perkara-perkara yang menurut suami adalah hal yang berat seperti mencari sesuatu yang di luar kemampuan sang suami maka jadilah rusaklah hubungan antara suam istri karena hal itu. Dan karena seorang suami tidak suka jika Al-Hamwu mengetahui urusan dalam keluarganya jika ia masuk dalam rumahnya.” (An-Nihayah 1/440).


Ibnu Hajar mengomentari perkataan Ibnul Atsir ini, “Seakan-akan perkataannya Al-Hamwu maut yaitu mesti terjadi dan tidak mungkin mencegah sang istri dari masuknya Al-Hamwu, sebagaimana kematian itu tidak bisa dihindari. Dan pendapat yang terakhir ini dipilih oleh Syaikh Taqiyyuddin (Ibnu Taimiyah) dalam Syarhul ‘Umdah.” (Al-Fath 9/413).

0 komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan komentar anda di sini "but no SPAM,sara,or porno list because I will erase it"