Ketika Senja Bertasbih Di Alexandria


Di matanya, Kota Alexandria sore itu tampak begitu mempesona. Cahaya mataharinya yang kuning keemasan seolah
menyepuh atap-atap rumah, gedung-gedung, menara-menara, dan kendaraan-kendaraan yang lalu lalang di jalan. Semburat
cahaya kuning yang terpantul dari riak gelombang di pantai menciptakan aura ketenangan dan kedamaian.
Di atas pasir pantai yang putih, anak-anak masih asyik bermain kejar-kejaran. Ada juga yang bermain rumah-rumahan
dari pasir. Di tangan anak-anak itu pasir pasir putih tampak seumpama butir-butir emas yang lembut berkilauan diterpa
sinar matahari senja.
Di beberapa tempat, di sepanjang pantai, sepasang muda-mudi tampak bercengkerama mesra. Di antara mereka masih
ada yang membawa buku-buku tebal di tangan.
Menandakan mereka baru saja dari kampus dan belum sempat pulang ke rumah.

Suasana senja di pantai rupanya lebih menarik bagi mereka daripada suasana senja di rumah. Bercengkerama dengan
pujaan hati rupanya lebih mereka pilih daripada bercengkerama dengan keluarga; ayah, ibu, adik dan kakak di rumah.
Di mana-mana muda-mudi yang sedang jatuh cinta sama. Senja menjadi waktu istimewa bagi mereka. Waktu untuk bertemu,
saling memandang, duduk berdampingan dan bercerita yang indah-indah. Saat itu yang ada dalam hati dan pikiran
mereka adalah pesona sang kekasih yang dicinta. Tak terlintas sedikit pun bahwa senja yang indah yang mereka lalui itu akan
menjadi saksi sejarah bagi mereka kelak. Ya, kelak ketika masa
muda mereka harus dipertanggungjawabkan di hadapan Sang Pencipta Cinta. Dan jatuh cinta mereka pun harus dipertanggung
jawabkan kepada-Nya Di hadapan pengadilan Dzat Yang Maha Adil, yang tidak ada sedikit pun kezaliman dan
ketidakadilan di sana.

Di matanya, Kota Alexandria sore itu tampak begitu indah.Ia memandang ke arah pantai. Ombaknya berbuih putih.
Bergelombang naik turun. Berkejar-kejaran menampakkan keriangan yang sangat menawan. Semilir angin mengalirkan
kesejukan. Suara desaunya benar-benar terasa seumpama desau suara dzikir alam yang menciptakan suasana tenteram.
Dari jendela kamarnya yang terletak di lantai lima Hotel Al Haram, ia menyaksikan sihir itu. Di matanya, Alexandria
sore itu telah membuatnya seolah tak lagi berada di dunia.
Namun di sebuah alam yang hanya dipenuhi keindahan dan kedamaian saja.
Sesungguhnya bukan semata-mata cuaca dan suasana menjelang musim semi yang membuat Alexandria senja itu
begitu mempesona. Bukan semata-mata sihir matahari senja yang membuat Alexandria begitu menakjubkan. Bukan semata-

mata pasir putihnya yang bersih yang membuat Alexandria begitu menawan. Akan tetapi, lebih dari itu, yang membuat
segala yang dipandangnya tampak menakjubkan adalah karena musim semi sedang bertandang di hatinya. Matahari kebahagiaan
sedang bersinar terang di sana. Bunga-bunga kasturi sedang menebar wanginya. Tembang-tembang cinta mengalun
di dalam hatinya, memperdengarkan irama terindahnya. Dan penyebab itu semua, tak lain dan tak bukan adalah seorang
gadis pualam, yang di matanya memiliki kecantikan bunga mawar putih yang sedang merekah. Gadis yang di mata-
nya seumpama permata safir yang paling indah. Gadis itu adalah kilau matahari di musim semi. Sosok
yang sedang menjadi buah bibir di kalangan mahasiswa dan masyarakat Indonesia di Mesir. Gadis yang pesonanya dikagumi
banyak orang. Dikagumi tidak hanya karena kecantikan fisiknya, tapi juga karena kecerdasan dan prestasi-prestasi
yang telah diraihnya. Lebih dari itu, gadis itu adalah putri orang nomor satu bagi masyarakat Indonesia di Mesir.
Dialah Eliana Pramesthi Alam. Putri satu-satunya Bapak Duta Besar Republik Indonesia di Mesir. Hampir genap satu
tahun gadis itu tinggal di Mesir. Selain untuk menemani kedua orangtuanya, keberadaannya di Negeri Pyramid itu
untuk melanjutkan S.2-nya di American University in Cairo (AUC).

Belum begitu lama menghirup udara Mesir, gadis yang memiliki suara jernih itu langsung menunjukkan prestasinya.
Kontan, ia langsung jadi pusat perhatian. Sebab baru satu bulan di Cairo, tulisan opininya dalam bahasa Inggris sudah
dimuat di koran Ahram Gazzette. Opininya menyoroti peran Liga Arab yang mandul dalam memperjuangkan martabat
anggota-anggotanya. Liga Arab yang tak punya nyali berhadapan dengan Israel dan sekutunya. Liga Arab yang hanya
bisa bersuara, tapi tidak bisa berbuat apa-apa.

runtut, berkarakter, tajam dan kuat datanya. Orang dengan pengetahuan memadai, akan menilai tulisannya merupakan
perpaduan pandangan seorang jurnalis, sastrawan dan diplomat ulung.
Karena opininya itulah ia langsung diminta jadi bintang tamu di Nile TV. Di layar Nile TV ia berdebat dengan Sekjen
Liga Arab. Hampir seluruh masyarakat Indonesia di Mesir menyaksikan siaran langsung istimewa itu. Baru kali ini ada
anak Indonesia berbicara di sebuah forum yang tidak sembarang orang diundang. Sejak itulah Eliana menjadi bintang
yang bersinar di langit cakrawala Mesir, terutama di kalangan mahasiswa Indonesia.

Terhitung, gadis yang menyelesaikan S.l-nya di EHESS Prancis itu sudah tiga kali tampil di layar televesi Mesir.
Sekali di NileTV. Dua kali di Channel 2. Wajahnya yang tak kalah pesonanya dengan diva pop dari Lebanon, Nawal
Zoughbi, dianggap layak tampil di layar kaca. Selain karena ia memang putri seorang duta besar yang cerdas dan fasih
berbahasa Inggris dan Prancis. Eliana, Putri Pak Dubes itulah yang membuatnya berada
di Alexandria dan tidur di hotel berbintang lima selama satu pekan ini. Meskipun ia sudah berulangkali ke Alexandria,
namun keberadaannya di Alexandria kali ini ia rasakan begitu istimewa. Ia tidak bisa mengingkari dirinya adalah manusia
biasa, bukan malaikat. Ia tak bisa menafikan dirinya adalah pemuda biasa yang bisa berbunga-bunga karena merasa dekat
dan dianggap penting oleh seorang gadis cantik dan terhormat seperti Eliana. Gadis yang membuat matahari kebahagiaan
sedang bersinar terang di hatinya.

Awalnya adalah Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) yang mengadakan acara "Pekan Promosi Wisata dan
Budaya Indonesia di Alexandria". Beberapa acara pagelaran budaya digelar di Auditorium Alexandria University selama
satu pekan. Selama itu juga ada promosi masakan dan makanan khas Indonesia. Ada empat makanan yang dipromosikan
yaitu Nasi Timlo Solo, Sate Madura, Coto Makassar, dan Empek-empek Palembang. Dan Elianalah yang menjadi penanggung
jawab promosi makanan khas Indonesia itu. Sementara ia, dikenal sebagai mahasiswa paling mahir memasak.
Dan ia dikontrak KBRI untuk membuka stand Nasi Timlo Solo. Mulanya ia menolak. Sebab, dengan begitu ia harus
meninggalkan bisnisnya membuat tempe selama semingu. Ia khawatir langganannya kecewa. Namun Putri Dubes itu terus
mendesak dan memohon kesediaannya. Akhirnya ia luluh dan bersedia.

Sejak itulah hatinya berbunga-bunga. Sebab sebelum berangkat ke Alexandria ia sering ditelpon Eliana. Dan saat di
Alexandria hampir tiap hari Eliana datang ke standnya untuk mengontrol, melihat-lihat, atau hanya sekadar untuk menga-
jaknya bicara apa saja. "Aku salut Iho ada mahasiswa yang mandiri seperti Mas
Insinyur." Puji Eliana. Hatinya tersanjung luar biasa. Bagaimana tidak, gadis jelita itu seolah begitu menghormatinya.
Ia dipanggil dengan panggilan "Mas Insinyur", bukan langsung memanggil namanya, atau dengan kata ganti
"kamu" atau "Anda". Orang-orang memang biasa memanggilnya "Mas Khairul", karena namanya Khairul Azzam, atau
"Mas Insinyur" karena ia memang dikenal sebagai "Insinyur"-nya dunia masak memasak di kalangan mahasiswa Indonesia
di Cairo. Entah kenapa, mendengar pujian dari Eliana itu, ia merasakan kebahagiaan dengan nuansa yang sangat lain.
Kebahagiaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia tersenyum sendiri. Kedua matanya memandang ke
arah pantai. Dua orang muda-mudi Mesir berjalan mesra menyusuri Pantai Cleopatra yang berada tepat di depan hotel.
Ia tersenyum sendiri. Entah kenapa tiba-tiba berkelebat pikiran, andai yang berjalan itu adalah dirinya dan Eliana.
Alangkah indahnya.

Astaghfirullah..!! la beristighfar.
Ia merasa apa yang berkelebat dalam pikirannya itu sudah tidak dianggap benar.
Ia mengalihkan pandangannya jauh ke tengah laut Mediterania. Nun jauh di sana ia melihat tiga kapal yang
tampak kecil dan hitam. Kapal-kapal itu ada yang sedang menuju Alexandria, ada juga yang sedang meninggalkan
Alexandria. Sejak dulu Alexandria memang terkenal sebagai kota pelabuhan yang penting di kawasan Mediterania. Pelabuhan
utama Alexandria saat ini ada di kanan dan kiri kawasan Ras El Tin dan kawasan El Anfusi. Dua kawasan itu
terletak di semenanjung Alexandria lama. Di ujung semenanjung itu berdiri dua benteng bersejarah Yaitu Benteng
Qaitbai dan Benteng El Atta. Dari jendela kamarnya ia bisa melihat Benteng Qaitbai
itu di kejauhan. Kedua matanya kembali mengamati tiga kapal yang letaknya berjauhan satu sama lain. Ia edarkan pandangannya
ke kiri dan ke kanan. Laut itu terlihat begitu luas dan kapal itu begitu kecil. Padahal di dalam kapal itu mungkin
ada ratusan manusia. Ia jadi berpikir, alangkah kecilnya manusia. Dan alangkah Maha Penyayang nya Allah swt yang menjinakkan
lautan sedemikian luas supaya tenang dilalui kapal kapal berisi manusia. Padahal, mungkin sekali di antara manusia
yang berada di dalam kapal itu terdapat manusia-manusia yang sangat durhaka kepada Allah swt. Toh begitu, Allah swt masih
saja menunjukkan kasih sayang-Nya. Ia jinakkan lautan, yang jika Ia berkehendak,Ia bisa menitahkan ombak untuk menenggelamkan
kapal itu dan bahkan meluluh-lantakkan seluruh isi Kota Alexandria. Ia teringat firman-Nya yang indah,
"Tidakkah engkau memperhatikan bahwa sesungguhya kapal
itu berlayar di laut dengan nikmat Allah, agar diperlihatkan-Nya
kepadamu sebagian dari tanda-tanda kebesaran-Nya. Sesungguhnya
pada yang demikian itu terdapat tanda- tanda kebesaran-
Nya bagi setiap orang yang sangat sabar lagi banyak bersyukur."
(OS. Luqman (Luqman) [311]: 31)

Ia terus memandang ke laut Mediterania. Laut itu telah menjadi saksi sejarah atas terjadinya peristiwa peristiwa besar
yang menggetarkan dunia. Perang besar yang berkobar karena memperebutkan cinta Ratu Cleopatra terjadi di laut itu.
Pertemuan bersejarah yang diabadikan dalam Al-Quran antara Nabi Musa dan Nabi Khidir, konon, juga terjadi di salah
satu pantai laut Mediterania itu. "Laut yang indah, penuh nilai sejarah," lirihnya pada dirinya
sendiri. "Akankah aku juga akan mencatatkan sejarahku di pantai laut ini..?" Ia berkata begitu karena nanti malam ada
jadwal makan malam bersama seluruh staf KBRI di Pantai El Mumtazah. la yakin akan bertemu lagi dengara Eliana disana.
Matahari terus berjalan mendekati peraduannya. Sinarnya yang kuning keemasan kini mulai bersulam kemerahan.
Ombak datang silih berganti seolah menyapa dan menciumi pasir-pasir pantai yang putih nan bersih. Terasa damai dan
indah. Menyaksikan fenomena alam yang dahsyat itu Azzam bertasbih, "Subhanallah. Maha Suci Allah yang telah mencip
takan alam seindah ini."

Ya, alam bertasbih dengan keindahannya. Alam bertasbih dengan keteraturannya. Alam bertasbih dengan pesonanya.
Segala keindahan, keteraturan dan pesona alam bertasbih, menjelaskan keagungan Sang Penciptanya. Bertasbih, menyucikan
Allah swt dari sifat kurang. Keindahan senja sore itu menjelaskan kepada siapa saja yang menyaksikannya bahwa
Allah swt yang menciptakan senja yang luar biasa indah adalah Allah swt Yang Maha Kuasa, Yang Maha Sempurna ilmu-Nya.
Siang malam, senja, dan pagi bertasbih. Matahari, udara. laut, ombak dan pasir bertasbih. Semua benda yang ada di
alam semesta ini bertasbih, menyucikan asma Allah Semua telah tahu bagaimana cara melakukan shalat dan tasbihnya.
Dengan sinarnya, matahari bertasbih di peredarannya. Dengan hembusannya udara bertasbih di alirannya. Dengan
gelombangnya ombak berta sbih di jalannya. Semua telah tahu bagaimana cara menunjukan tidak ada Tuhan selain Allah
Yang Maha Kuasa.

Keteraturan alam semesta, langit yang membentang tanpa tiang, pergantian siang dan malam, lautan luas membentang,
gunung gunung yang menjulang, awan yang membawa air hujan, air yang menumbuhkan tanam-tanaman, proses
penciptaan manusia sembilan bulan di rahim, binatang-binatang yang menjaga ekosistem dan keteraturar-keteraturan
lainnya, itu semua menuniukkan bahwa ada Dzat Yang Maha Kuasa dan Maha Sempurna. Dzat yang kekuasaan-Nya tidak
ada batasnya. Dzat yang menciptakan itu semua. Dan Dzat itu adalah Tuhan Penguasa alam semesta. Dan jelas Tuhan itu
hanya boleh satu adanya. Tak mungkin dua, tiga dan seterusnya. Tak mungkin. Sebab, jika Tuhan itu lebih dari satu pastilah terjadi kerusakan
di alam semesta ini. Sebab masing-masing akan merasa paling berkuasa. Masing-masing akan memaksakan keinginan-
Nya. Mereka akan berkelahi. Misalnya satu menghendaki matahari terbit dari timur, sementara yang satu menghendaki
matahari terbit dari barat. Terjadilah perseteruan. Dan rusaklah alam.

Ternyata matahari terbit dari timur dan tenggelam di barat, dengan sangat teraturnya. Matahari tak pernah terlambat
terbit. Matahari juga tak pernah bermain main, belari-lari ke sana kemari di langit seperti anak kecil bermain bola atau
petak umpet. Ia beredar di jalan yang ditetapkan Tuhan untuknya. Dan selalu tenggelam di ufuk barat tepat pada
waktunya. Keteraturan ini menunjukkan, Tuhan Yang Menciptakan alam semesta ini adalah satu. Yaitu ‘Allah Wa Jalla,
Tuhan Yang Maha Kuasa. Allah swt yang menciptakan alam semesta ini, yang tak
terbatas kekuasaan-Nya itu memang tak mungkin berjumlah lebih dari satu. Sebab seandainya Tuhan lebih dari satu, lalu
mereka sepakat menciptakan matahari, misalnya. Maka ada dua kemungkinan di sana. Pertama, Tuhan yang satu menciptakan,
sementara Tuhan yang lain berpangku tangan. Tidak berbuat apa-apa. Dengan begitu, bisa berarti bahwa Tuhan
yang tidak berbuat apa apa itu tidaklah Tuhan yang berkuasa. Sia-sia saja ia jadi Tuhan. Sebab, pada saat matahari diciptakan

ia tidak berperan menciptakannya. Ia menganggur. Sama seperti makhluk yang menganggur. Jadi ia bukan Tuhan dan
tidak bisa disebut Allah swt. Atau kemungkinan kedua, Tuhan-tuhan itu bekerja sama
menciptakan matahari. Matahari diciptakan dengan keroyokan. Jika demikian, jelas jelas mereka bukanlah Tuhan Yang
Maha Kuasa. Sebab mereka lemah. Bagaimana tidak. Untuk menciptakan matahari saja mereka harus bekerja sama. Tidak
bisa menciptakan sendiri. Kekuasaan-Nya tidak mutlak. Yang terbatas kekuasaanya berarti lemah dan tidak layak disebut
sebagai Allah swt.

Jika Tuhan itu lebih dari satu, bisa saja terjadi pembagian tugas. Ada yang bertugas mencipta matahari,
ada yang bertugas mencipta bumi, ada yang bertugas mencipta langit dan
seterusnya. Jika demikian, mereka bukan Tuhan Yang Maha Kuasa. Sebab pembagian tugas itu menunjukkan kelemahan,
menunjukkan ketidak-mahakuasaan. Tuhan yang sesungguhnya adalah Allah swt Yang menciptakan dan menguasai seru
sekalian alam. Tuhan yang menciptakan alam semesta ini dengan kekuasaan-Nya yang sempurna. Tuhan yang ilmu-Nya
meliputi segala sesuatu. Dan yang memiliki sifat maha sempurna seperti itu hanya ada satu, yaitu Allah Swt. Dialah
Tuhan yang sesungguhnya. Sebab tidak ada yang memproklamirkan diri sebagai pencipta alam semesta ini kecuali hanya Allah Swt.

"Seandainya pada keduanya (di langit dan di bumi) ada tuhan-tuhan selain Allah, tentu keduanya telah binasa. Maha suci
Allah yang memiliki ‘Arsy dari apa yang mereka sifatkan” Pemuda bemama Khairul Azzam itu masih menatap ke
arah laut. Matahari masih satu jengkal di atas laut. Sebentar lagi matahari itu akan tenggelam. Warna kuning keemasan
bersepuh kemerahan yang terpancar dati bola matahari menampilkan pemandangan luar biasa indah. Ia jadi ingat
sabda Nabi, ''Sessungguhnya Allah itu indah dan mencintai keindahan."

"Subhanallah..!!" Kembali ia bertasbih dalam hati. Ia terus menikmati detik-detik pergantian siang dan
malam yang indah itu. Cahaya matahari seperti masuk ke dalam laut yang perlahan menjadi gelap. Siang seolah olah
masuk ke dalam perut malam. Matahari hilang tenggelam. Lalu perlahan bulan datang. Subhanallah.. Siapakah yang
mengatur ini semua..? Siapakah yang mampu memasukkan siang ke dalam perut malam..? Seketika azan berkumandang
menjawab pertanyaan itu dengan suara lantang: Allaahu Akbar! Allaahu Akbar! Allah Maha Besar. Allah Maha Besar.
Ya, hanya Allah Yang Maha Besar kekuasaan-Nyalah yang mampu memasukkan siang ke dalam perut malam. Dan
memasukkan malam ke dalam perut siang. "Tidakkah engkau memperhatikan, bahwa Allah memasukkan
malam ke dalam siang dan memasukan siang ke dalam malam dan Dia menundukkan matahari dan bulan, masing-masing beredar
sampai kepada waktu yang ditentukan. Sungguh Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan."
Malam mulai membentangkan jubah hitamnya. Lampu-lampu jalan berpendaran. Alexandria memperlihatkan sihirnya
yang lain. Sihir malamnya yang tak kalah indahnya. Kelap-kelip lampu kota yang mendapat julukan "Sang Pengantin
Laut Mediterania" itu bagai tebaran intan berlian. Khairul Azzam menutup gorden jendela kamarnya. Ia bergegas untuk
shalat di masjid yang jaraknya tak jauh dari hotel. Saat tangannya menyentuh gagang pintu hendak keluar,
telpon di kamarnya berdering. Ia terdiam sesaat. Ia menatap telpon yang sedang berdering itu sesaat dan terus membuka
pintu lalu melangkah keluar. “Kalau dia benar-benar perlu, nanti pasti nelpon lagi setelah shalat. Apa tidak tahu ini saatnya
shalat," lirihnya menuju lift.

Ia membenarkan tindakannya itu dengan berpikir bahwa datangnya azan yang memanggilnya itu lebih dulu dari
datangnya dering telpon itu. Dan ia harus mendahulukan yang datang lebih dulu. Ia harus mengutamakan undangan
yang datang lebih dulu. Apalagi undangan yang datang lebih dulu itu adalah undangan untuk meraih kebahagiaan akhirat.
Padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal.

***

Saat pulang dari masjid, Azzam bertemu Eliana didepan pintu masuk lobby hotel. Melihat Azzam wajah Eliana tampak riang.
"Hei ke mana saja..? Aku sudah mencari Mas Khairul ke mana-mana..? Sudah dua puluh tujuh kali aku ngebel ke kamar
Mas Khairul! Ada hal penting! Ayo kita bicara di lobby saja!" Eliana nerocos tanpa memberi kesempatan menjawab. Gadis
berpostur tubuh indah itu berbalut kaos lengan panjang ketat berwarna merah muda dan celana jeans putih ketat. Balutan
khas gadis-gadis aristokrat Eropa itu membuatnya tampak langsing, padat, dan berisi. Parfumnya menebarkan aroma
bunga-bungaan segar dan sedikit aroma apel. Wajahnya yang putih dengan mata yang bulat jernih memancarkan pesona
yang mampu menghangatkan aliran darah setiap pemuda yang menatapnya.
Azzam masih berdiri di tempatnya. Entah kenapa begitu ia mencium parfum yang dipakai Putri Pak Dubes itu ia merasakan
nafasnya sedikit sesak, jantungnya berdegup lebih kencang, dan ada sesuatu yang tiba-tiba datang begitu saja mengaliri
tubuhnya.
"Lho kok diam saja, ayo Mas, kita bicarakan di lobby! Ini penting!" Eliana kembali mengajak Azzam masuk ke lobby
hotel. Azzam tergagap. Ia mengangguk. Dan mau tidak mau Azzam mengikutinya. Sebab ia berada di Alexandria karena
kontrak kerja dengannya.

"Mbak Eliana sudah shalat..?" tanya Azzam pelan. Ia mencoba menguasai dirinya, yang sesaat sempat oleng. Ia memanggilnya
'Mbak', meskipun ia tahu Eliana lebih muda tiga tahun dari dirinya. Tak lain, hal itu karena rasa hormatnya
pada gadis itu sebagai Putri Pak Duta Besar. "Ah shalat itu gampang! Yang penting itu. Ada tugas
penting untuk Mas Khairul malam ini. Tugas terakhir. Aku janji!" sahut Eliana nyerocos tanpa rasa dosa karena menggampangkan
shalat.
“Tu... tugas..?"
“Ya."
"Untuk saya..?"
"Ya, untuk siapa lagi kalau bukan untuk Mas Khairul..?"
"Tugas dari siapa..?"
"Ya dariku."
"Dari Mbak..?"
"Iya."
Azzam menghirup nafas. Detak jantungnya sudah normal. Ia sudah menguasai dirinya sepenuhnya. Dengan
mimik serius ia berkata, "Sebentar Mbak, bukankah tugas saya sudah selesai tadi
sore Mbak..? Dengan berakhirnya acara Pekan Promosi Wisata tadi sore berarti tugas saya kan sudah selesai. Dalam kesepakatan
yang kita buat, saya bertugas membuat dan menjaga Nasi Timlo Solo selama enam hari. Dari jam sepuluh pagi
sampai jam empat sore. Menunggu stand enam jam setiap hari. Berarti tugas saya sudah selesai dong. Jika ada tugas lagi
ini jelas di luar kesepakatan. Jelas saya tidak bisa menerimanya Mbak, maaf! Apa hubungannya Mbak dengan saya
sehingga dengan seenaknya Mbak memberi tugas kepada saya..? Apa saya bawahan Mbak..? Maaf saya tidak bisa Mbak!"

Meskipun ia di kalangan mahasiswa Cairo dikenal sebagai penjual tempe, ia tidak mau diperlakukan seenaknya. Ia
sangat sensitif terhadap hal-hal yang terasa melecehkan harga diriya. Memberi perintah seenaknya kepadanya adalah bentuk
dari penjajahan atas harga dirinya. Azzam adalah orang yang sangat menghargai kemerdekaannya sebagai manusia yang
hanya mengham-ba kepada Allah Swt. Eliana yang pernah sekian tahun tinggal di Prancis
agaknya langsung menyadari kekhilafannya. Ia buru buru meralat ucapannya dan meminta maaf.
"Maafkan aku Mas Khairul. Mas benar. Sesuai dengan kesepakatan kontrak kita, tugas Mas sudah selesai. Tetapi ini
ada masalah penting yang sedang aku hadapi. Dan aku rasa yang bisa membantu adalah Mas. Baiklah, ini di luar kontrak.
Ini antara aku dan Mas sebagai sahabat. Ya sebagai sahabat yang harus saling tolong menolong. Saling bantu membantu.
"Begini, acara makan malam nanti jam delapan di Pantai El Muntazah. Aku sudah pesan menunya ke Omar Khayyam
Restaurant. Masalahnya, dalam acara makan malam nanti secara mengejutkan kita kedatangan Bapak Duta Besar
Indonesia untuk Turki yang datang tadi siang. Beliau teman kuliah ayahku di FISIPOL UGM dulu. Ayah ingin menyuguhkan
menu istimewa untuk-nya. Menu yang mengingatkan akan kenangan masa lalu. Menu itu adalah nasi panas dengan
lauk ikan bakar dan sambal pedas khas Jogja. Ayah dulu sering makan menu itu bareng beliau di Pantai Parangtritis.
Sebelum Maghrib tadi ayah memintaku untuk menyiapkan menu ini. Aku pusing tujuh keliling. Yang jelas aku sudah
memerintahkan Pak Ali, sopir KBRI itu untuk menca ri ikan yang segar. Ikan apa saja yang penting layak dibakar. Pak Ali
membeli enam kilo dan sekarang sudah ada di dalam kulkas di kamamya. Dan aku datang menjumpai Mas untuk minta tolong
kepada Mas menyiapkan ikan bakar itu. Mas Insinyur, tolong ya..? Please, ya..?" Kata Eliana dengan nada memelas.

Azzam diam saja. Sesaat lamanya dia diam tidak menjawab apa-apa.
"Sungguh Mas, tolong aku ya. Please tolonglah. Aku janji nanti Mas akan aku kasih hadiah spesial. Please tolong aku. Ini
masalah kredibilitasku dihadapan ayahku. Kalau ngurusi ikan bakar saja aku tidak bisa, beliau akan susah percaya pada
kredibilitasku mengorganisir sesuatu yang lebih penting. Tolong aku, Mas, please. Aku tahu ini waktunya sangat mepet.
Tapi aku yakin Mas bisa. Ayolah please ya..?" Eliana meminta dengan nada memelas sambil menangkupkan
kedua tangannya di depan hidungnya. Gadis itu benar-benar memelas di hadapan Azzam. Melihat wajah
memelas di hadapannya Azzam luluh. Sosok yang sangat tersinggung jika harga dirinya direndahkan itu adalah juga
sosok yang paling mudah tersentuh hatinya. "Baiklah akan saya bantu sebisa saya. Tapi sebelum
membantu Mbak Eliana, saya ingin hak saya atas apa yang sudah saya kerjakan selama enam hari di sini dibayar.” Jawab
Azzam tenang.
"Sekarang..?"
"Ya, sekarang."
"Apa Mas Khairul tidak percaya padaku..?"
“Siapa yang tidak percaya? Saya hanya menuntut hak saya.”
“Baiklah.” Eliana mengeluarkan dompet dari celana jeannya. Lalu mengeluarkan lembaran dolar pada Azzam.
"Ini tiga ratus dollar. Seperti kesepakatan kita satu harinya lima puluh dollar."
"Terima kasih." Azzam menerima uang itu sambil tersenyum. "Nanti kuitansinya menyusul ya. Nah, sekarang bisa
membantu saya..?"

"Baiklah, sekarang masalah bantu membantu. Bukan bisnis. Saya ingin murni membantu, jadi saya tidak akan mengharapkan
apapun dari Mbak." "Tapi aku tadi sudah bilang akan memberi hadiah spesial."
"Itu tak penting. Karena waktunya sudah mepet yang paling penting saat ini adalah mencari bumbu untuk ikan
bakar itu dan untuk sambalnya. Bumbu yang masih tersisa dari Nasi Timlo tidak mencukupi. Di tempat saya juga sudah
tidak ada lombok satu bijipun." Jawab Azzam. "Kalau begitu sekarang juga kita berangkat mencari apa
yang Mas butuhkan. Sebentar aku panggil Pak Ali dulu, ia lebih paham seluk beluk Alexandria." Sahut Eliana bersemangat.
Gadis itu langsung menghubungi Pak Ali dengan telpon genggamnya.
"Kita diminta ke depan. Kebetulan Pak Ali sudah ada di mobil. Memang tadi saya berpesan akan pergi setelah shalat
Maghrib. Ayo kita berangkat!" Kata Eliana usai menelpon. "Sebentar. Apa tidak sebaiknya Mbak shalat Maghrib
dulu kalau belum shalat..?" “Aduh, shalat lagi, shalat lagi. Shalat itu gampang!"
"Lho jangan meremehkan shalat dong Mbak. Kalau bak belum shalat mending Mbak shalat saja. Biar saya dan Pak Ali
saja yang belanja." "Tidak, saya harus ikut. Tidak tenang rasanya kalau saya
tidak ikut. Tentang shalat yang Mas Khairul ributkan itu tenang saja Mas. Aku memang sedang tidak shalat. Kalau shalat
malah dosa. Tahu sendiri kan perempuan ada saat-saat dia tidak boleh shalat. Ayo kita berangkat. Kita harus cepat, waktunya
sempit!" "Kalau begitu ayo." Azzam bangkit.

Mereka berdua berjalan tergesa ke luar hotel. Tepat di depan pintu hotel Pak Ali telah menunggu dengan mobil
BMW hitam. Petugas hotel membukakan pintu mobil. Azzam duduk di depan, di samping Pak Ali dan Eliana duduk di bangku
belakang. Eliana memberi instruksi kepada Pak Ali agar membawa ke kedai penjual bumbu secepat mungkm. Pak Ali langsung
tancap gas melintas di atas El Ghaish Street menuju ke arah pusat perbelanjaan di kawasan El Manshiya. Azzam
menikmati perjalanan itu dengan hati nyaman dan bahagia. Meskipun sebenarnya ia sangat lelah, namun rasa bahagia itu
mampu mengatasi rasa lelahnya. Entah kenapa ia merasa malam itu terasa begitu indah. Berjalan di sepanjang jalan
utama Kota Alexandria dengan mobil mewah bersama seorang Putri Duta Besar yang pualam. Ia merasa kebahagiaan itu
akan sempurna jika mobil BMW itu adalah miliknya, ia sendiri yang mengendarainya dan Eliana duduk di sampingnya
sebagai isterinya dengan busana Muslimah yang anggun
mempesona. "Hayo, Mas Insinyur melamun ya..?" Suara Eliana mengagetkan lamunannya.
"E ti. . tidak! Saya hanya takjub dengan suasana malam kota ini. Dan saya bertanya kapan bisa memiliki mobil
semewah ini, dan mengendarainya bersama isteri di kota ini..?" Jawab Azzam sedikit gugup.
"Wah impian Mas Insinyur tinggi juga ya..? Saya yakin jarang ada orang yang bermimpi seperti Mas. Anak muda
Indonesia yang punya impian mengendarai mobil BMW saya rasa tidak banyak. Apalagi yang bermimpi mengendarainya
bersama isterinya di kota ini. Jangankan bermimpi seperti itu, BWM saja mungkin ada yang belum tahu apa itu dan ada
yang belum pernah lihat bentuknya. Lha bagaimana bisa bermimpi..? Bahkan, mungkin di antara anak muda Indonesia,
terutama di daerah terbelakang masih ada yang beranggapan bahwa BMW itu merk sepeda, sejenis dengan BMX."
Azzam tersenyum mendengar komentar Eliana. Komentar yang baginya terasa memandang rendah anak muda Indo-

nesia. Tapi dulu saat ia masih di Madrasah Aliyah dan mengadakan camping dakwah di ujung tenggara Wonogiri, ia bertemu
dengan jenis anak anak remaja dan anak muda yang masih sangat terbelakang cara berpikirnya. Mereka merasa cukup
dengan hanya lulus SD saja. Bahkan banyak yang tidak lulus SD. Mereka lebih suka mencari kayu bakar di hutan. Atau
menggembalakan kambing di hutan. Mimpi mereka adalah bagaimana dapat kayu bakar yang banyak. Atau kambing
mereka cepat beranak pinak. Itulah mimpi anak-anak muda yang ada dipedalaman daratan pulau Jawa. Ia bayangkan
bagaimana dengan yang berada di tengah hutan Kalimantan dan Papua? Mereka yang berpikiran memakai baju yang layak
saja belum. Yang untuk menjamah mereka saja harus menempuh perjalanan yang sangat sulit. Ia langsung membandingkan
mereka dengan anak muda seperti Eliana yang sudah selesai kuliah di Prancis di usia yang masih belia. Sudah
pernah merasakan tidur di hotel paling mewah di Eropa. Sudah pernah debat dengan Sekjen Liga Arab dengan bahasa
Inggris yang fasih. Alangkah jauh bedanya. "Ya, yang kau katakan mungkin ada benarnya. Memang
tidak banyak dari mereka yang memiliki impian tinggi." Komentarnya ringan. Dalam hati Azzam menambah, "Apalagi
yang bermimpi bisa menyunting Putri Dubes yang sekuler seperti dirimu dan bisa menjadikannya Muslimah yang baik
pastilah sangat sangat sedikit jumlahnya." "Karena pemudanya tidak banyak yang punya impian
tinggi dan besar itulah, maka Indonesia tidak maju-maju. Kalau yang kau impikan selama ini apa Mas..? Bukan yang tadi
lho. Yang selama ini kau impikan." Tanya Eliana. "Kira-kira apa, coba, kau bisa tebak tidak..?" Sahut Azzam.
"Mm... mungkin mendirikan pesantren." “Salah.”
“Terus apa..?" Jadi orang paling kaya di pulau Jawa he he he..."

"Wow...gila! It's great dream, man! Tak kuduga Mas Khairul punya impian segede itu. Impian yang aku sendiri pun
tidak menjangkaunya. Gila! Boleh... Boleh! Kali ini aku boleh salut pada Mas Khairul."
BMW itu terus melaju dengan tenang dan elegan. Beberapa menit kemudian mobil itu berhenti di depan kedai penjual
bumbu-bumbu di El Hurriya Street. Dengan cepat dan cermat Azzam membeli bumbu. Azzam tidak lupa mengajak ke kedai
penjual sayur-mayur. "Untung saya ingat, ikan bakar itu harus ada lalapannya."
Kata Azzam pada Eliana. Ia bergegas masuk ke kedai penjual sayur mayur dan membeli ketimun, kubis, dan tomat untuk
dibuat lalapan. Setelah itu mereka meluncur kembali ke hotel dengan perasaan lega. Dan yang paling lega tentu saja Eliana.
Jika bahan baku telah didapat, bumbu telah didapat, dan koki yang akan menggarap bisa diandalkan, apakah tidak layak
baginya untuk merasa lega. Dalam perialanan ke hotel, Pak Ali memilih menelusuri
El Hurriya Street. Terus ke arah timur laut. Mereka melewati Konsulat Amerika Serikat. Terus melaju tenang. Sampai di
kawasan Ibrahimiya sebelum Sporting Club belok kiri. Lalu belok kanan melaju di El Amir Ibrahim Street. Dari dalam
mobil, Azzam melihat trem listrik yang penuh penumpang. Kereta itu melaju ke arah El Manshiya. Gadis-gadis Mesir
tampak berdiri di dalam trem. Tangan kanan mereka menggenggam erat pegangan seperti gelang, sedangkan tangan kiri
mereka memegang buku. “Sepertinya gadis-gadis itu baru pulang dari kampus ya."
Eliana kembali membuka suara. Eliana seperti tahu apa yang
diperhatikan Azzam.
"Iya." Pelan Azzam.
“Gadis Mesir itu cantik-cantik ya. Langsing langsing."
"Iya."

"Tapi saya lihat kalau sudah jadi ibu-ibu kok gemuk gemuk sekali ya..?"
“Iya. Setahu saya memang adat di Mesir itu seorang suami malu kalau isterinya tidak gemuk. Malu dianggap tidak
bisa memberi makan dan tidak bisa mensejah-terakan isterinya." "Aneh. Apa sejahtera itu berarti harus gemuk..?"
"Tidak juga. Ada juga kan orang merana, orang stres malah gemuk. Tapi masyarakat Mesir modern agaknya sudah
mulai meninggalkan adat itu. Kita juga mudah menemui ibuibu Mesir yang tetap langsing."
“Ngomong-ngomong apa Mas Insinyur punya impian menikah dengan gadis Mesir..?"
"Menikah dengan gadis Mesir..?" Spontan Azzam mengulang pertanyaan Eliana.
"Iya. Pernah terbersit dalam hati..?”
"Pernah."
"Punya kenalan gadis Mesir..?"
“Punya."
“Cantik..?”
“Pasti.”
"Wow. Tak kusangka. Mas Insinyur ternyata benar-benar pemuda berselera tinggi. Eh Mas, jujur ya, kalau gadis
seperti diriku ini menurut Mas cantik tidak..?" Muka Azzam memerah mendengar pertanyaan itu. Seandainya
ada cahaya yang terang pasti perubahan wajahnya akan tampak. Namun keadaan malam itu menutupi perubahan wajahnya.
Ia sama sekali tidak menduga akan mendapat pertanyaan seperti itu. Tiba tiba rasa tinggi hatinya muncul. Ia
tidak mau mengakui begitu saja kecantikan Putri Duta Besar itu. Ia tidak mau menyanjungnya sebagaimana orang-orang
banyak menyanjungnya.

"Kok diam Mas..? Bagaimana Mas, orang seperti aku ini menurut Mas cantik tidak..?" Eliana kembali mengulang pertanyaannya.
"Bilang aja cantik! Gitu aja kok mikir!" Sahut Pak, Ali sambil terus berkonsentrasi menjalankan mobil ke arah El
Ghaish Street. Sebentar lagi mereka sampai. “Jangan dipengaruhi Pak. Biar dia jujur menilainya. Cantik
tidak..?" Tanya Eliana ketiga kalinya. “Tidak! " Jawab Azzam sambil tersenyum. Azzam lalu
memandang bulan purnama yang bersinar terang di atas laut. Purnama itu seolah tersenyum dan bertasbih bersama bintang-
bintang dan angin malam. Azzam tak mau tahu apa perasaan Eliana saat itu, yang penting ia merasa menang.
"Ah. Kau tidak jujur itu Mas! Ayo jujur sajalah!" Protes Pak Ali dengan suara agak keras.
Azzam hanya tersenyum. Dan diam. Cukup dengan diam ia sudah menang. Dan Eliana pun diam. Ia belum menemukan
kata-kata yang tepat untuk bicara. Maka ia memilih diam. Sesaat lamanya Azzam dan Eliana saling diam. Mobil terus bergerak
ke depan. Tak terasa mereka sudah sampai di halaman Hotel El Haram.

TEKAD BERAJUT DOA

Acara makan malam itu berlangsung di sebuah taman yang terletak di garis Pantai El Muntazah. Sebuah pantai
yang terkenal keindahannya di Alexandria. Azzam sama sekali tidak bisa menikmati acara itu, sebab ia sibuk mempersiapkan
ikan bakar permintaan khusus Bapak Duta Besar, ayah Eliana. Azzam yang ingin istirahat di malam terakhir merasa tidak
bisa istirahat. Ia yang sedikit ingin merasakan nuansa romantis di El Muntazah yang sangat terkenal itu sama sekali tidak
bisa merasakannya. Azzam membakar semua ikan yang dibeli Pak Ali. Ia meracik
bumbu sedetil mungkin. Ia minta Pak Ali membantunya mengipasi arang agar terjaga baranya, sementara ia membuat
sambalnya. Akhirya ia bisa menghidangkan ikan bakar keinginan itu ke hadapan dua orang Duta Besar, yaitu ayah

Eliana, Duta Besar Indonesia untuk Mesir dan kawannya Duta Besar Indonesia untuk Turki. Dua Duta Besar itu duduk
di tempat terpisah dari staf KBRI yang lain. Mereka memang ingin bernostalgia berdua saja. Di hadapan mereka ada satu
nampan berisi nasi panas yang masih mengepulkan asap. Nampan berisi ikan bakar. Dua piring kecil berisi sambal. Dua
piring agak besar berisi lalapan. Lalu dua mangkok berisi air untuk cuci tangan. Dan dua piring besar yang masih kosong.
Azzam mempersilakan keduanya untuk menikmati hidangan itu. "Terima kasih Mas ya." Kata Pak Alam, ayah Eliana pada
Azzam. Azzam tersenyum dan mengangguk dengan ramah sambil sekali lagi mempersilakan untuk menyantap. Ia lalu minta diri.
"Hidangan ikan bakar ini untuk mengingatkan masamasa kita belajar di Jogja dulu. Meskipun kita ada di Alexandria,
tapi ini saya siapkan ikan bakar seperti yang kita rasakan di Parangtritis dulu." Kata Pak Alam.
"Wah sungguh tidak rugi aku berkunjung ke Mesir menjenguk teman lama. Sungguh, aku merasa sangat terhormat
menerima surprise ini." Sahut Pak Juneidi dengan senyum mengembang.
"Ayo langsung saja Pak Jun. Mencium baunya sudah tidak sabar rasanya perut ini. Ayo kita pulu'an pakai tangan
saja rasanya lebih nikmat." Kata Pak Alam sambil mengambil satu piring yang kosong dan mengisinya dengan nasi. Lalu ia
mencuci tangan kanannya ke dalam mangkok berisi air dan jeruk nipis.
“Ya benar Pak Alam. Pulu'an dengan tangan memang lebih nikmat." Tukas Pak Juneidi seraya melakukan hal yang sama.
Dua Duta Besar itu langsung asyik bernostalgia sambil menikmati ikan bakar buatan Azzam. Dari jauh Azzam melihat
dengan mata puas. Ia lalu duduk melihat sekeliling. Di sisi yang lain tak jauh dari dua Duta Besar itu staf KBRI sedang

berpesta bersama beberapa orang mahasiswa dan rombongan Penari Saman yang didatangkan dari Aceh. Ia melihat Eliana
ada di tengah tengah mereka. Eliana duduk berbincangbincang dengan seseorang yang sangat ia kenal. Orang yang
berbincang dengan Eliana adalah Furqan. Teman satu pesawat saat datang ke Mesir dulu. Ada sedikit bara memercik
dalam dadanya, namun ia redam segera. Ia merasa tidak pada tempatnya ia merasa cemburu. Eliana itu siapa..?
Bukan siapa-siapanya. Melihat Furqan yang selalu dalam posisi begitu terhormat,
Azzam tidak bisa membohongi dirinya sendiri. Bahwa ada rasa iri. Iri ingin seperti dia. Rasa itu begitu halus masuk
ke dalam hatinya. Dulu ia dan Furqan satu pesawat. Lalu selama satu tahun satu rumah. Tahun pertama di Mesir ia naik
tingkat dengan nilai lebih baik dari anak konglomerat Jakarta itu. Bahkan Furqan sering bertanya padanya tentang kosa
kata bahasa Arab yang musykil saat membaca diktat. Tapi kini, teman lamanya sudah hampir selesai S.2-nya di Cairo
University. Dan ia sendiri S.1 saja masih juga belum lulus-lulus, apalagi S.2. Furqan lebih dikenal sebagai intelektual
muda yang sering diminta menjadi nara sumber di berbagai kelompok kajian, sedangkan dirinya lebih dikenal sebagai
penjual tempe, pembuat bakso dan tukang masak serba bisa, namun tidak juga lulus ujian.
Azzam menghela nafas panjang. Ia lalu berdiri mencaricari Pak Ali. Ia menengok ke kanan dan ke kiri mengedarkan
pandangannya ke segala arah. Namun tak juga ia temukan Pak Ali. Ia sendirian. Hendak bergabung dengan staf KBRI itu
rasanya canggung. Mereka sudah memulai acara dua puluh menit yang lalu. Ia memutuskan untuk menikmati kesendiriannya
itu. Untung ia tadi sempat mengambil sepiring nasi dan satu ikan untuk dicicipi. Dan sambil duduk Azzam mulai
menyantap ikan bakar itu. Perutnya sudah sangat lapar. Ia makan dengan lahap sendirian, sambil menatap bulan dan
bintang bintang. Tiba-tiba ia teringat ibu dan ketiga adiknya di Indonesia.

