ketika cinta ternoda

Cinta itu anugrah, maka berbahagialah, sebab kita sengsara, jika tak punya cinta …
Lagi-lagi kata cinta yang jadi bahan tulisan. Memang benar tema cinta itu tak ada habis2nya, lain kesempatan masih ada yang ingin saya tuliskan lagi. Entahlah, yang jelas saya tidak lagi kasmaran. he…
Kehidupan manusia dalam melangkah menyusuri hidupnya terdiri dari berbagai fase. Hal tersebut menjadikan kita untuk dapat belajar dari fase-fase yg telah dilakukan orang lain sebelumnya dan tentunya akan secara otomatis pula akan memiliki berbagai fase hidup dari apa yang telah dilaluinya.
Salah satu fase kehidupan manusia yang banyak berkaitan dengan cinta adalah pernikahan. Sebelum manusia masuk dalam tahap itu, perasaan cinta tentu jadi alasan awal seseorang memutuskan untuk menikah. Pernikahan yang dilandasi dengan perasaan cinta tentu akan memberi kebahagiaan berbeda dibanding pernikahan tanpa cinta.Tapi benarkah demikian? Benarkah cinta akan selalu jadi jaminan kehidupan seseorang menjadi bahagia? Berapa banyak korban yang tak bahagia karena cinta?
Sebuah kisah yang dialami Nano dan Nani. Sebagai mahasiswa yang sama-sama merantau jauh dari orang tua, keduanya senantiasa tak terpisahkan. Segala keperluan Nano sebisa mungkin dibantu Nani, begitu juga sebaliknya. Kemanapun Nani pergi, Nano akan mengantar sepenuh hati.
Rasa haus kasih sayang dari orang tua yang jauh di luar kota seolah tergantikan dengan hadirnya sang kekasih. Nano begitu terbuai dengan kecantikan Nani, begitu bahagia memperoleh kembang kampus yang jadi incaran setiap kumbang. Apapun keinginan Nani, Nano selalu berusaha memberikannya. Nani merasa senang tak terkira karena Nano selalu berusaha menyenangkannya. Hari-hari di mata kedua insan itu hanya ada cinta.
Setahun berlalu, tanpa disadari keakraban yang tanpa kendali akhirnya berbuah keintiman. Ya, setan tak kan pernah lengah menggoda untuk menjerumuskan umat manusia. Akhirnya Nani positif hamil meski segala usaha telah dilakukan untuk menggugurkan janin yang terlanjur berkembang dalam rahim. Tapi Allah berkehendak lain, bayi itu terus bertahan dalam perut ibunya. Keduanya mulai panik dan saling menyalahkan satu sama lain. Bagaimana dengan kuliah yang baru dijalani separuh jalan? Belum lagi rasa malu dan murka orangtua yang menghantui setiap hari. Dengan berat hati akhirnya Nano mengaku kepada orang tuanya dan minta segera menikah karena Nani sudah berbadan dua.
Konsekuensi menikah yang belum dipahami Nano dan Nani membuat keduanya tak mampu mengontrol emosi. Nano dituntut untuk menafkahi istri dan calon bayinya. Sementara kuliah belum lagi selesai. Dan keduanya juga bukan dari keluarga berada sehingga orangtua mereka tak punya cukup biaya membiayai kuliah dan rumah tangga anaknya sekaligus.
Temperamen keduanya mulai timbul. Jika selama ini saling menutupi, maka di saat kondisi mulai tidak kondusif, sifat-sifat buruk akhirnya muncul. Walhasil tamparan dan makian mengisi hari-hari keluarga belia tersebut. Nani yang dikenal Nano sebagai perempuan cantik dan manis ternyata tak segan-segan menampar Nano tanpa rasa takut. Akhirnya, cinta itu meninggalkan trauma mendalam. Keduanya kemudian memutuskan bercerai setelah sang jabang bayi lahir dan baru berusia satu minggu.
Dari cerita diatas jelaslah sudah mengenai pertanyaan2 diawal tulisan ini. Salah satu cerita saja bisa mewakili untuk menjadikan suatu jawaban mengenai cinta. Menata hati dan menjaga cinta senantiasa patut dilakukan untuk dapat mengindahkannya.
“Di zaman yang serba susah ini, masihkah ada kesetiaan…?”
— Garin Nogroho dalam Film Opera Zaman
Setidaknya ungkapan di atas tidak tercipta dari ruang hampa, melainkan ada bukti atau piranti-piranti yang meginspirasi terciptanya ungkapan tersebut sehingga tercipta sebuah karya.
Ya. Kesetiaan, cinta, kasih sayang adalah tema yang tak kunjung usai pembahasannya, sudah banyak kisah menuturkan apa itu cinta, beribu-ribu rol film juga mengisahkan cinta, beribu bait puisi terlantun tentang cinta, ribuan lirik dan musik cinta juga senantiasa berdendang.