"Mereka pasti sedang tidur nyenyak di sana. Ibu mungkin sedang berdoa dalam shalat malamnya." Lirihnya pada diri
sendiri sambil membayangkan wajah ibunya dalam balutan mukena putih dengan mata berkaca-kaca. Ada keharuan yang
tiba-tiba menyusup begitu saja ke dalarn dadanya. Kalaulah ia harus jujur, maka impiannya yang paling
tulus adalah segera pulang ke Tanah Air bertemu dengan ibu dan adik-adiknya. Tak ada impian yang lebih kuat dalam
jiwanya melebihi itu. Namun akal sehatnya selalu menahan agar impiannya itu tidak sampai meledak dan melemahkannya.
Adalah wajar bagi seseorang yang sudah bertahun-tahun tidak bertemu keluarganya dan mengharap bertemu keluarganya.
Namun jika dengan sedikit kesabaran pertemuan itu akan menjadi lebih bermakna kenapa tidak sedikit bersabar. Ia bisa
saja mengusahakan pulang. Tapi kuliahnya belum tuntas dan adik-adiknya masih memerlukan dirinya untuk bekerja keras.
Ia tidak ingin menyerah pada kerinduan yang menjadi penghalang kesuksesan. Ia ingin adik-adiknya sukses, dirinya sukses.
Semua sukses. Gambaran masa depan jelas. Baru ia akan pulang. "Mas Khairul, pulang yuk!"
Suara itu mengagetkannya. Ia menengok ke asal suara.
Pak Ali telah berdiri di samping kanannya. "Dari mana saja Pak Ali..? Saya cari-cari dari tadi." Sapanya.
"Aduh Mas, perutku sakit. Aku habis dari toilet. Yuk kita pulang ke hotel yuk. Kayaknya aku harus segera istirahat nih."
"Lha Pak Ali tidak menunggu Pak Dubes. Nanti kalau Pak Dubes mencari bagaimana..? Terus kalau saya pulang yang
membereskan barang-barang siapa..?" “Tenang. Aku sudah tidak ada tugas malam ini. Pak
Dubes nanti biar disopiri Pak Amrun. Terus barang barang biar diurus sama Mbak Eliana. Aku sudah bicara dengan
Mbak Eliana. Katanya kita pulang tak apa-apa. Apalagi sebagian mereka mau begadang sampai pagi.

Termasuk Pak Dubes dan kawannya dari Turki.” “Baik kalau begitu. Saya juga sudah letih. Terus kita
pulang pakai apa Pak Ali..?" "Gampang. Yang penting sama Pak Ali beres deh. Kita
pulang pakai taksi biar aku yang bayar." "Ya sudah kalau begitu. Ayo."
Dua orang itu bergegas ke luar ke jalan lalu meluncur ke hotel dengan taksi. Dalam perjalanan ke hotel Azzam lebih
banyak diam. Ia hanya bicara jika Pak Ali bertanya. Azzam masih terbayang-bayang oleh wajah ibu dan adik-adiknya.
"Kalau boleh tahu berapa umurmu Mas Khairul..?" "Dua puluh delapan Pak."
"Kalau aku perhatikan, gurat wajahmu lebih tua sedikit dari umurmu. Kayaknya kau memikul sebuah beban yang
lumayan berat. Aku perhatikan kau lebih banyak bekerja daripada belajar di Mesir ini. Boleh aku tahu tentang hal ini..?"
"Ah Pak Ali terlalu perhatian pada saya. Saya memang harus bekerja keras Pak. Bagi saya ini bukan beban. Saya tidak
merasakannya sebagai beban. Meskipun orang lain mungkin melihatnya sebagai beban. Saya memang harus bekerja untuk
menghidupi adik adik saya di Indonesia. Ayah saya wafat saat saya baru satu tahun kuliah di Mesir. Saya punya tiga adik.
Semuanya perempuan. Saya tidak ingin pulang dan putus kuliah di tengah jalan. Maka satu-satunya jalan adalah saya
harus bekerja keras di sini. Jadi itulah kenapa saya sampai jualan tempe, jualan bakso, dan membuka jasa katering."
Pak Ali mengangguk-angguk sambil membetulkan letak kaca matanya mendengar penuturan Azzam. Ada rasa kagum
yang hadir begitu saja dalam hatinya. Anak muda yang kelihatannya tidak begitu berprestasi itu sesungguhnya memiliki
prestasi yang jarang dimiliki anak muda seusianya.

"Aku sama sekali tak menyangka bahwa kau menghidupi adik-adikmu di Indonesia. Aku sangat salut dan hormat padamu
Mas. Sungguh. Ketika banyak mahasiswa yang sangat manja dan menggantungkan kiriman orangtua, kau justru
sebaliknya. Teruslah bekerja keras Mas. Aku yakin engkau kelak akan meraih kejayaan dan kegemilangan. Teruslah bekerja
keras Mas, setahu saya yang membedakan orang yang berhasil dengan yang tidak berhasil adalah kerja keras. Dan nanti
kalau kau sudah sukses jagalah kesuksesan itu. Setahu saya, dari membaca biografi orang-orang sukses, ternyata hal paling
berat tentang sukses adalah menjaga diri yang telah sukses agar tetap sukses."
"Terima kasih Pak Ali. Tapi saya minta Pak Ali tidak menceritakan apa yang barusan saya ceritakan pada Pak Ali
kepada orang lain. Saya tidak mau itu jadi konsumsi banyak orang. Biarlah masyarakat Indonesia di Cairo tahunya saya
adalah mahasiswa Al Azhar yang tidak lulus-lulus karena lebih senang bisnis tempe, bakso dan katering. Itu bagi saya
sudah cukup membuat nyaman. Janji Pak ya..?"
"Ya, saya janji."

Tak terasa taksi sudah sampai di depan hotel. Azzam turun. Pak Ali membayar ongkos taksi lalu menyusul turun.
“Perutnya masih sakit Pak..?" "Ya. Masih terasa. Aku rasa aku harus segera ke toilet. O
ya Mas Khairul, kau langsung ingin istirahat..?" "Iya Pak, saya merasa letih banget."
“Baiklah. O ya, bagaimana kalau besok habis shalat subuh kita ngobrol-ngobrol sambil jalan-jalan di sepanjang pantai.
Semoga saja sakit perutku sudah sembuh." "Wah dengan senang hati Pak."
"Kalau begitu nanti kalau kau mau shalat subuh aku dibel ya. Kita subuhan di masjid bersama. Dari masjid kita langsung
jalan jalan. Aku akan memberimu cerita yang indah. Kau pasti senang mendengarnya."

"Baik Pak. Man Pak, assalamu 'alaikum." Kata Azzam. "Wa'alaikumussalam. Sampai ketemu besok." Jawab
Azzam bergegas menuju lift, sementara Pak Ali menuju toilet. Hotel itu masih ramai. Beberapa orang masih asyik
ngobrol di lobby hotel. Dua orang lelaki kulit putih tampak sedang serius berbicara dengan orang Arab berjubah putih.
Dari caranya memakai kafayeh tampak-nya ia orang teluk. Lourantos Restaurant yang terletak tak jauh dari lobby juga
ramai dengan pengunjung. Sampai di kamar Azzam langsung merebahkan badannya.
Ia tinggal menunggu mata terpejam. Telpon di kamarnya berdering. Ia sangat tidak menginginkan telpon itu. Ia paksakan
untuk bangkit dan mengangkat-nya. Dari Eliana. “Hei Mas Insinyur, kok sudah pulang sih..?" Suara dari gagang telpon.
"Iya, diajak Pak Ali yang sakit perut. Saya juga sudah letih.” “Seharusnya kalau mau pulang bilang-bilang dong. Terima
kasih ya, ikan bakarnya mantap. Pak Juneidi puas banget. O ya sebetulnya aku mau kasih hadiah spesialnya lho. Tapi
Mas Insinyur keburu pulang sih..?"
"Hadiahnya apa..?"
"Mau tahu..?"
“Iya."
"Ciuman spesial dariku."
“Apa..? Ciuman spesial?"
"Yes."
"Ciuman spesialnya Mbak Eliana itu ciuman yang
bagaimana..?"
"French kiss, ciuman khas Prancis."

"Mbak mau menghadiahi aku ciuman khas Prancis? Ah yang benar saja..?"
"Benar, sungguh! Tapi Mas Khairul keburu pulang sih. Jadi sorry dech ya."
"Ah Mbak jangan menggoda orang miskin dong." "Saya tidak menggoda, serius. Saya sungguh sungguh
mau memberi Mas Khairul ciuman itu tadi, sayang Mas keburu pulang.”
“Alhamdulillah. Untung saya keburu pulang." "Lho kok malah merasa untung."
“Iya soalnya jika dapat ciuman khas Prancis dari Mbak, bagi saya bukanlah jadi hadiah, tapi jadi musibah!’
"Jadi musibah..?”
“Iya.”
"Dapat French kiss dariku bagimu jadi musibah..?"
"Iya."
"Serius..? Nggak bercanda kan..?"
"Serius! Sangat serius!"
"Bisa dijelaskan kenapa jadi musibah..?"
"Penjelasannya panjang, besok saja! Yang jelas perlu Mbak ingat baik-baik saya bukan orang bule!
Sudah ya, saya harus istirahat. Maaf!" Azzam memutus pembicaraan dan meletakkan gagang
telponnya sambil mendesis kesal,

"Dasar perempuan didikan Prancis tidak tahu adab kesopanan. Sudah tahu aku ini mahasiswa Al Azhar mau disamakan
sama bule saja! Sinting kali!" Telpon di kamarnya berdering lagi. Ia biarkan saja. Tidak
ia sentuh sama sekali. Ia yakin itu telpon dari Eliana yang mungkin sedang emosi atau penasaran. Telpon itu berdering
dering sampai mati. Azzam mengambil air wudhu . Membaca doa. Mengecilkan AC . Dan siap untuk tidur. Telpon di kamarnya
kembali berdering. Ia sedang membaca Ayat Kursi. Sama sekali ia tidak bergeming dari tempat tidumya. Telpon
itu terus berdering sampai akhirnya mati sendiri. Ia tak perlu mengangkatnya, toh jika umur masih panjang besok bisa bertemu
dan berbicara panjang lebar kenapa hadiah ciuman itu baginya adalah musibah.
Sementara di El Muntazah, Eliana tampak gusar dan geram. Berani-beraninya pemuda itu memutus pembicaraan
begitu saja. Dan berani-beraninya ia memandang sebelah mata terhadap dirinya. Pikirnya. Baru kali ini ia tidak dianggap
bahkan diremehkan oleh seorang pemuda. Yang membuatnya geram kali ini yang meremehkannya justru orang yang sama
sekali tidak diperhitungkannya. "Dasar pemuda kampungan kolot! Pemuda konservatif!
Pemuda bahlul bin tolol! Awas nanti ya!" Geramnya. Orang-orang yang memperhatikan tingkah Eliana itu jadi
bertanya-tanya. Ada apa dengan Putri Pak Duta Besar itu..? Siapa pemuda yang dikatakannya kolot itu..? Siapa pemuda
yang diumpatnya itu..?

***

Selesai membaca Ayat Kursi Azzam tidak bisa langsung tidur. Ia merasa ada yang salah hari ini. Yang salah itu adalah
rasa tertariknya pada anak Pak Dubes dan harapannya yang tidak-tidak padanya. Setelah sembilan tahun, baru kali ini hatinya
tertarik pada seorang gadis. Dulu waktu di pesantren, waktu di Madrasah Aliyah ia
pernah merasa suka pada seorang santriwati yang di matanya sangat memesona. Namanya Salwa. Selain Wajahnya yang
menurutnya bagai bidadari suaranya sangat merdu. Santriwati dari Pati itu menjuarai MTQ tingkat Jawa Tengah. Namun ia
hanya bisa memendam rasa sukanya itu dalam hati. Sebab ia tahu, Salwa sudah dipinang oleh putra sulung Pengasuh

Pesantren, Gus Mifdhal. Setelah itu ia tidak mau membuka hatinya lagi.
Yang ia heran, entah kenapa ketika mendengar prestasi-prestasi Putri Pak Dubes itu hatinya merasakan sesuatu yang
lain. Ia mengagumi gadis itu. Dan ketika melihat wajahnya ia semakin kagum. Lalu ketika ia baru sedikit dekat saja sudah
merasakan apa yang dulu ia rasakan terhadap Salwa. Ia harus mengakui ia jatuh cinta pada Eliana dan berharap yang tidaktidak.
Ia sendiri heran, kenapa..? Padahal ini bukan kali pertama ia bertemu dengan gadis
cantik. Ia sering membantu bapak-bapak pejabat KBRI dan sering bertemu dengan anak gadis mereka yang sebenarnya
tidak kalah jelitanya. Tapi ia merasa biasa biasa saja. Ia bahkan pernah umrah dan membimbing jamaah dari Jakarta. Di
antara jamaah itu ada seorang foto model yang masih kuliah di Jakarta. Namanya Vera. Foto model cantik itu kelihatannya
tertarik padanya. Sebab setelah Vera kembali ke Jakarta sering menelpon dirinya dan mengirimnya paket. Namun ia sama
sekali tidak tertarik padanya. Kini Vera sudah jadi bintang sinetron. Dan ia juga tidak minta sedikit pun untuk sekadar
menyapanya. Ia sama sekali tidak tertarik dengan foto model itu karena gaya hidupnya yang ia anggap tidak sejalan dengan
jiwanya. Dan cara berpakaiannya yang menurutnya kurang santun meskipun sudah berulang kali umrah dan naik haji.
Dalam hati ia berkata dengan tegas, "Cantik iya. Tapi kalau tidak bisa menjaga aurat, tidak
memiliki rasa malu, tidak memakai jilbab, tidak mencintai cara hidup yang agamis, berarti bukan gadis yang aku idamkan!"
Standar dia untuk calon isteri minimal adalah Salwa. Dan standar itu tidak pernah ia turunkan. Tapi entah kenapa saat
bertemu Eliana yang cara berpakaian dan cara hidupnya, menurutnya, tidak berbeda dengan Vera hatinya bisa luluh.
Kenapa ia menurunkan standar yang telah bertahun-tahun ia jaga. Bahwa calon isterinya, minimal adalah perempuan yang
berjilbab rapat, bisa membaca Al-Quran dan pernah mengecap kehidupan pesantren.

Dan betapa menyesalnya dirinya begitu menurunkan standar ternyata yang ia dapatkan adalah kehinaan. Akal
sehatnya menggiringnya untuk kecewa pada Eliana. Kecewa karena ia merasa sudah bisa meraba cara hidup Eliana. Ia tidak
bisa membayangkan bagaimana kehidupan Putri Pak Dubes itu saat kuliah di Prancis. Sudah berapa lelaki bule dan tidak
bule yang berciuman bibir dengannya. Dan ia ditawari untuk jadi lelaki ke sekian yang berciuman dengannya. Ini jelas
bertentangan dengan apa yang ia jaga selama ini. Yaitu kesucian. Kesucian jasad, kesucian jiwa, kesucian hati, kesucian
niat, kesucian pikiran, kesucian hidup dan kesucian mati. Entah kenapa tiba-tiba ia merasa berdosa. Ia merasa
berdosa dan jijik pada dirinya sendiri yang begitu rapuh, mudah terperdaya oleh tampilan luar yang menipu. Ia jijik
pada dirinya sendiri yang ia rasa terlalu cair pada lawan jenis yang belum halal baginya. Ia heran sendiri kenapa jati dirinya
seolah pudar saat berhadapan atau berdekatan dengan Eliana. Apakah telah sedemikian lemah imannya sehingga kecantikan
jasadi telah sedemikian mudah menyihir dirinya. Ia beristighfar dalam hatinya. Berkali-kali ia meminta ampun pada
Dzat yang menguasai hatinya. Azzam meratapi kekhilafannya dan memarahi dirinya
sendiri. Dalam hati ia bersumpah akan lebih menjaga diri, dan hal yang menistakan seperti itu tidak boleh terjadi lagi. Ia juga
bersumpah untuk segera menemukan orang yang tidak kalah hebatnya dengan Eliana, tapi berjilbab rapat, salehah, bisa
berbahasa Arab dan berbahasa Inggeris dengan fasih. Kalau terpaksa gadis itu harus orang Mesir tak apa. Yang jelas rasa
terhinanya harus ia sirnakan. Ia harus menemukan kembali kehormatannya sebagai
seorang Azzam yang memiliki harga diri. Meskipun masyarakat Indonesia di Mesir mengenalnya hanya sebagai tukang
masak atau penjual tempe, tapi harga diri dan kesucian diri tidak boleh diremehkan oleh siapapun juga. Ia yakin akan
mendapatkan isteri yang lebih jelita dari Eliana, dan lebih baik darinya. Ia yakin. Itu tekadnya. Ia ulang-ulang tekad itu dalam
hatinya. Ia rajut dengan doa. Ia bawa tekad itu ke dalam tidurnya. Ke dalam mimpinya. Dan ke dalam alam bawah sadarnya.

BIDADARI DARI DAARUL QURAN

Azzam bangun dua puluh menit sebelum adzan Subuh berkumandang. Ia masih punya kesempatan buang hajat dan
sikat gigi. Setelah itu ia mengambil air wudhu. Ia teringat belum shalat Witir. Ia sempatkan untuk Witir tiga rakaat.
Selesai shalat ia sempatkan untuk nyebut-nyebut ibu dan adikadiknya dalam munajat. Adzan Subuh berkumandang. Ia bangkit
membuka gorden kamarnya. Jalan utama Kota Alexandria masih lengang. Hanya satu dua mobil yang berjalan. Kabut
tipis tampak rata menyelimuti gedung gedung. Kaca jendela sedikit mengembun. Udara di luar berarti dingin. Alexandria
memang sedang memasuki peralihan musim. Peralihan dari musim dingin ke musim semi. Sisa-sisa
musim dingin masih terasa. Saat Subuh tiba udara masih menyengatkan hawa dinginnya. Dalam kondisi seperti itu
melingkarkan tubuh di tempat tidur dengan kehangatan selimut tebal terasa sangat nyaman. Lebih nyaman daripada
bangkit menuju masjid.
Hayya 'alash shalaah.
Hayya 'alash shalaah.
Hayya 'alal falaah.
Hayya 'alal falaah.
Ash shalaatu khairun minan nauum.
Ash shataatu khairun minan nauum.

Suara azan menggema, memantul dari gedung ke gedung. Menyusup masuk ke rumah-rumah menggugah jiwa jiwa yang
lelap. Suara itu nyaring bagaai burung camar, terbang ke tengah laut. Dan mencumbui laut dengan mesra. Shalat itu lebih
baik dan tidur. Shalat itu lebih baik dari tidur.
Allahu akbar
Allahu akbar.
Laa ilaaha illallah.
Suara suci itu bergerak dengan lembut dan cepat. Menyapa alam. Menyapa pasir-pasir di pantai. Menyapa kerikil-kerikil.
Menyapa aspal. Menyapa pohon-pohon kurma. Menyapa embun-embun.Menyapa ombak yang berdesir. Menyapa gelombang
yang naik turun. Menyapa kabut yang lembut. Menyapa udara. Menyapa, alam semesta. Menyapa apa saja.
Semuanya menjawab. Semuanya shalat. Semuanya menyucikan dan mengagungkan asma Allah. Semuanya bertakbir
kecuali yang tetap tidur. Seolah mengiringi takbir alam di pagi itu, bibir Azzam
bergetar mengucap takbir menjawab azan. Dengan tenang ia melangkahkan kedua kakinya meninggalkan hotel yang masih
lengang. Sampai di masjid ia mendapati Pak Ali yang sedang sujud di shaf depan. Azzam shalat Tahiyatul Masjid.

Lalu shalat Qabliyah Subuh. Sambil menunggu imam berdiri di mihrabnya
ia mengulang-ulang doa Nabi Yunus. Doa yang telah menyelamatkan Nabi Yunus dari kegelapan di perut ikan. Doa
yang mampu menurunkan kasih sayang Tuhan. Doa yang mampu mendatangkan keajaiban-keajaiban. Doa yang nikmat
dilantunkan dan terasa sejuk di hati dan pikiran.
Laa ilaaha illa anta.
Subhanaka inni kuntu minadzdzaalimiin.
Orang-orang Mesir berdatangan.Ada dua puluhan orang. Seorang lelaki separo baya dengan jenggot yang telah memutih
sebagian, maju ke depan. Shalat Subuh didirikan. Sang imam membaca surat An Najm. Azzam larut dalam penghayatan.
Orang Mesir yang shalat di samping kanannya menangis sesenggukan. Bacaan sang imam memang menyentuh perasaan.
Apalagi orang Mesir biasanya paham makna ayat-ayat suci Al-Quran yang dibacakan.
Azzam sendiri hanyut dalam keindahan ayat demi ayat yang dibaca sang imam. Hati dan pikirannya terbetot dalam
tadabbur yang dalam. Ia merasakan seolah-olah Tuhan yang menurunkan Al-Quran mengabarkan kepadanya bagaimana
Rasulullah menerima wahyu yang diturunkan. Demi bintang ketika terbenam.
Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru. Dan tiadalah yang ia ucapkan itu (Al-Quran) menurut
kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).
Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat.
Yang mempunyai akal yang cerdas; dan (Jibril) itu menampakkan diri dengan rupa yang asli.

Ia seolah-olah terbetot masuk ke jaman kenabian. Seolah-olah ia ikut serta menyaksikan Rasulullah Saw. menerima
ayat-ayat suci Al-Quran. Seolah-olah ia mendengar suara Jibril mendiktekan Al-Quran, sampai Rasulullah Saw. hafal
tanpa keraguan. Seolah-olah ia mendengar bagaimana Rasulullah Saw. Mengajarkan Al-Quran kepada sahabat sahabatnya
yang selalu haus hikmah dan ilmu pengetahuan. Ayat demi ayat dibaca sang irnam. Orang Mesir di samping
kanannya terus sesenggukan. Pikiran dan hatinya masih larut dalam tadabbur dan penghayatan. Surat An Najm mem -
buatnya merinding ketika menguraikan untuk apa Islam diturunkan. Demi kebahagiaan manusia dan alam semesta Islam
diturunkan. Tuhan menurunkannya dengan segenap cinta dan kasih sayang-Nya. Tak ada sedikit pun Tuhan memiliki keinginan
mengambil keuntungan dari makhluk-Nya. Allah swt yang menggenggam langit dan bumi serta isinya sama sekali tidak
membutuhkan makhluk-makhluk-Nya. Justru makhluk-makhluk-Nyalah yang membutuhkan Allah swt, Tuhan Yang Maha
Kaya dan Maha Penyayang. Allah swt memberi kebebasan seluasluasnya kepada makhluk makhluk-Nya untuk memilih berbuat
baik atau kejahatan. Semua ada balasannya masing-masing. Adil. Tak ada kedzaliman. Setiap orang mengetam apa yang ia tanam.
Dan hanya kepunyaan Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi supaya. Dia memberi balasan kepada orang-orang
yang berbuat jahat terhadap apa yang telah mereka kerjakan.
Dan memberi balasan keepada orang orang yang berbuat baik dengan pahala yang lebih baik.

***

Sambil menyenandungkan zikir pagi Azzam berjalan di atas pasir yang lembut. Ia berjalan di samping Pak Ali. Hari
masih sangat pagi. Pantai Cleopatra masih sepi. Udara berkabut tipis. Desau angin laut yang berhembus terasa membelai
dengan lembut relung-relung jiwa. Kedamaian yang nyaris sempurna. Tiga orang gadis Mesir dengan lari-lari kecil melintasi
mereka berdua. Sambil berlari mereka bercanda bahagia. Tubuh mereka tertutup rapat celana training panjang dan
kaos lengan panjang. Yang dua menutup kepala dengan jilbab Turki. Sedangkan yang satu membiarkan rambutnya tergerai
diterpa angin ke sana kemari. Seorang di antara mereka menengok ke belakang. Sekilas Azzam menatap wajahnya. Putih
bersih khas Mesir. Gadis itu langsung menarik wajahnya dan tertawa sambil terus berlari bersama dua temannya. Meskipun
cuma melihat sekilas gadis Mesir itu tak kalah mepesonanya dibanding Eliana.
"Cantik ya Mas..?" Suara Pak Ali menyadarkan Azzam bahwa ia tidak sedang berjalan sendirian.
"Siapa Pak yang cantik..?" Sahut Azzam.
"Ya gadis Mesir itu, yang menengok dan menatap kamu." "Kalau gadis Mesir ya jangan ditanya lah Pak. Katanya
kalau ada gadis Mesir tiga, maka yang cantik enam." Jawab Azzam santai.
"Kok bisa. Tiga orang kok yang cantik enam."
"Bayangannya juga cantik."
"Wah kau ada-ada saja."
"Saya kan cuma bilang katanya tho Pak. Katanya kan bisa
benar bisa tidak."
"Ngomong-ngomong cantik mana gadis tadi sama anaknya Pak Dubes, Eliana."
Azzam terhenyak, tak mengira akan mendapat pertanyaan seperti itu dari Pak Ali. Entah mengapa ia sebenarnya
sedang tidak ingin berbicara tentang Eliana. Sudah terlalu sering Eliana dijadikan topik pembicaraan di kalangan mahasiswa,
putra maupun putri, juga kalangan masyarakat Indonesia. Baik di dalam KBRI maupun di luar KBRI. Azzam su
dah bosan, apalagi jika teringat kejadian tadi malam. Ia sama sekali sudah tidak tertarik dengan Eliana.
"Apa tidak ada topik lain Pak, selain Eliana? Pagi-pagi begini sudah membahas Eliana. Eliana lagi, Eliana lagi."
Pak Ali tersenyum mendengar jawaban Azzam. "Aku ingin menceritakan hal penting padamu. Untuk kebaikanmu."
"Tentang Eliana..?"
"Bisa dikatakan tentang Eliana bisa juga dikatakan tidak."
"Mendengar nama Eliana saja saya sudah bosan Pak”
"Ah yang benar..?"
"Benar Pak, sungguh."
"Mas, Bapak ini sudah makan asam garam lebih darimu.

Bapak tidak bisa kau bohongi. Jujur saja Bapak sungguh memperhatikanmu empat hari ini. Dan Bapak melihat kamu itu sesungguhnya
sangat mengagumi Putri Pak Dubes itu. Bahkan bapak berani menyimpulkan kamu itu sebenarnya suka sama dia."
"Berarti Bapak salah menganalisis dan salah menyimpulkan!" "Itu tak penting. Yang penting Bapak ingin memberi
saran sama kamu. Ini serius, sebaiknya orang seperti kamu jangan jatuh cinta sama sekali pada Eliana, dan orang seperti
kamu jangan sekali-kali memimpikan isteri model Eliana. Itu saja! " Seketika Azzam menghentikan langkahnya. Karena ada
larangan dalam saran Pak Ali ia menjadi terhenyak penasaran Seperti Nabi Adam ketika dilarang makan buah Khuldi malah
jadi penasaran. Dan begitulah manusia jika mendapat larangan seringkali reaksi yang pertama kali timbul adalah justru
penasaran ingin tahu. Ada apa dilarang..? Kenapa dilarang..? "Memangnya kenapa Pak..?"

Pak Ali tersenyum mendengar pertanyaan yang terlontar dari mulut Azzam.
"Sudah kuduga, pasti pertanyaan itu yang akan langsung keluar. Kau pasti penasaran. Kenapa aku sarankan sebaiknya
jangan memimpikan isteri model Eliana, alasan utamanya adalah agar kau tidak sengsara. Tidak hidup sia-sia. Agar kau
bahagia! Aku melihat kau sama sekali tidak cocok jika punya isteri gadis model Eliana. Ya, dia cantik dan cerdas. Juga kaya.
Anak pejabat. Tapi kebahagiaan rumah tangga tidak cukup hanya dengan memiliki isteri yang cantik, cerdas, kaya dan
terhormat. Tidak. Akhir-akhir ini Eliana memang jadi buah bibir. Termasuk di kalangan mahasiswa Al Azhar. Baik putra
maupun putri. Tidak sedikit yang aku lihat sangat tertarik pada Eliana. Meskipun mereka tahu bagaimana cara berpakaiannya
yang terkadang tak kalah beraninya dengan artis Hollywood. Yang aku heran, bagaimana mungkin ada mahasiswa
Al Azhar tertarik dengan gadis model itu. Mana Quran dan Hadits yang telah kalian pelajari..? Dan aku lihat kamu
sendiri sebenarnya juga terpikat kecantikan Eliana. Aku bisa melihat dan bahasa tubuhmu sorot matamu, dan getar suaramu.
Kau boleh saja mengatakan bosan mendengar namanya. Tapi aku lebih tua darimu."
"Tapi Eliana itu kalau pakai jilbab seperti ketika menjadi M.C. peringatan tahun baru hijriah tampak anggun dan cantik lho Pak..?"
"Lho, bisa bilang begitu kok mengingkari kalau tertarik pada Eliana. Ya, Nicole Kidman kalau pakai jilbab juga cantik.
Eliana juga. Tapi kalau di diskotik tak kalah dengan penari perut. Kau mau punya isteri seperti itu..?"
"Pak jangan membuka aib orang, jangan memfitnah orang dong!" Pak Ali malah tersenyum.
"Kalau aku mengatakan si Tiara, mahasiswi Al Azhar yang biasa mengajar Al-Quran di Masjid SIC itu kalau di
diskotik tak kalah dengan penari perut barulah aku memfitnah dia.

Lha ini, orang Eliana sendiri bangga cerita ke mana-mana. Bahkan ia sudah cerita di website pribadinya. Ayahnya yang
jadi Dubes itu juga bangga. Bahkan pernah meminta putrinya menunjukkan kebolehannya dihadapan diplomat-diplomat
asing. Sampai ada seorang sutradara Mesir yang akan memintanya ikut main film. Kalau kemungkaran itu ditutup-tutupi
saya akan berusaha ikut menutupi. Ini kemungkarannya malah dipropagandakan, dibangga -banggakan. Coba kau renungkan
apakah ketika aku mewanti-wanti anak perempuanku agar tidak mencontoh Nicole Kidman yang sangat bangga tampil
tanpa busana di sebuah pertunjukan teater di Inggris, aku katakan: 'jangan mengagumi orang yang suka bermaksiat terangterangan
itu! ', apakah itu berarti aku memfitnah bintang Hollywood itu..? Padahal berita perbuatan gilanya itu dimuat di
koran koran dan internet di seluruh dunia." "Kok saya tidak pernah tahu hal-hal seperti itu ya Pak..?"
"Sebaiknya memang kamu tidak tahu yang begitu-begitu. Kalau tahu nanti malah gawat, kau tidak jadi bikin tempe.
Tidak juga jadi kuliah. Adik-adikmu di Indonesia bisa kelaparan. Karena pikiranmu ke mana mana. Aku hanya ingin mengingatkan
padamu jangan mudah tertarik pada perempuan cantik. Di akhir jaman itu tidak sedikit perempuan yang cantik
memesona, namun sebenarnya adalah seorang pelacur. Na'udzubillaah!"
"Tapi perempuan cantik yang salehah, benar-benar salehah dan menjaga kesuciannya banyak lho Pak." Pak Ali kembali tersenyum.
"Iya bapak percaya itu. Karena itulah kamu harus benar-benar matang dalam memilih isteri. Jangan asal cantik. Lha
kebetulan Bapak punya cerita tentang gadis yang cantik, salehah,mempesona dan cerdas. Kau mau mendengarkan..? "
"Wah, boleh Pak."
"Kalau begitu ayo kita duduk di sana. Bapak akan cerita panjang lebar." Kata Pak Ali sambil menunjuk pembatas jalan
di pinggir trotoar yang bisa diduduki. Mereka berdua berjalan ke sana.

Alexandria semakin terang. Kabut mulai hilang perlahan-lahan. Pantai mulai ramai. Jalan jalan sudah mulai dipenuhi
kendaraan yang lalu lalang. Di kejauhan tampak Benteng Qaitbey berdiri di ujung tanjung. Gagah dan menawan. Mereka
duduk menghadap laut yang bergelombang tenang. Azzam memandang ke arah kiri, ke arah benteng. Sementara Pak Ali
memandang ke arah kanan. "Lha kalau mereka itu aku yakin wanita-wanita salehah."
Gumam Pak Ali memandang Azzam, mengalihkan pandangan. "Itu mana Pak..?'
"Itu." Tunjuk Pak Ali ke arah rombongan gadis-gadis berjilbab. Dari cara mereka memakai jilbab dan cara mereka
berjalan menunjukkan kalau mereka dari Asia. "Mereka anak-anak Malaysia. Hampir semua yang kuliah di Al Azhar Banat
di sini adalah mahasiswi dari Malaysia. Indonesia boleh dikatakan tidak ada. Semua mahasis-winya ngumpul di Cairo."
Pak Ali menjelaskan panjang lebar seolah Azzam bukan mahasiswa Al Azhar. Azzam diam saja, tanpa dijelaskan pun ia
sudah tahu. Ia sudah sembilan tahun tinggal di Mesir. "Sudahlah Pak, tidak usah membahas mahasiswi Malaysia
itu. Langsung saja pada cerita yang ingin Pak Ali sampaikan tadi. Matahari sudah bersinar terang. Kita belum sarapan."
"Baiklah Mas. Dengarkan baik-baik ya. Ceritanya ada sangkut-pautnya sedikit dengan hidupku."
Pak Ali memandang jauh ke tengah lautan. Ia mengambil nafas lalu melanjutkan,
"Dulu saya anak orang paling kaya di Pedan, Klaten. Saya kuliah di Bandung. Saat kuliah saya kenal dengan gadis asli
Bandung, sebut saja namanya Neneng. Saya tergila-gila pada Neneng. Neneng memang primadona di kampus. Kecantikannya
tak kalah dengan Sri Devi, bintang legendaris India itu. Sampai ia dapat julukan Sri Devi from Bandung. Ia anak seorang
diplomat. Ibunya asli India. Pokoknya cantiknya luar biasa.

"Segala cara aku gunakan untuk mendapatkan dia. Aku yakin bisa mendapatkannya. Aku berkeyakinan kalau aku berusaha
aku pasti bisa. Benar, akhirnya aku bisa menyuntingnya. Saat ayahnya tugas di London, ia minta aku membawanya ke
London. Karena kami sudah keluarga sendiri, ayahnya tidak mau membiayai hidup kami di London. Aku yang harus bertanggung
jawab. Aku yang harus membiayainya. Sebab akulah suaminya.
"Demi cintaku padanya segala yang kumiliki aku korbankan. Harta orangtuaku aku habiskan untuk membiayai hidup
di London. Kau tahu sendirikan, betapa mahal hidup di London. Sekaya-kayanya orang Pedan yang mengandalkan hasil
pertanian mampu kuat berapa lama hidup di London..? Akhirnya harta orangtuaku ludes. Aku sendiri menanggung utang
tidak sedikit. Aku benar benar tidak memiliki apa-apa. Aku hanya bisa kerja part time di sebuat toko swalayan di London.
Gaji kerjaku hanya bisa untuk makan. Yang menyakitkan, isteriku yang cantik itu kerja di Club Malam. Ia bisa menari
ala India. Dan tiap malam ia pulang diantar pasangan barunya. Ia hidup tanpa menganggapku sebagai suaminya. Saat itu aku nyaris gila.
"Aku sangat mencintainya. Semua telah aku korbankan untuknya. Tapi ia tanpa risih sedikit pun mengatakan kepadaku,
'Ali di rumah aku isterimu, tapi di luar rumah aku milik banyak orang. Kau jangan cemburu ya. Kau justru harus bangga
memiliki isteri yang disukai banyak orang!' "Aku tidak kuat dengan perlakuannya. Akhirnya aku ceraikan dia. Saat itu dia sedang hamil dua bulan.
Tetapi aku tidak bisa yakin kalau yang sedang di kandungnya itu adalah anakku. Aku akhirnya pulang kembali ke Indonesia sebagai
gembel. Keluarga besarku yang dulu kaya-raya telah hancur berantakan. Orangtua dan adik-adikku memusuhiku. Aku lalu
hidup menggelandang di Solo. Di stasiun Balapan. Aku lakukan apa saja untuk dapat uang. Segala jenis kejahatan sudah
pernah aku lakukan. Sampai suatu hari aku nyaris mati karena tertangkap oleh warga kampung saat aku mencuri.

"Untungnya ada seorang kiai yang menyelamatkan nyawaku. Kiyai itu memiliki pesantren tak jauh dari tempat aku
mencuri. Di tangan kiai itu aku insyaf. Kiyai itu begitu baik. Ia bagai malaikat.
"Aku belajar agama di pesantrennya selama satu tahun. Selama satu tahun aku makan dan tidur gratis di pesantren.
Setelah hidup satu tahun di pesantren barulah aku memahami untuk apa aku hidup. Aku lalu pamit hendak merantau. Pak
Kiyai menyarankan agar aku kerja saja di Saudi, kebetulan ada teman Pak Kiyai yang memiliki usaha kontainer di Jeddah.
Namanya Pak Ahmad. Pak Ahmad membutuhkan sopir pribadi yang bisa berbahasa Inggris. Dan minta pada Pak Kiai kalau
ada di antara santrinya yang bisa. Pak Kiai menawarkan
padaku. Aku menerimanya dengan harapan bisa ke Tanah Suci untuk menangis kepada Allah di depan Ka'bah.
"Aku pun berangkat ke Saudi. Teman Pak Kiai itu yang membiayai tiketnya. Aku bekerja di Jeddah. Sangat nyaman.
Aku merasakan hidup tenang. Hubunganku dengan Pak Ahmad sangat baik. Aku sudah dianggap saudara sendiri oleh
keluarga Pak Ahmad. Aku berdoa di depan Ka'bah agar diberi pendamping hidup yang setia dan baik. Doa itu dikabulkan
oleh Allah. Suatu pagi, ya pagi seperti ini, aku dipanggil Pak Ahmad. Pak Ahmad berkata, 'Li, kamu mau nikah..?'
Aku kaget sekali. Memang itulah doaku setiap kali aku ada kesempatan berdoa di Multazam. 'Mau, Pak.' Jawabku. '
'Tapi dia janda beranak dua. Tidak perawan. Bagaimana..? Mau..?'
'Asal salehah mau Pak.' 'Dia salehah insya Allah. Begini Li. Kalau kau mau kau
harus ke Mesir. Perempuan itu sekarang ada di Mesir. Suaminya telah meninggal setengah tahun yang lalu. Dua anaknya
masih kecil-kecil. Dan ia tetap ingin di Mesir sampai punya bekal yang layak untuk hidup di Indonesia.'
"Aku langsung bertanya, 'Jadi saya nanti harus meninggalkan Jeddah dan tinggal di Mesir Pak..?'

'Tidak apa-apa. Kalau kau mau kau berarti menolong janda dan dua anaknya. Kalau ikhlas besar pahalanya. Dan kau
di Mesir sana akan langsung dapat pekerjaan. Jangan kuatir.' 'Apa Pak pekerjaannya, Pak..?'
'Menggantikan pekerjaan almarhum suami janda itu. yaitu cleaning service merangkap sopir KBRI. Bagaimana Li kamu mau..?'
"Aku lalu menjawab, 'Baiklah, bismillah saya mau.' "Akhirnya aku menikah dengan orang yang sekarang
menjadi isteriku. Allah tidak hanya memberiku isteri yang salehah. Tapi Allah juga memberiku isteri yang cantik, penyabar,
dan sangat pengertian. Lebih dari itu Allah swt menganugerahiku dua orang anak yang sangat menyejukkan hati. Dua
anak itu tidak pernah menganggap aku bukan ayahnya. Mereka tahunya, ayah mereka ya aku ini. Inilah jalan hidup yang diatur oleh Allah.
Sebab sekian tahun aku berumah tangga tidak juga punya keturunan. Ternyata setelah diperiksa medis
aku divonis tidak bisa punya keturunan. Aku semakin sayang pada isteri dan anak anakku. Mereka pun semakin sayang
padaku. Anakku yang pertama sekarang kuliah di Malaysia. Anak yang kedua kuliah di Fakultas Kedokteran UNS Solo.
Seperti yang kau ketahui, di sini aku hidup berdua bersama isteri. Sesekali kami yang menjenguk mereka atau mereka
yang menjenguk kami. Kini aku sangat bahagia. Tahun depan aku dan isteri berencana meninggalkan Mesir. Alhamdulillah
kami sudah punya rumah di Solo Baru." Pak Ali menghela nafas. Ada gurat kepuasan yang tergurat
di wajahnya. Pak Ali membetulkan letak kaca matanya. Azzam merasa belum puas. Ia merasa belum mendapatkan apa
yang dijanjikan Pak Ali. "Lha cerita gadis cantik salehahnya mana Pak..?"
Pak Ali tersenyum "Sabar tho Mas. Gadis cantik saja yang kaupikir."

"Lho Pak Ali tadi kan bilangnya mau cerita tentang gadis cantik yang salehah. Lha ini sudah ke mana-mana kok belum
muncul-muncul juga." "Kau ini kok inginnya meloncat. Langsung ke intinya.
Film kalau langsung ke intinya tidak menarik. Novel kalau langsung kau baca intinya juga tidak menarik. Kau harus
sabar membacanya. Baca yang urut bab demi bab. Paragraf demi paragraf. Kata demi kata. Huruf demi huruf. Baru akan kau
temukan keindahan rangkaian novel itu. Keutuhan cerita novel itu. Jangan lompat-lompat. Jangan main potong langsung
ke inti. Cerita tentang gadis salehah yang indah ini juga begitu. Ada rangkaian ceritanya yang tidak boleh ditinggalkan.
Kalau ditinggalkan ceritanya tidak utuh." "Sudahlah Pak, ayo dilanjutkan saja ceritanya. Jangan
malah ceramah tentang novel segala. Apa hubungannya..? Kayak sastrawan saja!"
"Lho erat sekali hubungannya cerita dengan novel lho Mas. Begini..."
Azzam langsung memotong, "Dilanjut saja ceritanya Pak. Tentang sastra, hubungan
cerita dengan novel biar nanti saya baca sendiri saja di perpustakaan SIC. Keburu siang Pak."
"Baiklah. Anakku yang kuliah di Malaysia itu laki laki namanya Amir. Dulu selesai SMP di SIC langsung kulempar
ke Al Munawwir Krapyak Jogja. Selesai Madrasah Aliyah langsung dapat beasiswa ke Madinah. Sekarang S.2 di Malaysia.
Dia belum menikah. Dia sendiri tidak tahu kisah kelam masa laluku sebelum tobat. Dia hanya tahu aku adalah seorang
ayah yang dulu pernah nyantri di pesantren. Dan aku pikir dia tidak perlu tahu. Biar dia tahu yang baik-baik saja. Nanti kalau
dia mau cari isteri baru akan bapak kasih tahu." "Berarti kira-kira dia seusia dengan saya ya Pak."

"Lebih tua kamu dua tahun. Aku lanjutkan ya. Sedangkan adiknya yang kini kuliah di Fakultas Kedokteran UNS, sejak
SMP sudah kuletakkan di pesantren." "Di pesantren mana Pak..?"
"Di pesantren tempat aku nyantri dulu. Aku titipkan pada Pak Kiyai yang menggemblengku selama satu tahun itu. Pak
Kiai itu namanya K.H. Lutfi Hakim. Nama pesantrennya, Daarul Quran. Terletak di Desa Wangen, Polanharjo."
"Oh ya saya tahu Pak. Saya dulu pernah ke sana sekali. Itu kan arahnya dari Popongan terus ke barat. Dekat dengan
daerah Janti Klaten. "
"Ya benar."
"Terus hubungannya apa pesantren itu dengan cerita gadis cantik yang salehah itu..? Apa yang Pak Ali maksud
adalah anak gadis Pak Ali itu..?" Azzam sudah tidak sabar. Ia merasa Pak Ali ceritanya melingkar-lingkar tidak segera
sampai yang dimaksud. "Tidak. Sama sekali tidak. Aku sudah tahu standar kecantikan yang kau pakai.
Standar kamu adalah Eliana dan gadisgadis Mesir. Maka anak gadisku meskipun menurutku cantik,
tapi jika standarnya Eliana bisa dikatakan tidak cantik. Bersabarlah sedikit, sudah hampir sampai pada tujuan. Aku kem -
bali ke alur cerita. Anak gadisku itu aku titipkan kepada Pak Kiyai Lutfi. Beliau jaga dan beliau didik dengan baik. Pada saat
yang sama Pak Kiai Luffi punya anak gadis yang sangat
cerdas. Dan sangat cantik. Sungguh sangat cantik. Kecantikannya ibarat permata maknun yang mengalahkan semua
permata yang ada di dunia. Aku berani bertaruh kecantikannya bisa mengatasi Eliana. Ini menurutku lho Mas. Sebab
kecantikan seorang perempuan di mata lelaki itu relatif. Dan untuk kecerdasannya aku berani bertaruh, tak banyak gadis
seperti dia. Aku tahu persis, sebab aku pernah belajar pada ayahnya selama satu tahun. Jika Eliana bisa bahasa Prancis
dan Inggris. Maka Putri Pak Kiai Lutfi ini bisa bahasa Arab, Inggris dan Mandarin. Saat di Madrasah Aliyah dia pernah

ikut program pertukaran pelajar ke Wales,U.K. Dan apa kau tahu di mana dia sekarang..?"
Azzam menggelengkan kepala. "Dia sekarang ada di Carro. Sedang menempuh S.2 di
Kuliyyatul Banat, Al Azhar. Dia sedang mengajukan judul tesisnya."
"Sedang S.2? Siapa namanya..? Kok saya tidak pernah dengar ceritanya."
"Namanya Anna Althafunnisa."
"Anna Althafunisa..?"
"Ya."
"Baru kali ini saya dengar nama itu. Aneh sekali. Padahal orang-orang di rumah saya semuanya aktivis. Tapi mereka
kok tidak pernah nyebut-nyebut nama itu ya..?" "Tidak banyak orang yang tahu. Sebab Anna Althafunnisa
menyelesaikan S.1-nya tidak di Cairo. Tapi di Alexandria sini. Ia lebih banyak berinteraksi dengan mahasiswi Malaysia
daripada mahasiswi Indonesia. Dan Anna lebih memilih menutup diri dari kegiatan-kegiatan yang bersifat glamour. Kalau
kau sempat membaca majalah Al Wa'yu Al Islami, cobalah cari edisi bulan lalu. Ada artikel dia dimuat di sana. Dia memakai
nama pena Anna Lutfi Hakim." "Sekarang dia tinggal di Cairo..?"
"Iya. Dialah gadis cantik dan salehah yang aku maksud. Dan saat ini ayahnya menginginkan dia segera menikah. Aku
pikir kamu lebih baik menikah dengan orang yang sekualitas Anna daripada dengan yang model Eliana. Kalau kamu mendapatkan
Anna, kamu telah mendapat-kan surga sebelum surga.
Percayalah padaku. Aku tahu betul kualitas Anna, ayahnya, dan keluarganya. Mereka dari golongan orang-orang yang
ikhlas. Saran saya khitbahlah Anna Althafunnisa itu sebelum bidadari dari Pesantren Daarul Quran itu dikhitbah orang lain."

Hati Azzam berbunga-bunga. Ada rasa sejuk yang tibatiba menyelinap ke dalam dadanya. Namun ia tiba tiba diserang rasa ragu.
"Apa saya pantas melamarnya Pak..? Apa saya pantas untuknya..? Saya ini S.1 saja sudah sembilan tahun belum juga
selesai. Dan apa prestasi saya? Apa yang bisa saya andalkan..? Membuat tempe..? Apa ada kiai yang mau anaknya menikah
dengan penjual tempe..?" "Kenapa kamu jadi inferior begitu. Percayalah padaku,
Pak Kiai Lutfi itu tidak pemah memandang dunia. Dunia itu remeh bagi beliau. Datanglah, lamarlah. Belilah tiket, pulanglah
ke Indonesia dan lamarlah bidadari itu!" "Waduh kalau harus pulang berat Pak. Apa tidak ada cara lain selain pulang..?"
Pak Ali diam mengerutkan keningnya, sebentar kemudian, wajahnya cerah. Setengah berteriak ia menjawab, "Ada!
Kau bisa melamar lewat Ustadz Mujab. Ustadz Mujab itu masih
keluarga dekat Kiyai Lutfi. Kau datangi saja Ustadz Mujab dan sampaikan maksudmu untuk disampaikan kepada Kiai
Lutfi dan Anna. Insya Allah semua akan mudah. Ustadz Mujab kau kenal kan..?"
"Wah lebih dari kenal. Saya sangat akrab dengannya. Tapi yang membuat saya heran, kenapa beliau sama sekali
tidak pernah menyinggung nama Anna Althafun-nisa sama sekali ya..?"
"Itulah mahalnya Anna Althafunnisa. Tidak sembarangan
dibicarakan. Tidak sembarangan diobral. Bukan-kah permata yang sangat mahal itu jarang dipamerkan orang..?"
"Pak Ali punya fotonya..?" "Aduh, sayang sekali tidak punya. Tapi itu tidak penting.
Langsung saja kau lamar. Kalau setelah menyuntingnya kamu menyesal,
akan aku serahkan leherku ini untuk kau pancung. Sungguh!"

Azzam tersenyum. Kata-kata terakhir Pak Ali semakin membuatnya mantap sekaligus penasaran. Seperti apa Anna
itu..? Namun, ia merasa telah mendapat jawaban atas tekad yang ia ikrarkan sebelum tidur tadi malam. Tekad yang ia
rajut dengan doa. Ia yakin Anna adalah jawaban atas doanya yang ia bawa
sampai tidur. Ia yakin bukanlah sebuah kebetulan jika pagi itu Pak Ali akan bercerita tentang Anna Altha-funnisa. Itu bukanlah
kebetulan belaka. Sebab ia meyakini bahwa segala yang terjadi di alam semesta ini tidak ada yang kebetulan. Semua
sudah ditulis takdirnya dan diatur oleh Yang Maha Kuasa. Tekadnya telah bulat. Begitu sampai di Cairo ia akan datang
ke rumah Ustadz Mujab. Datang untuk menanyakan gadis yang disebut sebut Pak Ali sebagai "Bidadari dari Pesantren
Daarul Quran." Ia akan menanyakan apakah gadis itu masih kosong, belum dikhitbah orang..? Apakah gadis itu bisa dipinangnya..?
Kalau ya, maka ia akan langsung meminangnya. Saat itu juga kalau bisa. Tak ada lagi keraguan dalam hatinya.

CERITA FURQAN

Berulang kali Eliana menelpon kamar Azzam. Tak ada yang menjawab. Ia ingin membuat perhitungan dengan Azzam.
Kata-kata Azzam tadi malam ia anggap sangat merendahkannya. Ia sangat tersinggung. Apalagi tadi malam pemuda
kurus itu memutus pembicaraan dengannya secara sepihak. Siapa dia berani-beraninya berlaku tidak sopan padanya? Baginya
tindakan Azzam itu tidak hanya tidak sopan, tapi sangat menghinanya. Ia memang orang yang mudah emosi jika ada
sedikit saja hal yang tidak sesuai dengan suasana hatinya. Eliana mondar-mandir di lobby hotel. Ia memperhatikan
dengan seksama orang-orang yang duduk dan lalu lalang di situ. Ia menanti Azzam untuk dilabraknya. Ia hendak memarahinya
seperti ia memarahi pembantu -pemban-tunya yang melakukan sesuatu yang membuatnya murka.

Pagi itu suasa hotel sudah terasa sangat panas bagi Eliana. Ia menanyakan keberadaan Azzam kepada semua orang
Indonesia. Para mahasiswa, rombongan Penari Saman, para staf KBRI, bahkan ayahnya sendiri. Semua menjawab tidak
tahu pasti. Ada yang menjawab mungkin sedang jalan-jalan di Pasar El Manshiya. Ada yang menjawab mungkin sedang
mencari sesuatu di Abu Qir. Ada yang menjawab mungkin sedang ziarah ke Masjid Nabi Daniyal. Ada yang menjawab
mungkin sedang renang di pantai. Semua jawaban tidak ada yang memuaskannya. Ia ingin segera bertemu dengan pemuda
tidak tahu diuntung itu. Ia ingin segera menumpahkan segala murkanya. Ia ingin segera melumatnya jika bisa. Sementara
Azzam dan Pak Ali berjalan santai menelusuri pantai. Azzam melepas sandalnya dan membiarkan kakinya telanjang menginjak
pasir pantai yang lembut.
"Pak Ali." Sapa Azzam pelan.
"Ya, Mas."
"Pak Ali sudah lapar..?"
"Iya."
"Mau sarapan di hotel..?"
"Entah kenapa ya Mas. Aku kok sudah bosen banget
sarapan di hotel."
"Saya juga Pak Ali. Kalau begitu kita cari tha'miyah bil
baidh 7 di luar hotel yuk..?"
"Ayuk."
Mereka langsung berjalan mencari kedai tha'miyah, kedai yang menjual makanan khas Mesir terdekat. Saat mereka
melintasi jalan raya menuju ke kedai itu seseorang memanggil- manggil nama mereka. Mereka menengok ke arah suara.
Ternyata si Romi. Mahasiswa asal Madura yang dipercaya tha'miyab bil baidh:
Makanan khas Mesir, berbentuk sandwich isinya antara lain sayur, kentang goreng, dan telor rebus yang dihancurkan bersama isi lainnya.

membuat dan menjaga stand Sate Madura. Anak asli Pamekasan itu berjalan dengan setengah berlari ke arah mereka.
Tubuh kurusnya dibalut kaos hitam dan celana panjang hitam. Tangan kanannya menenteng kantong plastik hitam.
"Ada apa Mi..?" Sapa Azzam begitu jaraknya dengan Romi tidak terlalu jauh.
"Anu, anu Mas Khairul. Kamu dicari-cari oleh Mbak Eliana. Kelihatannya kok dia sedang marah. Segeralah kamu
ke lobby hotel. Jika tidak segera ke sana aku kuatir dia semakin marah. Dan jika dia marah celakalah kita semua. Cepatcepatlah
kamu minta maaf..?"
"Minta maaf atas apa Mi..?"
"Ya tidak tahu. Yang penting minta maaf. Mungkin dia tersinggung karena sesuatu yang tidak kamu sadari. Apa sih
beratnya minta maaf..? Jangan sampai kemarahannya berimbas pada bisnis kita."
"Wualah tho Mi, kamu kok berpikir terlalu jauh. Kenapa kamu takut sekali rezeki kamu terancam oleh kemarahan seorang
Eliana. Apalagi dia. marahnya sama aku. Kok kamu yang takut..?"
"Tidak gitu Mas Khairul. Saya hanya tidak mau ambil risiko. Saya tidak mau susah. Marahnya orang kaya sering
membuat susah orang miskin. Marahnya pejabat sering mem - buat susah rakyat. Eliana kalau membawa bawa ayahnya kan
bisa membuat kita repot. Bukan begitu PakAli?" Jelas Romi sambil memandang PakAli. PakAli hanya menyahut ringan,
"Itu urusan kalian." Azzam memandang Pak Ali. Wajah Pak Ali tetap seperti
semula, tak ada perubahan. Lalu sambil menepuk pundak Romi, Azzam menenangkan,
"Jangan berpikir ke mana-mana. Tenanglah, tak akan terjadi apa-apa. Akan segera kutemui Eliana." Romi hanya diam saja.

"Kau mau ke mana Mi..? Kau kemari hanya untuk menemui kami atau ada keperluan lain..?"
Tanya Azzam mengalihkan pembicaraan. "Aku mau renang di pantai. Terakhir sebelum pulang."
"Bawa salin..?"
"Bawa. Ini." Jawab Romi sambil mengangkat kantong plastiknya.
"Kok sendirian..? Tidak ngajak teman..?"
"Iya yang lain tak ada yang mau. Katanya sudah bosan.
Ya sudah, aku berangkat sendiri saja. Atau kau mau menemani..?"
"Aduh aku masih banyak hal yang harus aku bereskan. Ya
sudah ya. Hati-hati."
"Ya."
Azzam dan Pak Ali melanjutkan perjalananke kedai tha'miya. Romi semakin mendekati pantai. Udara belum hangat
betul. Orang yang berenang di pantai bisa dihitung dengan jari. Saat itu belum banyak pengunjung yang datang. Sebab
masih ada sisa-sisa musim dingin. Pantai itu akan menjadi sangat ramai ketika libur musim panas datang.
"Mas Khairul. Saya sarankan kau damai saja sama putrinya Pak Dubes itu. Tidak usah cari penyakit. Aku tidak tahu
masalahmu dengannya. Tapi damai adalah hal yang disukai oleh fitrah umat manusia di mana saja." Saran Pak Ali.
Azzam lalu menjelaskan kejadian tadi malam setelah pulang dari El Muntazah. Tentang telpon Eliana. Tentang hadiah
spesial berupa ciuman khas Prancis. Tentang jawabannya. Tentang pemutusan pembicaraan secara sepihak darinya.
Pak Ali mendengarkan sambil berjalan. "Ada saran tambahan Pak Ali?" Tanya Azzam sambil
mensejajarkan langkahnya dengan langkah Pak Ali yang agak lambat.

"Saranku. Sebaiknya kau minta maaf. Lalu jelaskan dengan detil dan baik-baik kenapa menolak ciuman itu. Tidak
usah dihadapi dengan emosi. Api bertemu api akan semakin panas. Emosi lebih banyak merugikannya daripada menguntungkannya
"Aku sangat yakin dia sangat marah Pak. Trus bagaimana cara meredamnya..?"
"Gampang. Hati wanita mudah diluluhkan. Belikan dia hadiah kejutan. Dia akanmerasa senang. Rasa senang bisa meredam
amarah. Sebab amarah itu datang biasanya karena rasa tidak senang."
"Enaknya hadiahnya apa ya Pak..?"
"Apa saja yang bisa didapat pagi ini. Tidak harus mahal." "Pak Ali punya usul, barang apa begitu..?"
Pak Ali mengerutkan dahi sesaat. Tiba-tiba wajahnya seperti bersinar. "Yah ini saja. Belikan saja rnakanan khas Mesir kesukaannya.
Ini mudah didapat pagi ini dan murah." "Kalau dia sudah makan pagi bagaimana? Apa tidak jadi mubazir..?"
"Percayalah, dia belum makan pagi. Orang kalau sedang marah malas makan. Dia akan makan kalau marahnya mulai
reda. Percayalah dia belurn makan pagi. Dan percayalah dia juga sudah bosan dengan menu hotel."
"Apa makanan kesukaannya Pak..?" "Habasy takanat."  "Yang benar Pak..? Masak gadis selangsing dia suka
habasy takanat..? Makanan mirip tha'miyah bn baldh. hanya isinya lebih berrnacam- macam sehingga porsinya lebih besar.

"Iya. Habasy takanat itu tidak otomatis bikin gemuk Iho. Bikin kenyang iya. Tapi bikin gemuk belum tentu."
"Ayo Pak kalau begitu kita segera beli." Mereka berdua berdua mempercepat langkah. Sampai di
kedai yang dituju, mereka memesan empat tha'miyah bil baidh untuk dimakan di situ dan dua habasy takanat, untuk dibungkus.
Pemilik kedai itu adalah orang Mesir gemuk dengan jenggot hampir menutupi setengah wajahnya. Keangkeran
wajahnya sirna oIeh senyum dan keramahannya. Azzam senang dengan keramahan itu. Sebab tidak sedikit pemilik kedai
tha'miyah yang tidak ramah. Ia masih ingat dengan pemilik kedai tha'miyah di kawasan Hay El Ashir Cairo yang sangat
tidak ramah. Tak pernah senyum. Ia pernah diabaikan. Benarbenar diabaikan. Pemilik itu melayani semua orang Mesir tapi
seolah-olah tidak melihat keberadaannya. Ia sama sekali tidak dianggap. Ia sendiri tidak tahu, apa sebabnya.
Azzam melahap tha'miyah bil baidh dengan lahap. Pak Ali juga. Setelah kenyang mereka menuju hotel. Di tengah jalan
Pak Ali menghentikan langkahnya dan berkata, "Mas. Habasy takanat-nya biar saya saja yang memberikan.
Kalau sudah dia makan, saya akan mengatakan itu hadia
darimu. Kau Jalan jalan saja dulu. Kira-kira satu jam. Setelah itu kau boleh datang.
Dan insya Allah semua akan damai dan aman." "Wah ide yang bagus itu Pak." Sahut Azzam berbinar. Ia
lalu menyerahkan bungkusan berisi habasy takanat itu kepada Pak Ali. Pak Ali tersenyum. Lalu berjalan ke hotel. Sementara
Azzam langsung naik Eltramco ke Pasar El Manshiya. Ia ingin membeli oleh-oleh untuk teman-teman satu rumahnya.

***
Begitu masuk hotel, Pak Ali langsung ditanya oleh Eliana seolah-olah Eliana sudah lama menantinya.
"Pak Ali ke mana saja..? Lihat tukang masak kurus itu tidak..?" Nadanya tidak lembut seperti biasanya.
"Saya dari jalan jalan menghirup udara pantai. Biar segar. Tukang masak kurus itu yang Mbak Eliana maksud siapa..?
Si Romi..?" "Bukan si Romi. Itu si Khairul." "Kalau si Romi saya tahu. Dia sedang renang di pantai.
Kalau Khairul sekarang persisnya saya tidak tahu. Tadi sih ketemu di jalan. Dia naik Eltramco ke El Manshiya."
Eliana mendengus. Wajah yang biasanya putih cemerlang itu tampak merah padam. Ia lalu duduk di sofa. Tak jauh darinya
dua remaja putri Mesir sedang berbincang-bincang dengan serunya. Sesekali terdengar suara cekikikan dari mereka.
Pak Ali duduk di depan Eliana. "Eh ngomong-ngomong Mbak Eliana sudah makan pagi..?" Tanya Pak Ali.
"Belum Pak. Lagi tidak nafsu. Apalagi menu hotel. Sudah bosan sekali rasanya."
Pak Ali tersenyum, lalu berkata, "Kalau habasy takanat mau..?" Mendengar tawaran Pak Ali, wajah Eliana sedikit cerah.
"Wah itu boleh Pak. Sebenarnya saya lapar. Yuk kita keluar cari habasy takanat Pak Ali yuk..?"
"Tak usah keluar. Ini saya sudah bawa. Tadi saya baru saja makan tha'miyah bil baidh. Ini saya bawa untuk Mbak Eliana."
Jawab Pak Ali sambil menyerahkan bungkusan dalam plastik hitam berisi habasy takanat.
"Wah terima kasih banget Pak ya. Wah enaknya langsung dimakan saja ini. Pak temani saya ke restaurant yuk. Biar
ini saya makan di sana sambil minum the panas." "Ayo." Mereka berdua lalu masuk Lourantos Restaurant.

Desain interior restauran itu perpaduan Arab dan Eropa. Menu yang dihidangkan pagi itu adalah menu Arab dan Italia.
Tapi habasy takanat tidak ditemukan di situ. Eliana menyantap habasy takanat dengan lahap dan penuh semangat. Selesai
menyantap makanan khas Mesir itu Eliana lalu menyeruput teh panasnya yang kental. Gadis itu kelihatan begitu menikmati
makan paginya. Dan Pak Ali melihatnya dengan hati lega. "Ada apa sih Mbak, kok mencari Mas Insinyur Khairul..?
Kelihatannya ada urusan penting ya..?" "Ya. Aku sedang marah padanya..?" "Kenapa..?"
"Ia berani menghinaku tadi malam." "Ah yang benar saja Mbak. Saya sama sekaIi tidak percaya anak itu berani menghina Mbak."
"Pak Ali percaya atau tidak percaya itu tidak penting " "Bukan begitu Mbak EIiana. Saya kuatir Mbak Eliana
salah paham. Sebab saat ketemu saya tadi Mas Khairul justru memperlihatkan hal yang sebaliknya pada saya. Mas Khairul
begitu perhatian sama Mbak. Tadi saya dan Mas Khairul juga bertemu Romi. Romi bilang Mbak Eliana marah besar pada
Khairul. Khairul malah tersenyum saja. Terus Khairul nitip
pada saya untuk memberikan habasy takanat ini pada Mbak." "Apa!? Jadi bukan Pak Ali yang membelikan untuk saya?"
"Bukan. Yang membelikan itu Mas Khairul. Lha yang membawa kemari saya."
"Pak Ali, PakAli kenapa tidak bilang dari tadi. Aduh, aduh, aduh! Saya kira itu dari PakAli."
"Saya tadi kan bilang, ini saya bawa habasy takanat. Yang membelikan adalah Khairul. Dititipkan pada saya."
"Kenapa tidak dia sendiri yang memberikan pada saya..?" Tanya Eliana ketus.

"Saya tidak tahu Mbak Eliana. Kelihatannya dia tergesa gesa. Dia bilang mau beli barang-barang di pasar. Tidak ada
waktu lagi katanya.Yang penting ini menunjukkan bahwa Mas Khairul sendiri tidak merasa memiliki masalah pada Mbak
Eliana. Kalau dia merasa memiliki masalah mana mungkin mau membelikan habasy takanat, makanan kesukaan Mbak.
Justru kelihatannya dia sangat menghormati Mbak. Dan ingin membuat Mbak merasa senang."
Eliana diam. Kata-kata Pak Ali masuk ke dalam hatinya. Menyejukkan panas amarahnya. Tapi ia belum bisa lega sepenuhnya.
Amarahnya belum mau juga sirna seluruhnya. "Tapi tadi malam dia berkata kasar ditelpon pada saya
Pak. Dia juga memutus pembicaraan seenaknya saja! Apa itu tidak penghinaan Pak Ali..?" Pak Ali tersenyum.
"Mungkin saat itu Mas Khairul sedang capek. Letih. Orang kalau letih itu pikirannya bisa tidak jernih. Cobalah
ingat, kemarin itu ia kerja sejak pagi sampai malam." Penjelasan Pak Ali semakin meluluhkan hatinya.
"Semestinya Mbak Eliana harus berterima kasih pada Mas Khairul. Enam hari ini tenaga dan waktunya ia curahkan
untuk membantu Mbak Eliana. Bahkan dalam kondisi sangat letih, dia masih mau membakarkan ikan untuk membantu
Mbak Eliana. Dan pagi ini, dia mengirim sesuatu yang sangat Mbak suka. Semestinya Mbak berterima kasih sama dia. Saya
dengar orang Barat yang terdidik itu mudah mengucapkan terima kasih pada orang yang membantunya." Sambung Pak Ali.
Amarah Eliana perlahan mereda. Ruang di hatinya yang semula berisi amarah yang meluap-luap pada Azzam perlahan
berubah diisi rasa kasihan. Ia menyesal sudah sedemikian emosi dan marah, sementara orang yang akan dimarahinya sedemikian
tulus padanya. Diam-diam menyusup ke dalam dadanya rasa malu pada dirinya sendiri. Ia menyadari apa yang

disampaikan Pak Ali ada benarnya. Penjual tempe yang pandai masak itu memang sudah banyak membantunya.
"Pak Ali. Nanti kalau ketemu Mas Khairul sampaikan terima kasih saya ya atas habasy takanat-nya. Saya mau mandi
dan berkemas-kemas." Kata Eliana dengan wajah lebih cerah. "Insya Allah, tapi kalau menyampaikan sendiri tentu lebih
baik." Jawab Pak Ali dengan senyum mengembang. "Ya. Nanti kalau ketemu dia." Tukas Eliana sambil bangkit dari duduknya.

* * *
Di sebuah toko buku di El Manshiya, Azzam bertemu dengan Furqan. SeteIah berpelukan, Furqan mengajak Azzam
menemaninya makan roti kibdah 9 di samping sebuah masjid tua sambil berbincang-bincang. Azzam menuruti ajakan teman
lamanya itu dengan senang. "Saya ini sedang bingung menentukan pilihan." Kata
Furqan sambil mengunyah roti kibdah-nya. "Pilihan apa..?" Sahut Azzam kalem. Matanya memandang
ke arah seorang kakek berjubah abu-abu yangberjualan tasbih dan kopiah putih. Kakek itu duduk termenung Matanya
memandang ke arah jalan. Azzam berusaha mereka-reka apa yang ada dalam pikiran kakek itu saat itu.
"Bingung memilih dua gadis yang sama-sama memiliki kelebihan untuk aku nikahi." Jawaban Furqan membuatAzzam
langsung mengalihkan pandangannya dari kakek berjubah abu-abu ke wajah Furqan yang masih asyik dengan roti kibdah-nya.
"Ceritanya bagaimana..?"
Tanya Azzam dengan nada serius. Roti kibdah: terrnasuk makanan khas Mesir berbentuk roti berbentuk panjang diisi hati sapi.

Furqan menghentikan makannya. Ia meneguk air putih untuk membersihkan tenggorokannya. Lalu memandang Azzam lekat-lekat.
"Aku akan cerita. Tapi janji tidak kaubocorkan siapa siapa. Masyi ?"
"Masyi."
"Begini. Aku saat ini sedang dikejar-kejar sama Eliana. Putri Pak Dubes itu..?"
"Dikejar-kejar Eliana..? Ah yang benar Fur..?" Azzam kaget mendengar penuturan sahabatnya itu.
"Benar. Aku tidak bohong. Kau tahu sendirilah Rul. Eliana itu bukan mahasiswi Al Azhar yang sangat menjaga akhlak.
Ia lulusan Prancis. Ia langsung saja bicara terus terang padaku. Tadi malam dia menanyakan lagi jawabanku. Aku belum
jawab. Eliana aku lihat sudah berusaha fair dan jujur. Ia telah menceritakan semua hubungannya dengan pacar-pacarnya
yang gagal. Ia sudah pernah ganti pacar lima kali. Sekali waktu di SMA. Empatkali waktu di Prancis. Dua pacarnya yang
terakhir adalah orang bule. Eliana menyadari tidak cocok dengan mereka. Ia ingin hidup yang lurus-lurus saja. Dia
bilang ingin memiliki suami yang bisa membimbingnya. Jujur saja Rul. Aku tertarik padanya. Aku tertarik tidak semata -
mata karena kecantikan wajahnya. Tapi aku tertarik karena potensi yang ada dalam dirinya yang jika diarahkan di jalur
yang benar bisa sangat bermanfaat bagi umat." "Potensi itu misalnya apa Fur..?"
"Kau tahu sendiri kepiawaiannya menulis dalam bahasa Inggris dan Prancis. Pesona keartisan dirinya. Dia bercerita
akan main dalam sebuah film garapan sutradara Mesir. Dan ia juga sudah ditawari main film di Indonesia. Tak lama lagi dia
akan menjadi artis Rul. Dan kau bayangkan jika artis itu bisa memberikan teladan yang baik.

Maka masyarakat yang mengaguminya akan meniru kebaikannya. Jika keartisannya
nanti digunakan untuk berdakwah, apa tidak dahsyat Rul." "Kalau yang terjadi sebaliknya bagaimana..? Misalnya ia
jadi artis terus gaya hidupnya yang hedonis sebagaimana artis pada umumnya bagaimana..? Apa kau sudah benar-benar tahu
siapa Eliana..?" Furqan terdiam sesaat. Ia lalu berkata,
"Aku melihat kesungguhan Eliana untuk baik. Itu yang meyakinkan aku. Dia akan baik jika dibimbing oleh yang
mampu membimbingnya." "Terus yang kau bingungkan apa..? Kelihatanrnya kau sudah mantap begitu"
"Masalahnya aku sudah terlanjur melamar seseorang. Dia mahasiswi Al Azhar. Tapi sampai sekarang dia belum mem -
beri jawaban. Aku bingung.Kalau aku batalkan lamaranku dan aku memilih Eliana yang sudah jelas mengejarku aku takut
dianggap lelaki plin-plan. Aku takut dianggap memainkan anak orang. Tapi kalau aku menunggu terlalu lama, aku takut
akhirnya lamaranku itu ditolak, dan aku khawatir Eliana sudah berubah pikiran. Aku bingung Rul."
"Begitu kok bingung. Percayalah padaku, tak ada mahasiswi Cairo yang akan menolak lamaranmu, kecuali mahasiswi
itu sudah punya calon atau ia sudah dilamar orang. Siapa yang menolak lamaran pemuda tampan, cerdas kaya dan kandidat
master dari Cairo University..? siapa..? Hanya gadis tolol yang akan menolak. Yang cerdas itu ya Eliana. Ia mengejar kamu
karena dia cerdas. Aku yakin Eliana sudah tahu reputasi kamu dengan baik. Maka percayalah mahasiswi yang kau lamar itu
pasti mau. Kalau begitu sebenarnya kau sudah bisa memutuskan apa yang harus kauputuskan."
"Kau tidak tahu sih siapa mahasiswi itu." "Memangnya dia siapa?"

Furqan ragu untuk menjawab. Akhirnya dia tidak mau berterus terang.
"Ah sudahlah kalau itu rahasia. Aku tidak enak menyebutnya." Lirihnya.
"Ya sudah. Kalau begitu ya istikhara saja." "Ya, insya Allah. Kau ada nasihat untukku..?" Azzam tersenyum.
"Tinggalkan apa yang meragukan bagimu, dan ambillah yang tidak meragukan bagimu."
"Terima kasih. Yuk kita ke hotel. Pakai taksi saja. Biar aku yang bayar."
"Ayo"
Sebelum pergi terlebih dahulu Furqan membayar roti kibdah yang dibawanya. Cerita Furqan semakin mengukuhkan
hati Azzam bahwa ia tidak boleh mengharapkan Eliana. Bisa jadi Eliana akan menjadi isteri sahabatnya itu. Ia tidak mau
mengarah apa yang kelihatannya diarah juga oleh sahabatnya. Namun ia masih ragu apakah bisa orang seperti Eliana diajak
untuk berdakwah dan berkomitmen menjalankan agama dengan baik. Apakah orang seperti Eliana tidak akan melihat
aturan-aturan agama sebagai dogma yang membatasi kebebasannya sebagai manusia..? Apa reaksi Furqan jika Eliana hendak
memberihadiah ciuman khas Prancis padanya..? Ia hanya bisa berharap bahwa sahabatnya itu akan ditunjukkan yang
terbaik oleh Allah Swt. Sebab tak ada yang baik di dunia ini kecuali datangnya dari Allah Subhanahu wa ta'ala.

MEMINANG

Siang itu sebelum jam dua belas, semua orang dalam rombongan "Pekan Promosi Wisata dan Budaya Indonesia di
Alexandria" sudah keluar dari hotel. Tepat jam setengah satu mereka sudah bergerak meninggalkan Alexandria menuju
Cairo. Rombongan yang terdiri atas empat puluh lima orang itu meluncur ke Cairo dengan dua mobil mewah KBRI, satu
bus dan satu mobil barang. Azzam duduk di samping Romi. Pak Ali mengendarai
BMW bersama Pak Dubes dan teman Pak Dubes. Mobil mewah satunya dikendarai oleh Atase Pendidikan dan Atase
Perdagangan. Yang lainnya ikut dalam bus yang tak kalah nyaman. Baru keluar dari Alexandria Romi sudah harus ke
toilet. Ia tidak sempat membersihkan perutnya sebelum berangkat sebab tergesa gesa. Ia tadi terlalu asyik berenang di
pantai dan nyaris lupa waktu. Kalau saja Pak Atase Perdagangan tidak mengabsen semua orang di lobby, bisa jadi Romi
akan ketinggalan.

Saat Romi pergi ke toilet itulah Eliana yang duduk agak di belakang maju dan duduk di tempat duduk Romi yang kosong.
Azzam dan Eliana belum sempat berbincang sejak peristiwa pemutusan pembicaraan tadi malam. Eliana mendahului
percakapan, "Eh Mas Khairul, terima kasih atas kiriman habasy takanat-nya ya..? "
"Oh sama-sama. Oh iya, sama minta maaf atas sikap saya yang mungkin tidak berkenan tadi malam. Mungkin itu mem -
buat Mbak Eliana marah. Saya dengat dari Romi tadi pagi Mbak marah."
"Ah tidak. Hanya sedikit emosi saja. Kita lupakan saja itu semua. Ini kalau boleh saya tanya, kenapa kau menjawab mendapat
ciuman Prancisitu musibah. Saya yakin Mas Khairul tadi malam mengatakan dengan serius."
Azzam tersenyum. Ia geli sendiri mendengar perkataan Eliana. Katanya lupakan saja semuanya, tapi masih bertanya
tentang jawabannya tadi malam. Namun ia tidak mau mengungkit hal itu. Ia ingin langsung menjawab pertanyaan Eliana.
"Setiap orang punya prinsip. Dan prinsip seseoran itu biasanya berdasar pada apa yang diyakininya. Iya kan Mbak?"
Kata Azzam mengawali jawabannya. "Iya." Kata Eliana sambil mengangukkan kepala. Saat itu
ia sama sekali tidak memandang Azzam sebagai tukang masak, tapi memandang Azzam sebagai seorang mahasiswa yang
memiliki satu sikap dan pendirian. "Saya juga memiliki prinsip. Prinsip hidup. Prinsip hidup
Saya itu saya dasarkan pada Islam. Sebab saya paling yakin dengan ajaran Islam. Di antara ajaran Islam yang saya yakini
adalah ajaran tentang menjaga kesucian. Kesucian lahir dan kesucian batin. Kenapa dalam buku-buku fikih pelajaran
pertama pasti tentang thaharah. Tentang bersuci. Adalah agar
pemeluk Islam senantiasa menjaga kesuciar lahir dan batin. Di antara kesucian-kesucian yang dijaga oleh Islam adalah kesucian
hubungan antara pria dan wanita. Islam sama sekali tidak membolehkan ada persentuhan intim antara pria dan wanita
kecuali itu adalah suami isteri yang sah. Dan ciuman gaya Prancis itu bagi saya sudah termasuk kalegori sentuhan sangat
intim. Yang dalam Islam tidak boleh dilakukan kecuali oleh pasangan suami isteri. Ini demi menjaga kesucian. Kesucian
kaum pria dan kaum wanita.

"Ketika saya mengatakan bahwa jika sampai saya melakukan ciuman itu dengan wanita yang tidak halal bagi saya,
maka saya telah menodai kesucian saya sendiri dan menodai kesucian wanita itu. Dan itu bagi saya adalah suatu musibah
yang luar biasa besarnya. Saya telah kehilangan kesucian bibir saya. Tidak hanya itu, saya juga kehilangan kesucian jiwa
saya. Jiwa saya telah terkotori oleh dosa yang entah bagaimana cara menghapusnya. Jika bibir ini kotor oleh gincu bisa
dibersihkan dengar air atau yang lainnya. Tapi jika terkotori oleh bibir yang tidak halal, kotor yang tidak tampak bagaimana
cara membersihkannya. Meskipun bisa beristighfar, meminta ampun kepada Allah tetap saja bibir ini pernah kotor,
pernah ternoda, pernah melakukan dosa yang menjijikkan. Saya tidak mau melakukan hal itu. Saya ingin menjaga kesucian
diri saya seluruhnya. Saya ingin menghadiahkan kesucian ini kepada isteri saya kelak. Biar dialah yang menyentuhnya
pertama kali. Biar dialah yang akan mewangikan jiwa dan raga ini denga n sentuhan-sentuhan yang mendatangkan pahala."
"Itulah prinsip yang caya yakini. Mungkin saya akan dikatakan pemuda kolot. Pemuda primitif. Pemuda kampungan.
Pemuda tidak tahu perkembangan dan lain sebagainya. Tapi saya tidakpeduli. Saya bahagia dengan apa yang saya

yakini kebenarannya. Dan saya yakin Mbak Eliana yang pernah belajar di negeri yang mengagungkan kebebasan
berpendapat itu akan bisa menghargai pendapat saya." Azzam menjelaskan panjang lebar. Eliana mendengarkan
dengan seksama. Tak terasa air matanya berkaca-kaca. Ia belum pernah mendengarkan penjelasan tentang kesucian seperti
itu sebelumnya. "Aku mengerti." Lirih Eliana. "Terima kasih atas penjelasannya. Lanjutnya.
Saat itu Romi keluar dari toilet. Eliana lalu kembali ke tempatnya semula. Penjelasan Azzam masih membekas dalam
hatinya. Tiba-tiba ia merasa dirinya sangat kotor. Bibirnya entah berapa kali bercium dengan pria yang belum menjadi
suaminya. Ia tidak bisa menghitungnya. Untuk pertama kalinya ia merasa menjadi perempuan yang tidak berharga. Ia
teringat dengan saudara sepupunya yang tinggal di pelosok Lumajang. Namanya Nurjanah. Sejak kecil selalu memakai jilbab.
Saat diajak salaman ayahnya saja tidak mau. Ayahnya sempat tersinggung. Tap sepupunya yang sekarang menjadi
pengajar di sebuah Madrasah Ibtidaiyyah itu bersikukuh dengan pendiriannya. Tidak mau bersentuhan kecuali dengan
lelaki yang halal baginya. Sekarang baru ia tahu rahasianya. Itu karena ajaran kesucian itu. Nurjanah bersikukuh mempertahankan
kesucian dirinya secara utuh. Tiba-tiba ia merasa gadis seperti Nurjanal alangkah lebih muliamya. Ia merasa
tidak ada apa apanya dibanding Nurjanah. Ada yang merembes dari ujung kedua matanya.
Bus terus melaju membelah padang sahara yang luas. Sejauh mata memandang yang tampak adalah hamparan padang
pasir kecoklatan. Ada yang rata, ada yang bergelombang seperti berbukit-bukit. Eliana memandang ke jendela. Ia
melihat debu-debu berhamburan di pinggir jalan. Angin berhembus sangat kencang. Namum bus terus melaju dengan tenang.

* * *
Sampai di Cairo. Azzam langsung meluncur pulang kerumahnya di Hay El Asher. Tepat menjelang Maghrib ia sampai
di rumah. Teman satu rumahnya menyambutnya dengan penuh kerinduan. Ia minta mereka untuk membuka kardus berisi
oleh-olehnya. Isinya kurma isi kacang. Buah Zaitun. Kacang Arab berwarna hijau. Dan Makaronah untuk dimasak. Tak ada
yang istimewa Sernua adalah makanan Mesir yang sebenarnya ada di Cairo. Namun mereka tetap menyambut oleh-oleh itu
dengan penuh antusias dan gembira. Azzam langsung mandi. Setelah itu ia langsung pamitan pergi.
"Ceritanya nanti saja ya. Aku ada urusan penting sekali malam ini." Kata Azzam pada mereka. Mereka pun mengangguk paham.
Azzam meluncur ke Hay El Sabe'. Ia shalat Maghrib di Masjid Ridhwan. Tujuannya setelah itu hanya satu, yaitu ke
rumah Ustadz Saiful Mujab, untuk melamar Anna Althafunnisa. Ia sampai ke masjid itu saat imam sudah rakaat kedua. Ia
bahagia melihat Ustadz Mujab ada. Di shaf kedua. Ia takbir di shaf ketiga. Selesai shalat ia bertemu dengan Ustadz Mujab.
Dan Ustadz Mujab tersenyum gembira berjumpa dengannya. "Lho, aku dengar kau ikut rombongan KBRI ke Alexandria.
Kok sudah di sini, Rul..?" Sapa Ustadz Mujab. "Iya Ustadz. Baru pulang menjelang Maghrib tadi dan langsung meluncur kesini."
Jawab Azzam. "Ada urusan apa..? Kok kelihatannya penting sekali sampai tidak istirahat segala. Malah langsung kemari..?"

"Saya ada urusan pribadi yang sangat penting. Saya ingin membicarakannya pada Ustadz. Ustadz ada waktu..?"
"O begitu. Boleh-boleh. Ayo kita ke rumah" Mereka la lu pergi ke rurnah Ustadz Mujab yang tak jauh
dari Masjid Ridhwan itu. Ustadz Mujab yang sedang S. 2 di Institut Liga Arab itu hidup di Cairo bersama keluarganya.
Bersama anak dan isterinya. Rumahnya sederhana. Namun rurnah itu membuat betah siapa saja yang berkunjung ke sana.
Tak lain dan tak bukan, karena keramahan pemilik rumahnya. Yaitu Ustadz Mujab dan isterinya.
Setelah duduk diruang tamu beberapa saat, dan teh panas dikeluarkan bersama satu piring roti cokelat, ustadz Mujab
bertanya pada Azzam dengan mata memandang lekat-lekat, "Ada urusan apa..? Apa yang bisa kubantu?"
"Saya sebenarnya malu Ustadz. Saya tidak tahu dari mana saya harus memulai." Jawab Azzam.
"Tidak usah malu. Jika kebaikan yang dicari tidak usah malu." "Baiklah Ustadz. Saya ingin minta bantuan Ustadz untuk
melamar seseorang untuk saya." Kata Azzam dengan suara bergetar. "Oh itu. Begitu saja kok malu. Kamu memang sudah saatnya
kok Rul." Ustadz Mujab biasa memanggilnya ‘Rul’ kependekan dari ‘Khairul’ yang diambil dari namanya ‘Khairul
Azzam’. Jadi di Cairo ada yang memanggilnya ‘Mas Khairul’, ‘Mas Insinyur’, ‘Rul’, ‘Irul’ dan ada yang memanggil dengan
nama belakangnya yaitu ‘Azzam’. Yang memanggil dengan panggilan Azzam hanya orang orang satu rumahnya saja. Itu
pun atas permintaannya. Sedangkan di luar rumah banyak yang memanggil ‘Khairul’ dan ‘Insinyur’.

"Aku akan membantu sebisanya. Siapa nama gadis yang kau pilih itu. Dan siapa nama orang tuanya. Orang mana..?
Kalau di Al Azhar, tingkat berapa..?" Ustadz Mujab melanjutkan. Dengan mengumpulkan semua keberaniannya ia menjawab
dengan suara bergetar. Dan dengan hati bergetar pula, "Namanya Anna Althafunnisa Putri Pak Kiyai Luffi Hakim.
Asal Klaten. Kalau tidak salah sekarang sedang program pascasarjana di Kuliyyatul Banat, Al Azhar."
Ustadz Mujab kaget mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Azzam. Ia seperti mendengar suara petir yang nyaris
merobohkan apartemen di mana dia dan keluarganya tinggal. "Anna Althafunnisa..?" Tanya Ustadz Mujab tidak percaya.
Azam mengangguk dengan tetap menundukkan kcpala. Ustadz Mujab menghela nafas panjang. Ia seperti hendak
mengeluarkan sesuatu yang menyesak di dadanya. "Siapa yang mengabarkan kamu tentang Anna Althafunnisa..?"
"Ada. Tapi dia tidak mau disebut-sebut namanya Ustadz," Ustadz Mujab kembali menghela nafas panjang.
"Allahlah yang mengatur perjalanan hidup ini. Sungguh aku ingin membantumu Rul. Tapi agaknya takdir tidak menghendaki
aku bisa membantumu kali ini. Anna Althafunnisa itu masih terhitung sepupu denganku. Aku tahu persis keadaan
dia saat ini. Sayang kau datang tidak tepat pada waktuya. Anna Althafunnisa sudah dilamar orang. Ia sudah dilamar oleh
temanmu sendiri.

"Sudah dilamar temanku sendiri..? Siapa..?" "Furqan! Ia sudah dilamar Furqan satu bulan yang lalu."
Mendengar hal itu tulang-tulang Azzam bagai dilolosi satu per satu. Lidah dan bibirnya terasa kelu. Furqan lagi. Ia
berusaha keras mengendalikan hati dan perasaannya untuk bersabar. "Maafkan aku Rul. Aku sarankan kau mencari yang lain
saja. Mahasiswi Indonesia di Al Azhar kan banyak. Dunia tidak selebar daun kelor." Ustadz Mujab berusaha menenteramkan.
"Iya Ustadz. Tapi saya akan mencari yang sekualitas Anna Althafunnisa."
Ustadz Mujab terhenyak mendengar jawaban Khairul Azzam. Begitu mantapnya ia memasang standar. Ia seolah lah
sudah tahu persis Anna Althafunnisa. "Apa kamu sudah pernah ketemu Anna..?"
"Belum."
'Sudah pernah tahu wajahnya..?"
"Belum."
"Aneh. Bagaimana mungkin kau begitu mantap memilih Anna Althafunnisa..? Bagaimana mungkin kau menjadikan
Anna sebagai standar." "Firasat yang membuat saya mantap Ustadz." "Tapi menikah tidak cukup memakai firasat Rul. Jujur
Rul aku sangat kaget dengan standarmu ini. Baiklah aku buka sedikit. Anna adalah bintangnya Pesantren Daaru Quran.
Sejak kecil ia menghiasi dirinya dengan prestasi, dan prestasi selain dengan akhlak mulia tentunya. Ia menyelesaikan S.1 -
nya di Alexandria dengan predikat mumtaz. Kalau ingin memi-liki isteri seperti dia. Cobalah kau menstandarkan dirimu dulu
seperti dia. Kalau aku jadi orang tuanya, dan ada dua mahasiswa
Al Azhar yang satu serius belajarnya yang satu hanya sibuk membuat tempe. Maaf Rul, pasti aku akan memilih yang
lebih serius belajamya. Kau tentu sudah paham maksudku. Bukan aku ingin menyinggungmu, tapi aku ingin kau mem -
perbaiki dirimu. Aku ingin kau lebih realistis. Cobalah kau raba apa opini di Cairo tentang dirimu."
"Iya Ustadz. Terima kasih. Ini akan jadi nasihat yang sangat berharga bagi saya." Jawab Azzam dengan mata berlinang.
Kalimat Ustadz Saiful Mujab sangat berat ia terima. Ia
sangat tersindir. Tapi ia tidak bisa berbuat apa apa. Dengan bahasa lain, sebenamya Ustadz Mujab seolah ingin menga -
takan bahwa dia sama sekali "tidak berhak" melamar Anna. Atau lebih tepatnya sama sekali "tidak layak" melamar Anna.
Hanya mereka yang berprestasi yang berhak dan layak melamarnya.

Dan lagi-lagi, prestasi yang dilihat adalah prestasi akademis. Dan di mata orang orang yang mengenalnya di dunia
akademis, ia sangat dipandang remeh karena tidak juga lulus dari Al Azhar. Padahal sudah delapan tahun lebih ia menjalaninya.
Azzam lalu minta diri. Dalam perjalanan ke rumahnya ia meneteskan air mata. Ia berusaha tegar dan sabar. Namun
setegar-tegarnya ia adalah manusia biasa yang memiliki air mata. Ia bukan robot yang tidak memiliki perasaan apa-apa. Ia
mengusap air matanya. Ia tidak bisa menyalahkan siapa saja jika ada yang meremehkannya. Karena memang kenyataannya
ia belum juga lulus. Ia berusaha meneguhkan hatinya bahwa hidup ini terus bergulir dan berproses.
"Baiklah saat ini aku belum berhasil menunjukkan prestasi. Tapi tunggulah lima tahun kedepan.

Akan aku buktikan bahwa, aku, Khairul Azzam berhak melamar gadis salehah yang mana saja."
Sampai di rumah ia langsung ke kamarnya untuk istirahat. Diatas meja masih tergeletak surat dari Husna, adiknya
di Indonesia yang mengabarkan bahwa si kecil Sarah perlu operasi amandel. Dan perlu biaya seragam pondok pesantren.
Ia langsung teringat akan tanggung jawabnya sebagai kakak tertua. Ia menangis. Ia merasakan betapa sayangnya Allah
kepadanya. Allah masih ingin ia fokus pada tanggung jawabnya membiayai adik-adiknya. Inilah hikmah yang ia dapat
dari peristiwa kekecewaannya karena Anna telah dilamar orang lain. "Allah swt belum mengijinkan aku menikah. Aku masih harus
memperhatikan adik-adikku sampai ke gerbang masa depan yang jelas dan cerah. Kalau aku menikah saat ini, perhatianku
pada adik-adikku akan berkurang." Ia berbisik pada dirinya sendiri. Ia bertekad untuk menutup semua pintu hatinya. Dan
akan ia buka kembali saat nanti sudah pulang ke Indonesia. Setelah ia sudah selesa S.1 dan adik-adiknya sudah bisa ia
percaya mampu meraih masa depannya. Tiba-tiba ia tersenyum.
"Bodohnya aku kenapa aku memasukkan Eliana dan Anna ke dalam hati. Bodohnya aku. Tugas yang jelas di mata menuntut
tanggung jawab saja masih panjang kok malah tergoda dengan yang tidak jelas." Gumamnya lagi pada diri sendiri.
Ia menancapkan tekadnya untuk bekerja lebih keras lagi. Dan ia akan belajar lebih keras. Ia ingin sukses dua duanya. Ia
lalu teringat harus segera mengirimkan uang ke Indonesia. Ke rekening Husna, agar si Sarah bisa belajar dengan tenang di
pesantrennya. Ia ingin adik bungsunya itu menghafal Al-Quran. Tiba-tiba ia rindu seperti apa adik bungsunya itu. Ia
tidak tahu seperti apa wajah adiknya itu sebenarnya. Ia hanya tahu wajahnya yang ada di foto. Sebab ia belum pernah bertemu
dengannya sama sekali. Saat ia meninggalkan Indonesia dulu, Sarah masih berada dalam kandungan ibunya.
"Ah semua sudah ada yang mengatur. Yaitu Allah Subhanahu wa Ta'ala. Jika saatnya ketemu nanti akan ketemu juga."
Gumamnya dalam hati.