Karena cinta itu tidak suatu yang stagnan, keberadaanya pun terus mengalir, warna-warni rupanya pun senantiasa berubah sesuai dengan kondisi dan situasi perasaan. Tidak hanya perasaan, melainkan juga kondisi mentalitas masyarakat yang dirundung cinta itu sendiri.
Cinta yang sebenarnya suci, abstrak, sakral bahkan satu-satunya nilai yang sangat agung, diakui atau tidak disadari atau tidak pemaknaanya sudah bergeser terlampau jauh oleh masyarakat sekarang. Tidak hanya dalam segi makna namun merambah pada praktek-prakteknya.
Di zaman yang dikatakan serba modern ini, dengan berbagai kecanggihan teknologinya ternyata telah mengubah berbagai dimensi nilai hidup masyarakat, termasuk cinta.
Ada satu alat untuk mengetahui pergeseran makna tersebut yaitu dengan lirik-lirik lagu yang tercipta pada tiap dekadenya. Kalau anda mau menganalisis lirik-lirik lagu cinta antara tahun 90-an dengan era sekarang, mungkin akan menemukan perbedaan yang sangat signifikan. Baik itu aransemen musiknya, kedalaman isi liriknya maupun pemaknaan nilai yang berhubungan dengan cinta dan kesetiaan.
Pada era 1990-an, lirik-lirik lagu yang tercipta bisa jadi masih terasa menghargai kesucian makna dari cinta tersebut, sehingga cara mengapresiasikanya pun selalu melalui metafora-metafora dan tidak berani mengungkapnya secara langsung.
Ada banyak judul lagu dengan metafora yang menunjukkan arti sebuah cinta. Misalnya Mawar Berduri, Kupu-Kupu Kertas (Ebiet A Gede), Bintang Jatuh (DNA), Bunga Desa (Rhoma Irama), Restu Bumi (Dewa 19) dan masih banyak lagu lain yang mengutarakan makna cinta dengan metafora-metaforanya.
Ya. Karena begitu abstrak skaral dan sucinya cinta penyampainaya tidak berani langsung, orang-orang dahulu masih begitu menghargai dan menghormati apa itu cinta.
Sehingga kalau orang-orang dulu pernah cerita bagaimana proses mencintai seseorang, perjuangan mencari cinta sejati itu merupakan hal yang sulit di tempa, sehingga ketika memperolehnya merupakan anugerah yang tiada tara.
Banyangkan saja, bagaimana rasanya orang memendam rindu ketika lama tidak ketemu (transportasi sulit, HP belum ada), kalau tuhan menginzinkan untuk bertemu, jangankan menciumnya, memeluknya. Untuk sekeadar menggandeng tangan saja sudah malunya luar biasa, yang bisa dilakukan mungkin hanya saling menatap mesra sesekali serasa malu-malu, hanya interaksi degub jantung yang membuatnya menyatu untuk saling ada dan mengada diantaranya.
Bagaimana dengan sekarang…..?
Coba bandingkan dengan lirik-lirik lagu yang tercipta sekarang, pemaknaan terhadap cinta cenderung materiel tidak lagi abstrak tapi konkret dan dipermudah. Banyak lagu cinta yang penyampainya tidak lagi dengan metafora dan cenderung menghinati apa itu cinta. Misalnya, Selingkuh, Tentang Aku Kau Dan Dia (Kangen band), Kamu Ketahuan, Play Boy (Matta band), Kekasih Gelapku (Ungu), Dirimu dan Dirinya (Pinkan Mambo), Lelaki Cadangan (T2) dan masih banyak lagu lagi yang cenderung menghianati apa itu cinta dan mesti melibatkan orang ketiga.
Bisa jadi itu bukan hanya lagu tapi sebuah pengalaman hidup dan potret dari masyarakat sekarang. Masyarakat yang tidak lagi menghargani anugrah cinta terindah dari tuhan yang di berikan kepada makhluk manusia.
Ya. Dengan teknologi di zaman modern ini, hasrat untuk memiliki sesuatu mudah di lakukan termasuk pengatasnamaan cinta yang pada buntutnya adalah penghianatan.
Dengan HP orang mudah berkomunikasi, menit ini berhubungan dengan si A, satu menit kemudian kencan dengan Si B. bukanlah hal yang sulit kalau ada fasilitas yang menunjang tanpa ada bangunan mentalitas kesetiaan.
Segalanaya sekarang terbuka, pria dan wanita bergandeng tangan sudah biasa, berpelukan, berciuman di muka umum bukan suatu hal yang asing. Tidak hanya usia dewasa melainkan remaja bahkan anak-anak di bawah usiapun sudah berani melakukan tindakah yang tak senonoh ini.
“Salah siapa….? Apakah ini dampak dari moderenisme….?” Tanya sang pemuka agama.
“Zeihgeisth sudah berbeda pak ustadz,” jawab anak muda sekarang.

Wallahualam.

0 komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan komentar anda di sini "but no SPAM,sara,or porno list because I will erase it"