LAGU-LAGU CINTA

Jam setengah tiga. Purnama bulat sempurna. Bintangbintang bertaburan menghias angkasa. Malam itu Kota Cairo
terasa sejahtera. Angin musim semi mengalir semilir. Pelan. Berhembus dari utara ke selatan. Menerobos sela-sela pintu
dan jendela apartemen. Menebarkan kesejukan-kesejukan. Dua ekor kucing bercengkerama. Sesekali mengeong.
Sesekali menjerit-jerit, melengking lengking memba-hana. Keduanya kejar-kejaran dengan suara yang sangat gaduh
bagi yang mendengarnya. Di taman sebuah apartmen di kawasan Mutsallats, dua ekor kucing itu menikmali indahnya musim
semi. Diiringi tasbih daun-daun yang dibelai angin musim semi, mereka saling merayu. Mereka mendendangkan lagu-lagu cinta.
Ya. Lagu cinta yang sangat indah, yang hanya bisa dipahami oleh mereka berdua.
Tak begitu jauh dari situ, sebuah kedai kopi tampak masih ramai.Belasan orang terjaga menikmati musim semi
dengan minum kopi, menghisap shisha, main kartu dan berbincang tentang apa saja. Ada yang sedang menikmati film
india. Ada juga yang sedang berdiskusi dengan serius. Temanya meloncat-loncat, ke mana-mana.
Musim semi memang indah. Paginya indah. Siangnya indah. Sorenya indah. Malamnya pun indah. Lebih lebih bagi
mereka yang menikmatmya dengan penghayatan ibadah. Namun demikian, ada juga orang-orang yang sama sekali
tidak peduli dengan datangnya musim semi. Ada juga bahkan yang tidak pernah merasakan datangnya musim semi. Mereka
bahkan nyaris tidak pernah merasakan adanya pergantian musim. Semua itu, lantaran kerasnya kehidupan yang harus
mereka hadapi dan lalui. Lantaran mereka harus terus memeras otak dan menghadapi hidup dengan kucuran keringat dan
bekerja tiada henti. Di antara orang-orang yang nyaris tak pernah peduli
datangnya musim semi itu adalah ‘Mas Insinyur’ Khairul Azzam, dan beberapa orang mahasiswa yang bekerja dengannya.
Malam itu, di kamarnya yang berada di sebuah apartemen, tepat di samping taman di mana ada dua ekor kucing
yang sedang mendendangkan lagu-lagu cinta, ia masih juga belum istirahat dari pekerjaannya. Sementara teman-temannya
satu rumah sudah larut bermesraan dengan mimpi indahnya masing masing. Azzam masih sibuk berkutat dengan kacang kedelainya
yang telah ia beri ragi. Dengan penuh kesabaran ia harus membungkusnya agar menjadi tempe. Sejak lamarannya pada
Anna Althafunnisa telah didahului oleh sahabatnya sendiri,Azzam memutuskan untuk total bekerja. Sejak Ustadz Mujab
menyarankan agar ia mengukur dirinya, ia memutuskan untuk total membaktikan diri pada ibu dan adik-adiknya di Indonesia.
Ia niatkan itu semua sebagai ibadah dan rahmah yang tiada duanya. Ia juga meniatkannya sebagai tempaan dan pelajaran
hidup yang harus ia tempuh di universitas besar kehidupan. Ia yakin, semua itu tidak akan sia-sia. Bukankah Allah
tak pernah menciptakan segala sesuah dengan kesia-siaan. Ia tidak lagi memiliki mimpi yang melangit tentang calon
isteri. Ia sudah bisa mengaca diri. Ia yakin jodoh-nya telah ada, telah disiapkan oleh Allah Swt. Maka ia tidak perlu kuatir.
Jodoh adalah bagian dari rezeki. Rezeki seseorang sudah ada jatahnya. Dan jatah rezeki seseorang tidak akan diambil oleh
orang lain. Begitulah yang tergores dalam pikirannya. Maka ia merasa tenang dan tenteram. Tetapi tempaan hidup, ilmu
hidup harus diusahakan. Allah tidak akan menambah ilmu seseorang kecuali seseorang itu berusaha menambah ilmunya.
Ia merasa bekerja serius adalah bagian dari upaya menambah ilmu dan bagian dari usaha mengubah nasib.
Sejak peristiwa itu ia merasa harus lebih serius menghadapi hidup. Ia mulai membangun diri untuk berproses tidak
hanya sukses secara bisnis, tapi juga sukses secara akademis. Ia mulai menata diri untuk menyelesaikan S.1 tahun ini juga.
Setelah itu ia tetap akan belajar dan belajar tiada hentinya. Wajahnya tampak lelah. Kedua matanya telah merah.
Namun sepertinva ia tak mau menyerah. Dalam kondisi sangat letih, ia harus tetap bekerja. Ia tak mau kalah oleh keadaan. Ia
tak mau semangatnya luntur begitu saja oleh rasa kantuk yang terus menderanya. Bila sudah begitu, ia selalu ingat
perkataan Al Barudi yang selalu melecut jiwanya, Orang yang memiliki semangat. Ia akan mencintai semua yang dihadapinya.

Ia melihat jam yang tergantung di dinding kamarnya. Ia menghela nafas dalam-dalam. Sudah masuk ujung malam, dua
jam lagi pagi datang. Ia harus menyelesaikan pekerjaannya dengan segera. Ia harus punya waktu untuk istirahat, meskipun
cuma satu jam memejam mata. Ia lalu berdiri dan menggerak-gerakkan tubuhnya untuk
menghilangkan rasa linu dan pegal yang begitu terasa. Dua menit ia melakukan gerakan senam ringan. Lalu kembali jongkok.
Dan kembali membungkus kedelai calon tempe dengan penuh ketelitian dan kesabaran.
Tepat pukul tiga kurang lima menit ia berdiri dan bernafas lega. Pekerjaannya telah usai. Masih ada sedikit waktu
untuk istirahat sebelum Subuh tiba. Alat-alat kerjanya ia rapikan. Ia letakkan pada tempatnya. Segera ia membersihkan
tangannya dan mengambil air wudhu. Sebelum merebahkan badannya di atas tempat tidur, terlebih dahulu ia sempatkan
dirinya untuk shalat tahajud dua rakaat lalu shalat Witir. Ia membaca tasbih sambil mengatur jam bekernya. Lalu perlahan tidur.
Baru saja matanya terpejam, ia mendengar namanya dipanggil-panggil pelan. Pintu kamamya juga diketuk, pelan.
"Kang Azzam... Kang Azzam!"
Dengan perasaan sangat berat, kepala sedikit pusing, ia bangkit.
"Siapa..? " tanyanya. "Hafez Kang."
Azzam turun dari tempat tidurnya dan beranjak membuka pintu kamarnya. Di depan pintu kamarnya berdiri seorang
pemuda berkaca mata. "Ada apa Fez..?" tanya Azzam.

"Maaf Kang, saya tidak kuat lagi. Saya tidak bisa tidur Kang. Saya tidak tahu harus bagaimana..? Saya perlu orang
yang saya ajak bicara. Saya mau minta pertimbangan Kang Azzam. Saya tidak kuat lagi Kang." Jelas Hafez dengan suara serak.
"Masih tentang perasaanmu pada Cut Mala..?" "Iya Kang."
"Aku tahu kau pasti berat menanggung perasaan itu Fez. Tapi afwan , aku belum tidur. Aku harus istirahat. Bila tidak
aku bisa ambruk. Nanti saja kita bicarakan Setelah shalat Subuh ya. Kau baca Al-Quran saja sana untuk menenangkan jiwa sambil menunggu Subuh.
Nanti kalau sudah Subuh aku dan teman-teman dibangunkan. Gitu ya..?" "Tidak bisa sekarang Kang..?"
"Aku tidak kuat Fez. Aku baru saja selesai membungkusi tempe. Aku sangat lelah. Aku butuh istirahat."
"Baiklah Kang. Setelah shalat Subuh." Pemuda berkaca mata itu beranjak ke kamamya. Azzam menutup kamarnya.
Tanpa dikunci. Ia merebahkan badannya. Ia tahu Hafez menghadapi masalah serius. Tapi ia perlu istirahat.
Dan membicarakannya setelah Subuh ia rasa tidak terlambat. Subuh sudah sangat dekat. Ia kembali berdoa, memejamkan mata dan tidur. Lelap.
Sementara Hafez keluar dari kamamya dengan membawa mushaf. Ia mengikuti saran Azzam. Di ruang tamu ia membaca
Al-Quran dengan suara pelan. Ia sama sekali tidak bisa berkonsentrasi menghayati dan mentadabburi apa yang dibacanya.
Pikirannya tetap saja tertuju pada Cut Mala. Ia sendiri tidak tahu kenapa satu bulan ini hati dan pikirannya tidak bisa

lepas dari Cut Mala. Mahasiswi Al Azhar dari Aceh yang tak lain adalah adik kandung teman yang paling akrab dengannya,
yaitu Fadhil. Ia tidak menyadari bahwa perasaan cintanya pada gadis Aceh itu tumbuh dengan begitu lembut dan perlahan.
Dan sekarang perasaan itu sudah sedemikian membuncah. Berbunga -bunga. Bahkan nyaris tak bisa dikuasainya.
Sedemikian membuncahnya perasaan itu, hingga ia tak bisa berbuat apa-apa. Padahal saat itu, ia harus konsentrasi
memikirkan ujian Al Azhar yang tinggal satu bulan lagi. Yang ada dalam pikiran dan hatinya selalu saja Cut Mala. Wajah
Cut Mala. Suara Cut Mala. Langkah kaki Cut Mala. Budi bahasa Cut Mala. Gaya bahasa Cut Mala. Tingkah laku dan
perangainya yang halus, sopan, dan sangat menjaga diri. Prestasi prestasinya yang selalu terukir dengan gemilang. Bahkan
pendapat-pendapatnya yang tertuang dalam pelbagai buletin kemahasiswaan di Cairo.
Itu semua telah membuat hati Hafez begitu kagum padanya. Ah, tak hanya kagum, tapi ada sesuatu yang aneh mendera-
dera hatinya, entah apa namanya. Ia merasa, di dunia ini tak ada gadis yang ia anggap sempurna untuk menjadi pendamping
hidupnya, menjadi ibu dari anak-anaknya, selain gadis dari Tanah Rencong itu.
Sehap kali ia mendengar nama itu disebut, hatinya sela lu bergetar. Berdesir-desir. Disebut oleh siapa saja. Termasuk
ketika ia mendengar nama itu disebut oleh Fadhil kakak kandung Cut Mala sendiri.
Dan setiap kali ia membaca nama gadis kelahiran Ulee Kareng Banda Aceh itu tertulis di buletin, buletin apa saja.
rasa cintanya bertambah-tambah. Ia merasa sudah nyaris gila. Ia sadar perasaan seperti itu
tidak boleh menjajah dirinya. Tapi entah kenapa ia merasa sangat tidak berdaya. Ia membaca Al-Quran dengan perlahan

dan ia kembali tidak berdaya. Cut Mala hinggap lagi di kelopak matanya.
Sudah sekuat tenaga ia mengusir kelebatan bayangan Cut Mala, tapi tak kuasa. Semakin ia coba mengusirnya, justru
semakin jelas bayangan Cut Mala bersemayam di benaknya. Ia benar-benar tak berdaya.
Dalam ketidak berdayaan, kehadiran bayangan Cut Mala, malah ia rasakan sebagai sebuah kegilaan dan kenikrnatan,
kenikmatan dan kegilaan. Bagaimana tidak. Saat ia berusaha mentadabburi apa yang ia baca, saat itu justru muncul bayangan
yang tidak-tidak di benaknya: "Seandainya ia telah menikah dengan Cut Mala, lalu di penghujung malam seperti
itu ia membaca Al-Quran bareng Cut Mala. Bergantian. Terkadang ia yang membaca, Cut Mala yang mendengarkan. Atau
Cut Mala yang membaca, ia yang menyimak dengan seksama. Alangkah indahnya. Alangkah indahnya.”
Ia memejamkan mata. Setetes airmata jatuh ke mushaf yang ia baca.
Ia sesenggukan. Menangis dengan perasaan cinta, sedih, rindu dan merasa berdosa bercampur jadi satu.
"Ya Allah, ampuni dosa hamba-Mu ini. Ya Allah, jika yang kurasakan ini adalah sebuah dosa maka ampunilah dosa
hamba-Mu yang lemah ini." Dalam doa dan istighfarnya, ia sangat berharap bahwa
Allah Swt. mengasihi orang-orang yang sedang jatuh cinta seperti dirinya.

***
Di ufuk timur, langit menyemburatkan warna merah. Fajar perlahan menyingsing. Sebuah menara mengumandangkan
adzan. Disusul menara kedua. Beberapa detik kemudian azan berkumandang dari beribu
menara yang menjulang di Kota Cairo. Azan dari menara Masjid Ar Rahmah membangunkan Cut Mala yang tinggal di
kawasan Masakin Utsman. Tepatnya Masakin Utsman 72/605, tak jauh dari Masjid Ar Rahmah yakni masjid yang oleh
orang-orang Indonesia disebut "Masjid Planet". Disebut "Masjid Planet" karena bentuknya yang tidak
seperti masjid pada umumnya, tapi mirip bangunan dari planet lain.Ada juga yang menyebut "Masjid UFO", karena bentuknya
agak mirip UFO. Gadis Aceh itu membangunkan teman-temannya. Ketika
ia masuk kamar Tiara, ia mendapati kakak kelasnya itu masih bersimpuh di atas sajadahnya dengan terisak-isak. Ia tidak
ingin mengganggunya. Cut Mala atau lengkapnya Cut Malahayati, tinggal di dalam flat yang cukup luas itu dengan empat orang mahasiswi.
Flat itu memiliki tiga kamar tidur berukuran cukup luas. Satu dapur. Satu kamar mandi. Balkon. Dan ruang tamu yang
juga luas. Flat itu tergolong mewah. Semua lantainya full karpet. Di ruang tamu ada seperangkat sofa yang diimpor dari
Italia. Dapur full keramik. Dan kamar mandi yang tak kalah dengan hotel bintang tiga. Flat itu juga dilengkapi telpon,
pemanas air, kulkas, kompor gas bahkan pengatur suhu udara diruang tamu.
Cut Mala dan teman-temannya bisa dikatakan beruntung. Sebab untuk flat yang semewah itu mereka hanya
membayar tiga ratus pound perbulan. Untuk ke kuliah pun seringkali ia memilih jalan kaki. Sebab flatnya dengan kuliah
banat tidaklah jauh. Pemilik flat itu bernama Madam Zubaida. Seorang pengusaha
yang kaya. Ia memiliki perusahaan travel dan beberapa toko sepatu di Cairo dan Alexandria. Madam Zubaida

sangat pemurah dan baik hati. Ia memiliki tiga orang anak. Satu putri, dua putra. Dua anaknya berada di luar negeri.
Yang putri bemama Yasmin, sedang kuliah di Prancis, dan telah menikah dengan seorang staf Kedutaan Mesir di Paris.
Anaknya yang nomor dua, kuliah di Istanbul. Hanya si Bungsu yang menemaninya. Masih kuliah di Fakultas Kedokteran
Cairo University. Setahu Cut Mala, Madam Zubaida memiliki tiga rumah di Cairo. Satu di kawasan Mohandisin yang ia
tempati bersama putra bungsunya. Yang kedua di kawasan Ma'adi, dan yang ketiga di Masakin Utsman Nasr City yang
disewakan kepada mahasiswi dari Indonesia. Tujuan Madam Zubaida menyewakan flatnya di Masakin
Utsman memang tidak semata mata untuk mendapatkan uang, tapi agar flatnya ada yang menjaga, merawat dan mengurusnya.
Maka ia hanya percaya pada para maha-siswi. Khususnya mahasiswi Indonesia. Kebetulan Madam Zubaida pernah
memiliki seorang pembantu perem-puan dari Indonesia. Madam Zubaida sangat terkesan dengan kehalusan budi dan
ketelatenan pembantunya itu dalam mengurus rumahnya. Maka sejak itu ia sangat percaya pada perempuan dari
Indonesia. Perempuan Indonesia memang luar biasa di mata Madam Zubaida.
Setiap bulan Madam Zubaida datang mengontrol keadaan flatnya pada hari yang tidak ia tentukan. Dan ia selalu
puas, karena para mahasiswi dari Indonesia yang meninggali flatnya benar-benar menjaga dan merawat flatnya dengan
baik. Cut Mala dan teman temannya bahkan selalu menjaga seluruh ruangan flat itu dengan pengharum ruangan, agar
selalu segar dan wangi udaranya. Bisa dikatakan, seluruh penghuni rumah itu adalah mahasiswi
yang bernaung dalam Keluarga Mahasiswa Aceh. Cut Mala dari Pidie dan Tiara dari Banda Aceh. Keduanya benarbenar
asli Aceh, maksudnya kedua orangtua mereka memang asli Aceh. Selain mereka berdua ada Cut Rika dan Masyithah.
Keduanya tidak berdarah Aceh murni, namun tidak ada bedanya dengan yang berdarah Aceh.Cut Rika, lahir di Peukan
Bada, Aceh Besar, tapi ia besar dan menghabiskan masa remajanya di rumah neneknya di Bandung. Ayahnya asli Peukan
Bada, ibunya asli Bandung. Dan terakhir adalah Masyithah, gadis paling cantik di rumah itu. Bahkan, mungkin mahasiswi
Indonesia paling cantik di Cairo. Hanya saja tidak banyak yang tahu seperti apa sesungguhnya kecantikannya. Sebab,
dalam keseharian ia selalu memakai cadar. Masyithah lahir di Aceh, ayahnya asli Syiria, ibunya asli
Pakistan. Jadi sama sekali tidak ada darah Aceh yang mengalir dalam dirinya. Tapi sejak pertama kali melihat dunia ia telah
jadi orang Aceh. Masyithah lahir di Banda Aceh saat ayahnya mendapat
tugas dari Rabithal 'Alam Islami untuk mengajar di IAIN Ar Raniry. Saat melahirkannya, ibunya meninggal dunia Ayahnya
tetap teguh untuk menyelesaikan tugasnya berdahwah dan mengajar di Aceh.
Ia dirawat oleh seorang gadis dokter yang membantu kelahirannya. Entah bagaimana awalnya, akhimya dokter asli
Aceh yang merawatnya itu berhasil disunting ayahnya. Dialah ibunya, yang ia kenal sekarang. Meskipun sesungguhnya ia
ibu tiri, tapi ia tak pernah merasa menjadi anak tiri. Sejak itu ayahnya pindah kewarga-negaraan menjadi orang Indonesia.
Sekarang ayahnya bekerja di Kedutaan Besar Syiria di Jakarta. Sementara ibunya bekerja di RSCM Jakarta. Masyithah sudah
bisa berbahasa Arab sejak kecil. Maka wajar jika ia paling fasih berbahasa Arab di rumah itu. Selain bahasa Arab, ia juga fasih
berbahasa Indonesia dan Aceh. Cut Mala dan teman-temannya menjalankan shalat Subuh
berjamaah. Mereka menggelar sajadah di ruang tamu. Yang menjadi imam pagi itu Cut Rika. Mahasiswi tingkat tiga jurusan
tafsir itu membaca surat An Nisa'. Bacaannya tartil dan fasih. Suaranya indah. Semuanya larut dalam penghayatan
kalam ilahi. Usai shalat mereka zikir, mengingat Allah Swt., lalu membaca Al Ma' tsurat. Setelah itu mereka kembali ke
kamarnya masing-masing untuk tilawah. Cut Mala mengikuti Masyithah masuk kamar. Mereka
berdua memang tinggal dalam kamar yang sama. Keduanya lalu larut dalam tadarus Al-Quran. Cut Mala terus membaca.
Sementara Masyithah menyudahi baca-annya. Ia menyalakan komputernya. Tiara mendekati Cut Mala. Cut Mala menyudahi
bacaannya.
"Mau aku ajak jalan jalan Dik Mala..? " Lirih Tiara.
"Mau Kak."
"Yuk kita keluar. Kita ke Hadiqah Dauliyah. Sekalian menghirup udara pagi. Aku ingin sedikit bicara denganmu."
"Ayuk."
Cut Mala melepas mukenanya. Memakai jubah hijau tuanya dan memakai jilbab hijau mudanya. Setelah yakin dengan
penampilannya ia melangkah keluar kamar mengikuti Tiara. Masyithah yang mengetahui ke mana me-reka akan pergi berteriak,
''Jangan lupa nanti mampir beli roti."
"Insya Allah. " Jawab Cut Mala.

* * *
Usai shalat Subuh, Azzam tetap di masjid, demikian juga Hafez. Azzam membaca dua halaman mushafnya lalu mendekab
Hafez yang duduk terpekur tak jauh darinya. Beberapa orang Mesir duduk melingkar untuk membaca Al-Quran bergantian.
Biasanya Azzam menyempatkan ikut, tapi kali ini ia sudah berjanji pada Hafez.
"Sebaiknya kita berbincang-bincang di luar sana sambil berjalan-jalan dan menghirup udara pagi" kata Azzam pada Hafez.
Hafez mengangguk. Keduanya keluar meninggalkan masjid dan berjalan menelusuri trotoar ke arah Mahatta Gami'.
"Kau bilang kau akan konsentrasi pada studimu Fez. Apa kau lupa dengan itu..?" Kata Azzam seraya menghentikan
langkahnya. Hafez juga menghentikan langkahnya. "Aku inginnya begitu Kang. Tapi entah kenapa aku sama
sekali tidak bisa melupakan dia. Aku tidak bisa berhenti memikirkannya. Aku bingung aku harus bagaimana. Saat shalat,
aku membayangkan jika shalat bersamanya. Saat membaca Al-Quran aku membayangkan jika aku membaca Al-Quran
bergantian dengannya. Saat berdoa pun aku juga mengingat dirinya. Aku harus bagaimana Kang..?"
"Ini penyakit, kau harus sadar itu Fez!" "Aku sadar Kang, sangat sadar. Aku tak boleh membayangkan
wajahnya. Itu tidak boleh. Itu haram.Tapi bayangan wajahnya datang begitu saja Kang. Aku bisa gila Kang. Aku
rasa satu -satunya jalan aku harus berterus terang pada Fadhil, bahwa aku mencintai adiknya dan aku langsung akan mela -
marnya dan menikahinya secepatnya" Azzam tersenyum.
"Itu pikiran yang bagus. Menikah. Tapi masalahnya apa kamu yakin adik si Fadhil. Siapa itu namanya Cut Nala..?"
"Bukan Nala Kang, Mala."

"O ya Cut Mala. Apa kamu yakin dia siap untuk menikah. Dia baru tingkat dua. Sedang asyik-asyiknya merasakan
dinamika hidupnya sebagai seorang maha-siswi. Bahkan seorang aktivis. Terus kalau dia siap menikah apa kamu yakin dia
mau menikah denganmu? " "Lalu aku harus bagaimana Kang?"
"Kau harus melupakannya. Jika dia jodohmu, percayalah, dia tidak akan ke mana-mana. Dia tidak akan diambil siapapun
juga." "Tapi rasanya sangat susah Kang." "Aku tahu. Selama kau masih satu rumah dengan Fadhil
kau takkan bisa melupakannya. Aku tahu setidaknya tiap dua hari sekali Fadhil mendapatkan telpon dari adiknya, dan sebaliknya
Fadhil juga sering menelpon adiknya. Terkadang tanpa
sadar Fadhil menyebut nama adiknya itu di depanmu, di depan kita-kita. Bagi orang lain yang tak memiliki perasaan apa-apa,
mendengar namanya mungkin tak ada masalah. Tapi bagi kamu, itu sama saja air hujan menyirami tanaman yang mengharap
air. Belum lagi kalau adiknya itu datang mengantar sesuatu, yang terkadang mengantar makanan untuk kakaknya.
Ya untuk kakaknya, tapi kita ikut menyantap masakannya. Bagi yang lain mungkin tidak masalah, tapi bagimu
menyantap masakannya akan mengobarkan bara asmara yang mungkin susah payah kau padamkan. Jika kau nekat berterus
terang pada Fadhil saat ini, percayalah kau bisa merusak segalanya. Kau bisa merusak dirimu sendiri. Merusak hubunganmu
dengan Fadhil. Bahkan juga bisa merusak Cut Mala." "Kok bisa sejauh itu efeknya Kang..?"
"Keinginan menikah itu baik. Keinginan melamar seseorang juga tidak salah. Namun jika waktunya tidak tepat,
yang didapat bisa hal yang tidak diinginkan. Kau tentu tahu saat ini sudah sangat dekat dengan ujian. Waktunya orang

konsentrasi pada ujian. Kalau kau membuka perasaan dan keinginanmu saat ini, pasti bisa membuyarkan konsentrasi
Fadhil, juga adiknya Cut Mala. Bahkan jika Cut Mala pun siap menerimamu. Konsentrasinya pada pelajaran akan buyar dan
beralih memikirkan lamaranmu. Apalagi jika ia sebenamya tidak siap menikah. Fadhil juga akan sangat memikirkan hal
itu. Sebab, kau adalah temannya, dan Cut Mala adalah adiknya. Jika Cut Mala menolak lamaranmu Fadhil pasti akan
sangat tidak enak padamu. Belum lagi hal-hal lain di luar prediksi kita. Saya pernah mendapat cerita dari seorang bapak
di KBRI, ada seorang mahasiswi gagal ujiannya gara-gara dilamar oleh seseorang lewat telpon dan mahasiswi itu tidak
siap menerima lamaran itu. Konsentrasinya buyar dan ujiannya gagal. Apa tidak kasihan kalau itu terjadi pada Cut Mala."
"Terus saya harus bagaimana Kang..?" "Kau harus berhasil mengatasi dirimu. Kau harus bisa
mengatasi perasaanmu. Jangan kau korbankan orang lain. Sebaiknya untuk sementara, kau mengungsilah yang jauh
supaya bisa konsentrasi belajar. Nanti setelah ujian selesai, aku akan membanturnu membicarakan hal ini dengan Fadhil. Ini
lebih baik bagimu dan bagi semuanya. Percayalah, siapa jodohmu, sudah ditulis di Lauhul Mahfudz. Kau jangan kuatir.
Jika memang yang tertulis untukmu adalah Cut Mala, Insya Allah tidak akan ke mana-mana.
"Baiklah Kang. Aku ikut saranmu. Tapi janji ya Kang, setelah ujian selesai nanti akan membanlu berbicara dengan Fadhil."
"Ya, aku janji."

* * *
Cut Mala dan Tiara keluar flat dan turun menggunakan lift. Mereka lalu berjalan ke selatan menuju Hadiqah Dauliyah.
Sebuah taman kota di Nasr City yang sangat dibanggakan oleh orang Mesir. Taman yang terdiri hanya atas beberapa
hektar itu, mereka sebut Hadiqah Dauliyah, artinya International Garden, Taman Internasional.
Mahasiswa Indonesia sering menertawakan orang Mesir begini,"Kita saja orang Indonesia yang memiliki taman sangat
luas, replika dari suku bangsa Indonesia, untuk mengitarinya tidak cukup dengan jalan kaki. Kita masih menamakan taman mini.
Kita menyebutnya Taman Mini Indonesia Indah. Sedangkan ini taman yang cuma beberapa hektar saja sudah
disebut Taman Internasional. Terkadang orang Mesir menjawab dengan santai, "Itulah bedanya orang Indonesia dengan
orang Mesir. Orang Indonesia terlalu rendah diri, terlalu minder dengan kemampuannya, dan tidak bisa memotivasi diri.
Sedangkan orang Mesir selalu percaya diri. Selalu bisa memotivasi diri! Kita bisa menginternasionalkan yang kecil." Maka
biasanya orang Indonesia akan diam sambil terus menggerutu di dalam hati, "Dasar orang Mesir anak Fir'aun, sombong sekali!"
Cut Mala dan Tiara sudah sampai di gerbang Hadiqah. Gerbang baru saja dibuka. Beberapa orang Mesir masuk.
Mereka berpakaian olah raga. Dua gadis Aceh itu masuk. Tiara mengajaknya duduk di sebuah bangku panjang. Langit
tampak cerah. Burung burung beterbangan dari pohon ke pohon. Dari arah timur, di antara gedung-gedung bertingkat
muncul cahaya kemerahan yang perlahan menjadi kekuningkuningan. Matahari muncul seolah tersenyum pada bumi.
"Mau bicara tentang apa Kak..?" Tanya Cut Mala. "Aku mau sedikit minta tolong padamu Dik." Jawab Tiara.
"Apa itu Kak..?" "Begini, aku sedang sedikit menghadapi masalah serius.
Aku minta kamu tidak membuka hal ini kepada siapapun juga.
Kemarin aku mendapat telpon dari Aceh. Dari ayah. Beliau bilang, aku dilamar oleh seorang Ustadz. Namanya Ustadz
Zulkifli. Dia adalah salah seorang ustadz di pesantren kakak dulu. Namun dia tidak pernah mengajar kakak. Karena ketika
dia masuk pesantren, kakak sudah kelas dua aliyah. Dan dia mengajar di kelas satu. Jadi kakak tidak tahu persis bagaimana
sebenamya dia. Ayah cerita, katanya Ustadz Zulkifli pernah satu pesantren dengan Kak Fadhil, kakakmu. Aku minta tolong
sampaikanlah keadaanku ini pada Kak Fadhil. Aku sebaiknya mengambil keputusan apa? Harus aku terimakah
lamarannya atau bagaimana? Dua hari lagi ayah mau menelpon untuk meminta kepastianku. Ayah menyerahkan sepenuhnya
padaku." "Sebenarnya dari hati nurani paling dalam Kak Tiara bagaimana..? Menerima atau menolak..? "
"Aku tidak tahu Dik." "Reaksi hati pertama kali mendengar lamaran itu bagaimana Kak..?"
"Biasa-biasa saja. Karena sebenarnya aku belum ingin menikah. Aku ingin menikah setelah selesai kuliah. Tapi ayah
bilang jika aku mau, Ustadz Zulkifli akan menyusul ke Mesir. Aku belum bisa mengambil keputusan. Tolong ya sampaikan
hal ini pada Kak Fadhil. Aku ingin tahu pendapat dia sebagai pertimbangan. Dia mungkin kenal baik Ustadz Zulkifli, dan
dia juga tahu tentang diriku." "Baiklah Kak, amanah kakak segera saya tunaikan, Insya Allah."
Hati Tiara merasa lega mendengar jawaban Cut Mala. Sebenarnya ia ingin mengatakan pada Cut Mala, bahwa ia
mencintai Fadhil, kakaknya, tapi ia tidak sampai hati menyampaikannya. Rasa malulah yang menghalanginya. Selama ini ia
hanya bisa meraba tanpa bisa memastikan apakah Fadhil

memiliki perasaan yang sama ataukah tidak. Ia ingin mendengar komentar Fadhil tentang masalahnya untuk sedikit
mencari petunjuk dan isyarat seperti apa sesungguhnya sikap Fadhil kepadanya.
Ia ingin mencari petunjuk bahwa Fadhil juga mencintainya. Jika ya, ia akan lebih memilih hidup bersama orang
yang dicintainya. Ia sangat yakin Fadhil orang yang baik dan saleh, demikian juga Ustadz Zulkifli. Jika demikian, bila disuruh
memilih yang sama baiknya, tentu ia akan memilih yang telah diterima oleh hatinya. Namun, ia merasa jodoh terkadang
tidak bisa dipilih. Jodoh dalam keyakinannya adalah dipilih. Ya, dipilihkan oleh Allah swt. Manusia hanya berusaha,
berikhtiar. Dan apa yang ia lakukan pada pagi buta dimusim semi itu ia yakini sebagai salah satu dari ikhtiarnya.
Ia tidak bisa menampik bahwa ia mencintai Fadhil,  dengan diam-diam. Namun ia tidak yakin cinta seperti yang ia
rasakan akan kekal. Baginya, cinta yang kekal adalah untuk orang yang secara sah menjadi suaminya, Dan ia tidak
memungkiri, ia ingin orang itu adalah Fadhil. Sekali lagi jika boleh memilih.
Tiara bangkit diikuti Cut Mala. Keduanya berjalan mengitari taman. Orang-orang Mesir semakin banyak berdatangan.
Ada yang berlari-lari kecil. Ada yang hanya berjalan jalan. "Berarti Ustadz Zulkifli itu pernah belajar di Pesantren
Ar Risalah Medan Kak..?" tanya Cut Mala. Ia bertanya begitu karena Fadhil, kakaknya menyelesaikan pendi-dikan menengahnya
di pesantren itu. "Iya. Setahu saya, dia waktu MTs dan Aliyahnya di
Pesantren Ar Risalah, lalu kuliah di LIPIA Jakarta Prograrn I’dadul Lughah, setelah itu ia mengajar di pesantren kakak."
Jelas Tiara panjang lebar.

"Dia tampan nggak Kak?"
"Aku tak ingat lagi wajahnya Dik. Kenapa kau tanya
begitu..?"
"Memang tidak boleh, Kak..?!"
"Ya boleh saja. Tapi kenapa kau tanya begitu..?"
"Kalau dia tampan, ya diterima saja Kak."
"Kalau tidak tampan..?"
"Ya terserah Kakak. Kan Kakak yang mengambil keputusan,
dan kakak pula yang akan menjalaninya bukan Mala,
hi... hi... hi...." Cut Mala cekikikan. Dua lesung di pipinya
menambah pesona wajahnya.
Tiara gemas dibuatnya.

SMS UNTUK ANNA

Gadis itu berjalan dengan hati berselimut cinta. Hatinya berbunga-bunga. Siang itu, Cairo ia rasakan tidak seperti biasanya.
Musim semi yang sejuk, matahari yang ramah, serta senyum dari Profesor Amani saat memberinya ucapan selamat
dan doa barakah. Semua melukiskan suasana indah yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia merasakan begitu dalam
rahmat dan kasih sayang Allah kepadanya. Ia berjalan dengan hati berselimut cinta. Kedua matanya
basah oleh air mata haru dan bahagia. Itu bukan kali pertama ia menangis bahagia. Ia pernah beberapa menangis bahagia.
Dulu, begitu kedua kakinya untuk pertama kalinya menginjak tanah Mesir, ia menangis. Juga saat berhasil
lulus S.1 dua tahun yang lalu dengan predikat mumtaz, atau summa cumlaude. Ialah mahasiswi dari Asia Tenggara pertama
yang berhasil meraih prestasi ini. Ia juga menangis penuh rasa syukur ketika berhasil lulus ujian tahun kedua pasca
sarjana. Lulus setelah melewati ujian tulis dan ujian lisan yang berat. Dalam ujian lisan ia harus berhadapan dengan empat
profesor. Lulus juga dengan nilai mumtaz, sehingga ia berhak untuk mengajukan judul tesis. Saat itu ia merasakan betapa
dekatnya Allah 'Azza wa Jalla. Betapa sangat sayanya Allah kepadanya. Doa dan usaha kerasnya senantiasa dijabahi oleh-Nya.
Dan hari ini, ia kembali menangis. Menangis bahagia. Hatinya dipenuhi keharuan -luar biasa. Batinnya terus bertasbih
dan bertahmid. Jiwanya mengalunkan gerimis Subhaana Rabbiyal a'la wa bihamdih. Subhaana Rabbiyal a'la wa bihamdih.
Subhaana Rabbiyal a’1a wabihamdih... Ia bertasbih. Proposal tesisnya langsung diterima tanpaa menunggu waktu yang
lama. Hanya satu bulan saja sejak proposal tesisnya itu ia ajukan ke Qism Diraasat 'Ulya.
Ia kembali menangis. Ia kembali teringat kata abahnya tercinta, "Anakku, alangkah indahnya jika apa saja yang kau temui.
Apa saja yang kaurasakan. Suka, duka, nikmat, musibah, marah, lega, kecewa, bahagia. Pokoknya apa saja, Anakku. Bisa
kau hubungkan derngan akhirat, dengan hari akhir. Dengan begitu hatimu akan sangat peka menerima cahaya hikmah dan
hidayah. Hatimu akan lunak dan lembut Selembut namamu. Dan tingkah lakumu juga akan tertib setertib namamu!"

Wajah abahnya seperti di depan mata. Saat itu ia bingung dengan maksud menghubungkan yang ditemui dan dirasakan
dengan akhirat. Abah sepertinya tahu akan kebingungannya, maka abah langsung menyambung,
"Begini Anakku, jika suatu ketika kau dimurkai ibumu misalnya, carilah sebab kenapa kau dimurkai ibumu. Hayati
perasaanmu saat itu, saat kau dimurkai. Ibumu murka kemungkinan
besar karena kau melakukan suatu kesalahan, yang karena kesalahamnu itu ibumu murka. Dan saat kau dimurkai
pasti kau merasakan kesedihan, bercampur ketakutan dan juga penyesalan atas kesalahanmu. Itulah yang kau temui dan kau
rasakan, saat itu. Lalu hayati hal itu sungguh sungguh, dan hubungkan dengan akhirat. Bagaimana rasanya jika yang
murka kepadamu adalah Allah. Murka atas perbuatanperbuatanmu yang membuat-Nya murka. Bagaimana perasaanmu
saat itu. Mampukah kau menanggungnya. Jika yang murka adalah ibumu, kau bisa meminta maaf. Karena kau
masih ada di dunia. Jika di akhirat bisakah minta maaf kepada Allah saat itu..? "
Air matanya kembali meleleh. "Terima kasih Abah!" Lirihnya. Kata-kata abahnya itu
memang sangat membekas dalam dirinya. Kata -kata abah saat berusaha menghiburnya kala ia dimurkai ibunya liburan tahun
lalu. Ia dimurkai gara-gara asyik membaca saat diminta ibunya mengupaskan mangga kepona-kannya si Kecil Ilham
putra kakak sulungnya. Saat itu ia hanya menjawab "Inggih, sekedap''  dan ia masih konsentrasi membaca buku yang baru
ia beli dari Shopping Centre Jogja. Ia tidak memperhatikan pisau dan mangga yang diletakkan oleh lbu di samping kanannya.
Sementara ia terus asyik membaca, si Kecil rupanya tidak sabar. Diam-diam ia mengambil pisau dan berusaha mengupas

sendiri. Akibatnya, jari si Kecil kepiris, darah mengalir dari jarinya dan harus dilarikan ke puskesmas. Ia dimurkai ibunya
habis-habisan, buku yang ia baca dibakar oleh ibunya. "Buku setan! Apa hidup hanya untuk membaca! Apa
belajar bertahun-tahun di Mesir masih kurang hah! Apa ilmu hanya ada dalam buku! Peka pada anak kecil apa juga tidak
perlu ilmu! Apa gunanya jadi sarjana, lulusan Al Azhar kalau tidak tanggap sasmita, kalau disuruh ibunya tidak segera
beranjak!" Saat itu ia benar-benar sangat menyesal. Ia merasa begitu kerdil. Kesalahannya seolah tidak bisa ditebus, tidak termaafkan.
Merasa menjadi orang paling berdosa di dunia. Ibu tidak pernah marah bila ia membaca buku. Tapi saat itu beliau
sangat murka justru dikarenakan keasyikannya membaca buku. Abah menghiburnya. Itu baru ibu yang murka, bagaimana
jika Allah swt yang murka..? Dan hari berikutnya, ibu sudah tersenyum padanya, sudah melupakan semua kesalahannya. Si
Kecil Ilham seperti tidak merasakan sakit pada jarinya saat ia ajak main bongkar-pasang balok susun.
Dia terus berjalan. Kakinya melangkah menyeberangi jalan raya dan rel metro yang melintas di depan Kulyyatul
Banat. Sinar matahari begitu cerah dan bening, tidak seperti saat musim panas atau musim dingin. Sesekali ia mengusap
matanya yang sembab dengan sapu tangannya. Sesungguhnya yang membuat dia menangis tidaklah
semata-mata rasa bahagia karena proposal tesisnya diterima dalam waktu begitu singkatnya, sementara ada mahasiswi
yang sudah dua kali mengajukan proposal tesis dan sudah menunggu satu tahun tapi belum juga diterima. Namun yang
membuatnya menangis, karena ia teringat, bahwa yang dirasakannya barulah kebahagiaan duniawi, belum ukhrawi.

Begitu bahagianya ia, ketika jerih payahnya, kerja kerasnya memeras otak, pontang-panting ke perpus-takaan Shalah
Kamil dan IIIT Zamalek, membuka dan menganalisis ratusan referensi akhirnya membuahkan hasil yang melegakan jiwa.
Begitu hahagianya hatinya saat diberi ucapan selamat oleh Profesor Amani. Benarlah kata pepatah, siapa menanam, dia
mengetam. Baru proposal tesis yang diterima, ia begitu bahagianya.
Baru ucapan selamat dari Profesor Amani, ia begitu bangga nya. Kalimat Guru Besar Ushul Fiqh yang sangat dicintai para
mahasiswinya itu masih bergema dalam jiwanya : "Selamat Anakku, semoga umurmu penuh barakah, ilmumu
bermanfaat. Teruslah belajar dan belajar!" Air matanya kembali meleleh. Ia lalu berkata pada diri sendiri "Lantas
seperti apakah rasanya ketika kelak di hari akhir seseorang mengetahui amalnya diterima Allah. Ia menerima catatan
amalnya dengan tangan kanan. Dan mendapatkan ucapan selamat dari Allah, dari Baginda Nabi, dari malaikat penjaga
surga, dan dari seluruh malaikat, para nabi dan orang-orang saleh. Saat surga menjadi tempat tinggal selama-lamanya.
Kebahagiaan semacam apakah yang dirasa?" Ia melangkah. Matanya basah, "Rabbana taqabbal minna
innaka antas sami'ul 'aliim. Tuhan terimalah amal kami, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Lirihnya dalam hati, sambil menghayati dengan sepenuh jiwa bahwa tiada prestasi yang lebih tinggi dari diterimanya
amal saleh oleh Allah dan dibalas dengan keridhaan-Nya.
Ia terus melangkah menapaki trotoar di depan gedung Muraqib Al Azhar, ke arah Abdur Rasul. Ia menengok ke kiri,
memandang gedung Muraqib sekejab. Di gedung itulah dulu berkas-berkasnya masuk Universitas Al Azhar diproses. Di

gedung itulah ia pertama kali kenal antrean yang lumayan panjang di Mesir. Di gedung itu juga ia berkenalan dengan
Wan Najibah Wan Ismail, mahasiswi dari Kedah, Malaysia yang kini menjadi salah satu sahabat karibnya. Saat itu ia juga
antre untuk mendaftarkan diri masuk Al Azhar. Bagi mahasiswa dan pelajar Al Azhar, gedung Muraqib
atau nama resminya Muraqabatul Bu'uts Al Islamiyyah pasti menyisakan kenangan tersendiri. Bagi yang dapat bea siswar
maka mengurus beasiswanya juga tidak lepas dari Muraqib.
Bahkan bagi yang tidak mendapatkan beasiswa dari Al Azhar dan ingin mengajukan permohonan beasiswa ke lembaga lain,
juga harus mendapatkan surat keterangan tidak menerima beasiswa dari Muraqib. Seluruh lembaga pendidikan di dunia
yang ingin menyamakan ijazah mereka dengan ijazah Al Azhar harus melalui proses di Muraqib.
"Pentingnya Muraqib bagi Al Azhar nyaris sama seperti tangan bagi manusia", begitu kata Zuleyka, seorang mahasiswi
dari Turki, suatu kali kepadanya saat bertemu di depan Muraqib. Mungkin ungkapan itu terlalu berlebihan. Namun
memang Muraqib jadi bagian pusat administrasi dan birokrasi yang sangat vital bagi Al Azhar.
Begitu sampai di Tayaran Street ia melihat jam tangannya. Sebelas kurang seperempat. Ia ingin segera sampai rumah,
dan mengabarkan kebahagiaannya kepada seluruh teman rumah. Nanti setelah shalat Zuhur ia akan ke Daarut Tauzi’,
membeli beberapa buku dan kitab. Ia belum pernah ke toko buku yang satu ini. Pulang dari Daarut Tauzi' setelah Ashar.
Dan si Zahraza, mahasiswi asal Kedah yang satu rumah dengannya tak usah repot repot masak. Setelah shalat Maghrib,
ia mau mengajak orang satu rumah makan di Palace, restaurant milik mahasiswa Thailand di kawasan Rab'ah El
Adawea yang terkenal Tom Yam dan nasi gorengnya.

Dan saat pulang dari PaIace ia akan mampir ke rumah Laila yang menjadi agen Malaysia Air Lines. Ia akan pesan
tiket pulang ke Tanah Air dengan transit dua minggu di Kuala Lumpur. Kalau tidak, ia akan pesan pada Laila lewat
telpon saja. Rencananya ia hendak melakukan penelitian di Malaysia untuk bahan tesisnya. Maka ia merasa, sebaiknya ia
berangkat minggu ini. Sebab Wan Aina mahasiswi asal Selangor yang tinggal serumah dengannya mau pulang ke
Malaysia minggu ini. Putri bungsu orang penting di Malaysia itu pulang hanya
dua minggu untuk menghadiri pernikahan kakaknya. Pikirnya, ia bisa bersama Wan Aina selama di Kuala Lumpur. Sehingga
urusan penelitian untuk tesisnya tentang "Asuransi Syariah di Asia Tenggara" akan menjadi lebih mudah. Ia berencana hendak
melakukan penelitian di Perpustakaan ISTAC-IIUM di Petaling Jaya, Perpustakaan IIUM di Gombak, dan Perpustakaan
Universiti Kebangsaan Malaysia di Kajang. Dan kakak Wan Aina yang hendak menikah adalah dosen di IIUM. Wan
Aina sendiri berjanji akan menemaninya selama mela-kukan penelitian di Malaysia.
Itulah rencana yang telah tersusun dalam kepalanya saat ini. Yang paling penting ia harus segera pulang ke Tanah Air
sambil melakukan penelitian serius untuk tesisnya. Ia ingin segera pulang untuk berbagi rindu, cerita, dan rasa bahagia
dengan abah dan ibundanya tercinta. Begitu menyeberang Tayaran Street, hand phone-nya
berbunyi. Ada SMS masuk. Ia menghentikan langkah dan melihat layar hand phone, dari Mbak Zulfa, isteri Ustadz
Mujab, yang masih bisa digolongkarl sepupu dengannya. Kakek ayah Ustadz Mujab adalah juga kakek abahnya. Jadi

antara dirinya dan Ustadz Mujab masih erat pertalian darahnya. Ia buka pesan yang masuk :
"Ass. Wr. Wb. Dik Anna, bagaimana Istikharahnya..?  Sdh ada kepastian..? Tadi Ust.
Furqan ngebel ke Ust. Mujab, katanya besok mau dolan. Mungkin mau menanyakan hasilnya."
Ia tertegun sesaat, sesuatu yang nyaris dia lupakan, kini ditanyakan. Memang sudah tiga bulan yang lalu ia diberitahu
Mbak Zulfa tentang keseriusan Furqan yang ingin mengkhitbahnya. Saat itu ia sedang konsentrasi ujian, jadi ia anggap
angin lalu. Apalagi Furqan bukan yang pertama mengutarakan keseriusan kepadanya. Ia telah menerimanya belasan
kali. Baik yang melalui orang ketiga seperti Furqan, atau yang langsung blak-blakan lewat telpon, sms, email, surat maupun
disampaikan langsung face to face. Semuanya telah mampu ia selesaikan dengan baik. Namun lamaran dari Furqan, Mantan Ketua Umum
PPMI, dan kandidat M.A. dari Cairo University, ia rasakan agak lain. Tidak mudah baginya untuk mengatakan "tidak",
seperti sebelum-sebelumnya. Juga tidak mudah untuk mengatakan "ya."
Ia sama sekali tidak menemukan alasan untuk menolak. Namun juga belum mendapatkan kemantapan hati untuk menerimanya.
Pikirannya masih terpaku pada tesisnya. Namun ia juga sadar bahwa waktu terus berjalan, dan usianya hampir
seperempat abad. Memang sudah saatnya ia membina rumah tangga, menyempurnakan separo agama.
Ia melangkah sambil memasukkan hand phone ke dalam tas birunya. Jilbab putih yang menutupi sebagian jubah biru
lautnya berkibaran diterpa semilir angin sejuk musim semi. Ia mencoba menghadirkan bayangan wajah Furqan. Namun
spontan ada yang menolak dan dalam jiwanya. Ia tersadar, dalam kenikmatan, dalam kelapangan selalu ada ujian. Dalam
setiap hembusan nafas dari aliran darah selalu ada setan yang ingin menyesatkan. Ia langsung istighfar dan ber-ta'awudz. Ia
juga sadar bahwa dirinya adalah manusia biasa yang punya nafsu, bukan malaikat suci yang tak memiliki nafsu.
Yang pasti, sunah Nabi tetap harus diikuti, dan suatu saat nanti ia harus mengatakan "ya" atau "tidak" untuk Furqan.
Ya, suatu saat nanti tidak harus saat ini. Musim semi kali ini ia tidak ingin diganggu siapa saja, termasuk apa saja yang
berkenaan dengan Furqan.

* * *
Sementara itu di belahan lain Kota Cairo, tampak sebuahsedan Fiat putih keluar dari pelataran Fakultas Darul Ulum,
Cairo University. Sedan itu melaju pelan di Sarwat Street lalu belok kanan ke Gami'at El Qahirah Street, kemudian belok
kanan melintas di depan Zoological Gardeen dan terus melaju ke arah sungai Nil.
Tak lama kemudian Fiat putih itu telah berada di atas El Gama'a Bridge, salah satu jembatan utama Kota Cairo yang
melintang gagah di atas sungai Nil. Begitu sampai di kawasan El Manyal yang berada di Geziret El Roda, sedan itu belok
kanan menyusuri Abdel Aziz Al Saud Street yang membentang di tepi sungai Nil dari ujung selatan Geziret sampai
ujung utara. Sedan putih buatan Italia itu terus melaju ke ujung utara, hingga melintasi Cairo University Hospital. Tepat
di ujung utara Geziret, tampak Meridien Hotel berdiri gagah. Sedan terus melaju dengan tenang hingga masuk di
pelataran Meridien. Begitu menemukan tempat yang tepat di pelataran parkir, sedan itu berhenti. Seorang pemuda berwajah
Asia keluar dari sedan. Ia mengeluar-kan tas ransel dan tas jinjing hitam. Setelah mengunci mobil ia melangkah ke arah
pintu masuk hotel. Dua orang pelayan hotel berkemeja hijau muda dengan rompi dan celana hijau tua menyambutnya

dengan senyum manis. Seorang di antara mereka menawarkan untuk membawakan tasnya, tapi ia menolak. Pemuda itu
berjalan tenang melewati lobby hotel menuju resepsionis. Dua orang petugas resepsionis dengan aura kecantikan khas gadis
Mesir menyambutnya dengan senyum. Seorang di antara mereka menyapa,
"Good Afternoon, Sir. Can I help you..? " Pemuda itu membalas dengan senyum seraya menunjukkan
paspornya. Saat menyerahkan paspornya, ia sempat mem - baca nama dua resepsionis itu. Dina dan Suzan. Si Dina menerima
paspor itu dengan senyum lalu menulis sesuatu di komputer. Sebelum Dina berkata, sang Pemuda telah mendahuluinya
dengan sebuah kalimat dalam bahasa Arab, "Lau samahti ya Anesa Dina...."
"Na'am," Resepsionis bernama Dina tampak terkejut,
"Hadratak bitakallim 'arabi? "  "Alhamdulillah, fiin Anesa Yasmin? Heya musy gaiya el yom?"
"Heya hategi bil leil, insya Allah." Dina lalu melihat data di komputer. "Kamar Anda ,
Tuan Furqan" "Kalau boleh."
"Sebentar saya cek dulu." Furqan menangkap bau semerbak wangi parfum yang
menyengat. Bau itu begitu menteror dirinya. Ia menoleh ke arah datangnya bau itu. Seorang perempuan Mesir berambut
jagung dan berpakaian ketat melintas. Tangannya digandeng seorang turis bule. Dalam hati ia istighfar, ia berdoa semoga
suatu kali nanti perempuan itu tahu adab memakai pakaian dan parfum. Mengenai bule yang menggandengnya ia tidak
mau berpurbasangka. Mungkin itu adalah suaminya. Ia kem - bali memperhatikan Dina. Pada saat yang sama Dina menoleh
ke arahnya. "Ada isinya, Tuan." "Kalau begitu coba 819." "Baik, sebentar." Dina kembali melihat layar komputer sementara jari jarinya
menari di atas keyboard dengan indahnya. Furqan melihat jam tangannya, dua belas lebih tiga menit.
"Alhamdulillah, kosong!"
"Breakfast-nya sekali saja ya."
"Baik, Tuan."
Dina lalu memasukkan data. Mengambil key card, dan memasukkannya ke dalam wadah berlipat tiga dari karton
berwarna kuning keemasan. Menuliskan nama Furqan, nomor kamar dan mengambil kupon merah muda.
"Ini kunci dan kupon breakfast-nya." "Mutasyakkir ya Anesa." "Afwan."
Furqan memeriksa sebentar key card dan kupon yang ia terima, lalu tersenyum tipis pada Dina dan Suzan. Keduanya

membalas dengan senyum dan anggukan ringan. Furqan lantas melangkahkan kaki ke arah lift. Ia tidak sadar kalau
Dina terus mengikuti gerak tubuhnya sampai hilang ditelan pintu lift. Furqan naik lift bersama dua turis dari Jepang. Dua muda-
mudi yang sedang melakukan riset tentang alat transportasi Mesir kuno. Keduanya ternyata mahasiswa Kyoto University.
Kamar mereka dilantai yang sama dengan kamar Furqan. Mereka begitu antusias ketika Furqan menjelaskan dia juga
seorang mahasiswa. Furqan memperkenalkan dirinya sebagai mahasiswa pascasarjana Cairo University, jurusan tarikh wal
hadharah, sejarah dan peradaban. Sebelum berpisah untuk menuju kamar masing-masing, Furqan sempat bertukar kartu
nama dengan mereka. Sampai di pintu kamar 819, dengan mengucap basmalah,
Furqan membuka pintu kamar dengan key card-nya. Lalu memasukkan key card-nya ke tempat bertuliskan "insert your card
here" untuk menyalakan listrik. Furqan langsung merasakan kesejukan dan kemewahan kamarnya. Kemewahan Eropa
kontemporer hasil perkawinan arsitektur Italia dan Turki modern.
Furqan meletakkan tas jinjing dan tas ranselnya di atas meja pendek di samping kanan almari televisi. Ia lalu beranjak
membuka tabir jendela kamarnya. Dan terhamparlah di hadapannya panorama sungai Nil. Kamarnya tepat menghadap
sungai Nil. Dari jendela kamamya ia bisa melihat hampir semua panorama sungai Nil. Ke arah utara ia bisa melihat El
Tahrir Bridger, jembatan paling utama yang melintas sungai Nil. Ia juga bisa melihat Gezira Sheraton Opera House, Cairo
Tower, bahkan menara Television and Broadcasting Studio di kejauhan.

Ke arah barat ia bisa melihat gedung Papyrus Institute, arus lalu lintas di El Nil Street yang berada tepat di sepanjang
tepi barat sungaiNil, membentang dari Giza hingga Imbaba. Ke arah selatan ia bisa melihat El Gama'a Bridge, bendera
Kedutaan Israel, dan terminal transportasi air yang letaknya tak begitu jauh dari El Gama'a Bridge dan tentu saja beberapa
menara masjid. Cairo memang terkenal dengan kota seribu menara. Sangat mudah menemukan menara masjid di kota ini. Sebab
hampir di setiap titik ada masjidnya Furqan merebahkan badannya di atas springbed. Punggungnya
terasa nyaman. Perlahan-lahan kedua matanya hendak terpenjam. Tiba-tiba hand phone-nya berdering mengingatkan
saatnya shalat. Ia bangkit, menggerak-gerakkan badannya untuk melemaskan otot ototnya lalu duduk di kursi.
Di kepalanya telah tergambar jadwalnya selama berada di hotel. Setelah wudhu ia akan keluar sebentar untuk shalat
Zuhur di masjid terdekat dari hotel. Ada masjid di dekat Cairo University Hospital yang terletak di sebelah selatan Meridien.
Setelah itu istirahat sebentar. Satu jam sebelum Ashar, bangun untuk mulai membaca isi tesisnya. Untuk seterusnya
konsentrasi memperdalam isi tesisnya yang siap diujikan dalam sidang terbuka tiga hari lagi. Hanya diselingi shalat,
makan dan mandi. Selain tesis yang telah paripurna penyuntingannya, bahan-bahan terpenting telah ia bawa yaitu beberapa
buku penting, data -data penting yang telah ia simpan rapi dalam laptop serta beberapa data dalam berlembar-lembar
fotocopy. Itulah jadwal yang telah tersusun di kepalanya. Saat ia bangkit hendak ke kamar mandi telpon yang ada
di kamarnya berdering. Ia kaget, dalam hati ia bertanya siapa yang telpon, baru saja sampai sudah ada yang telpon.
"Ya, hello. Ini siapa ya..?"
"Ini Sara, Tuan Furqan. "
"Sara siapa ya..?"
"Sara Zifzaf, mahasiswi Cairo University yang berkenalan dengan Tuan diperpustakaan dua bulan yang lalu. "
"Sebentar, Sara yang tinggal di Mohandisin itu ya..?"
"Iya benar."
"Kok bisa tahu saya di sini..?" Tanya Furqan heran. Ia heran bagaimana mungkin ada orang yang tahu ia ada di hotel
itu dan tahu nomor kamarnya. Apalagi dia adalah gadis Mesir yang berkenalan tidak di sengaja di Perpustakaan. Setelah itu
tidak pernah bertemu lagi sama sekali. Ia berkenalan dengan Sara di perpustakaan. Gara garanya, saat itu perpustakaan
penuh. Tidak ada lagi kursi kosong kecuali satu kursi di dekat seorang gadis Mesir. Ia terpaksa duduk di situ. Ia membaca
dan menulis hal-hal penting dengan laptop-nya di samping gadis itu. Entah kenapa gadis itu lalu mengajaknya bicara dan
terjadilah perkenalan itu. Gadis itu adalah Sara. Dia memperkenalkan diri sebagai
mahasiswi Cairo University yang tinggal di Mohandisin. Gadis itu ingin mengajaknya banyak bicara, Tapi ia minta maaf tidak
bisa banyak bicara, sebab banyak yang harus ditulisnya. "Kebetulan tadi saya menemani ayah saya bertemu
koleganya di hotel ini. Saat saya hendak meninggalkan lobby saya sempat melihat Tuan Furqan di meja resepsionis. Maka
saya tanya pada resepsionis untuk meyakinkan saya bahwa yang saya lihat tidak salah. Dan ternyata benar. Sebenarnya
saya ingin bertemu langsung dengan Tuan Furqan. Tapi sayang saya ada janji dengan seorang teman di Giza. Ini saya
menghubungi Tuan di jalan, dalam perjalanan ke Giza." "Ada keperluan apa Anda menghubungi saya, Nona..?'

"Saya ingin mengundang Anda makan malam bersama..?" "Ya makan malam bersama..?"
Furqan kaget, ia baru sekali bertemu dengan gadis Mesir itu. Tapi gadis Mesir itu bisa tidak lupa padanya. Ia saja jika
bertemu lagi dengan gadis itu di jalan mungkin sudah lupa. Terus baru sekali bertemu sudah berani mengundang makan
malam. Ia heran. Itu bukanlah watak asli gadis Mesir. Watak asli gadis Mesir adalah menjaga diri dengan rasa malu yang
berlapis lapis. "Saya mengundang Tuan nanti malam jam 19.30 di Abu Sakr Restaurant di Qashr Aini Street, tepat di depan Qashr El
Aini Hospital. Setelah berkenalan dengan Tuan di perpustakaan itu, saya lalu mencari data lebih jauh tentang Tuan di bagian
kemahasiswaan. Saya jadi mengetahui banyak hal tentang Tuan. Saya juga sering melihat Tuan melintas di gerbang
kampus, tapi Tuan pasti tidak tahu. Saya harap Tuan bisa memenuhi undangan saya malam ini" Suara Sara itu terasa indah
ditelinga. Bahasa 'Amiya Mesir jika diucapkan oleh gadis Mesir memiliki sihir tersendiri. Sihir yang tidak dimiliki jika
diucapkan oleh kaum laki-laki. Furqan berpikir sejenak lalu menjawab dengan tegas,
"Maaf, mungkin saya tidak bisa Nona. Ada yang harus saya kerjakan."
"Tidak harus Tuan jawab sekarang. Lihat saja nanti malam, jika ada waktu silakan datang. Jika tidak, tidak apa.
Namun saya sangat senang jika Tuan bisa datang. Ini saja Tuan, maaf mengganggu. Sampai bertemu nanti malam.
Syukran."
"Afwan."
Seketika ada tanda tanya besar dalam kepala Furqan, kenapa gadis yang baru begitu ia kenal itu mengundangnya
makan malam..? Sangat aneh untuk adat wanita Mesir kebanyakan. Ia merasa heran.
"Ah, emang gua pikirin. Gua ke sini bukan untuk memenuhi undangan makan, tapi untuk persiapan sidang tesis tiga
hari yang akan datang. Ah sekarang shalat, makan siang, istirahat lalu belajar dengan tenang." Kata Furqan pada diri sendiri,
meskipun undangan makan malam dari Sara di salah satu restauran berkelas itu, mau tidak mau, hinggap juga di pikiran
dan menimbulkan seribu tanda tanya. Di luar hotel, angin musim semi mencumbui sunga Nil
dengan mesra. Sinar matahari memancarkan kehangatan dan rasa bahagia.

SIANG DI KAMPUS MAYDAN HUSEIN

Usai shalat Zuhur di masjid Al Azhar, Azzam melangkahkan kakinya menuju kampus Fakultas Ushuluddin, Al Azhar
University . Ia keluar masjid lewat pintu utara. Menyusuri trotoar Al Azhar Street yang melintas tepat di utara masjid.
Jalan raya itulah yang memisahkan Masjid Al Azhar dengan kantor Grand Syaikh Al Azhar yang lama, kantor yang biasa
disebut Masyikhatul Azhar. Masjid Al Azhar, Universitas Al Azhar, pasar tradisional Al Azhar, serta Mustasyfa Husein
berada di sebelah selatan jalan. Sedangkan Masyikhatul Azhar yang lama, Masjid Sayyidina
Husein, Khan Khalili, dan toko buku paling populer di sekitar kampus Al Azhar yaitu Dar El Salam, berada di sebelah
utara jalan. Lalu lintas di jalan ini cukup padat. Untuk menghubungkan kawasan utara dan selatan ada terowongan
bawah tanah yang tepat berada di halaman barat Masjid Al Azhar. Juga ada jembatan penyebe-rangan yang berada di
sebelah barat toko buku Dar El Salam. Kawasan ini, semuanya, dikenal dengan Maydan Husein.
Masjid Al Azhar, dan kampus Universitas Al Azhar yang lama dikenal berada di kawasan Maydan Husein. Sedangkan
kampus Al Azhar yang baru, termasuk rektorat Al Azhar berada di Madinat Nasr atau dikenal juga dengan sebutan
Nasr City. Untuk kantor Grand Syaikh Al Azhar yang baru, berada tepat di sebelah selatan Daarul Ifta'.
Daarul Ifta' adalah tempat dimana Mufti Mesir berkantor. Keduanya berdiri tepat di tepi barat Shalah Salim Avenue,
yang membentang dari kawasan Cairo lama, tepatnya dari kawasan Malik El Shaleh, terus melintas di depan Benteng
Shalahuddin hingga ke kawasan Abbasea. Shalah Salim Avenue, ini termasuk jalan raya yang paling terkenal di Cairo,
karena banyak melintasi daerah daerah penting dan bersejarah. Melintas di kawasan yang dianggap paling tua hingga
kawasan yang dianggap metropolis. Letak Masyikhatul Azhar yang baru dan Daarul Ifta’ tidak
begitu jauh dari kampus Al Azhar, masih bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Tepat di depan Masyikhatul Azhar yang
baru dan Daarut Ifta' terbentang pekuburan terluas di Cairo. Orang yang pertama kali datang ke Cairo dan melewati

daerah ini tidak akan langsung tahu kalau kawasan itu adalah pekuburan. Sebab banyak sekali bangunan berkubah. Beberapa
bangunan malah ada yang bermenara Ternyata bangunan yang berkubah itu adalah kuburan para khalifah dan orang
orang penting. Bagi umat Islam, pekuburan ini adalah pekuburan tertua setelah pekuburan yang ada di sebelah timur
Mesir lama atau Fusthath. Di sebelah timur Mesir lama, ada daerah yang dikenal
dengan sebutan City of the Dead. Sebuah kawasan yang di situ menyatu antara pekuburan dan perkampungan. Makam dan
Masjid Imam Syafi'i ada di sini. Makam Imam Waqi' yang dikenal sebagai salah satu guru Imam Syafi'i juga ada di sini.
Imam Zakaria AL Anshari dan Imam Leits juga dimakamkan di sini. Bahkan makam Imam Hasan Al Banna juga ada di sini.
Kawasan ini dulunya, merupakan tempat tinggalnya para imam besar. Di sebelah utara daerah ini ada kawasan pekuburan
raja-raja Mameluk. Sedangkan pekuburan di depan Masyikhatul Azhar yang
baru dan Daarul Ifta' dikenal sebagai tempat disemayamkannya Dinasti Qaitbay. Pekuburan ini dikelilingi oleh beberapa
masjid bersejarah. Masjid Sultan Barquq ada di pinggir utara kawasan ini. Sedangkan Masjid Qaitbay ada di pinggir
timur, tepat di samping jalan El Nasr. Dan di sebelah selatan, beberapa ratus meter di utara Benteng Shalahuddin berdiri
Masjid Emir Khair Bey. Kawasan ini, sekarang tidak murni sebagai kawasan pekuburan.
Bangunan yang tampak kotak-kotak dan sebagian berkubah yang memenuhi kawasan itu, banyak yang telah
dijadikan tempat tinggal orang-orang yang tidak punya tempat tinggal. Daerah ini mungkin bisa disebut kawasan paling
aneh di Cairo, manusia yang masih hidup bisa sedernikian nyaman dan akrabnya dengan jasad dan tulang-belulang
orang yang telah mati.

Daerah ini bahkan kini nyaris mirip perkampungan. Namun fungsinya sebagai tempat menguburkan orang yang
merunggal dunia juga masih berjalan. Hampir semua mahasiswa Asia Tenggara yang tinggal di Nasr City, jika berangkat
kuliah ke Al Azhar pasti melewati daerah ini. Bagi mahasiswa Indonesia yang berasal dari Solo, atau
sangat paham, dengan Solo, setiap melintasa kawasan ini akan diingatkan dengan kawasan pemakaman terluas di Solo, yaitu
makam Bonoloyo. Tidak sama persis memang. Paling tidak diingatkan akan adanya manusia yang tinggal sehari-hari di
makam Bonoloyo. Makan dan tidur di Bonoloyo. Sehari-hari hidup di atas kuburan. Hal itulah paling tidak titik persamaan keduanya.
Ia masuk area kampus lewat pintu gerbang sebelah barat. Seorang duf’ah berseragam putih tersenyum padanya. Ia
membalas dengan senyum seraya mengucapkan salam. Ia terus melangkah menuju gedung Fakultas Ushulud-din. Ia berjalan
menuju tempat penjualan muqarrar, atau diktat kuliah. Buku muqarrar Tafsir Tahlili masih kurang satu.
Tempat penjualan muqarrar Pakultas Ushuluddin itu tak lain adalah bangunan kecil beeukuran kira-kira 2 X 2 meter.
Terbuat dari kayu dan papan. Dicat hijau. Sangat sederhana untuk nama besar Al Azar, sebagai universitas tertua dan
paling berpengaruh di dunia Islam. Seorang penjaga berada di dalamnya. Tempat itu mirip warung penjual rokok dan makanan
kecil di pinggir-pinggir jalan di Indonesia. Ada pintu kecil tempat penjaga itu keluar masuk dan ada jendela tempat
melayani mahasis-wa yang beli muqarrar. Tempat peenjualan muqarrar itu agak sepi. Hanya satu
dua mahasiswa yang beli. Memang menjelang akhir semester, hampir semua mahasiswa telah memegang muqarrar. Bahkan
muqarrar itu mungkin telah habis dibaca. Kecuali beberapa mahasiswa yang memang terlambat beli muqarrar, termasuk dirinya.
Buku kedua muqarrar Tafsir Tahlili sebenarnya sudah
keluar satu bulan yang lalu. Namun ia belum sempat untuk mengambilnya. Karena kondisi pribadinya menghalanginya
untuk bisa benar-benar aktif kuliah seperti mahasiswa Al Azhar pada umumnya. Kesibukan hariannya membuat tempe
dan memasarkannya nyaris menyita hampir sebagian waktunya di Cairo. Apalagi jika ada order membuat bakso atau sate
ayam dari bapak bapak atau ibu-ibu KBRI, nyaris ia tidak bisa menyentuh buku, termasul buku muqarrar yang semestinya ia
sentuh. Kecuali Al-Quran, dalam sesibuk apapun tetap merasa harus menyentuhnya, membacanya meskipun cuma sete-ngah
halaman lalu menciumnya dengan penuh rasa takzim dan
kecintaan. Ia merasa, dalam perjuangan beratnya di negeri orang, Al-Quran adalah pelipur dan penguat jiwa.
Sampai di depan jendela tempat penjualan muqarrar, ia melongok. Sang penjaga lagi menulis sesuatu di atas kertas.
Angka-angka. Mungkin menghitung uang yang masuk bulan itu, serta membagi hasilnya pada para dosen penuhs muqarrar.
Ia tampak begitu serius sehingga tidak memperhatikan kehadirannya. "Assalamu'alaikum ya Ammu Shabir." Sapanya dengan nada
nyaris sama dengan nada orang Mesir asli. Ia sangat kenal nama penjaga itu, meskipun mungkin sang penjaga tidal mengenalnya.
"Wa'alaikumussalam, lahdhah. "  Ammu Shabir menjawab tanpa melihat ke asal suara.

Ia tahu Ammu Shabir,penjaga buku muqarrar sedang serius, tidak bisa diganggu. Ia menunggu sambil melihat-lihat
beberapa buku yang dipajang di daun jendela tempat penjualan muqarrar. Yang dipajang biasanya, buku-buku terbaru
karya dosen-dosen Al Azhar University, atau buku penting yang dicetak ulang. Ia perhatikan buku-buku baru itu
dengan seksama. Prof. Dr.Abdul Muhdi Abdul Qadir Abdul Hadi, Guru
Besar Hadis Fakultas Ushuluddin mengeluarkan buku baru yang sangat menarik, Ahaditsu Mu'jizatir Rasul, terdiri atas
dua juz, dicetak oleh Mathba'ah AL Madani, kover sampul bukunya cukup sedap dipandang Buku buku Profesor hadis
yang disebut-sebut juga sebagai salah satu murid Syaikh Nashiruddin AI Albani ini termasuk yang banyak diminati.
Kepakarannya di bidang sanad dan dibarengi kematangannya dalam fiqhul hadits-lah yang membuat karya-karyanya dianggap
sangat berbobot. Dalam hal fiqhul hadits bahkan banyak yang berpendapat
beliau lebih matang dibandingkan dengan gurunya, Syaikh Jashiruddin Al Albani sekalipun. Prof. Dr. Thal'at Muhammad
Afifi Salim, Guru Besar Fakultas Dakwah, menulis buku baru berudul "Akhlaqut Du'at Ilallah, An Nadhariyyah wat Tathbiq. "
Buku itu berwarna biru tua. Judulnya ditulis dengan warna kuning keemasan. Diterbitkan oleh Maktab Al Iman, penerbit
yang bermar-kas dibelakang kampus Al Azhar, disebuah lorong sempit, dikenal dengan harganya yang selalu murah dari yang lain.
Sementara Sang Maestro Ilmu Tafsir Universitas Al
Azhar, Prof. Dr. Ibrahim Khalifah menulis buku "Ad Dakhil fit Tafsir ", diterbitkan oleh Fakultas Ushuluddin. Buku tersebut
bersampul putih polos tanpa hiasan apa pun. Buku maestro

tafsir ini, meskipun tanpa hiasan dan desain sampul yang memikat tetap menunjukkan kelasnya. Nama Ibrahim Khalifah
adalah jaminan kualitas. Prof. Dr. Hamdi Zaqzuq, Guru Besar Filsafat, JeboIan Muenchen University, Jerman, yang dikenal pakar Orientalis
menerbitkan kembali bukunya berjudul "Al Istisyraq wal Khalfiyyah Al Fikriyyah Lish Shira' Al Hadhari", diterbitkan oleh
Dar El Manar, penerbit yang bermarkas di samping Masjid Sayyidina Husein. Ia memandangi buku-buku itu dengan mata berkaca -kaca.
Ingin sekali rasanya memiliki buku buku baru itu, lalu melahapnya dengan penuh konsentrasi seperti tahun pertama
hidup di Mesir dulu. Tahun pertama yang indah, saat ia bisa menggunakan waktunya untuk belajar, bisa melampiaskan
obsesinya membaca buku sebanyak banyaknya. Dulu, saat ia tidak harus membanting tulang dan memeras
keringat dan otak untuk mempertahankan hidupnya dan adik-adiknya di Indonesia. Ia hanya berdoa, semoga kesem -
patan untuk belajar dan membaca dengan serius itu datang lagi, suatu hari nanti. Dan semoga waktu yang ia jalani selama
di bumi Kinanah ini tetap diberkahi oleh Dzat yang mengatur hidup ini.
"Na'am ya Andonesi Enta ‘ais eh..?" Suara penjaga membuyarkan keasyikannya melihat buku-buku yang terpajang di
daun jendela tempat penjualan muqarrar."Muqarrar Tafsir Tahlili juz dua, jurusan tafsir, tahun empat." Ia menjelaskan
spesifikasi buku muqarrar yang ia maksud. "Mana juz pertamanya, kamu bawa..?"
 a membuka tas ranselnya, dan mengeluarkan buku berwarna biru muda.

"Ini"
Sang penjaga lalu membuka halaman paling akhir. Ia mencoret stempel bertuliskan "masih ada juz kedua" dengan
tinta merah. Kemudian mengambil sebuah buku yang juga berwarna biru muda.
"Tafadhal, kudz dza ya Andonesi."
Ia menerima dua buku yang diulurkan oleh penjaga, dan memeriksanya sebentar. Tak perlu membayar lagi, sebab telah
ia bayar saat membeli juz satu.
"Syukran ya Ammu."
"Afwan. "
Ia lalu melangkah menapaki tangga di depan pintu masuk. Di sana ia mendapati pengumuman ditulis dengan
spidol warna hitam dan biru. Pengumuman sidang terbuka ujian disertasi doktor seorang mahasiswa jurusan hadis dari
Syiria. Ia baca pengumuman itu dengan seksama. Matanya berkaca-kaca. Ia tak sanggup membayangkan, mungkinkah
suatu saat nanti namanya ditulis dalam sebuah pengumuman seperti itu. Pengumuman yang membanggakan, untuk diri
sendiri dan bangsa. Pengumuman yang dibaca oleh mahasiswa dari pelbagai penjuru dunia. Ia hanya bisa mendesah untuk
kemudian pasrah pada takdir. Bisa lulus S.1 tahun ini saja sudah alhamdulillah.
Dulu di awal tahun masuk Al Azhar, ia mungkin adalah mahasiswa Indonesia paling idealis. Begitu namanya tercatat
sebagai mahasiswa Al Azhar Pakultas Ushuluddin, dan begitu ia terima kartu mahasiswa, seketika ia proklamirkan sebuah
cita-cita: AKU TAK AKAN PULANG KE INDONESIA

SEBELUM MENGONDOL DOKTOR. DAN AKAN AKU
BIKIN REKOR SEBAGAI DOKTOR TERCEPAT DI AL
AZHAR!

Saat itu ia langsung teringat nama-nama besar jebolan Fakultas Ushuluddin, Universitas Al Azhar. Nama-nama yang
sangat terkenal di dunia Islam: Syaikh Abdul Halim Mahmud, Syaikh Muhammad Ghazali, Syaikh Yusuf AL Qardhawi,
Syaikh Abdullah Darraz, Prof. Dr. M. M. Al-Azami, Prof. Dr. Ahmad Umar Hasyim, Prof. Dr. Hamdi Zaqzuq, Prof. Dr.
Abdul Muhdi, dan lain sebagainya. Sementara dari Indonesia ada nama yang sangat terkenal yaitu Prof. Dr. M. Quraish
Shihab dan Prof. Dr. Roem Rowi. Mereka berdua adalah lulusan Fakultas Ushuluddin Al Azhar University .
Ia masih ingat dulu, di atas meia belajarnya ia menuIis semboyan yang membuatnya selalu bersemangat, semboyan
yang selalu membuatnya merasa optimis: AKU HARUS MENGUKIR SEJARAH! Ia lalu menulis nama-nama besar itu
dan di deret paling akhir ia menulis namanya sendiri: Prof. Dr. Khairul Azzam, MA. Ia tidak pernah mempedulikan beberapa
respon miring dari teman-temannya atas ulahnya itu. Baginya itu adalah bagian dari strateginya untuk menjaga semangat
belajar dan mengejar cita -citanya. Ia tesenyum sendiri mengingat itu semua. Kini semuanya
jadi kenangan manis. Ia sangat sadar, betapa jauhnya ia saat ini dari cita-citanya. Semuanya telah berubah. Ia tidak bisa lagi
konsentrasi seratus persen pada mata kuliah. Saat ini konsentrasinya lebih banyak tercurah bagaimana mencari uang untuk
hidupnya sendiri di Cairo, juga kelangsungan hidup adik-adiknya di Indonesia. Ia lebih banyak pergi ke Pasar Sayyeda
Zaenab untuk membeli bahan dasar membuat bempe dan bakso daripada ke kampus untuk kuliah dan mendengarkan
uraian ilmiah para guru besar yang sesungguhnya sangat-sangat ia cintai.

Tak terasa matanya berkaca -kaca. Dengan cepat ia menghapus air matanya yang mau keluar. Kenapa ia harus meneteskan
air mata. Apa yang harus ditangisinya. Ia langsung tersadarkan, kesuksesan sejati tidaklah semata-mata hanya bisa
diraih dengan meraih gelar Profesor Doktor. Dan kebahagiaan sejati tidak harus berupa nama besar yang disebut di mana-mana.
Ia harus tahu siapa dirinya dan seperti apa kondisi dirinya agar tidak mendzalimi dirinya sendiri.
Ia lalu masuk ke gedung Fakultas Ushuluddin. Beberapa mahasiswa lalu laIang. Ada yang turun dari lantai atas, ada
yang mau naik ke atas. Ada yang baru dari bagian kemahasiswaan
dan ada yang bergegas keluar mau pulang. Ketika ia
mau naik lantai satu, sekonyong-konyong ia mendengar seseorang
memanggil nama terkenalnya di kalangan mahasiswa Indonesia di Cairo.
"Kang Insinyur!"
Ia menoleh ke asal suara. Seseorang melangkah ke arahnya sambil tersenyum. Ia pun tersenyum. Ia tidak pernah protes
dipanggil ‘Kang Insinyur’, atau ‘Kang Ir.’, terkadang ada juga yang membahasa-arabkan jadi ‘Kang Muhandis’. Tapi
orang-orang satu rumahnya biasa memanggil ‘Kang Azzam.’
Pada mulanya panggilan insinyur adalah panggilan ledekan dari teman-teman satu angkatan, karena kepin-tarannya
membuat tempe dan bakso. Mereka menyebut-nya insinyur tempe bakso, seringkali disingkat Ir. Tempe atau Ir. Bakso.
Lama-lama tinggal insinyur. Tempe dan baksonya tak ada. Dan setiap kali ada acara dia selalu dikenalkan dengan nama
"Kang Insinyur Khairul" atau "Kang Insinyur Irul". Sekarang panggilan insinyur jadi kebanggaan sekaligus
hiburan baginya. Seringkali ia mendapat undangan dari organisasi kekeluargaan dan di sana tertulis: Yth. Mas Ir. H.

Khairul Azzam. Siapa tidak bangga tanpa sekolah di fakultas teknik sudah dapat gelar Ir. alias insinyur
Apapun kata orang tentang dirinya, selama ia merasa dirinya tidak berbuat yang dilarang Allah ia tidak pernah peduli.
Dalam hal ini ia selalu dimotivasi oleh perkataan Pythagoras, seorang filsuf dan ahli matematika Yunani yang hidup
580-800 S.M. Pytagoras pernah berkata: "Tetaplah puas melakukan perbuatan yang baik. Dan biarkanlah
orang lain membicarakan dirimu sesuka mereka. " "Hei kamu tho Mif, piye kabarmu..?"
"Alhamdulillah, baik-baik saja Kang." Keduanya lalu berjabat tangan.
"Tumben kuliah Kang..?"
"Nggak kuliah kok Mif. Ini baru datang. Ngambil muqarrar. Trus mau nemui si Khaled, anak Mesir yang satu kelas
denganku. Mau minta tahdid. Aku janjian dengannya di Mushala."
"Kang, ada berita menarik..?"
"Apa itu? Nanti malam ada Syaikh Yusuf Al Qardhawi di Darul Munasabat  Masjid Utsman bin Affan, Heliopolis.
Kalau mau datang, shalat Maghrib di sana. Tempat ter-batas. Sampeyan kan pengagum abis Yusuf Al Qadhawi."
"Nggak tau ya Mif, bisa datang apa nggak ya nanti malam."
"Sayang lho Kang kalau nggak datang. Apalagi selain Syaikh Yusuf- Al Qardhawir ada Prof. Dr. Murad Wilfred
Hofmann, Mantan Dubes Jerman untuk Maroko yang masuk Islam dan kini jadi pembela Islam di Eropa. Temanya tentang
Umat Islam dan Tatanan Dunia Baru. "
"Wis, doakan aja bisa datang Mif, eh itu yang kamu pegang apa Mif, tashdiq ya..?"
"Iya Kang, ini tinggal minta stempel."
"Cari tashdiq untuk apa Mif..? Mau umrah?"
"Nggak Kang. Ini untuk memperpanjang visa. Bulan depan
habis."
"O, kirain mau umrah lagi. Kalau umrah lagi kan bisa nitip. "
"Doakan Kang, habis ujian nanti saya mau umrah, insya Allah."
"Masih bisa nitip kan..?"
"Sama Miftah beres deh Kang. Saya jalan dulu Karg, mau nyetempelin ini nih. Nanti keburu tutup bagian Stempel.
Ketemu diHeliopolis nanti malam Kang" "Semoga. Salam untuk teman-teman di Darmalak ya
Mif'"
"Insya Allah Kang."
Ia mengiringi langkah Miftah dengan senyum. Miftah, empat tahun lalu dia yang menjemput di Bandara. Dia iuga
yang membimbingnya empat bulan pertama hidup di Mesir.
Setelah itu pindah ke Darmalak bersama kakak-kakak kelasnya dari Pesantren Maslakhul Huda, Pati.
Kini Miftah sudah di tingkat akhir sama dengan dirinya. Selama ini hubungannya dengan teman-teman dari Pati di
Darmalak seperti layaknya saudara. Miftah sudah ia anggap seperti adiknya sendiri. Hanya saja kesibukannya membuat
tempe sekaligus memasarkannya ke berbagai titik di Kota Cairo membuatnya tidak punya banyak waktu untuk sila -
turrahmi.
Ia sendiri mengakui, bahwa silaturahminya ke Darmalak seringkali dilakukannya bila ada teman Darmalak yang mau
pergi umrah atau haji. Atau saat ada yang datang dari umrah atau haji. Ia seringkali nitip dibelikan ragi di Tanah Suci. Di
Mesir ia telah mencari ke sana kemari, tidak ada yang menjual ragi yang merupakan bahan utama untuk membuat tempe.
Selain ragi, ia biasanya juga nitip kecap dan saos yang sangat penting baginya dalam menyajikan baksonya saat dipesan
orang-orang KBRI. Kecap juga tidak bisa ia tinggalkan saat membuat sate ayam. Dan ia tidak bisa menggunakan sem -
barang kecap. Kecap Cap Jempol buatan Boyolali yang ia anggap paling pas untuk racikan bumbunya. Dan kecap Cap Jempol
itu tidak bisa ia dapatkan di Mesir. Kecap itu bisa didapatkan dari Toko Asia, dekat Pasar Seng di Makkah. Temanteman
yang pergi umrah atau hajilah yang menjadi penolongnya
dalam mendatangkan kecap Cap Jempol itu. Biasanya sebagai ucapan terima kasih dia akan membawakan beberapa
lembar tempe untuk mereka. Di Cairo, tempe termasuk makanan istimewa bagi mahasiswa
Indonesia. Sama istimewanya dengan daging ayam. Bahkan jika disuruh memilih antara telor dan tempe, banyak mahasiswa
Indonesia yang lebih memilih tempe. Ia terus melangkah menuju mushala. Ada yang menyesak
dalam dada. Kabar adanya ceramah Dr. Yusuf Al Qardhawi yang datang dari Qatar bersama Dr. Murad Wilfred Hofmann
di Heliopolis membuncahkan ke-inginannya untuk hadir, tapi ia merasa itu sulit. Ulu hatinya seperti tertusuk paku. Pedih
dan ngilu. Ia harus bersabar dengan pekerjaan rutinnya mengantar tempe ke beberapa tempat. Masakin Utsman, Abbas

Aqqad, dan Hay El Thamin. Paling cepat selesai jam sembilan malam. Ia tidak mungkin mengejar ke Heliopolis.
Matanya kembali berkaca -kaca. Ada yang terasa menyesak dalam dada. Sebenarnya sangat ingin ia bertemu langsung
dengan Dr. Yusuf Al Qardhawi. Ulama moderat jebolan Al Azhar yang sangat brilian pemikiran- pemikirannya. Ia juga
sangat ingin bertemu Prof. Dr. Murad Wilfred Hofmann. Bukunya berjudul Islam fil Alfiyyah Ats Tsalitsah atau Islam di
Millineum Ketiga, yang sempat ia baca dua puluh lima halaman saja itu sangat mengesan di hatinya. Dan ia harus rela
menelan rasa pahit. Keinginannya yang sesungguhnya sangat besar itu harus ia simpan rapat-rapat di dalam satu ruang
mimpinya.
Itu bukan rasa pahit yang pertama ia rasakan. Telah berkali- kali ia merasakan hal seperti itu. Ia hanya berharap semoga
suatu kelak nanti Alkah memberikan gantinya. Jika pun ia harus pulang ke Tanah Air nanti dengan bekal yang pas-pasan
karena hari-harinya lebih banyak ia habiskan usaha berjualan tempe, bakso dan sate daripada membaca kitab, menghadiri
kuliah, seminar dan diskusi, ia berharap yang pas-pasan, yang sedikit itu berkah dan bermanfaat. Harapan itulah yang
menghibur hatinya.
Ia terus melangkahkan kakinya menuju mushala fakultas. Ia berharap semoga Khaled, mahasiswa Mesir itu masih berada
di mushala. Biasanya mahasiswa berwajah putih bersih dari Desa Sanhur yang terletak antara Kota El Faiyum dan
Danau Qarun itu me-muraja'ah 30 hafalan Quran-nya di mushala. Setiap hari habis shalat Zuhur. Ia akrab dengannya
sejak berkenalan dengannya di acara itikaf sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan di Masjid Ar Ridhwan, Hayyu Tsabe
tahun lalu. Sudah beberapa kali Khaled mengunjungi flatnya 30 Mengulang hafalan Al -Quran agar tidak lupa.

dan sudah dua kali ia diajak Khaled ke desanya sekaligus melihat Danau Qarun yang letaknya hanya beberapa kilo dari
desanya. Tempat yang kini berwujud danau itu diyakini sebagai
tempat ditenggelamkannya seluruh harta Qarun ke dalam bumi oleh Allah karena Qarun mengingkari nikmat Allah.
Danau itu kini jadi salah satu tempat wisata yang cukup terkenal di Mesir.
Ia terus melangkah Mushala ada di depan mata. Tiga mahasiswa dari Rusia keluar dari mushala. Seorang mahasiswa
berkulit hitam sedang melepas sepatunya. Masih ada jamaah
yang sedang shalat. Ia masuk dengan tenang. Hatinya senang ketika matanya menangkap sosok berjalabiyah putih dan
berkopiah putih duduk di salah satu sudut mushala menghadap kiblat. Matanya terpejam dan mulutnya komat-kamit
melantunkan ayat ayat suci Al-Quran dengan irama cepat. Ia
mendekat. Benar dugaannya. Sosok itu adalah Khaled. Ia meletakkan tas, dan duduk di samping Khaled. Punggungnya
ia rebahkan ke dinding mushala. Kedua kakinya ia selonjorkan. Ia menarik nafas pelan. Meme-jamkan mata. Lalu
larut khusyuk mendengarkan bacaan ayat-ayat suci Al-Quran. Bacaan yang cepat, fasih dan enak didengar. Tidak keras juga
tidak lirih. Ia menyimak dengan sepenuh hati. kesejukan yang tiada terkira. Kesejukan yang melebihi embun pagi musim semi.
Sepuluh menit kemudian bacaan ayat-ayat Ilahi itu berhenti. Ia membuka mata dan menyapa,
"Assalamu'alaikum ya Akhi."
Khaled menolehke arahnya. Sedikit kaget.
"Wa 'alaikumussalam wa rahmatullah. Masya Allah, Akhi
Azzam, sudah lama..?"

Khaled selalu menyambutnya hangat dan selalu memanggilnya dengan sebutan akhi di depan namanya, Azzam. Itulah
nama yang ia kenalkan pada Khaled saat pertama kali kenalan tiga tahun yang lalu. Setiap Khaled memanggil namanya, ia
merasakan ada keakraban yang kuat terjaga.
"Ada sedikit waktu untuk bincang-bincang, Akhi Khaled..?"
"Tentu, dengan senang hati. Seluruh waktuku untukmu
Akhi. "
"Bisa dijelaskan tahdid yang telah ada. Mana-mana yang muhim, muhim jiddan, makhdzuf, dan mana yang qiraah faqad..?"
"Dengan senang hati, ya Siddi."
Khaled lalu membuka buku catatannya, dan menjelaskan kepada Azzam tahdid semua mata kuliah yang telah ia
dapatkan selama mengikuti kuliah. Ia menjelaskan satu per satu dengan detil dan sabar. Ia juga memberi kesempatan
kepada Azzam untuk bertanya. Dan semua pertanyaan ia jawab panjang lebar, sampai Azzam merasa puas.
"Ada hal lain yang bisa saya bantu ya Syaikh Azzam...? " "Cukup, insya Allah. Jangan kapok kalau saya tanya iniitu."
"Ana fi khidmatik ya Siddi." "Jazaakallah khairan."
"Sekarang gantian saya. Sebenarnya sejak dua hari yang lalu aku mencarimu untuk suatu urusan. Boleh kan saya
menyampaikan sesuatu padamu..?"

"Dengan senang hati jika ada yang bisa saya bantu." "Masih ingat kunjunganmu ke kampungku dua bulan yang lalu..? "
"Ya. Kunjungan yang menyenangkan. Kampung yang menenteramkan. Dan sambutan yang hangat dan penuh persaudaraan.
Saya sangat terkesan. Jazakumullah khaira." "Ingat ketika engkau kubawa ke rumah Syaikh Abbas..? "
"Yang Imam masjid itu..?"
"Tepat."
"Ingat saat kita dijamu dirumanya."
"Masya Allah, jamuan yang tidak akan pernah saya lupakan. Keluarga yang ramah dan sangat berpen-didikan."
"Ingat seseorang yang menyajikan makanan dan minuman." "Isteri Syaikh Abbas dan seorang perempuan bercadar."
"Kau tahu siapa perempuan bercadar itu?"
"Mungkin puteri beliau. "
"Tepat."
"Ada apa dengan puteri beliau..?"
"Begini, Saudaraku...."
Belum sempat Khaled menjelaskan lebih lanjut, seorang mahasiswa Mesir memakai jubah seragam khas Al Azhar
memanggil Khaled dari pintu mushala,
"Ya Khaled, sur'ah! "
"Ada apa..?"

"Doktor Yahya memanggilmu di ruang kerjanya. Kau harus ke sana sekarang. Penting!"
"Sekarang?"
"Ya ayo cepat. Beliau tergesa-gesa mau ada urusan!"
"Mmm. Baik"
Khaled memasukkan buku yang tadi dibacanya ke dalam tas. Lalu berkata pelan, "Akhi Azzam, afwan, saya tinggal
dulu. Kita lanjutkan pembicaraan kita di lain kesempatanya."
"O ya baik. Salam buat Doktor Yahya."
"Insya Allah."
Khaled bergegas keluar. Sementara Azzam, ia terpekur di mushala dengan sebagian hati didera penasaran: apa sesungguhnya
yang akan dibicarakan Khaled tentang putri bungsu Syaikh Abbas itu..? Sementara sebagian hatinya yang lain telah
mengembara di Pasar Sayyeda Zainab. Ya ia harus ke sana untuk belanja bahan baku membuat tempe dan bakso. Ia harus
ke sana jika ingin tetap bisa hidup dan menyelesaikan kuliah di Cairo.

PERJALANAN
KE SAYYEDA ZAINAB

Azzam melihat jam tangannya. Sudah seperepat jam ia menuggu, bus ke Sayyeda Zaenab tidak juga datang, padahal
bus ke Atabah sudah berkali-kali lewat. Halte bus di depan Masjid Al Azhar itu ramai manusia. Sebagian duduk di kursi
halte, tapi yang berdiri jauh lebih banyak. Bus jurusan Imbaba datang. Orang-orang berlarian naik. Seorang ibu-ibu sekuat
tenaga berusaha menggapai pintu bus. Tangannya telah meraih pegangan, dan ketika kakinya hendak naik, bus itu
berjalan. Ibu-ibu itu tidak melepaskan pegangannya. Jadilah ia terseret. Para penumpang dan orang-orang yang melihatnya
berteriak-teriak marah. Seorang lelaki setengah baya berteriak keras marah,
"Hasib ya hayawan! "
Bus itu berhenti, dan sang sopir tertawa nyengir tanpa terlihat berdosa sama sekali. Ibu-ibu berhasil naik dan kemarahannya
tidak juga berhenti. Azzam melihat hal ltu dengan
hati sesak. Sudah tak terhitung lagi ia melihat kejadian seperti itu. Seorang turis bule tampak asyik mengabadikan adegan
kekonyolan. Tampaknya turis itu mendapatkan oleh oleh yang sangat unik untuk dia bawa ke negaranya. Azzam merasakan
dadanya semakin sesak. Layakkah kekonyolan semacam ini terjadi di depan kampus Islam tertua di dunia..? Tanyanya
dalam hati.
Bus jurusan Imbaba itu telah hilang dari pandangan. Tak lama sebuah bus datang. Ia sangat akrab dengar nomor bus
itu. Delapan puluh coret. Bus yang sangat legendaris dan terkenal
bagi mahasiswa Asia Tenggara yang ting-gal di kawasan Hayy El Ashir. Legendaris karena murah-nya. Jauh dekat
sama saja. Cuma sepuluh piester. Apa tidak murah. Dan terkenal, karena lewat jalur strategis bagi mahasiswa. Bus itu dari
Hayyul Ashir Nasr City melewati Hayyu Thamin, Masakin Ustman, Kampus Al Azhar Nasr City, Muqowilun, Duwaiqoh,
Kampus Al Azhar Maydan Husein, dan berakhir di Attaba.36 Selain itu, juga terkenal karena sering terjadi pencopetan di
dalamnya. Maka seringkali mahasiswa Indonesia menyebutnya, "bus delapan puluh copet", bukan "delapan puluh
coret". Meskipun demikian, bus itu tetap saja dicintai dan dekat di hati.

Begitu delapan puluh coret berhenti, dari pintu depan banyak penumpang yang turun. Dan di pintu belakang
penumpang berjejal naik. Ia melihat seorang dosen ikut berdesakan naik. Ia amati dengan seksama, ternyata Prof. Dr. Hilal
Hasouna, Guru Besar Ilmu Hadis. Ia selalu dibuat takjub oleh sikap tawadhu' dan kesahajaan para syaikh dan guru besar
Universitas Al Azhar. Di Indonesia mana ada seorang guru besar yang mau berdesakan naik bus.
Perlahan delapan puluh coret pergi. Lima detik kemudian datang bus bernomor enam puluh lima. "Ini dia," desis Azzam
lirih. Hatinya begitu lega dan bahagia. Selalu saja di dunia ini, jika seorang menanti sesuatu dan sesuatu yang dinanti itu
hadir, maka hadir pulalah kebahagiaan yang susah dilukiskan. Di antara bus-bus yang lain, enam puluh lima adalah yang
paling dicintai Azzam. Karena bus itulah yang senantiasa mengantarkannya ke Pasar Sayyeda Zaenab. Bus itu telah
menjadi alat yang sangat akrab dalam menunjang bisnisnya. Bisnis tempe dan bakso.
Begitu bus berhenti beberapa orang naik dari pintu belakang. Azzam ikut naik. Bus tidak penuh sesak. Tidak ada
penumpang yang berdiri. Namun tidak banyak tempat duduk yang kosong. Semua penumpang yang baru naik, mendapatkan
tempat duduk, kecuali Azzam. Ia harus berdiri. Bus beranjak pergi menyusuri Al Azhar Street. Azzam berdiri agak di
tengah. Sekilas ia melihat ke depan. Beberapa mahasiswi Asia Tenggara duduk di barisan depan.
"Mungkin mereka juga mau belanja di Sayyeda Zaenab. " Gumamnya dalam hati.
Ia yakin mereka mahasiswi Indonesia, meskipun tidak menutup kemungkinan ada mahasiswi Malaysia. Yang lebih
sering kreatif belanja ke Pasar Sayyeda Zaenab biasanya mahasiswa dan mahasiswi dari Indonesia. Sementara mahasiswa
dan mahasiswi dari Malaysia lebih memilih belanja di tempat yang dekat dengan flat mereka di Nasr City, seperti
Swalayan Misr wa Sudan di Hayye El Sabe. Meskipun tentu saja harganya lebih mahal.
Perlahan bus beranjak menyusuri Al Azhar Street. Dari jendela Azzam bisa melihat bangunan-bangunan tua yang
kusam. Di antara bangunan itu banyak yang dijadikan toko dan gudang tekstil. Sampai di El Muski belok kiri menyusuri
Port Said Street. Bus terus melaju melewati Museum of Islamic Art. Di halte
dekat Maidan Ahmad Maher bus berhenti. Seorang perem - puan Mesir turun. Tak ada penumpang naik. Bus kembali berjalan.
Azzam duduk di kursi yang baru saja ditinggal perem -
puan Mesir. Kursinya masih terasa hangat. Ia merasa lega. Sekilas ia tahu bahwa yang duduk di sampingnya adalah seorang
mahasiswi Asia Tenggara. Ia tak merasa harus menyapa. Pikirannya sudah ada di Pasar Sayyeda Zaenab. Ia melihat
jam tangannya. Ia berharap tidak terlambat sampai disana.
Kalau terlambat ia akan bertambah lelah karena tidak mendapatkan barang yang ia inginkan.
"Semoga Ammu Ragab belum pulang" doanya dalam hati. Jika Ammu Ragab pedagang kedelai itu sudah pulang ia harus
ke Pasar Attaba. Harga kedelai di Attaba lebih mahal dan kualitas kedelainya di bawah Sayyeda Zaenab. Dan ia sebagai
produsen ingin memberikan yang terbaik kepada konsumen. Terbaik dalam harga, juga terbaik dalam kualitas barang. Selisih
harga sekecil apapun harus ia perhatikan. Ia memang berusaha seprofesional mungkin. Meskipun cuma bisnis tempe.
Ia ingin memposisikan diri sebagai produsen tempe terbaik dan termurah. Ia berusaha memposisikan tempenya
adalah tempe dengan kualitas kedelai nomor satu. Rasa nomor satu. Rasa khas tempe Candiwesi Salatiga yang sangat terkenal
itu. Dan kelebihan lainnya adalah bentuknya paling besar di antara tempe yang lain, isinya paling padat, dan harganya
paling murah. Inilah uniquiness yang dimiliki hasil produksinya. Keunikan inilah yang menjadi positioning bisnisnya. Dan
ia akan terus mempertahankan positioning ini terus terukir dalam benak para pelanggannya. Sehingga para pelanggan itu
percaya penuh padanya dan pada produk- produknya. Untuk menjaga hal itu memang perlu keseriusan dan
kerja keras. Tidak hanya konsep dalam pikiran atau di atas kertas. Ia teringat satu ajararan dari Cina kuno: "Kamu akan
mendapatkan apa yang kamu inginkan, jika kamu bekerja keras dan tidak keburu mati dulu"
Ajaran itu senada dengan kata mutiara bangsa Arab yang sangat dahsyat: Man jadda wajada. Siapa yang besungguh
sungguh berusaha akan mendapatkan yang diharapkannya. Bus terus berjalan.
"Maaf, Anda dari Indonesia ya..? " Ia mendengar suara pelan dari sampingnya.
"Iya benar. Anda juga dari Indonesia?" Jawabnya tenang.
"Iya. Maaf, kalau boleh tanya toko buku Daarut Tauzi' itu
di mana ya..?"
"Sebentar." Ia melihat ke depan dan ke kiri jalan.
"Halte depan. Sebelah kiri jalan ada tulisannya kok.
Pokoknya kira-kira seratus meter dari Masjid Sayyeda
Zaenab." Lanjutnya
"Terimakasih."
"Sama-sama. Belum pernah ke Daarut Tauzi'ya..?"

"Iya belum pernah. Biasanya saya beli buku di toko toko
buku dekat kampus Al Azhar Maydan Husein"
"Oo."
Setelah itu keduanya diam. Masing-masing mengikuti pikirannya sendiri. Setiap kali bertemu dengan maha-siswi
Indonesia Azzam langsung teringat dengan kedua adiknya yang sudah gadis. Husna dan Lia. Husna pastilah sudah saatnya
menikah. Dan Lia telah meninggalkan masa remaja. Genap sembilan tahun sudah ia tidak bertemu mereka berdua.
Adapun adiknya yang ketiga, si Bungsu Sarah, sudah masuk usia sembilan tahun. Ia sama sekali belum pernah melihatnya,
kecuali lewat foto. Saat ia meninggalkan Indonesia dulu, Sarah masih berada dalam kandungan ibunya. Seperti apakah wajah
ketiga adiknya itu. "Semoga ada jalan untuk pulang. Aku rindu pada mereka.
Juga pada ibu," katanya dalam hati. Dan jalan pulang yang paling realistis baginya adalah membuat tempe sebanyakbanyaknya,
dan berdoa semoga mendapatkan order membuat bakso yang juga sebanyak-banyaknya. Hasil dari usahanya itu
akan ia gunakan membeli tiket. Jika kurang semoga bisa minta bantuan ke Baituz Zakat yang berkantor di Muhandisin.
Namun sesungguhnya dalam hati ia ingin bisa membeli tiket sendiri tanpa minta bantuan kepada siapapun. Itu berarti ia
harus benar benar membanting tulang dan memeras keringat. Di samping itu semua, yang paling penting adalah, ia
harus selesai S.1 tahun ini. Jika tidak, rencana pulang akan berantarakan. Ia harus menahan rindu satu tahun ke depan.
Dan ia tidak mau hal itu terjadi. Maka ia harus melakukan sesuatu.
Kalau kamu ingin menciptakan sesuatu, kamu harus melakukan sesuatu! Demikianlah kata Johann Wolfgang von Goethe
yang pernah disitir Prof. Dr. Hamdi Zaqzuq dalam kuliahnya. Sekali lagi ia harus melakukan sesuatu. Yaitu bekerja
lebih serius, belajar lebih serius, dan berdoa lebih serius. Tak ada yang lain.

Tak terasa bus telah sampai di depan Masjid Sayyeda Zaenab. Azzam harus turun, karena bus akan ke Termimnal
Abu Raisy dan tidak melewati pasar. Para penumpang turun. Lima orang mahasiswi itu turun, termasuk yang duduk di
samping Azzam. Azzam yang paling akhir turun. Beberapa mahasiswi menengok ke kiri dan kanan.
"Maaf Daarut Tauzi'-nya ke sana ya..?" mahasiswi berjilbab biru muda yang tadi duduk di sampingnya kembali berta -
nya padanya. Reflek Azzam memandang wajahnya sekilas. Subhanallah,
cantik. Mahasiswi Indonesia di Cairo ada yang cantik juga. Bahkan ia merasa belum pernah melihat wanita Indonesia
secantik gadis berjilbab biru muda ini. Azzam cepat-cepat mengalihkan pandangannya. Lalu dengan memandangke arah
Daarut Tauzi', ia menjelaskan ke mana mereka harus melangkah dan bagaimana ciri-ciri gedungnya. Daarut Tauzi' me
mang tidak terlalu kelihatan lazimnya toko buku. Sebab, tem - patnya ada di lantai dua sebuah gedung agak tua
"Syukran, ya."
"Afwan. O ya sampaikan salam buat Hosam Ahmad.
Penjaga Daarut Tauzi. "
"Dari siapa..?"
"Katakan saja dari thalib dzu himmah.
"Insya Allah. " Jawab gadis berjilbab biru muda itu. Ia dan teman-temannya menuju ke arah yang dijelaskan Azzam.
Sementara Azzam langsung bergegas ke pasar. Ia melewati masjid. Pasar itu ada di sebelah selatan masjid.

* * *
Pasar Sayyeda Zaenab masih ramai meskipun tak seramai ketika pagi hari, sebelum Zuhur. Beberapa pedagang ikan dan
daging ayam sudah mengemasi tempat mereka. Dagangan mereka telah ludes. Azzam langsung menuju kios Ammu
Ragab. Ammu Ragab memang khusus menjual segala jenis tepung, kacang-kacangan dan beras. Ia menjual kacang jenis
ful sudani, ful soya, adas dan lain sebagainya. "Assalamu'alaikum ya Ammu."
"Wa 'alaikumussalam, o anta ya Azzam. Kaif hal ..?" "Ana bi khair. Alhamdulillah. Andak ful shoya.. ?"
"Thab'an 'andi. 'Aisy kam kilo..?"
"Khamsah wa 'isyrin kilo kal ‘adah. "
Azzam lalu menjelaskan sebentar. Karena waktu sudah dekat Ashar, ia akan mengambil barangnya setelah shalat
Ashar. Setelah itu ia berrgegas ke kios penjual daging. Ia sudah pesan daging tadi pagi lewat telpon. Jika tidak pesan, jelas
ia tidak akan mendapatkan daging yang diinginkan. Ternyata kios penjual daging sudah siap tutup. Dagingnya juga telah
habis. "Kami masih buka karena menunggu kamu Akhi." Kata Ibrahim yang kini menjalankan kios daging milik ayahnya itu.

"Maaf. Saya sedikit terlambat." Jawab Azzam. Ia memang terlambat setengah jam mengambil pesanannya.
Ibrahim tampak sudah rapi dan bersih, tidak tampak kotor layaknya penjual daging. Separo kiosnya sudah ditutup.
Ia duduk di kursi di depan kiosnya sambil membaca koran. Ibrahim masih muda. Umurnya masih di bawah tiga
puluh tahun. Ayahnya tidak bisa lagi bekeria karena terkena stroke. Ibrahim anak sulung. Masih mempunyai empat adik.
Dua perempuan dan dua laki-laki. Yang paling besar namanya Sami, lalu Yasmin, Heba dan yang paling kelil bernama Samir.
Dialah yang kini jadi kepala rumah tangga. Ia mati-matian menghidupi adik-adiknya. Juga mati-matian menjaga mereka
agar tetap memperoleh pendidikan yang la yak. Semua adiknya sekolah di Al Azhar, karena memang tak ada yang lebih
murah dari Al Azhar. Yang ia tahu, Sami baru saja selesai Fakultas Dirasat
Islamiyyah. Yasmin tingkat akhir di Kulliyah Banat Al Azhar. Heba baru masuk kuliah. Dan Samir masih di Madrasah Ibtidaiyyah.
Ibrahim sendiri lulusan Syariah. Sebagaimana ia bisa akrab dengan mahasiswa Mesir bernama Khaled, ia bisa akrab
dengan Ibrahim, juga bertemu di masjid. Tepatnya Ramadhan dua tahun lalu, saat itikaf dua hari di Masjid Amru bin Ash.
Biasanya Ibrahim dibantu sama Sami, tapi kali kelihatannya ia tidak ada.
"Mana Sami, kok tidak kelihatan..?''
"Sedang ada keperluan keluarga di Giza."
"O begitu. Kau tergesa-gesa..?"
"Sebenarnya tidak. Tapi saya dan Heba harus segera menyusul Sami sebelum Maghrib tiba."
Azzam langsung paham bahwa Ibrahim tidak punya banyak waktu. Ia langsung mengambil pesanannya dan mem-

bayar harganya. Azzam ingin segera beranjak, namun seorang gadis remaja berjilbab khas Mesir datang dengan dua gelas
karikade dingin dinampan. "Minum dulu Akhi." Ibrahim mempersilakan.
Sekilas Azzam melihat gadis remaja itu menatapnya sambil mengangguk lalu ke dalam. Ini adalah kali ketiga ia berta -
tapan dengan gadis remaja itu. Ia yakin ia adalah Heba. Kalau boleh jujur, ia harus mengakui, bahwa ia belum pernah melihat
gadis secantik Heba. Cantik dan cerdas. Sebab Ibrahim pernah cerita, diusia tujuh tahun Heba telah hafal Al-Quran. Hal
itulah yang membuatnya punya keinginan adiknya yang paling kecil bisa hafalAl-Quran. Seperti Heba.
Ibrahim mengambil gelas dan meminumnya. Tanpa banyak Tujuh detik kemudian gelas itu telah kosong.
Azan Ashar mengalun dari Masjid Sayyeda Zaenab. "Terima kasih Akhi. Saya pamit." kataAzzam setelah itu.
"Maaf, kalau kita tidak bisa banyak berbicara seperti biasa. Waktunya memang sempit. Jangan lupa doakan kami.
Doa penuntut ilmu dari jauh yang ikhlas sepertimu pasti di dengar Allah," tukas Ibrahim.
"Sama-sama. Kita saling mendoakan." Azzam lalu bergegas kembali ke kios Ammu Ragab dan
menitipkan dagingnya di sana. Ia hendak ke masjid shalat Ashar dulu. Ia berjalan melewati lorong pasar. Langsung ke
tempat wudhu masjid. Dan saat kaki kanannya menginjak pintu masjid, sang mu'azin melantunkan iqamat.
Usai shalat dan berzikir secukupnya, ia langsung kembali ke pasar. Membeli bumbu-bumbu untuk membuat bakso. Dan
dengan langkah cepat kembali ke kios Ammu-Ragab. Seorang

pembantu Ammu Ragab membantu mengangkatkan kacang kedelainya ke pinggir jalan raya. Ia memang belanja cukup
banyak dan berat. Ia merasa perutnya sangat lapar tapi tak ada waktu lagi buat makan siang. Nanti saja jika sudah sampai di
rumah. Tak lama bus enam lima datang. Namun sudah penuh sesak. Ia urung naik. Jika ia tidak membawa barang pasti
sudah naik. Seperempat jam berlalu dan bus enam lima berikutnya tak juga datang. Tak ada pilihan, ia harus naik taksi.
Tak ada salahnya ia realistis. Ongkos biaya produksi dalam kondisi tertentu susah untuk ditekan. Yang jelas selama dalam
perhitungan masih ada keuntungan sesuai dengan margin yang ditetapkan, tidak jadi problem.
Sebuah taksi melintas. Ia hentikan dan dengan cepat terjadi kesepakatan. Sopir taksi membantu memasukkan barang-
barang belanjaan Azzam ke dalam bagasi. Azzam duduk di depan. Taksi melaju perlahan. Menyusuri Port Said Street.
Sopir taksinya seorang lelaki gendut setengah baya. Wajahnya bundar. Hidungnya besar. Rambutnya keriting kecil-kecil.
Khas keturunan Afrika. Kulitnya sedikit hitam, tapi tak legam. Agaknya ia lelaki yang ramah,
"Kamu mahasiswa Al Azhar ya..? "
"Benar, Paman."
"Belajarlah yang serius agar tidak susah. Agar tidak jadi sopir taksi seperti saya "
"Memangnya jadi sopir taksi susah, Paman..?"
Sopir taksi malah cerita,
"Kalau saya dulu serius belajar dan mau kuliah, pasti sudah jadi pegawai bank dengan gaji tinggi dan tidak susah
seperti sekarang. Kalau saja..."

Azzam langsung memotong cerita itu. Ia tahu orang Mesir kalau cerita pasti akan ke mana-mana. Kalau cerita
bahagia akan melangit, kalau cerita susah akan sangat melankolis. Azzam tak mau dengar cerita itu. Ia sendiri juga sedang
susah. Maka dengan cepat ia memotong, "E... Paman asli Cairo ya?" tanya Azzam.
"Ah tidak. Saya lahir di Sohag. Besar di Tanta dan menikah di Cairo."
"Sudah punya anak berapa, Paman..?"
"Baru satu dan baru berumur satu tahun"
"Oo."
"Yah. Saya termasuk terlambat menikah. Saya menikah saat berumur 46 tahun. Tahu sendiri. Menikah di sini tidak
mudah." Ini bukan kali pertama Azzam mendengar cerita seperti ini. Di Mesir dan negara Arab lainnya, menikah memang
sangat mahal. Sehingga tidak sedikit yang terlambat menikah. Golongan yang pas-pasan punya, tapi tidak kaya, biasanya
banyak terlambat. Baik lelaki maupun perempuan. Justru sekalian golongan yang miskin malah banyak yang nikah
muda. Mereka menikah dengan sesama orang miskin sehingga syarat syarat bersifat material sama-sama dimudahkan.
Banyak ulama Mesir yang menyerukan untuk memurahkan mahar dan memudahkan syarat. Tapi seruan itu seperti
angin yang berlalu tanpa bekas. Si Ibrahim, penjual daging langgaanannya ingin sekali segera menikah. Namun belum
juga bisa menikah karena persoalan materi. "Saya sarankan kamu jangan sekali-kali punya pikiran
menikahi gadis Mesir." Gumam sang sopir. "Kenapa, Paman?.. "

"Susah. Sembilan puluh sembilan koma sembilan persen perempuan Mesir itu menyusahkan. Keluarga mereka juga
menyusahkan." "Ah yang benar, Pamar."
"Benar. Serius! "
"Termasuk isteri Paman..? " Entah kenapa spontan ia bertanya begitu.
"Iya. Apalagi dia. Rasanya nggak pernah dia bikin suami bahagia, kecuali saat bulan madu dulu."
"Ah Paman bohong. Tuan rumah saya di Hay El Ashir, seorang perempuan. Asli Mesir, Paman. Namanya Madam
Rihem. Dia sangat baik. Kepada siapa saja. Kepada kami yang bukan siapa-siapanya, juga kepada para tetangga. Dia mem -
buat kami bahagia, Paman. Dia sangat pengertian jika kami telat membayar uang sewa"
"Dia masuk dalam kelompok nol koma nol satu persen. SudahIah percayalah padaku. Jangan sekali-kali berpikiran
mau menikahi gadis Mesir. Saya dengar nikah di Asia Tenggara itu mudah. Perempuan perempuannya juga sangat taat
pada suami. Kamu orang mana..?"
"Indonesiar Paman."
"Apalagi Indonesia. Sebaik-baik manusia adalah orang Indonesia. "
"Ah Paman bisa saja basa-basinya." Taksi terus melaju melewati Maydan Ahmad Maher.
"Saya tidak basa-basi. Saya serius. Tetangga saya yang baru haji tahun ini yang memberitahukan hal ini kepada saya.
Ia melihat selamah haji, jamaah haji yang paling lembut dan paling penurut adalah jamaah haji Indonesia."

Azzam tidak tahu harus menjawab apa. Tiba-tiba matanya menangkap sesuatu di depan. Dua mahasiswi Indonesia
di pinggir jalan tak jauh dari Museum of Islamic Art. Kelihatannya ada sesuatu dengan mereka. Keduanya duduk.
Yang satu, yang berjilbab cokelat muda kelihatannya menangis. Sementara yang satunya, yang berjilbab biru kelihatannya
sedang berusaha menenangkan temannya. "Masya Allah, dia kan mahasiswi yang tadi duduk di sampingku. " lirih Azzam.
"Paman berhenti sebentar ya. Kelihatannya ada masalah dengan mahasiswi dari Indonesia itu. " Pinta Azzam.
"Baik. Tapi jangan lama-lama ya."
"Baik, Paman. "
Azzam turun dan mendekati mereka berdua. Ia mendengar suara sesenggukan dari gadis berjilbab cokelat muda.
"Mm, maaf Ukhti. Ada apa ya..? Ada yang bisa saya bantu..?
Sapa Azzam sesopan mungkin. Beberapa orang Mesir melihat mereka. Gadis yang berjilbab biru menjawab,
"Kami kena musibah. Dompet Ukhti Erna ini dicopet. Tadi busnya penuh sesak. Kami berdiri dekat pintu. Saya melihat
copet itu mengambil dompet Ukhti Erna. Saya berteriak. Si copet langsung loncat bus dan lari. Saya minta bus berhenti
dan minta orang-orang membantu mengejar pencuri itu. Tapi mungkin sopirnya nggak dengar, soalnya kita di pintu
belakang. Kita baru bisa turun di halte depan. Kita lari ke sini karena copetnya tadi loncat di sini. Dengan harapan ada orang
Mesir yang menangkapnya. Tapi jejaknya saja tidak ada. Padahal dalam dompet itu ada uang dua ratus lima puluh
dollar dan tujuh puluh lima pound. Sekarang kami baru sadar, kami tak punya uang sama sekali. Kami tak bisa pulang.
Uangku sendiri sudah habis untuk beli kitab."
Azzam tahu kenapa mahasiswi itu sampai menangis. Dua ratus lima puluh dollar dan tujuh puluh lima pound itu sangat
banyak bagi mahasiswa Indonesia di Cairo. Kalau bagi mahasiswa Brunei mungkin lain.
"Sudahlah diihklaskan saja. Semoga diganti yang lebih baik oleh Allah swt. Oh ya bukankah kalian tadi berlima atau
berenam..?"
"Ya, tadi kami berenam. Saat pulang kami berpisah di depan Masjid Sayyeda Zaenab. Mereka berempat naik taksi ke
Dokki, sementara kami naik bus enam lima. " " Kalau boleh tahu, kalian tinggal di mana? "
"Di Abdur Rasul."
"O, baik. Kebetulan saya naik taksi. Bangku belakang masih kosong. Kalian bisa ikut." Kata Azzam.
"Erna ayo sudahlah, kita ikut dia saja." Tanpa bicara sepatah pun mahasiswi bernama Ema itu
perlahan bangkit. Azzam berjalan di depan. Ia membukakan pintu taksi. Dua mahasiswi itu masuk. Azzam melihat dua
mahasiswi itu tak membawa apa apa selain yang berkerudung biru membawa tas cangklong hitam kecil.
"Lha buku dan kitab yang dibeli mana?" Tanya Azzam. "Tertinggal di bus. Saat kami berdiri, kitab dalam kantong
plastik itu saya letakkan di bawah, karena agak berat. Begitu saya melihat penjahat itu mencopet dompet Erna, saya
sudah tidak ingat apa-apa kecuali berteriak dan merebut dompet itu kembali. Dan ketika kami turun dari bus, kitab itu
tertinggal di dalam bus." Jawab mahasiswi berjilbab biru.

"O, ya sudah. Semoga bisa dilacak." Sahut Azzam sambil menutup pintu taksi. Taksi perlahan bergerak. Pikiran Azzam
juga bergerak bagaimana mendapatkan kembali kitab itu. "Kitab apa saja yang kamu beli kalau boleh tahu..?"
Dari belakang terdengar jawaban,
"Lathaiful Ma'arif-nya Ibnu Rajab Al Hanbali, Fatawa
Mu'ashirah-nya Yusuf Al Qardhawi, Dhawabithul Mashlahanya
Al Bulthi, Al Qawaid Al Fiqhiyyah-nya Ali An Nadawi,
Ushulud Dakwah-nya Doktor Abdul Karim Zaidan, Kitabul
Kharraj-nya Imam Abu Yusuf, Al Qamus-nya Fairuzabadi dan
Syarhul Maqashid-nya Taftazani."
Azzam tidak berkomentar. Dari jawaban yang ia dengar, ia langsung bisa memastikan tiga hal. Pertama, total harga
kitab itu ratusan pound. Kedua, mahasiswi yang membeli kitab itu adalah orang yang sangat cinta ilmu. Ketiga, ia kemungkinan
besar adalah mahasiswi Syari'ah. "Busnya sudah lama jalan..?" tanya Azzam.
"Kira-kira lima belas menit yang lalu."
Tiba-tiba sebuah ide berpijar di kepalanya. Bus itu mungkin bisa dikejar jika taksi bisa memotong jalur. Apalagi bus itu
padat. Pasti lebih lambat karena akan banyak menurunkan penumpang. Itu prediksinya.
"Paman bisa ngebut dan motong jalur ke Masjid Nuril Khithab Kulliyatul Banat Nasr City..?"
"Tentu bisa. Kebut mengebut dan memotong jalur itu kebiasaanku waktu masih muda. "
"Lakukan itu Paman, saya tambah lima pound." "Nggak. Kalau mau tambah sepuluh pound." Azzam berpikir sebentar.

"Baik. "
Dan seketika taksi itu menambah kecepatannya. Azzam memperbanyak membaca shalawat.Sementara dua
penumpang di belakangnya diam dalam rasa sedih berselimut cemas. Tak ada yang mereka lakukan kecuali menyerahkan
semuanya kepada Allah yang Maha Menentukan Takdir.

PENGEJARAN
DENGAN TAKSI

Sopir taksi itu mengerahkan segenap kemampuannya untuk ngebut. Ia sangat hafal dengan jalan jalan tembus yang
paling aman dari keramaian dan macet. Dalam waktu seperempat jam, taksi itu telah sampai di Hay El Sades ke arah
kawasan kampus Al Azhar Nasr City. Lalu melaju kencang ke arah Masjid Nuri Khithab.
Selama dalam perjalanan Azzam diam. Tidak banyak berbicara. Dua penumpang di belakangnya juga melaku-kan hal
yang sama. Kalaupun Azzam bicara hanya untuk menjawab pertanyaan sopir taksi sesekali saja.

Tiga menit kemudian taksi hitam putih itu sampai di perempatan Masjid Nuri Khithab. Azzam minta supaya belok
kiri menyusuri Thayaran Street ke arah Ta’min Shihi. Azzam memposisikan taksi berhenti di Halte jalur ke Hay El Sabe
dekat Muraqib supaya enak mencegat bus enam lima. Sopir minta tambahan ongkos. Akhirnya Azzam kembali harus sepakat
memberi tambahan. Beberapa menit menunggu, dari arah Rab'ah sekonyong
konyong Azzam melihat bus enam lima datang. "Ukhti, kamu lihat kitabmu dipintu belakang. Saya akan
naik dari pintu depan minta agar sop irnya berhenti beberapa saat. Semoga itu bus kamu tadi!" Seru Azzam begitu bus itu
merapat di Halte mau berhenti. Mahasiswa berjilbab biru itu mengangguk dan bersiapsiap.
Bus berhenti. Azzam menuju kepintu depan. Begitu pintu dibuka ia langsung melompat. Ia nyaris bertabrakan de-ngan
penumpang yang mau turun. Ia mepet bergantung di pinggir pintu dan minta sang sopir berhenti sebentar. Mahasiswi berjilbab
biru sudah naik. Ia melihat-lihat dibawah kursi dekat kondektur duduk. Kedua matanya langsung menangkap buku
dan kitabnya dalam dua plastik putih. Hatinya sangat bahagia. Ketika hendak mengambilnya sang kondektur mempersilakan.
Agaknya sang kondektur belum lupa dengan musibah yang menimpa dua mahasiswi beberapa saat yang lalu.
"Maafkan kami atas musibah tadi," kata kondek tur itu. "Tidak apa-apa. Semoga diganti yang lebih baik oleh
Allah swt," jawab mahasiswi itu lalu turun. Sambil menggelantung di pintu depan, Azzam melihat
mahasiswi itu membawa dua plastik putih berisi kitab. Ia langsung melompat turun dan mempersilakan sopir menjalankan
busnya.
"Gimana masih lengkap, tak ada yang hilang..? " tanya Azzam.
Mahasiswi itu lalu memeriksa sebentar. Dan dengan wajah berbinar, ia menjawab,
"Alhamdulillah. Masih lengkap. Terima kasih ya atas
segalanya. Kalau boleh tahu nama situ siapa..?" "Aku Abdullah." Jawab Azzam. Nama kecilnya memang
Abdullah Khairul Azzam. Entah kenapa ketika dibuat akte kelahiran yang terlulis hanya Khairul Azzam saja, Abdullahnya
hilang. Jadi dengan mengatakan namanya Abdullah, ia sama sekali tidak bohong. Namun mahasiswa di Cairo tidak
ada yang mengenalnya sebagai Abdul-lah. Ia memang tidak ingin namanya diketahui dua mahasiswi itu. Ia mau menjaga
keikhlasannya.Maka meskipun mahasiswi cantik berjilbab biru itu bertanya namanya, ia tidak gantian menanyakan namanya.
"Tinggal di mana..?" tanya mahasiswi itu lagi. Sementara mahasiswi yang satunya diam saja. Kelihatannya ia masih sedih
kehilangan dompetnya yang berisi dua ratus lima puluh dollar dan tujuh puluh lima pound.
"Di Madrasah Hay El Ashir. Ini sudah sore. Kalian ikut sampai sini saja ya. Saya harus segera melanjutkan perjalanan.
Sopir taksinya sudah menunggu. Nanti kalau kelamaan, dia minta tambah lagi. Jawab Azzam sambil melihat jam tangannya.
"Iya Mas..a..Abdullah. Terima kasih banget ya."
"Ya sama-sama. Lain kali lebih hati-hati ya. Assalamu- 'alaikum."
"Wa 'alaikumussalam wa rahmatullah."

Azzam langsung masuk ke dalam taksi. Taksi berjalan lurus ke arah Hay El Sabe'. Dua mahasiswi itu meman-dangi
taksi itu sampai menghilang dikejauhan. Nama Abdullah membuka satu lembar catatan dalam hati mereka.
Matahari semakin kekuning-kuningan. Senja menunjukkan tanda-tanda segera datang. Bus-bus penuh dengan orang
kelelahan. Dua mahasiswi itu melangkah perlahan ke arah Abdur Rasul. Letaknya tak jauh. Tiga ratus meter ke depan.
Angin musim semi yang sejuk membelai jilbab mereka dengan penuh kasih sayang. Cairo kembali menggores episode yang
indah untuk dikenang.
***
Dua mahasiswi itu sampai di rumah kontrakan mereka di Abdur Rasul. Rumah yang besar berada di lantai dua sebuah
villa anggun bercat putih. Rumah itu terdiri atas tiga kamar tidur asli. Satu kamar tidur tambahan. Satu kamar mandi.
Dapur. Ruang tamu. Dan dua balkon. Dihuni oleh enam orang mahasiswi. Empat orang dari Indonesia dan dua orang dari
Malaysia. Erna sudah lebih cerah meskipun guratan kesedihannya masih tampak jelas. Mereka pulang disambut oleh Zahraza,
mahasiswi tingkat tiga dari Negeri Kedah, Malaysia. "Erna, kenape muka awak pucat macam tu? Fi eh..?" 42
tanya Zahraza, teman satu kamar Erna. Logat Malay-sianya sama sekali tidak berubah meskipun sudah dua tahun tingga l
satu rumah dengan orang Indonesia. Selain Zahraza, mahasiswi Malaysia yang tinggal di situ adalah Wan Aina, berasal
dari Negeri Selangor. Zahraza masih duduk di S. 1, tingkat akhir. sedangkan Wan Aina sudah masuk tahun pertama S.2 -

nya. Dua penghuni lainnya adalah Hanum dari Bandung, dan Sholihati dari Kudus. Keduanya satu kelas dengan Erna.
Jadi di rumah itu yang paling senior secara akadem is adalah Anna. Adapun yang paling senior secara umur adalah
Sholihati. Sebelum kuliah di Al Azhar, gadis yang pernah belajar di Madrasah Banat Kudus itu pernah menjadi tenaga
kerja di Kuwait lebih dari dua tahun. Karena cintanya pada ilmu, begitu ia memiliki dana untuk terbang ke Mesir, ia
tinggalkan pekerjaannya untuk menuntut ilmu. Semangat belajarnya yang luar biasa itu membuat banyak orang salut
padanya. Namun Anna tetaplah yang paling disegani di rumah itu, selain karena ia paling berprestasi dan paling bisa
memimpin, ia adalah puteri seorang kiai. Anna tinggal satu kamar sendiri. Erna satu kamar dengan Zahraza. Sedangkan
Wan Aina satu kamar dengan Sholihati. Mereka hidup di rumah itu layaknya saudara sendiri. Adapun Hanum menempati
kamar tambahan sendirian. Kamar itu letak-nya di samping ruang tamu, hanya disekat dengan tabir dari kain
berwarna hijau tua yang tebal.
"Tak usah cemas. Tak ada ape-ape. Hanya musibah sikit
aje." jawab Erna, sedikit terpengaruh oleh logat Malay-sia.
"Musibah apa tu..? " kejar Zahraza.
"Tanya aja sama Erna. Saya nak ke kamar dulu ya," jawab Anna bergegas ke kamarnya.
Zahraza langsung minta penjelasan Erna. Erna lalu menjelaskan dengan detil semua peristiwa yang baru saja
dialaminya. Termasuk juga pertolongan tak disangka dari seorang mahasiswa Indonesia bemama Abdullah. Zahraza mendengarkan
dengan penuh perhatian. Sementara itu, taksi berwarna hitam putih yang membawa Azzam meluncur memasuki kawasan Hay El Ashir. Melewati
Bawwabah Tsalitsah, terus melaju ke timur. Melewati kawasan yang oleh mahasiswa Asia Tenggara disebut Nadi
Kahrubai. Sebuah kawasan luas yang dilewati arus listrik tegangan tinggi. Daerah itu berupa jalan aspal yang lebar. Dan
oleh penduduk setempat, juga oleh mahasiswa Asia Tenggara, sering digunakan ber-main sepakbola. Maka disebut Nadi
Kahrubai, atau sta-dion listrik. Kawasan ini juga sering disebut Suq Sayyarah, atau Pasar
Mobil. Sebab, padahari Jumat kawasan ini berubah menjadi tempat jual beli mobil bekas terbesar di Cairo. Kawasan yang
luasnya berhektar-hektar itu penuh dengan berbagai macam mobil. Bagi yang ingin menda-patkan mobil yang bagus dan
murah, di sinilah tem-patnya. Syaratnya tentu saja harus bisa memilih dan bisa menawar dengan baik. Jika tidak, justru bisa
sebaliknya. Azzam melihat ke arah Nadi Kahrubai dan dari kejauhan ia melihat banyak mahasiswa Asia Tenggara di sana. Ada juga
mahasiswa berkulit hitam. Mereka sedang bermain sepak bola.
Di sebelah Nadi tampak Masjid Sarbini yang pada bulan Ramadhan biasa menyediakan buka puasa gratis. Masjid itu
menjadi salah satu tempat favorit bagi mahasiswa Asia
Tenggara, di samping masjid-masjid yang lain. Azzam sendiri juga sering berbuka di masjid itu bersama teman-teman satu
rumahnya. Tak lama kemudian, taksi itu sampai di Mutsallats. Azzam memberi instruksi kepada sopir taksi agar belok ke
kanan. Taksi berjalan pelan memasuki kawasan Mutsallats. Rumah-rumah penduduk berbentuk kotak kotak berwarna
cokelat. Warna khas pasir dan debu padang pasir di Mesir. Azzam kembali meminta taksi belok kanan. Sampai di depan
apartemen berlantai enam yang menghadap ke selatan, Azzam menyuruh taksi itu berhenti.

Azzam keluar dari taksi. Sopir taksi membantu mengeluarkan barang-barang Azzam dari bagasi. Azzam memeriksa
barangnya. Semua genap. Azzam menyerahkan ongkos pada sopir taksi. Sopir gendut berwajah bundar itu langsung menghitung.
"Khamsah junaih kaman ya Andonesi !"
"La, khalas, mafi ziadah ya Ammu. Haram ‘alaik ya Ammu!"
Sopir taksi itu tersenyum. "Thayyib, 'ala kulli hal mutasyakkir! Hadza yakfi"  Ia lalu
masuk ke dalam taksi dan pergi. Azzam meletakkan barang-barangnya di depan pintu
gerbang. Sambil menenteng kantong plastik berisi daging sapi ia naik ke lantai tiga. Flatnya ada di lantai tiga. Ia masuk. Sepi.
Tak ada orang di ruang tamu. Ia langsung memasukkan daging sapi ke dalam kulkas. Ia periksa kamar per kamar. Hanya
ada Nanang yang sedang duduk di depan komputer milik Fadhil. Kedua telinganya ditutup dengan earphone. Agaknya ia
sedang asyik mendengarkan lagu-lagu pop Mesir sambil mengetik. Azzam menepuk bahu Nanang. Nanang terhenyak
kaget, lalu tersenyum. Ia melepas earphone-nya. Azzam meminta Nanang untuk membantunya menaikkan barang-barang
belanjaannya ke atas. Terutama mengangkat kedelai. Ia sendiri sudah sangat letih.
"Okay bos!" Jawab Nanang riang. Ia mengikuti Azzam turun. Mereka berdua lalu menaikkan barang barang belanjaan
itu ke dalam Flat.

* * *
"Semoga ini semua ada hikmahnya," lirih Zahraza selesai mendengar cerita Erna.
"Hikmahnya sudah aku dapatkan. Ini jadi teguran Allah swt atas kebakhilanku selama ini. Sebenarnya uang itu tadi pagi
mau dipinjam Mbak Hanum dua ratus dollar tapi aku tidak boleh. Aku sungguh menyesal,'' Jawab Erna sambil menundukkan
kepalanya.
"Sudahlah Erna. Kita cakap perkara yang lain saja. By the way, siapa tadi pemuda yang menolong kalian?" tanya Zahraza.
"Namanya Abdullah."
"Kau kenal dia tak..?"
Erna menggelengkan kepala .
"Sst... by the way ia handsome tak..?"
Erna melototkan matanya. Namun Zahraza tidak takut. Ia malah berkomentar,
"Wah berarti pemuda itu handsome. Terus terang aku suka sekali kepada pemuda yang baik hati dan pemberani
seperti pemuda yang menolong kalian tadi. Apalagi kalau dia handsome. Nggak handsome saja aku pasti menaruh simpatik.
Kalau aku yang jadi kau sudah aku kejar pemuda itu. Jaman sekarang, tidak mudah cari calon suami yang baik hati dan
penuh perhatian seperti pemuda itu. Semoga Allah swt mempertemukan aku dengan dia dalam pertemuan yang penuh barakah. "
Komentar mahasiswi Malaysia itu didengar dengan jelas
oleh Anna dari kamarnya. Entah kenapa, ia begitu cemburu mendengar komentar itu. Ia jadi heran sendiri kenapa ia mesti
cemburu. Padahal ia bukan siapa siapanya. Ia juga baru ber-

temu hari itu. Ia tidak tahu identitasnya. Juga tidak tahu rumahnya. Pemuda itu pun tidak tahu siapa dia. Sebab ia tidak
memperkenalkan namanya, dan pemuda itu juga tidak bertanya namanya. Anna cepat-cepat menyingkirkan perasaan itu.
Herannya, setiap kali Zahraza bercerita tentang kebaikan mahasiswa Indonesia, ia selalu cemburu. Aksen dan logat gadis
Malaysia yang halus itu, kalau bercerita tentang mahasiswa Indonesia memang punya kekuatan yang membangkitkan
rasa cemburu bagi mahasiswi Indonesia. Apalagi ia memang punya pengalaman indah dengan mahasiswa Indonesia. Saat
awal-awal di Mesir, ia tinggal di rumah Negeri Kedah yang ada di daerah Thub Ramly, Hay El Ashir.
Suatu kali ia puIang dari belanja di toko Misr wa sudan menjelang Isya. Ketika ia berjalan berdua dengan teman-nya
melewati shahra 46 yang sepi tiba-tiba ada orang Mesir yang
hendak berbuat jahat padanya. Ia menjerit jerit. Untung saat itu ada mahasiswa Indonesia melintas. Mahasiswa itu langsung
memukul orang Mesir. Orang Mesir balik memukul. Terjadilah perkelahian. Ternyata mahasiswa Indonesia itu
bisa ilmu bela diri, sehingga orang Mesir itu akhirnya lari. Mahasiswa Indonesia itu juga mengantarkan mereka berdua
sampai di rumahnya. Sejak itulah di mata Zahraza, pemuda Indonesia yang belajar di Mesir adalah manusia pemberani
yang baik hati. "Bodohnya awak ni. Awak tak tanya siape nama pemuda itu. Dan dimana alamat dia duduk. Awak benar-benar bodoh.
Padahal pemuda itu sangat berjasa bagi awak. Jika tak ada pemuda itu mungkin kesucian awak sudah hilang." Begitu
komentar Zahraza setiap kali mengulang ceritanya itu. Entah sudah berapa kali Zahraza bercerita tentang kejadian itu. Dan
Shahra, tanah yang sangat lapang, padang pasir.

sampai sekarang, mahasiswa Indonesia yang menolong Zahraza itu juga tidak diketahui siapa. Tidak ada kabar dan
selentingan berita mahasiswa Indonesia yang mengaku atau bercerita pernah menolong mahasiswi Malaysia di Shahra dekat Thub Ramli.
Anna tahu, kecemburuannya merupakan hal yang tak perlu. Mahasiswi Malaysia menaruh simpatik pada mahasiswa
Indonesia karena kebaikan, adalah hal yang bukan-nya tidak boleh terjadi. Jika yang jadi landasannya adalah kebaikan,
jalannya adalah kebaikan, dan tujuannya adalah kebaikan. Apanya yang salah.
Anna merasa ia telah berlebihan dengan merasa cemburu, hanya karena komentar yang bisa jadi juga sekadar
komentar biasa: tak lebih dari sekadar komentar yang mungkin tujuannya justru untuk menghangatkan suasana, atau
untuk menunjukkan rasa hormatnya pada orang Indonesia. Ia merasa harus meletakkan cembu-runya, cintanya, dan bencinya
pada tempatnya yang tepat.
* * *
"Kau lagi nulis apa tho Nang..?" tanya Azzam pada
Nanang. Keduanya duduk di ruang tamu. Azzam menyandarkan
punggungnya. Ia tampak kelelahan.
"Anu Kang lagi iseng-iseng bikin cerpen."
"Iseng..?"
"Iya Kang. "
"Jangan isenglah Nang. Kalo bikin cerpen mbok ya yang serius. Menulis ya yang serius. Kalau iseng itu percuma!
Komputernya bukan milik sendiri, listrik juga mbayar, waktu habis, lha kok masih iseng!"

"Maksudnya la tihan Kang. Latihan bikin cerpen. Bukan iseng!"
"Ya gitu lho. Kapan kita maju kalau kita menggunakan
waktu kita untuk iseng terus. Ya tho Nang? O ya Nang, kok sepi anak-anak pada ke mana..?"
"Fadhil sama Ali lagi main bola. Keduanya sedang bertanding sekarang," jawab Nanang.
"Di Nadi Kahrubai..?"
"Ya tidaklah Kang. Ini perta ndingan serius. Tim KMA  dan Tim KEMASS. Fadhil membela KMA dan, Ali membela
KEMASS. Mereka bertanding di Nadi Syabab."
"O kok mereka nggak bilang-bilang ya mau tanding."
"Iya lha aku aja ngertinya ya tadi ketika si Mahmud, kiper KMA datang menjemput Fadhil. Mereka nggak bilangbilang
ke kita . Katanya sih biar kita tidak bingung bela siapa."
"Ya udah, kita nggak usah membela siapa-siapa saja."
"Terus Hafez sama Nasir ke mana..?"
"Hafez tadi pamit mau ke Ka tamea. Ke rumah Salman, temannya satu almamater. Kalau Nasir ya seperti biasa Kang,
nganter tiket. Katanya sih ke Abdur Rasul. Ada mahasiswi Indonesia yang akan pulang. Kang itu di kulkas ada tamar hindi."
"Wah kebetula n. Lagi haus nih."
Azzam bergegas ke dapur. Membuka kulkas. Mengambil botol air mineral yang berisi tamar hindi lalu menuangkannya
ke gelas. Ia kembali ke ruang tamu dan minum dengan penuh kenikmatan.

"Yang beli kamu Nang..?"
"Bukan saya Kang, tapi Ali. Tadi sebelum berangkat ke Nadi Syabab. Ia beli dua botol. Yang satu ia bawa, yang satu
untuk kita katanya. Kang, aku ngelanjutin nulis lagi ya..?"
"Ya. Tapi jangan pake earphone. Nanti kamu nggak dengar azan. Sebentar lagi Maghrib!"
"Iya Kang. " Nanang beranjak menuju komputer yang ditinggalkannya.
Sementara Azzam masuk ke kamamya. Ia mengganti bajunya dengan kaos, dan celana panjangnya dengan sarung.
Lalu rebahan di atas kasur. Ia ingin mengendurkan ototototnya barang beberapa menit. Sebab sore ini juga ia harus
langsung menggarap kedelainya untuk mulai diproses menjadi tempe. Lalu nanti malam setelah shalat Isya ia harus mulai
menggarap daging sapinya untuk dijadikan bakso. Dalam kondisi seletih apapun, ia harus tetap sabar dan
tegar melakukan itu semua. Jika tidak, ia takkan hidup layak, juga adik-adiknya di Indonesia. Namun karena sudah biasa, itu
semua sudah tak lagi menjadi sesuatu yang berat baginya. Dan yang paling penting bagi dirinya, dengan kerja keras
yang sudah biasa ia lakukan, ia sama sekali tak khawatir akan masa depannya. Ia merasa bersyukur dengan apa yang dikaruniakan
Allah kepadanya saat ini. Ia berani menatap mantap masa depannya. Ia tidak merasa cemas? Apa yang perlu
dicemaskan oleh seorang manusia yang diberi pikiran sehat, anggota badan yang genap, dan mengimani adanya Allah
Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang? Selain pada Pak Ali, selama ini ia tak pernah menceritakan
kepada siapa pun mengenai beban-beban hidup-nya. Juga jalan terjal yang harus dilaluinya. Beberapa orang hanya
tahu ia adalah jenis mahasiswa yang lebih mementingkan

bisnis tempe dan baksonya daripada kuliah. Ia sama sekali bukan mahasiswa yang diperhitungkan dalam kancah dunia
kajian dan intelektual. Nama aslinya bahkan sedikit yang tahu. Kalau memang
ada yang tahu, biasanya adalah orang-orang seang-katannya. Sementara mereka yang satu angkatan dengannya telah banyak
yang menyelesaikan studi S.1 nya. Bahkan telah banyak yang pulang ke Tanah Air. Tinggal beberapa orang yang
tersisa dari mereka, karena mereka melanjutkan S.2. Yang masih S.1 hanya dirinya.
Beberapa mahasiswa baru yang mengenalnya, lebih banyak mengenalnya sebagai mahasiswa kawakan yang belum
juga lulus S.1. Padahal ia sudah sembilan tahun di Mesir. Ia sama sekali tidak mempedulikan hal itu. Baginya, yang penting
ia telah melakukan hal yang benar. Benar untuk dirinya, ibunya, adik-adiknya dan agamanya. Ia teringat sebuah
nasihat dari seorang Syaikh Muda, ketika ia shalat Jumat di Masjid Ar Rahmah Masakin Utsman. Syaikh Muda itu dalam
khutbah-nya menguraikan tentang pentingnya banyak kerja sedikit bicara.
"Kenapa Allah swt mengaruniakan kepada kita dua tangan, dua kaki, dua mata, dua telinga, jutaan syaraf otak, tapi hanya
mengaruniakan kepada kita satu mulut saja..? Jawabnya, karena Allah swt menginginkan agar kita lebih banyak bekerja, lebih
banyak beramal nyata daripada bicara. Maka ada ungkapan, man katsura kalamuhu katsura khatauhu. Siapa yang banyak bicaranya
maka banya dosanya! Dan karenanya Rasulullah Saw. Menasihati kita semua, "Siapa yang beriman kepada Allah swt dan
hari akhir hendaklah berkata yang baik atau diam saja!' Umat dan bangsa yang besar adalah umat dan bangsa yang lebih banyak
kerjanya daripada bicaranya. Orang orang besar sepanjang sejarah adalah mereka yang lebih banyak bekerja daripada
bicara!" kata Syaikh Muda itu.

Lalu sebelum mengakhiri khutbah pertamanya, Syaikh Muda itu menyitir nasihat James Allen, "Jangan biarkan orang
lain lebik tahu banyak tentang dirimu. Bekerjalah dengan senang hati dan dengan ketenangan jiwa, yang membuat kamu menyadari,
bahwa muatan pikiran yang benar dan usaha yang benar akan mendatangkan hasil yang benar!"
Ia merasa yang benar baginya adalah tidak banyak bicara. Banyak kerja. Dan orang tidak perlu tahu kenapa ia tidak juga
lulus. Kenapa ia nyaris tidak pernah hadir dalam segala hiruk pikuk kegiatan ilmiah mahasiswa Indonesia di Cairo. Kecuali
beberapa saja. Hidupnya di Cairo lebih banyak berkutat di rumah, masjid, pasar, rumah para pelanggan tempenya, dan
rumah-rumah bapak-bapak KBRI yang memesan baksonya. Kampus Al-Azhar sendiri jarang ia datangi apalagi perpustakaan.
Baginya, kampus utamanya justru masjid. Khutbah Jumat, ceramah beberapa menit dari imam masjid setelah
shalat, halaqah membaca Al-Quran setelah shalat Subuh adalah tempat utamanya menimba ilmu. Ia menganggap itulah yang
terbaik untuk doaya. Dan berulangkali ia mengatakan pada dirinya sendiri, jangan pernah engkau merasa tersiksa dengan
apa yang engkau anggap baik untuk dirimu! Ia tidak mengingkari bahwa ia sebenarnya sangat ingin bergerak dan berdinamika
normalnya mahasiswa. Namun kondisi orang berbedabeda. Sudah seperempat jam ia rebahan sambil memejamkan
mata. Otot-otot tubuhnya lebih terasa lebih fresh dan sega r. Lima menit lagi azan Maghrib berkumandang. Ia cepat cepat
bangkit. Menyambar handuk dan ke kamar mandi. Begitu ia masuk kamar mandi dan memutar kran air panas, sayu-sayup
ia mendengar suara heboh Fadhil dan Ali.

"Mereka sudah pulang. Semoga tidak ada yang kalah. Semua menang!" desisnya dalam hati sambil menambah kuat
aliran air dingin. Setelah ia merasa ukuran panas-dinginnya air pas, ia mandi dengan shower. Sentuhan air yang menerpa
tubuhnya itu ia rasakan begitu nikmat. Begitu meremajakan syaraf-syaraf dan otot-ototnya. Ketika sedang asyiknya mandi,
pintu kamar mandi digedor keras,
"KangAzzam ada telpon!"
Itu suara Ali langsung mejawab dengan suara keras.
"Sedang mandi! "
"Disudahi dulu saja Kang! Ini penting."
"Disudahi gimana, ini lagi pakai shampo!"
"Ini dari Eliana Kang, putrinya Pak Dubes! Katanya penting! "
"Mau putrinya Dubes, mau putrinya Presiden, suruh
telpon lagi habis Maghrib. Titik!"
"Baik Kang."
* * *
Matahari perlahan masuk ke peraduannya. Lampu lampu di sepanjang Kornes Nil mulai menyala. Azan berku-mandang
bersahut-sahutan. Furqan keluar dari kamar hotelnya. Ia
bergegas ke masjid. Di dalam lift ia kembali bertemu dengan mahasiswa dari Jepang. Mahasiswa Jepang itu mengangguk, ia
pun mengangguk. Ia sampai di masjid tepat sesaat sebelum
iqamat dikumandangkan. Kali ini, ia shalat diimami oleh imam yang agaknya menganut
mazhab Imam Malik. Sebab sang imam setelah takbir tidak meletakkan kedua tangganya di dada, tapi meluruskan

tangannya seperti posisi tentara yang sedang siap dalam barisannya. Bacaan Al-Quran imam setengah baya itu sungguh
indah. Ia larut dan tersentuh. Usai shalat ia kembali ke hotel. Langsung masuk kamar.
Membaca Al-Quran beberapa halaman, lalu kembali membaca tesisnya. Ia kembali membaca baris demi baris. Sesekali ia
berhenti memprediksi pertanyaan para penguji yang kira-kira akan disampaikan kepadanya. Lalu ia mempersiapkan jawaban
yang ia anggap tepat. Tiba-tiba telepon berdering membuyarkan konsentrasinya.
"Ya siapa ini..?"
"Ini Sara, Tuan Furqan. Mengingatkan aja. Anda tidak lupa dengan undangan saya bukan? Pukul 19.30 di Abu Sakr
Restaurant."
"Saya tidak lupa. Tapi saya kelihatannya tidak bisa
datang"
"Saya sangat berharap Tuan datang."
"Kalau tidak datang semoga Nona tidak kecewa. "
"Justru saya kuatir, jika Anda tidak datang, Anda menyesal. Undangan ini mungkin hanya sekali Anda dapatkan dalam hidup Anda"
"Terima kasih, saya merasa tersanjung."
"Saya merasa lebih tersanjung jika Anda berkenan datang.
O ya, Anda kenal Prof. Dr. Sa'duddin Zifza..t?"
"Ya saya kenal. Dia seorang sejarawan dan penulis terkenal."
"Dia ayah saya."
"Benarkah..?"
"Iya tentu saja. Dia akan datang bersama saya."

"Sekali lagi, maafkan jika nanti saya tidak bisa datang."
"Pikirkanlah, saya berharap Anda datang.Terima kasih. "
Klik. Telpon itu diputus.
Furqan sedikit bingung antara menyelesaikan persiapannya membaca ulang tesisya, atau memenuhi undangan Sara.
Undangan makan malam gadis Mesir sesungguhnya sangat menarik. Apalagi ia sediri terbayang gadis itu juga memiliki
pesona yang sangat menarik.
Astaghfirullah.
Ia beristighfar ketika kelebatan wajah Sara yang menarik hadir di pikirannya. Dari penjelasan Sara bahwa prof.
Sa'duddin Zifzaf, penulis Mesir terkenal yang juga staf ahli Menteri Pendidikan itu adalah ayahnya, sungguh mengusik
hatinya. Apakah benar..? Yang lebih mengusiknya, kenapa gadis Mesir itu mengundangnya..? Dan kenapa sedemikian
gencar menelponnya..? Apakah benar gadis itu benar-benar tahu banyak tentang dirinya..? Ataukah hanya basa-basi bela-
ka..? Hatinya terus bertanya-tanya.

REZEKI SILATURRAHMI

Usai shalat Mahgrib,Azzam langsung dapur memasak air di panci besar untuk menggarap kacang kedelainya. Sambil
menunggu air memanas, ia membaca Al Ma’tsurat lalu tilawah. Lima belas menit kemudian ia yakin air telah sangat panas.
Tidak harus mendidih. Ia turunkan air itu dari kompor gas. Ia membuka karung kedelainya. Menakarnya dan langsung merendamnya
dengan air panas itu. Itulah proses paling awal dalam menggarap kedelai menjadi tempe.
Kira-kira lima menit ia merendam kedelai itu. Kemudian ia memisahkan kotoran-kotoran yang menyertai kedelai. Biasanya
kotoran itu mengapung. Ia ciduk kotoran itu, lalu ia buang. Setelah itu ia memisahkan kedelai dari air panas itu.
Air itu ia bersihkan. Lalu kedelai ia masukkan kembali ke dalam air itu. Ia letakkan di pojol dapur.
Kedelai itu harus direndam satu malam. Besok pagi, kirakira jam tujuh ia akan kembali menggarap kedelai itu dengan
mengulesinya di kamar mandi. Diulesi agar kacang kedelainya pecah. Paling mudah adalah dengan menginjak-injaknya. Lalu
ia cuci sampai bersih. Tapi kulit arinya tidak boleh hilang. Kemudian ia rebus. Kalau sudah matang ia tiriskan sampai
dingin. Setelah dingin diberi ragi. Lalu ia bungkus dan ia letakkan di rak khusus yang telah ia buat di dalam kamarnya.
Dua hari berikutnya barulah jadi tempe. Sebenarnya, tanpa direbus, kedelai yang telah diulesi
hingga pecah itu bisa langsung diberi ragi dan dua hari kemudian bisa jadi tempe. Sehingga bisa mengirit mi-nyak
tanah. Namun hasilnya masih kalah dengan yang direbus dulu. Tempe Azzam diakui oleh para pelanggannya dan juga
oleh ibu-ibu KBRI sebagai tempe yang sangat gurih dan lezat. Ia memang serius dalam membuat tempe. Ia masih ingat,
bahwa ia bisa membuat tempe juga karena tidak sengaja. Saat masih di pesantren dulu ia punya teman, namanya Handono.
Ia sangat akrab dengan Handono. Ketika liburan panjang ia diajak Handono berlibur di rumahnya yang terletak di sebuah
kampung di pinggir Kota Salatiga. Kampung itu namanya Candiwesi. Dikenal sebagai salah satu kampung yang penduduknya
banyak berprofesi sebagai produsen tempe. Selama berlibur di rumah Handono itulah, secara tidak sengaja ia
belajar membuat tempe sampai taraf mahir. Kebetulan ayah Handono memang dikenal sebagai juragan
tempe terbesar di Candiwesi. Setiap hari produksinya tiga kwintal kedelai. Memiliki pekerja tetap sebanyak se-puluh
orang. Berawal dari ikut-ikutan membantu, ia akhirnya tertarik belajar dengan langsung praktik dari A sampai Z. Tentang
takaran kedelainya. Takaran raginya. Cara membungkus yang ideal dan lain sebagainya. Satu bulan penuh ia ikut
magang membuat tempe. Dan sejak saat itu ia sudah bisa membuat tempe sendiri. Bahkan ia sering mencobanya di
rumah, dan ia minta ibunya menggoreng dan mencicipinya. "Wah, tempemu enak sekali Zam, " puji ibunya.
Itulah rezeki silaturrahmi. Dengan bersilaturrahmi ketempat Handono, ia jadi tambah ilmu. Ilmu membuat tempe.
Ia sama sekali tidak pernah mengira, ilmu mem-buat tempe itu kemudian hari akan sangat berguna bagi-nya, saat ia harus
mempertahankan hidupnya di Mesir. Sangat berguna saat ia harus mandiri, tidak hanya untuk menghidupi diri sendiri, tapi
juga adik-adiknya di Indo-nesia. Ia merasakan benar bahwa rezeki yang didatangkan oleh
Allah dari silaturrahmi sangat dasyat. Ia bisa sampai be-lajar di Al Azhar University juga bermula dari silatur-rahmi.
Saat itu, menjelang evaluasi belajar tahap akhir nasional, teman satu kamarnya di pesantren sakit. Namanya Wasis.
Rumahnya di daerah Bantul. Ia mengantarnya pulang. Setelah dibawa ke dokter ternyata Wasis sakit thypus serius. Jadi harus
dirawat di rumah sakit. Ia sem-pat menemani satu hari di rumah sakit. Saat menemani di rumah sakit itulah ia berbincang bincang
secara tidak sengaja dengan pasien satu kamar dengan Wasis. Pasien itu juga sakit thypus dan sudah mau dibawa
pulang. Dari berbincang-bincang dengan pasien itu, ia dapat informasi adanya test untuk mendapatkan beasiswa ke Al
Azhar. Pasien setengah baya yang ramah itu berkata, "Saya pernah belajar di pesantren tempat kamu belajar.
Hanya beberapa bulan saja. Bulan depan ada test penja-ringan siswa Madrasah Aliyah untuk mendapat beasiswa Al Azhar.

Kamu ikut saja test di DEPAG Pusat. Cari informasi di sana. Nanti pada bagian pendaftaran bilang saja disuruh Pak Dhofir gitu."
Dari info itu, ia bisa ikut test untuk mendapatkan beasiswa kuliah di Al Azhar University. Dan diterima. Ia sampai
sekarang tidak tahu Pak Dhofir itu siapa. Yang ia tahu Pak Dhofir yang memberi info padanya itu katanya ting-gal di
daerah Kotagede Yogyakarta. Silaturrahmi jugalah yang membuat bisnis baksonya di
Cairo berjalan lancar. Memang ia tidak banyak muncul di kalangan mahasiswa, tapi ia sering hadir dan muncul di acara
bapak-bapak dan ibu-ibu KBRI. Muncul untuk memberikan bantuan apa saja. Bahkan jika ada orang KBRI pindah rumah
ia sering jadi jujugan minta tolong. Karena itulah ia sangat dikenal di kalangan orang-orang KBRI. Itu sangat penting
bagi bisnis baksonya. Tanpa banyak silaturrahmi seorang pebisnis tidak akan
banyak memiliki jalan dan peluang. Benarlah anjuran Rasulullah Saw., agar siapa saja yang ingin dililuaskan rezekinya, hendaklah
ia melakukan silaturrahmi. Selesai merendam kedelai, Azzam beranjak ke kulkas untuk
mengeluarkan daging sapi yang baru tadi sore ia masukkan ke dalam freezer. Ia keluarkan agar tidak keras. Sebab
setelah shalat Isya ia harus mengolahnya jadi bola-bola bakso. Keahliannya membuat bakso yang kini ba-nyak mendatangkan
rezeki baginya juga karena sila turrahmi. Jika keahliannya membuat tempe ia dapat sejak ia masih di Indonesia, keahliannya
membuat bakso justru ia dapat setelah berada di Mesir. Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim, Bab Shilaturrahmi wa Tahrimi
Qathiiha, Juz 2, hal. 421.

Setengah tahun berada di Mesir ia kenal baik dengan Pak Jayadi yang bekerja di KBRI sebagai lokal staf bagian konsuler.
Kenal baik karena sama-sama berasal dari Kartasura. Pak Jayadi lahir di daerah Ngabean Kartasura. Sementara ia
lahir dan tinggal di daerah Sraten, Kartasura. Ia jadi sering diundang dan sering datang ke rumah Pak Jayadi yang dikenal
sangat baik dengan para mahasiswa. Apalagi yang berasal dari Jawa Tengah. Ia nyaris dianggap sebagai adik sendiri
oleh Pak Jayadi. Pak Jayadi hanya memiliki satu anak lelaki yang masih duduk di kelas empat SD. Dari Pak Jayadi dan Ibu
Jayadilah ia bisa membuat bakso yang kemantapan rasanya sangat diakui di Cairo.
Bermula sering silaturrahmi. Lalu diminta oleh Pak Jayadi untuk ikut membantu Ibu Jayadi membuat bakso pesanan
KBRI untuk acara-acara resmi. Lalu coba-coba membikin sendiri, ternyata diakui nyaris sama dengan buatan Ibu Jayadi. Ia
pun dikenal bisa bikin bakso. Bah-kan sempat dikenal sebagai tangan kanan Ibu Jayadi.
Ketika Pak Jayadi sekeluarga pulang ke Tanah Air untuk selamanya, kepercayaan para pelanggan Ibu Jayadi dan juga
KBRI jatuh kepadanya. Saat itu ia sendiri sedang sangat memerlukan datangnya sumber rezeki untuk mempertahankan
hidupnya, dan juga adik-adiknya. Jadilah ia terjun total dalam bisnis membuat bakso.
Azzam masih di dapur, setelah mengeluarkan daging dari freezer, ia melihat beberapa alat dapur belum dicuci. Ia tergerak
untuk mencucinya. Ini semestinya tugas Fadhil. Karena hari ini yang bertugas masak adalah Fadhil. Namun agaknya
Fadhil kelelahan habis bertanding di Nadi Syabab. Ketika sedang asyik mencuci panci yang biasa digunakan untuk
menyayur, Ali muncul dan memanggilnya,

"Kang Azzam, ayo ke depan. Kita makan kibdah dulu. Fadhil beli kibdah untuk ganjal perut!"
"Wah boleh juga. Oh ya, minumnya sudah ada..? Kalau belum ada biar saya masak air sekalian." Tukas Azzam sambil
merampungkan cuciannya.
"Oh ya Kang belum," jawab Ali.
Azzam mempercepat kerjaannya. Sebelum meninggalkan dapur terlebih dahulu ia meletakkan panci yang berisi air di
atas kompor yang menyala. Mahasiswa Indonesia di Cairo memang tidak lazim memiliki termos penyimpan air panas.
Sebab mereka biasa minum teh khas Mesir. Teh itu lebih enak rasanya kurang mantap.
"Wah beli kibdah banyak sekali Dhil," kata Azzam sambil duduk di samping Fadhil. Nanang, dan Ali juga sudah duduk
mengitari kibdah yang diletakkan begitu saja di atas karpet beralaskan koran.
"Ya Kang, ini sekaligus syukuran. Tadi saya mencetak dua gol dalam pertandingan," jawab mahasiswa dari Aceh itu
dengan wajah berseri.
"Berarti KMA menang dong..?" tanya Azzam sambil mengambil satu kibdah.
"KMA memang menang dipermainan. Kami menguasai bola. Tapi KEMASS ternyata mampu menjebol gawang kami
dengan dua gol. Jadi skornya 2-2."
"Wah pasti seru tadi."
"Seru banget!" sahut Ali, "Apalagi dua gol KEMASS itu yang mencetak aku. Ali Mustafa El Plajuwi!" sambung Ali
sambil membusungkan dada.

"Ali tadi memang boleh. Aku salut!" Fadhil mengakui kehebatan Ali.
"Yang penting mana syukurannya untuk dua gol. Yang mencetak satu gol saja beli. "
"Beres. Setelah shalat Isya nanti aku beli firakh masywi. Yang di rumah tinggal menanak nasi saja!" jawab Ali.
"Mantap. Syukran Li!" teriak Fadhil girang. Bagaimana tidak girang, malam itu adalah tugas dia untuk masak. Jika
lauk sudah ada, hanya tinggal menanak nasi apa su-sahnya. Itu sama saja dia terbebaskan dari tugasnya. Dan ia bisa beristirahat
melepas lelah.
"Ngomong-ngomong Nasir ke mana kok belum pulang..?"
tanya Azzam sebagai yang dituakan.
"Nasir tadi pamit tidak pulang. Dia ada urusan ke Tanta katanya. Hafez juga sama. Ia bilang menginap di Kata -mea"
jelas Nanang.
"O ya sudah kalau begitu." Kata Azzam datar. Dalam hati ia senang Hafez langsung pergi ke Katamea. Pasti anak itu
sedang mencari tempat yang nyaman untuk mengungsi sementara waktu. Jika ia tetap tinggal satu rumah dengan
Fadhil, akan sangat susah melupakan Cut Mala. Tiba-tiba telpon berdering. Ali yang gesit bergerak cepat
mengangkat, "Siapa..? Dari Mala..? O ya sebentar ya..?" Kata Ali. Ia
lalu menunjuk Fadhil. Semua yang ada di situ langsung paham itu adalah telpon dari Cut Mala untuk Fadhil, kakaknya.
Fadhil langsung bergegas menerima telpon. Azzam menarik nafas, ia tidak membayangkan jika Hafez
saat itu ada di situ dan ia yang pertama mengangkat telpon.

Seperti apa gemuruh dalam dadanya, nyala dalam hatinya mendengar suara Cut Mala. Semalam suntuk ia pasti tidak
akan bisa tidur. Sementara Fadhil menerima telpon, Azzam dan yang lain melanjutkan perbincangan mereka.
"Oh ya, katanya, tadi putrinya Pak Dubes nelpon, kok belum nelpon lagi..?" tanya Azzam.
"Iya Kang. Tadi sudah aku bilang untuk telpon lagi setelah shalat Maghrib. Kok sampai sekarang belum nelpon
ya," tukas Ali sambil beranjak ke dapur karena mendengar
suara air mendidih.
"Sampeyan sih Kang diminta menghentikan mandinya sebentar tidak mau. Jarang jarang orang dapat telpon dari
putrinya Pak Dubes yang cantik lulusan EHESS Prancis itu," kata Nanang menyayangkan. "Aku yakin dia takkan nelpon
lagi. Kayaknya Sampeyan yang seka-rang harus nelpon balik Kang. Siapa tahu ini bisnis besar Kang." sambungnya memberi
saran.
Azzam diam, tidak menjawab. Fadhil meletakkan gagang telpon, ia baru saja selesai berbicara dengan adiknya. Ba -ru
diletakkan telpon kembali berdering. Fadhil langsung mengangkatnya.
"Ya, hallo. Ini siapa ya..?" tanya Fadhil.
"Ini Eliana . Bisa bicara dengan Mas Insinyur..?"
"O bisa, sebentar Mbak Eliana ya," kata Fadhil datar.
Fadhil lalu memanggil Azzam. Azzam segera bangkit dan menerima gagang telpon.
"Halo. Ada yang bisa saya bantu," kata Azzam.

"Ini Eliana, Mas Insinyur"
"O Mbak Eliana, apa kabar Mbak..?"
"Baik."
"Pak Dubes sehat..?"
"Sehat. Alhamdulillah. "
"Kok tumben nelpon kemari, ada apa Mbak..?" tanya Azzam sambil melihat ke arah Nanang dan Fadhil yang
dengan seksama memperhatikannya.
"Ini Mas, to the point saja ya..?"
"Ya."
"Begini, dua bulan lagi saya mau ulang tahun. Ulang tahun saya ke dua puluh empat. Saya akan merayakannya di
Wisma Duta. Sederhana saja. Tapi saya ingin yang mengesankan. Saya ingin untuk tamu undangan disuguhi masakan khas
Indonesia."
"O bagus itu Mbak. Dua bulan lagi itu berarti kira kira pas selesai ujian Al Azhar ya Mbak."
"Ya. Mayoritas mahasiswa sudah selesai ujian kelihatannya, meskipun mungkin masih ada beberapa yang belum
selesai ujian. Mas Insinyur kira-kira ada waktu nggak..?"
"Insya Allah ada Mbak."
"Syukurlah kalau begitu. Tapi kali ini saya tidak mau bakso. Sudah sangat biasa."
"Mbak inginnya apa..?"
"Soto Lamongan. Mas bisa bikinin buat saya..?"
"Soto Lamongan..?" Azzam bertanya agak ragu.

"Ya, Soto Lamongan. Bisa nggak..? Mas Insinyur kan terkenal jago masak. "
"O bisa Mbak, insya Allah bisa. Mau untuk berapa porsi?"
"Lima ratus porsi, sanggup..?"
"Sanggup Mbak, asal harganya cocok aja." Azzam sudah langsung ke hal paling penting dalam dunia bisnis
"Satu porsinya berapa Mas? Sama dengan bakso gimana..?"
"Wah kalau disamakan dengan bakso berat Mbak, terus terang. Kalau bakso sudah sangat biasa, bikinnya juga bagi
saya sangat biasa. Ini Soto Lamongan lho Mbak. Tidak ada di Cairo, dan perlu keahlian khusus."
"Ya sudah kalau gitu saya ikut Mas Insinyur, jadi berapa..?"
"Dua kali lipat bakso. Gimana..? Deal..?"
"Baik. Deal. Tapi nanti jangan dipas lima ratus ya. Ya ada kelebihannya beberapa porsi gitu."
"Beres Mbak. Terus acaranya tepatnya kapan Mbak..?
Tanggal berapa..? Jam berapa..?"
"Tepat tanggal satu awal Juli depan. Acara tepat jam tujuh malam. Jangan lupa lho."
"Baik Mbak. Tapi tolong satu minggu sebelum hari H. Mbak mengingatkan ya?"
"Ya. Salam buat teman-teman Mas Insinyur di situ ya..?"
"Ya."
Azzam menutup gagang telpon dengan wajah berbinar. Rezeki besar ada di depan mata. Jika satu porsi bakso biasanya
dihargai 3 pou nd, ini berarti untuk Soto Lamongan ia akan

dapat 6 pound satu porsinya: 6 X 500 sama dengan 3000. Dikurangi modal sekitar 400 pound. Jadi dua bulan lagi ia
akan dapat keuntungan kira-kira 2600 pound. "Bisnis baru ya Kang..? Kok saya tadi dengar ada nyebutnyebut
Soto Lamongan..?" tanya Nanang.
"Iya, putrinya Pak Dubes itu mau ulang tahun minta dibikinkan Soto Lamongan."
"Lho memangnya Sampeyan bisa bikin Soto Lamongan..?"
"Ya belum bisa."
"Lho kok Sampeyan sanggupin..?"
"Lha kan ada kamu Nang. Kamu kan orang Lamongan, pasti bisa kan bikin Soto Lamongan."
"Waduh Kang, Sampeyan itu sungguh nekat. Aku saja yang orang Lamongan tidak bisa bikin Soto Lamongan kok.
Kalau boleh saya sarankan batalin saja Kang. Daripada nanti mengecewakan keluarga Pak Dubes, reputasi yang Sampeyan
bangun selama ini bisa hancur lho Kang."
"Wah kamu itu Nang, penakut. Tak punya nyali. Ini bisnis Nang. Bisnis! Nyawa bisnis itu keberanian Nang. Dalam
dunia bisnis yang berhasil adalah mereka yang memahami bahwa, hanya ada perbedaan sedikit antara tantangan dan
peluang, dan mereka bisa mengubahnya menjadi keuntungan. Aku memang belum bisa bikin Soto Lamongan, tapi aku
dulu sering makan Soto Lamongan. Kekhasan rasa dan bentuk Soto Lamongan masih aku ingat. Yang paling penting aku
merasa bisa membikin Soto Lamongan. Dan aku yakin kualitasnya, insya Allah sama dengan aslinya!"

"Wah Sampeyan kadang memang nekat banget Kang!"
"Bukan nekat Nang. Ini memanfaatkan tantangan menjadi peluang. Nekat adalah untuk mereka yang tidak tahu
langkah-langkah pastinya menaklukkan tantangan. Tapi bagi mereka yang tahu langkah-langkah pastinya itu berarti tidak
lagi nekat, tapi mengambil peluan dengan sedikit risiko!"
"Wah kata-kata Sampeyan kayak motivator besar saja Kang. "
"Yang aku katakan hanyalah berangkat dari pengalamanku selama ini Nang. Aku yakin bisa. Kalau aku merasa
tidak bisa pasti sudah kutolak. Kau ingat beberapa bulan yang lalu ketika Pak Atase Perdagangan minta dibuatkan Garang
Asem khas Kudus. Jelas aku angkat tangan. Belum terbayang bagaimana cara membuatnya. Apalagi Garang Asem banyak
khasnya. Ada khas Kudus, khas Kartasura, khas Salatiga, khas Semarang, khas Boyolali. Saat itu aku melihat bukanlah suatu
tantangan yang bisa diubah jadi peluang. Lebih baik aku mundur."
"Tapi, Soto Lamongan setahuku juga ada kerumitannya lho Kang."
"Aku tahu yang paling penting aku yakin bisa."
***
"Kau yakin bisa La..?" tanya Anna pada Laila, mahasiswi Indonesia yang dikenal menjadi agen tiket Malaysia Air Lines
dan Singapore Air Lines. Laila mengikuti jejak kakaknya Nasir. Boleh dikata Laila hanyalah membantu kakaknya. Karena
dia mahasiswi, jadi promosi di ka-langan mahasiswi bisa ia lakukan dengan gencar. Apalagi ia juga menjadi pengurus
Wihdah. Bedanya Laila dengan kakaknya, Laila termasuk jajaran mahasiswi yang berprestasi. Tidak pernah tidak lulus ujian.
Sering nulis di buletin dan majalah. Sedangkan Nasir, biasabiasa saja. Aktivitasnya lebih banyak ber-bisnis di Cairo.
Selain bisnis tiket pesawat, Nasir juga bisnis warnet dan jualan jahe. Ya jualan jahe. Dengan cara, ia pergi umrah naik
kapal. Lalu di Saudi membeli jahe yang masih segar. Jahe dari
Saudi itu asalnya juga bukan dari Saudi tapi dari Asia Tenggara. Kebanyakan dari Thailand. Ia membeli langsung
beberapa kuintal. Ia bawa ke Mesir dan ia jual ke oran gorang Mesir. Keuntungannya selain menutup biaya umrah, juga bisa
untuk membayar sewa rumah beberapa bulan. Sebuah bisnis yang sangat menguntungkan.
Laila yang ditanya tersenyum. "Ya sangat yakinlah Mbak. Tanpa harus membawa visa
dari kedutaan Malaysia Mbak bisa masuk Malaysia. Nanti ngambil visa entri di bandara Kuala Lumpur. Kakak saya kan
pernah pulang ke Tanah Air dan transit dua minggu di Malaysia. Hanya saja kalau Mbak mau transit masuk KL, ada
biaya tambahan lima puluh dollar Mbak." Laila menjelaskan panjang lebar.
"Untuk apa itu La..?" "Untuk meng-open tiket KL-Jakarta. Karena mau tinggal
beberapa hari di KL, maka harus open. Itu harganya lebih mahal lima puluh dollar. Gimana Mbak..?"
"Ya baiklah La. Uangnya besok insya Allah. Kapan tiket bisa saya ambil..? "
"Dua hari setelah uang saya terima Mbak."
"O ya Mbak, bisa tidak Lala tanya dikit sama Mbak?"

"Apa itu La..?"
"Saya dengar Mbak dilamar sama Mas Furqan ya Mbak..?"
"Wah kalau itu tidak bisa dijelaskan via telpon La. Udah
dulu ya. Ini pulsanya sudah habis banyak. Yuk, assalamu'alaikum."
"O ya Mbak wa 'alaikumussalam."
Wajah Anna merah padam. Pertanyaan Laila itu menyentak hatinya. Dari mana dia tahu..? Ia sangat yakin di kalangan
mahasiswi berita dirinya dilamar Furqan pasti mulai tersebar.
Yang membuatnya marah adalah siapa yang membocorkan ini semua. Bukankah yang tahu masalah ini selain dirinya, seharusnya
hanya tiga orang, yaitu Furqan, Ustadz Mujab dan isterinya, Mbak Zulfa. Ada kejengkelan dan rasa marah yang
memercik dalam dadanya. Tapi ia bingung kepada siapa harus marah. Untuk meredam amarahnya ia mengambil air wudhu.
Setelah itu ia ke ruang tamu di mana Erna dan Zahraza sedang asyik membaca koran Al Ahram.
"Mbak kita jadi ke Palace..?" tanya Erna begitu Anna duduk di sampingnya.
Anna melihat jam dinding, lalu menjawab, "Sekarang, sudah jam tujuh lebih lima, tapi Wan Aina
dan Sholihati belum pulang. Apa tidak terlalu malam jika kita keluar setelah mereka pulang..?"
"Iya, terlalu malam. Nanti dilihat orang tidak baik." Sahut Zahraza sambil tetap membaca.
"Atau tidak usah ke Palace saja Mbak. Nanti kalau mereka pulang kontak Babay saja. Pesan makanan minta diantar ke sini." Erna memberi usul.

"Yah, nanti kalau mereka pulang kita musyawarah. Enaknya bagaimana. Yang jelas malam ini insya Allah tetap syukuran
seperti yang saya janjikan." Jawab Anna lirih. Pikiran Anna sedang tidak pada acara syukuran dengan makan-makan
yang ia rencanakan, tapi pada berita dirinya telah dilamar Furqan yang telah diketahui oleh orang-orang yang semestinya
tidak mengetahuinya. "Eh ini ada berita menarik di Ahram!" kata Zahraza
setengah berteriak.
"Apa itu..?" tanya Erna.
"Di sini disebutkan ada mahasiswa Indonesia yang tinggal di Ighatsah Islamiyyah Hay El Thamin dirampok seseorang
yang mengaku sebagai anggota mabahits. Mahasiswa ini menderita kerugian lebih dari seribu dollar. Kemungkinan
besar perampok itu memakai cara-cara hipnotis!" jelas Zahraza.
Spontan Anna berkata, "Berarti kita harus hati-hati. Jangan pergi-pergi sendirian!
Ternyata di atas muka bumi ini masih banyak penjahat berkeliaran!"

RUMUS KEBERHASILAN

Furqan baru saja pulang dari masjid ketika hand phonenya berdering. Ia lihat di layar. Panggilan dari Indonesia. Ibunya.
"Ini ibu Nak."
"Ya ada apa Bu..?"
"Mungkin ayah dan ibu tidak bisa ke Cairo."
"Kenapa Bu..? Apa Ibu tidak ingin melihat sidang master Furqan yang seumur hidup cuma sekali..?"

"Sebenarnya ayah dan ibu sangat ingin. Tapi ini kakakmu sedang di rumah sakit."
"Ada apa dengan kakak Bu..?"
"Kakakmu pendarahan serius. Padahal usia kandungannya baru lima bulan. Ia perlu ibu di sampingnya. Sebab suaminya
sedang ditugaskan di Aceh. Ia tidak bisa cuti untuk menunggui isterinya."
"Kalau ibu tidak bisa, apa ayah tidak bisa ke Cairo
sendiri..?"
"Ayahmu tidak mau pergi sendirian tanpa ibu. Sudahlah kami yang di Indonesia mendoakanmu, semoga kau lulus
sidang dengan hasil terbaik. Direkam saja pakai handycam, biar nanti ibu dan ayah bisa melihat."
"Iya Bu, baik. Semoga kakak dan janinnya selamat."
"Amin."
Ada rasa kecewa yang menyusup ke dalam hatinya. Ia ingin sekali, sidang munaqasah tesis masternya dihadiri kedua
orangtuanya. Ia telah menyiapkan semuanya. Termasuk pergi ke Alexandria bersama ayah dan ibunya usai sidang. Tapi
benarlah kata orang bijak, manusia boleh merancang dan merencanakan, namun Tuhanlah yang menentukan.
Ia mengambil nafas panjang. Meskipun kecewa ia tidak ingin rasa kecewanya mempengaruhi konsentrasinya menyiapkan
diri menghadapi pertarungan dalam sidang tesisnya. Sudah setengah dari isi tesisnya yang ia baca. Ia merasa perlu
istirahat. Perutnya juga terasa lapar. Ia melihat jam tangannya. Tujuh seperempat. Ia teringat undangan makan malam
Sara. Tapi ia ragu. Ia belum kenal siapa itu Sara. Ia juga merasa undangan itu tidaklah penting. Meskipun Sara adalah
putri Prof. Dr. Sa'duddin. Ia tak mau kehilangan fokus. Ia tak mau ke-hilangan konsentrasi. Ia teringat pesan guru bahasa

Inggrisnya saat di Pesantren Modern dulu. Pesan yang mem - buatnya sangat terinspirasi dan tergugah:
The formula for succes is simp le: practice and concentration then more practice and more concentration. (Rumus keberhasilan
adalah simpel saja, yaitu praktik dan konsentrasi kemudian meningkatkan praktik dan meningkatkan konsentrasi).
Undangan Sara ia anggap sebagai hal yang akan merusak konsentrasinya. Dan itu berarti hal yang akan merusak keberhasilannya.
Maka ia putuskan untuk mengabai-kannya sama sekali. Ia memilih untuk makan malam sendiri di restaurant
hotel. Lalu kembali ke kamar untuk rileks melihat Nile TV sebentar, lalu tidur. Ia jadwalkan jam tiga bangun.
Ia turun ke restaurant. Memilih meja yang masih kosong di dekat jendela kaca yang menghadap ke sungai Nil. Panorama
malam sungai Nil begitu indah. Suasananya begitu romantis. Entah kenapa ia tiba-tiba teringat lamarannya pada
Anna Althafunnisa. Wajah Anna berkelebat di depan mata - nya. Wajah yang luar biasa daya pesonanya. Ia merasa di
dunia ini tidak ada gadis yang seperti Anna. Ia sangat yakin lamarannya akan sangat dipertimbangkan oleh Anna. Ia
bahkan yakin lamarannya diterirna.
"Ia sudah tahu reputasi dan sepak terjangku selama ini" gumamnya.
Ia merasa akan sangat berbahagia jika suatu saat nanti bisa makan berdua di tempat yang begitu romantis dan indah
bersama Anna. Anna yang telah ia sunting menjadi isterinya.
Ia merasa keindahan tempat itu masih kurang tanpa adanya Anna. Ia geleng-geleng kepala sendiri.
"Ini sudah dosa. Astaghfirullah. Saya tidak boleh membayangkan yang tidak-tidak," gumamnya dalam hati. Sementara
matanya masih asyik melihat panorama sungai Nil dengan

lampu-lampu yang berjajar di tepinya. Indah seperti taburan
mutiara.
"Boleh saya duduk di sini..?" Suara itu mengejutkan lamunannya.
Ia terhenyak sesaat. Yang berbicara dengan bahasa
Indonesia itu adalah turis Jepang yang sudah dua kali ia temui.
Rambutnya gondrong, berkaca mata minus agak tebal.
"O boleh. Silakan." jawabnya agak gugup.
"Terima kasih."
"Anda bisa berbahasa Indonesia..?" tanyanya dengan nada
heran.
"Saat di SMA dulu saya pemah ikut program pertukaran
pelajar. Dan saya ditempatkan di Indonesia selama satu tahun."
"Di mana..?"
"Di Yogyakarta."
"O pantas. Anda juga bisa berbahasa Arab."
"Bisa juga."
"Wah boleh juga. Berapa lama Anda belajar bahasa
Arab..?"
"Satu tahun. Saya belajar bahasa Arab di Universitas
Aleppo, Suriah."
Furqan mengangguk-anggukkan kepala. Dalam hati ia
kagum dengan orang Jepang di hadapannya. Bahasa Indonesianya
bagus. Ia yakin bahasa Arabnya bagus. Bahasa Inggrisnya
sangat lancar. Sebab saat berkenalan di lift orang Jepang
itu menggunakan bahasa Inggris.
"KaIau boleh tahu, dalam rangka apa Anda berada di
Cairo ini..?" tanya Furqan.

"Emm pertama memang untuk jalan jalan. Saya sudah ke
Luxor, Sant Caterine, dan Alexandria. Kedua saya sedang
mengadakan penelitian sejarah."
"Penelitian apa kalau saya boleh tahu."
"Saya sedang meneliti cara beribadahnya orang orang
Mesir kuno yang menyembah matahari. Apa persamaan dan
perbedaannya dengan orang-orang Jepang yang juga mendewakan
matahari. Apa ada interaksi antara Mesir kuno dan
Jepang kuno? Apakah dewa matahari yang disembah orang
Mesir dan orang Jepang memiliki sifat-sifat dan deskripsi
yang sama. Di samping itu saya juga menemani adik saya."
"Yang bersamamu itu."
"Iya. Namanya Fujita Kotsuhiko. Anda masih ingat nama
saya..?"
"Masih, nama Anda Eiji Kotsuhiko kan..?"
"Ya. Ingatan Anda kuat. Anda berbakat jadi intelektual
dan ilmuwan besar."
"Terima kasih."
"Adik saya sedang tertarik pada Islam."
"Tertarik pada Islam..?"
"Ya. Itu setelah dia membaca buku-bukunya Maryam
Jamela dalam bahasa Inggris. Kebetulan ia kuliah di Fakultas
Sastra, Jurusan Sastra Inggris. Kalau saya Jurusan Sejarah.
Kami sama-sama di Kyoto University. Ia ingin lebih tahu tentang
Islam. Apakah Anda bisa membantu mempertemukan dia
dengan orang yang tepat..?"
"Bisa-bisa. O ya. Anda mau makan..?"
"Wah iya. Karena asyik ngobrol sampai lupa makan.
Ayo."

Keduanya lalu bangkit dan mengambil makan. Orang
Jepang itu memilih spagheti. Sedangkan Furqan memilih nasi
daging khas Yaman dengan lalap gargir dan buah Zaitun.
Minumnya ia pilih syai bil halib hangat. Keduanya kembali
ke tempat semula.
"Waktu di Jogja saya paling suka makan Cap Jay rebus,"
kata Eiji.
"O ya."
"Menurutku Cap Jay rebus termasuk makanan paling
enak di dunia."
"O ya."
"Waktu di Jogja dulu saya punya langganan Cap Jay di
daerah Sapen. Belakang IAIN Suka. Cap Jay Mbah Giman.
Rasanya mantap."
"Wah jadi pengin ke Jogja."
"Tapi mungkin kau takkan merasakan Cap Jay Mbah
Giman."
"Kenapa..?"
"Empat bulan yang lalu saya ke Jogja dan Mbah Giman
telah tiada. Yang menggantikan Mbah Giman putri bungsunya.
Namanya Minarti. Hasil masakannya tak bisa menyamai
Mbah Giman. Enak sih, tapi tetap saja tidak seenak buatan
Mbah Giman."
"Kelihatannya Anda tahu banyak tentang Jogja ya."

"Jogja telah jadi kota kedua bagi saya setelah Kyoto. Saya
lahir dan besar di Kyoto. Dan saya sangat terkesan dengan
Jogja."
Keduanya terus berbincang sambil makan.
"Adikmu tidak makan..?"
"Sebentar lagi dia datang. Dia masih asyik nonton film
Lion of Desert di kamarnya."
"Film perjuangan rakyat Libya..?"
"Ya. Kami dapatkan di Attaba tadi pagi."
"Sebentar saya ambil buah Zaitun lagi."
"O ya silakan."
Furqan beranjak mengambil buah Zaitun hijau. Ketika ia
kembali, Fujita telah duduk di samping kakaknya.
"Fujita, ini Furqan mahasiswa Indonesia yang sedang belajar
di Cairo University, yang berjumpa dengan kita di lift tadi
siang. Masih ingat..?" kata Eiji dalam bahasa Inggris.
"Tentu," jawab Fujita sambil mengangguk pada Furqan.
"Saya sering dapat cerita tentang Indonesia dari kakak saya
ini. Tapi saya belum pernah pergi ke sana," sambung Fujita
sambil menatap Furqan.
"O ya," jawab Furqan sambil menatap Fujita sesaat. Mata
keduanya bertemu. Furqan dengan reflek menundukkan pandangannya
ke beberapa butir buah Zaitun yang ada di piringnya.
Ia harus mengakui adik Eiji itu layak jadi model. Saat di
lift ia sama sekali tidak mem-perhatikannya. Wajah Fujita
mengingatkannya pada bintang film Mandarin, Rosamund
Kwan. Tapi jauh lebih segar Fujita.
Ia merasa tidak boleh berlama-lama berbincang bincang
dengan dua Jepang kakak beradik itu. Ia bisa menakar iman

nya. Imannya tidak akan kuat berhadapan dengan gadis secantik
Fujita. Ia makan dengan lebih cepat. Sesaat lamanya
keheningan tercipta. Tiba tiba Fujita membuka suara,
"Dari kartu nama Anda yang Anda berikan kepada Eiji
saya tahu Anda kuliah di jurusan sejarah. Jurusan yang sama
dengan Eiji. Kalau boleh tahu, menurut Anda apa sih istimewanya
mempelajari sejarah..? Apakah mempelajari sejarah tidak
hanya membuang-buang waktu, sebab membuat orang terpaku
pada masa lalu. Masa yang memang sudah hilang dan tak
perlu dibicarakan..? Apa tidak lebih baik mempelajari kemungkinan-
kemungkinan untuk eksis di masa yang akan datang..?"
"Itu lagi yang kau diskusikan. Bukankah sudah sering aku
jelaskan Fujita..?" potong Eiji.
"Iya. Aku sudah mendengar panjang lebar jawabanmu.
Tapi menurutku terlalu teoretis. Aku belum puas. Siapa tahu
mahasiswa Cairo University dari Indonesia ini punya jawaban
lain yang lebih simpel dan membumi," debat Fujita.
Furqan memasukkan sendok terakhir ke mulutnya dan
mengunyahnya dengan tenang. Dua Jepang kakak beradik itu
menunggu apa yang akan diucapkan Furqan.
"Sejarahlah yang memberitahu kepada kita siapa sebenarnya
kedua orang tua kita. Siapa nama kakek nenek kita.
Sejarah jugalah yang memberitahu kepada kita tempat dan
tanggal lahir kita. Sejarah juga yang akan memberitahukan
kepada generasi mendatang bahwa mereka ada sebab kita
lebih dulu ada. Jika mereka maju, maka sejarah yang akan
memberitahukan kepada mereka bahwa kemajuan yang mereka
capai tidak lepas dari keringat kita dan orang-orang yang
lebih dulu ada. Orang yang tidak memperhatikan sejarah masa
lalu sangat memungkinkan jatuh ke dalam lubang yang sama
dua kali, bahkan mungkin berkali-kali. Dan itu sungguh suatu

kecelakaan yang pasti sangat menggelikan. Kira-kira itulah
jawaban sederhana atas pertanyaan Anda, Nona Fujita."
"Eemm. Sederhana penjelasannya, tidak teoretis, tapi dalam
muatannya. Terima kasih," tukas Pujita seraya memanggut-
manggutkan kepalanya.
Furqan melihat jam tangannya, ia harus kembali ke
kamarnya.
"Maafkan saya. Saya harus kembali ke kamar. Saya ada
pekerjaan yang harus saya selesaikan," kata Furqan undur
diri.
"Wah, sayang, sebenarnya masih ada banyak hal yang
ingin saya tanyakan. Bolehkan lain kali saya menghubungi
Anda..?" tanggap Fujita.
"O. tentu, boleh saja. Nama dan alamat saya di Mesir dan
di Indonesia ada di kartu nama yang telah saya berikan kepada
kalian."
"Baik, terima kasih atas waktunya," kata Fujita.
"Dua bulan lagi saya ada rencana ke Bandung dan Jogia.
Semoga saat itu kau ada di Indonesia," sambung Eiji sambil
tersenyum.
"Semoga. Yang penting kalau kalian sedang berkunjung
di Indonesia hubungi saya. Kalau kebetulan saya ada di Indonesia
kalian bisa saya ajak jalan jalan di Jakarta dan sekitarnya.
Baik saya naik dulu. Mari."
"Mari!" Sahut Fujita dan Eiji hampir berbarengan.
Furqan bergegas naik. Sampai di kamar ia langsung
merebahkan tubuhnya di kasur. Keinginannya menonton Nile
TV telah hilang. Ia meniatkan diri untuk bangun jam empat.

Ketika hendak memejamkan mata, telpon kamarnya berdering.
Dengan sangat malas ia angkat,
"Siapa ya..?"
"Sara."
"O Nona Sara. Maaf saya tidak bisa menghadiri undangan
Nona."
"Saya sangat kecewa! Dan saya yakin suatu saat nanti
Anda akan sangat menyesal!"
Dan klik. Telpon itu diputus. Ada nada kemarahan yang
sangat dalam pada kalimat yang didengar Furqan. Furqan
hanya menarik nafas panjang lalu kembali merebahkan badan.
Sebelum memejamkan mata, bayang-an wajah Sara hadir
sesaat lalu disapu hadirnya wajah Fujita yang sangat ketimuran.
Ia teringat lamarannya pada Anna, segera ia mengucapkan
istighfar. Lalu ter-tidur dengan bibir melepas zikir.
***
Azzam masih kerja di dapur. Sementara teman temannya
satu rumah sudah pulas. Nasir belum pulang. Masih ada satu
panci adonan bakso yang harus ia selesaikan. Tangan kirinya
belepotan adonan. Ia ambil adonan. Ia pencet. Adonan itupun
keluar dari sela ibu jari dan telunjuk-nya. Langsung berbentuk
bulat. Denga sendok yang ia pegang dengan tangan kanan ia
ambil adonan itu dan langsung ia masukkan ke dalam air
panas yang telah mendidih.
Begitulah cara membuat bola bakso yang benar. Memencet
adonan harus dengan tangan kiri. Menyen doknya
dengan tangan kanan. Kalau dibalik hasilnya tidak seperti
yang diharapkan. Itu ilmu sederhana, namun sangat penting
bagi pembuat bakso. Ilmu yang mungkin tidak ditulis dalam
buku-buku resep memasak, apalagi dalam buku-buku ilmiah.

Azzam terus membuat bola demi bola dan memasukkannya
ke dalam air panas. Kepalanya sudah terasa panas. Mata -
nya telah merah. Tubuhnya telah minta istirahat. Tapi malam
itu juga harus selesai. Ia tidak boleh kalah oleh matanya yang
merah. Ia harus disiplin. Jika tidak, besok pagi pekerjaannya
akan menumpuk, dan akibatnya bisa berantakan. Tapi jika ia
tetap teguh disiplin dan menyelesaikan pekerjaan yang harus
selesai malam itu, maka semua akan lebih mudah. Pekerjaan
pekerjaannya yang lain akan selesai pada waktunya. Memang,
satu disiplin akan mendatangkan disiplin yang lain. Itu yang
ia rasakan.
Ia melihat jam tangannya. Sudah setengah sebelas malam.
Ia istirahat sebentar, berjalan ke balkon melihat ke jalan raya
yang tampak sepi. Tapi kedai kopi di sam-ping jalan masih
buka dan ramai.Beberapa orang duduk menghisap shisha. Yang
lain main kartu. Satu orang terli-hat duduk asyik menonton
televisi yang sedang memutar film hitam putih yang dibintangi
Fatin Hamama, bintang film legendaris Mesir. Ia
menghela nafas. Dalam hati ia berkata,
"Mereka kok bisa hidup dengan begitu santainya. Hidup
di dunia seolah sudah berada di surga. Membuang-buang waktu
dengan percuma begitu saja. Ah andai waktu me-reka bisa
aku beli dengan beberapa pound saja pasti aku beli. Sehingga
aku bisa kuliah setiap hari, membaca buku yang banyak setiap
hari tapi juga bisa membuat bakso dan tempe setiap hari."
Ia kembali ke dapur. Kembali mengakrabi adonan baksonya.
Meski mata telah merah, dan kepala terasa panas, tapi
ia merasa bahagia. Ia tidak merasakan apa yang ia lakukan itu
sebagai penderitaan.
Baginya kebahagiaan bukanlah sekadar mengerjakan apa
yang ia senangi, atau kebahagiaan adalah menyenangi apa
yang ia kerjakan. Ia yakin bahwa kekuatan yang diberikan

oleh Allah swt kepadanya lebih besar ketimbang apapun. Jadi segala
jenis pekerjaan harus diselesaikannya dengan baik dan
sempurna. Kemampuan yang diberikan Allah kepadanya lebih
besar dari tantangan yang harus diatasinya. Ia yakin Allah swt
selalu bersamanya. Allah swt sangat memperhatikannya. Dan
Allah swt tidak akan menyeng-sarakannya karena bekerja keras.
Justru sebaliknya, Allah swt akan memberikan keberkahan karena
bekerja keras.
Waktu terus berjalan. Ia mendengar pintu diketuk. Ia
beranjak ke pintu. Ia lihat siapa yang mengetuk dari lubang
yang berisi lensa pembesar di pintu. Di negeri orang kewaspadaan
harus senantiasa dijaga. Keselamatan terjaga karena
sikap yang waspada. Ternyata Nasir. la buka pintu.
"Assalamu'alaikum, Kang," sapa Nasir begitu pintu terbuka.
"Wa 'alaikumussalam. Malam sekali Sir, dari Tanta jam
berapa..?" tanya Azzam sambil perlahan menutup pintu.
"E... jangan ditutup Kang, saya bawa teman, ia sedang
beli sesuatu. Tadi dari Tanta habis Maghrib," jawab Nasir.
"Teman..? Orang Indonesia..?" tanya Azzam menyelidik.
"Bukan. Orang Mesir. Orang Tanta."
"Orang Mesir?" Azzam kaget.
"Iya. Nggak apa-apa kan Kang..? Dia orang baik kok."
"Sir, kamukan sudah lama di Mesir. Dan kamu sudah tahu
bagaimana kita harus berhati-hati! Kenapa kamu tidak minta
ijin kami dulu!" Azzam berkata tegas sebagai kepala rumah
tangga.
"Afwan Kang. Ini juga tidak saya sengaja. Kami bertemu
di Ramsis. Saya kenal baik dengannya. Saya pemah ke rumahnya
dan saya dijamu oleh keluarganya. Saya mulanya basa-basi

saja menawarkan dia berkunjung ke rumah dan menginap.
Saya kira dia pasti tidak mau. Ee ternyata kok mau. Lha
bagaimana lagi..? Masak harus menjilat ludah sendiri. Ya sudah
akhirnya saya ajak dia."
"Kamu sembrono Sir! Kalau kau bisa menemukan jalan
keluar agar dia tidak menginap di rumah ini sebaiknya kau
lakukan! Sebagai imam di rumah ini aku tidak meng-ijinkan!"
tegas Azzam. Ia merasa, sudah menjadi tanggung jawabnya
untuk menjaga kenyamanan dan keamanan anggota keluarganya.
"Tolonglah Kang! Sekali ini saja! Apalagi kita kan harus
menghormati tamu!"
"Apa kau mengira aku tidak bisa menghormati tamu,
Si..r?!" Suara Azzam meninggi. Nasir pucat Azzam adalah
orang yang dulu menjemputnya di bandara saat pertama kali
ia datang. Azzam juga yang dulu sangat sabar mengajarinya
memahami beberapa muqarrar awal-awal masuk kuliah. Ia sangat
segan kepadanya. Ia sangat takut jika Azzam yang telah
ia anggap sebagai kakaknya itu marah.
"Bukan begitu Kang. Baiklah saya akan berusaha dia tidak
menginap di sini. Tapi tidak apa-apa kan beberapa menit
dia masuk dan minum teh di sini..?"
"Ya, boleh. Besok -besok lagi lebih hati-hati. Kita ini di
negeri orang, jangan banyak basa-basi kayak di kampung
sendiri! Saya ke dapur dulu menyelesaikan pekerjaan ya. Biar
sekalian saya masakkan air," kata Azzam seraya berjalan ke
dapur.
Nasir duduk di ruang tamu. Tak lama kemudian seorang
pemuda Mesir, bertubuh agak gempal memakai baju hijau tua
datang. Nasir mempersilakan masuk. Pemuda Mesir itu mem -
bawa roti dan kabab.

"Teman-temanmu sudah tidur ya..?" tanya pemuda Mesir
itu pada Nasir.
"Iya. Sudah malam. Tadi masih ada satu orang yang
belum tidur," jawab Nasir seraya memberi isyarat kepada
pemuda itu untuk duduk. Ia lalu menutup pintu.
"Kalian berapa orang di rumah ini?"
"Kami berenam."
"Ada berapa kamar..?"
"Tiga. "
"Jadi satu kamar dua orang. Ada satu orang yang satu
kamar sendiri..? Apakah itu kau..?"
"Tidak. Saya juga berdua."
"Lalu nanti aku tidur sama siapa..?"
"Itu gampang. Sebentar ya saya bikin teh," Nasir bangk it
ke dapur.
"Jangan lupa saya tehnya yang kental dan gulanya
banyak," seru pemuda itu.
Tak lama kemudian Nasir keluar diiringi Azzam. Tangan
Azzam telah bersih. Ia telah selesai dari pekerjaannya. Azzam
keluar dengan menyungging senyum. Pemuda Mesir itu
berdiri dengan tersenyum.
"Ana min Tanta. Ismi Wail. Wail El Ahdali."  Pemuda itu
menjabat tangan Azzam dan memperkenalkan diri.
"Ahlan wa sahlan. Syaraftana bi ziyaratik. Ismi Azzam.
Khairul Azzam," jawab Azzam.

"Masya Allah. Namamu bagus sekali. Kau pasti orang
yang memiliki kemauan keras dan karakter yang kuat." Ujar
pemuda Mesir bernama Wail. Orang Mesir me-mang paling
suka memuji orang yang diajak bicara.
"Doanya. Maaf saya tinggal dulu ya. Terus terang saya
harus istirahat. Jika perlu apa-apa minta saja sama Nasir."
Azzam minta diri. Ia benar-benar lelah. Ia tidak mau terlalu
lama di ruang tamu. Sebab orang Mesir jika diajak ngobrol
bisa berjam jam tidak selesai.
"Tidak makan roti dan kabab ini bersama kami..?" Wail
berusaha menahan.
"Terima kasih. Saya masih kenyang. Saya tinggal dulu
ya." Jawab Azzam sambil tersenyum.
"Ya. Terima kasih. Semoga istirahatmu nyaman," jawab
Wail.
Sebelum masuk kamar Azzam sempat berkata pada Nasir
dengan bahasa Jawa,
"Sir, ojo lali yo. Ojo kok inepke neng kene. Ora tak ijini! Wis
aku tak turu ndisik!"
Nasir mengangguk. Azzam mengangguk sekali lagi ke
Wail. Wail pun mengangguk dengan tersenyum.
Dalam hati Azzam minta maaf melakukan hal itu. Tetapi
ia merasa sudah menjadi tugas dan kewajibannya menja-ga
keamanan rumahnya. Bukan ia berburuk sangka pada pemuda
Nama saya Azzam. Khairul Azzam.
Sir, jangan lupa. Jangan kauinapkan di sini. Tidak aku ijinkan. Sudah, aku tidur dulu!
Mesir itu, tetapi bersikap waspada adalah jalan terbaik untuk
tidak berburuk sangka pada siapa saja.

TAMU TAK DIUNDANG
Malam itu Anna tidak bisa tidur gara-gara pertanyaan
Laila tentang lamaran Furqan itu. Pikirannya tidak tenang.
Sudah tiga bulan lamaran itu disampaikan Mbak Zulfa kepadanya,
tapi ia belum juga bisa mengambil keputusan. Ini adalah
waktu terlama baginya dalam menimbang sesuatu. Entah kenapa
kali ini tidak mudah baginya untuk mengatakan "tidak",
seperti sebelum-sebelumnya.
Ia benar-benar belum menemukan alasan untuk menolak
lamaran Mantan Ketua PPMI yang terkenal cerdas dan tajir
itu. Juga tidak mudah untuk mengatakan "ya". Ia belum merasakan
kemantapan hati untuk menjadi pen-damping hidupnya.

Ia sendiri tidak mengerti kenapa tidak juga merasakan kemantapan
hati. Ia tidak mungkin melangkah tanpa kemantapan
hati. Baginya menerima lamaran seseorang kemudian menikah
adalah ibadah. Dan ibadah tidak sempurna jika tidak disertai
keman-tapan hati dan jiwa.
Jarum jam dinding di kamarnya menunjukkan pukul dua
dini hari. Matanya tidak mau terpejam. Bagaimana jika Furqan,
atau Mbak Zulfa mendesaknya lagi untuk segera mem -
beri kepastian..? Ia bangkit dari kasur. Duduk dan menunduk.
Kedua matanya yang sedikit merah menggu-ratkan kelelahan.
Namun sama sekali tidak mengurangi pesona kecantikannya.
Dari kamar sebelah sayup-sayup ia mendengar suara detak
keyboard komputer. Dari kamar Wan Aina. Mahasiswi asal
Selangor Malaysia yang pernah belajar di Diniyah Putri
Padang Panjang itu memang seorang pekerja keras.
Anna tahu persis gadis Melayu pecinta lagu-lagunya
Ummi Kultsum itu benstirahat hanya dua jam. Ia sangat salut
padanya. Wajar, jika tahun pertama di S.2 Al Azhar dilaluinya
dengan mudah. Tak ada satu mata kuliah pun yang tertinggal.
Anna beranjak ke kamar Wan Aina. Mengetuk pintunya
pelan.
"Masuk saja!" Suara Wan Aina dari dalam kamar.
Anna membuka pintu dan masuk perlahan. Wan Aina
duduk di depan komputer tanpa jilbab. Rambutnya dipotong
pendek. Sedikit di atas bahu. Matanya terfokus pada buku
yang ia letakkan di samping kanan monitor komputernya.
Sementara sepuluh jarinya yang lentik menari-nari indah di
atas tuts-tuts keyboard komputer Anna mendekat berdiri di
sampingWanAina.
"Nerjemah apa Wan..?"
"Ini Kak, nerjemah cerpennya Ibrahim Ashi," jawab Wan
Aina. Ia memang biasa memanggil Anna kakak, "Nak ku-kirim

ke majalah sastra miliknya Dewan Bahasa dan Pustaka di KL,"
lanjut Wan Aina sambil sesekali membe-tulkan tulisan yang
salah.
"Apa judulnya Wan..?"
"'Alal Mughtasal. Sebuah cerpen yang penuh kritik sosial.
Ada kalimat dari Ibrahirn Ashi yang menggelitik sekali." Jelas
Wan Aina sambil tetap mengetik.
"Kalimat apa itu Wan..?"
"Ibrahim Ashi menulis: Orang-orang kaya tidak mati mati...
Orang-orang kaya bisa menyuap Izrail."
"Ada-ada saja sastrawan itu. Eh Wan, ngomong-ngomong
kamu pernah nggak dikhitbah seseorang..?"
"Apa Kak..? Dikhitbah..?" Wan Aina menghentikan jari
jemarinya. Ia memalingan wajahnya ke Anna.
"Ya. Dikhitbah. Dilamar. Pernah nggak kamu dilamar
seseorang untuk dijadikan isterinya." Anna mengulang perta-
nyaannya dengan lebih jelas.
"Ya pernah lah. Sudah dua kali. Tapi dua-duanya aku
tolak mentah-mentah!"
"Kenapa..?"
"Sebab aku tidak yakin bisa mencintai dia."
"Meskipun agamanya baik..?"
"Ya. Yang kucari adalah yang agamanya baik dan aku
yakin bisa mencintainya. Aku bisa berbakti padanya dengan
penuh rasa suka, rasa cinta dan ikhlas. Kenapa Kak Anna tibatiba
bertanya khitbah padaku..? Apa ada yang mengkhitbah
lagi..?"
"Iya. Tapi yang ini membuatku susah."

"Kenapa..?"
"Aku belum yakin bisa mencintainya. Namun aku juga
masih merasa berat jika menolaknya." Terang Anna pada
WanAina. Selama ini Wan Aina adalah teman yang pa-ling
aman diajak bicara dari hati ke hati. Ia sangat dewa-sa dan
bisa menjaga rahasia.
"Menurutku kakak tidak usah tergesa-gesa. Kak Anna
tunggu dulu sampai benar-benar siap mengambil kepu-tusan
yang matang. Jika yang mengkhitbah tidak sabar, ya biar
mundur. Jangan tergesa-gesa memutuskan Kak. Tergesa-gesa
itu datangnya dari setan. Menentukan siapa yang jadi
pasangan hidup kita itu ibarat sama dengan menentukan nasib
kita selanjutnya. Harus benar benar matang dan penuh pertimbangan.
Oh ya Kak, bagaimana tiketnya..? Sudah beres..?"
"Besok saya bayar insya Allah. Dua hari lagi bisa saya
ambil."
"Baguslah. Tiket Aina sudah Aina ambil. Kita jadi ke
Kuala Lumpur awal pekan depan, insya Allah Hari Ahad kita
ikut seminar sehari tentang Ulama Perempuan di Asia Tenggara
yang diadakan PMRAM, HW, PPMI, Wihdah dan ICMI
di Auditorium Shalah Kamil. Hari Seninnya kita terbang ke
KL. Keluarga saya akan menanti kita di air port. Kak Anna tak
usah kuatir. Saya sudah cerita semua pada mereka. Mereka
sangat berbahagia dengan kedatangan Kakak."
"Terima kasih Wan. Mungkin dengan pergi ke Malaysia
pikiranku bisa lebih jernih dan tenang. Dan kupikir ma-salah
khitbah ini perlu aku musyawarahkan dengan abah dan
ummiku di Indonesia."
"Itu lebih baik Kak."
"Kau sudah Tahajud Wan..?"
"Belum Kak."

"Kita Tahajud bareng yuk. Kita gantian jadi imam biar
sekalian muraja'ah."
"Boleh Kak. Tapi aku selesaikan satu halaman ini dulu ya.
Kakak ambil wudhu dan shalat dulu saja di kamar kakak.
Nanti saya ke sana."
"Baiklah." Jawab Anna dan langsung bergegas mengambil
wudhu.
* * *
Jam beker di kamar Azzam terus berdering. Azzam masih
saja pulas. Jarum menunjukkan pukul dua empat puluh menit.
Tak lama kemudian jam beker itu berhenti. Lima menit
kemudian jam beker yang satunya berdering. Sudah menjadi
kebiasaan Azzam memasang dua beker untuk mengamankan
dirinya agar bisa bangun malam. Ia masih ingat pesan ibunya
sebelum berangkat ke Mesir, Jangan tingga lkan shalat
malam!"
Jam beker kedua sudah dua menit berdering, Azzam tidak
juga bangun. Tiba-tiba...
Dar... dar... dar..!
Azzam tersentak. Seluruh penghuni rumah itu juga
terbangun kaget! Dan...
Dar..dar..dar...!
Iftahil baab! If tahil baab!
Ada suara mengetuk pintu dengan keras disertai perintah
untuk membuka pintu juga dengan suara keras Mata Azzam

masih berkunang-kunang. Kepalanya masih tera-sa sangat
berat. Namun telinganya bisa menangkap jelas suara perintah
membuka pintu itu. Ia bisa menangkap dengan jelas itu adalah
suara orang Mesir. Belum sempat beranjak dari tempat tidur.
Gedoran keras kembali terde-ngar.
Dar..dar..dar...!
Iftahil baab! Iftahil baab!
Ia tersadar dengan membawa kemarahan di ubun ubun
kepalanya.
"Orang Mesir tak tahu adab dan sopan-santun! Malammalam
menggedor-gedor rumah orang seenaknya. Me-mang
rumah mbahnya apa!" Sengitnya pada diri sendiri seraya
berjalan cepat ke ruang tamu. Teman temannya yang lain
sudah bangun. Nanang mengikutinya di bela -kang. Ketika ia
hendak membuka pintu, gedoran di pintu mengagetkannya,
Dar..dar..dar...!
Iftahil baab! Iftahil baab!
Spontan ia berteriak keras:
"Na'am ya alilal adab! "
Lalu membuka pintu. Begitu pintu terbuka ia kaget bukan
kepalang. Seorang berpakaian serangam hitam lang-sung
menodongkan senjata kepadanya dan membentak,
"Mana Wail!"
Ia mundur. Ali menyalakan lampu. Seketika tiga orang
berseragam hitam menerjang masuk dan langsung me-nutup
pintu. Azzam berusaha tenang, meski nyalinya ciut saat itu.
Ya, hai orang yang kurang ajar!

"Di rumah ini tak ada yang bernama Wail! Kami juga
tidak mengenal Wail kecuali Wail Kafuri penyanyi pop yang
terkenal itu." Jawab Azzam tenang dengan suara sedikit
bergetar.
"Jangan bohong! Kami yakin Wail El Ahdali ada di rumah
ini! Kami akan periksa. Jika ia ada di rumah ini, ka-lian
semua akan kami bawa! Kami mabahits dari amn daulah! "
Orang Mesir tinggi besar dan berkumis tipis itu menjelaskan
siapa mereka dengan nada ancaman yang membuat Azzam
tersadar dengan siapa dia berhadapan.
Azzam langsung pasrah. Jika Nasir mengabaikan perintahnya
dan Wail masih ada di situ, menginap di situ, maka
habislah orang satu rumah. Ia sangat berharap Nasir mematuhi
perintahnya. Entah kenapa, ia yakin Wail tidak ada di
situ, maka dengan tegas ia menjawab,
"Kapten, meskipun kalian mabahits, kalian tidak bisa seenaknya
masuk rumah kami tanpa ijin. Tidak bisa seenaknya
menginjak-injak kehormatan kami. Kami tidak kenal siapa itu
Wail yang kalian maksud. Di rumah ini tidak ada yang bernama
Wail. Sebaiknya kalian segera keluar dari rumah ini.
Karena kami tidak mengijinkan kalian masuk!"
"Sebaiknya kau diam saja di tempatmu. Jangan macammacam!"
bentak si Kumis Tipis pada Azzam, lalu memerintahkan
tiga anak buahnya untuk memeriksa seluruh sudut
ruangan.
Ali, Nanang dan Fadhil berdiri gemetar. Bibir mereka
biru. Tak sepatah kata pun mereka ucapkan. Tak terasa ada
yang membasahi celana Fadhil. Anak Aceh itu didera keta -
kutan yang amat sangat. Trauma beberapa tahun silam lang-

sung hadir kembali. Kejadian saat itu langsung mengingatkannya
pada kejadian tujuh tahun silam di Aceh, saat rumahnya
didatangi tentara berseragam tengah malam. Mereka
menuduh ayahnya sebagai anggota gerakan pengacau
keamanan yang dianggap paling menyengsarakan rakyat Aceh
dan dianggap membaha-yakan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Ayahnya yang hanya seorang guru ngaji biasa, dan pedagang
biasa, jadi bulan-bulan tentara-tentara itu. Ayahnya lalu
dibawa pergi. Satu bulan kemudian tentara-tentara itu datang
lagi membawa ayahnya ke rumah dalam kondisi antara hidup
dan mati. Satu hari berikutnya ayahnya meninggal di pangkuannya
dengan mening-galkan pesan singkat,
"Jangan menyimpan dendam. Jadilah Muslim sejati! Jadilah
orang Aceh sejati!"
Tiba-tiba Fadhil merasa tulang-tulangnya seperti hilang.
Ia merasa seperti lumpuh. Lalu ingatannya hilang. Ia pingsan.
Tubuhnya ambruk di lantai. Azzam kaget. Demikian juga Ali
dan Nanang. Azzam terpaku sesaat di tempatnya. Ia ragu
untuk mendekati Fadhil. Namun sebagai kepala rumah tangga
ia harus bertanggung jawab. Maka dengan cepat ia melihat
kondisi Fadhil. Ali dan Nanang masih mematung di tempatnya.
"Jika ada apa-apa dengan temanku ini, kalian harus bertanggung
jawab. Jika misalnya ia terkena serangan jantung
dan mati, maka kalianlah pembunuhnya dan itu akan diselesaikan
secara diplomatik!" Geram Azzam sambil memandang si
Kumis Tipis. Ia lalu memeriksa denyut nadinya. Masih. Si
Kumis Tipis ikut memeriksa lalu berkata,
"Dia hanya kaget. Tak apa-apa. Nanti juga bangun!"
Tiga orang intelijen berseragam hitam masih memeriksa
di kamar. Mereka meneliti kondisi kamar dengan seksama.

Termasuk buku-buku yang ada di semua kamar. Lima belas
menit kemudian, mereka keluar dan membe-rikan laporan
pada si Kumis Tipis,
"Komandan, yang kita cari tak ada di rumah ini. Setelah
kami periksa juga tak ada yang mencurigakan. Buku buku
yang mereka baca biasa saja!"
"Hmm begitu ya! Tapi aku kok masih merasa laporan ke
kita bahwa Wail ke sini adalah benar. Tukang sayur itu sangat
tajam dan jarang meleset!" Kata si Kumis Tipis yang ternyata
adalah komandan operasi mabahits itu.
Azzam mendengar dengan seksama. Kalimat yang terakhir
disampaikan sang komandan menjadi catatan baginya.
Tukang sayur yang mana yang menjadi anggota mabahits itu.
Azzam meminta Ali dan Nanang mengangkat Fadhil ke
tempat tidurnya. Dalam hati ia bersyukur, Nasir dan Wail
yang beberapa jam yang lalu ada di situ, saat itu tidak ada di
situ.
Komandan berkumis tipis itu melakukan pemeriksaan
ulang dengan lebih teliti. Ia juga melihat ke kolong tempat
tidur, kamar mandi dapur dan dua balkon. Ia tidak menemukan
apa yang ia cari. Ia lalu mengorek-ngorek tempat sampah.
Dan menemukan sesuatu. Beberapa biji tusuk kabab, dan bungkus
roti. Ia bawa barang bukti yang membuatnya merasa
menang.
Di kamar Fadhil, Azzam memberitahu kepada Ali dan
Nanang agar lebih banyak diam. Biar dia nanti yang bicara
menghadapi para mabahits itu. Mereka diminta mengiyakan
apa yang dikatakannya dan menidakkan apa yang ditidakkannya.
Azzam menduga komandan mabahits itu akan melakukan
penyelidikan serius dan akan menginterogasi dirinya dan
teman-temannya untuk mendapatkan apa yang dicari. Ia
sendiri tidak mau tahu apa urusan mabahits Mesir itu dengan

Wail, pemuda yang dibawa Nasir. Yang paling penting
baginya adalah menyelamatkan dirinya dan seluruh anggota
keluarganya dari bahaya yang sedang mengancam mereka.
Dugaan Azzam benar.
"Kalian bertiga keman! Temanmu yang pingsan itu biar
ditunggui anak buahku. Tenang, aku akan bertanggung jawab
jika ada apa-apa dengan temanmu yang penakut itu!" Kata
komandan itu pada Azzam, Ali dan Nanang tegas.
Azzam bangkit ke ruang tamu diikuti Ali dan Nanang.
Meskipun ia sebenarnya sangat marah dan jengkel, tapi ia
sadar bahwa dirinya tinggal di negeri orang.
Azzam duduk di hadapan sang komandan. Ali dan Nanang
duduk di sampingnya. Sang komandan memegang tusuk
kabab sambil tersenyum,
"Tolong jawab, siapa yang membeli kabab dan roti ini..? "
Azzam langsung sadar akan digiring ke mana ia dan
teman-temannya. Maka dengan tegas Azzam menjawab,
"Saya!" Dalam hati ia meneruskan: "tidak membelinya."
Sebab ia tahu yang membeli adalah orang yang dicari mabahits
itu.
"Kamu..?!" Komandan itu kaget dengan ketegasan Azzam.
"Ya." tegas Azzam. Ali dan Nanang tegang.
"Benarkah perkataannya..? Hei kau, siapa namamu?" tanya
komandan kepada Ali.
"Nama saya Ali. Jika dia yang mengatakan ya berati ya."
Jawab Ali pelan.
"Apa kau tahu kapan dia belinya..?"
"Persisnya saya tidak tahu. Saya tidur awal tadi. Dan dia
selalu tidur paling akhir. Bisa jadi saat saya tidur dia membeli

kabab dan roti itu untuk mengisi perutnya yang lapar. Sebab
dia tidak bisa tidur jika perutnya lapar."
Komandan itu mengerutkan dahi. Dengan sedikit mengejek
Azzam berkomentar santai,
"Malam ini adalah malam yang takkan kami lupakan.
Selama ini kami merasa berada di sebuah negara yang sangat
menjaga sopan santun. Dugaan kami ternyata keliru. Malam
ini kami dibangunkan dengan paksa hanya untuk ditanya tentang
siapa yang membeli tusuk kabab. Kenapa tidak memerintahkan
kepada semua penjual kabab agar setiap pembelinya
menyerahkan tanda pengenal untuk didata. Sehingga dengan
mudah akan diketahui siapa saja yang membeli kabab."
Kata-kata Azzam itu membuat telinga komandan mabahits
panas. Serta merta ia menunjukkan bahwa dialah sebenarnya
sang tuan rumah.
"Tolong tunjukkan paspor kalian! Saya ingin tahu apa
kalian legal berada di negeri ini!" Kata sang komandan dengan
nada marah.
"Sebentar. Kami ambilkan!" Jawab Azzam. Ia lalu bangkit
menuju kamarnya untuk mengambil paspor. Hal yang
sama dilakukan oleh Ali dan Nanang. Mereka bertiga menyerahkan
paspor kepada komandan itu. Sang komandan lalu
memeriksa paspor-paspor itu dengan seksama. Tak ada yang
tidak beres. Namun komandan itu masih belum puas.
"Kalian satu rumah ini berapa orang..?" Selidik komandan
itu.
Dengan tegas Azzam menjawab, "Lima orang, ditambah
saya jadi ada enam orang! " Azzam tidak berani bohong. Sebab
ia yakin komandan itu akan mencari kepastian dengan melihat
akad kontrak sewa rumah. Yang biasanya, di akad kontrak itu,
tertera berapa orang yang mengisi rumah itu.

"Jadi enam orang ya..?" Ulang komandan.
"Ya."
"Berarti dua orang tidak ada di rumah..?"
"Ya."
"Di mana mereka..?"
Azzam pura-pura bertanya pada Ali, "Di mana mereka
Li..?"
Ali menjawab jujur seperti yang ia ketahui "Yang satu
sedang di Tanta dan yang satunya di Katamea."
"Di Tanta dan Katamea..?" Ulang komandan.
"Ya!" Jawab Ali tegas.
"Untuk apa kira-kira teman kamu pergi ke Tanta..? Dan
untuk apa pergi ke Katamea," tanya komandan dengan tetap
mengarahkan pandangan ke Nanang.
"Ya, biasa berkunjung ke rumah teman. Sesama orang
Indonesia. Mahasiswa Indonesia kan tidak hanya di Cairo."
"Siapa nama teman kalian yang ke Tanta itu..?"
"Nasir."
"Yang ke Katamea..?"
"Hafez."
"Tolong saya ingin lihat surat akad perjanjian sewa
rumah ini!" Pinta Sang Komandan.
Dugaan Azzam kembali benar. Azzam langsung bergegas
mengambil surat yang diminta. Sejurus kemudian surat
akad sewa rumah itu telah ada di tangan sang komandan berkumis
tipis. Surat itu diteliti dengan seksama terutama nama

nama penghuni rumah. Semua sesuai dengan keterangan
Azzam. Komandan itu mengangguk-anggukkan kepala.
"Mungkin benar kata anak buah saya, kami salah rumah.
Kami minta maaf atas kelancangan kami malam ini. Kami
minta diri!" Kata sang komandan dengan wajah lebih bersahabat.
"Bagaimana dengan teman kami yang kalian buat pingsan.
Kami minta pertanggung jawaban!" tukas Azzam.
"Dia tidak apa-apa. Hanya ketakutan saja. Kau lihat kan
dia sampai kencing. Nanti dia akan bangun dan baik kembali.
Anggap saja ini latihan membina mental dia." jawab komandan
itu diplomatis.
"Kalau ada apa-apa dengan dia bagaimana..? Apa kalian
akan lepas tangan begitu saja..? Kalau kalian tidak mau bertanggung
jawab, kasus ini akan kami angkat ke permukaan.
Akan kami tulis di koran-koran dunia. Kami akan minta
wartawan yang bisa menulis untuk menulisnya." Azzam tak
mau kalah, sebab ia merasa benar. Sudah menjadi watak
Azzam untuk sebuah kebenaran ia siap berduel sampai mati.
"Baiklah. Jika ada apa-apa temui saya di kantor mabahits
Abbasea. Nama saya Hosam. Lengkapnya Letnan Kolonel
Hosam Qatimi. Saya akan urus semua. Sekarang kau rawat
dulu. Jangan banyak berbuat ulah di Mesir. Ijin kalian di sini
hanya untuk belajar. Ingat itu!"
Tanpa menunggu jawaban Azzam, komandan itu bangkit
dan mengajak ketiga anak buahnya meninggalkan rumah itu.
Ali dan Nanang cepat-cepat ke kamar Fadhil. Azzam mengucap
hamdalah dalam hati. Ia tidak bisa membayangkan apa
yang akan dialaminya jika Wail El Ahdali jadi menginap di
situ. Ia menyandarkan punggungnya ke kursi. Tiba-tiba ia
teringat sesuatu: Nasir dalam bahaya. Dalam bahaya jika terus
bersama Wail. Tetapi di mana Nasir berada malam itu..? Ia
tidak tahu. Yang jelas ia harus secepatnya tahu di mana Nasir
berada. Baru ia bisa mengambil langkah.
Azzam melihat jam dinding. Sudah jam setengah empat
lebih dan ia belum shalat malam. Ia pernah mendengar dari
seorang ulama bahwa shalat malam dapat menghapus
kegelisahan dan mendatangkan ketenangan. Ia ingin shalat
beberapa rakaat saja, baru ikut mengurus Fadhil yang masih
pingsan.

HARI YANG MENEGANGKAN
Matahari pagi mulai menyinari bumi Kinanah. Sinarnya
hangat, sehangat celoteh anak-anak Mesir yang keluar dari
rumahnya untuk berangkat ke sekolah. Di rumah Azzam suasana
tegang belum hilang. Fadhil belum juga sadar sampai
jam enam pagi.
"Bagaimana ini Kang?" tanya Nanang cemas.
Azzam berpikir sebentar. Ia memang yang harus memutuskan.
Sebab ia yang paling tua di rumah itu.
"Kita bawa ke rumah sakit . Kau cari taksi sana sama Ali.
Fadhil biar aku yang tunggu!" kata Azzam.
"Baik Kang."

Nanang dan Ali lalu keluar untuk mencari taksi. Lima
belas menit kemudian mereka kembali dengan membawa taksi.
Pagi itu juga Fadhil mereka bawa ke Mustasyfa Rab'ah El
Adawea. Dokter yang memeriksa mengatakan, Fadhil harus
dirawat di rumah sakit.
Pagi itu menjadi pagi yang sangat sibuk bagi Azzam. Ia
teringat bahwa ia harus menyelesaikan pekerjaan pekerjaannya.
Rendaman kedelai yang harus ia olah jadi tempe. Tempetempe
yang sudah jadi yang harus ia distribusikan. Kemudian
acara di Sekolah Indonesia Cairo (SIC) yang memesan bakso
padanya. Jam sebelas ia dan baksonya harus siap di SIC. Jika
tidak ia akan dimarahi banyak orang.
Ia merasa perlu mendelegasikan tugas dan pekerjaan.
Yang bisa dilakukan orang lain biar dilakukan orang lain.
Sementara ia akan menangani yang hanya bisa ia tangani. Ia
bergerak cepat. Ia meminta Ali menjaga Fadhil. Nanang ia
minta menghubungi KMA, Keluarga Mahasiswa Aceh, juga
adik perempuannya yang tinggal di Makram Abied. Sementara
ia sendiri harus segera kembali ke rumah untuk menyelesaikan
pekerjaannya.
"Aku kembali ke sini bakda Zuhur, insya Allah. Habis dari
KMA kau langsung balik lagi ke sini ya Nang..?" kata Azzam.
Nanang mengangguk.
"Nasir bagaimana Kang..?" Tanya Nanang.
"Biar aku yang mengurus. Baik, aku tinggal dulu." Jawab
Azzam.
Sampai di rumah Azzam langsung mengontak Anam,
Yayan dan Rio. Tiga orang yang selama ini ikut mendistribusikan
tempe-tempenya. Agar nyaman Azzam membagi
wilayah operasi mereka. Mereka sebenarnya tinggal enak,
karena hanya mengantar ke rumah-rumah para pelanggan
yang telah dirintis Azzam. Namun mereka juga diberi
kebebasan mencari pelanggan baru di wilayahnya masingmasing.
Untuk Anam, Azzam me-mercayakan beroperasi di

Abdur Rasul, Rab'ah, Haidar Tuni. Sedangkan Yayan, beroperasi
di Masakin Ustman, Hay Zuhur dan Hay Sabe'. Adapun
Rio beroperasi di Katamea.
Tiga mahasiswa itu langsung datang. Azzam meminta
mereka segera mendistribusikan tempe-tempe yang telah jadi
ke wilayah masing-masing, kecuali Rio.
"Sementara Rio, kau membantuku membuat tempe saja."
Ujar Azzam pada Rio. Rio pun mengangguk setuju. Azzam
langsung memberi petunjuk pada Rio. Pertama ia minta Rio
merebus kacang kedelai yang direndam sampai matang.
"Tanda kedelainya sudah matang, jika uapnya sudah
berbau kedelai," jelas Azzam pada Rio. Jika sudah ma-tang
tiriskan sampai dingin. Baru diberi raginya," lanjut Azzam.
"Raginya seberapa Kang?" tanya Rio
"Jangan banyak-banyak.Ini ragi keras. Segini saja," jawab
Azzam sambil memberi contoh takaran ragi dengan mengambil
ragi dengan tangannya.
"Baru setelah itu dibungkus dengan plastik itu. Ukurannya
seperti biasa," lanjut Azzam. Untuk membuat tempe
Azzam hanya bisa percaya pada Rio. Anak dari Tuban itulah
yang paling sering membantunya membungkus tempe. Dan
hasil bungkusannya rajin dan bagus.
Setelah semuanya ia rasa beres, ia menyiapkan segala
kebutuhannya membuat bakso. Semua barang dan alat yang ia
butuhkan ia masukkan ke dalam panci besar. Ia lalu memanggil
taksi. Dengan taksi ia membawa panci besar itu menuju
SIC yang letaknya cukup jauh dari rumahnya. Dalam perjalanan,
ingatannya tertuju pada Fadhil yang saat ia tinggalkan
masih pingsan. Ia ber-harap tidak terjadi apa-apa dengannya.
* * *
Pukul delapan Furqan baru terbangun. Ia sangat kaget.
Bagaimana bisa terjadi..? Seharusnya ia bangun jam em-pat.
Bagaimana bisa kebablasan sampai pukul delapan. Ia merasa
ada yang sangat menyiksanya. Ia tidak hanya ke-hilangan
shalat Tahajud. Namun ia juga kehilangan sha-lat Subuhnya.

Ia beristighfar berulang kali. Belum juga kekagetannya
reda. Ia kaget dengan keadaannya.
"Laa haula wa la quwwata illa billah! Inna lillah!" Ia berkata
setengah teriak. Ia kaget bagai tersengat listrik. Bagaimana
mungkin ia bisa tidur tanpa busana. Tidur hanya bertutupkan
selimut saja. Padahal ia tidur tidak dalam keadaan
seperti itu. Ia tidur dengan kaos panjang dan celana panjang.
Ia melihat kaos panjang dan celana panjangnya tergeletak di
lantai. Ia bingung dengan diriya sendiri. Apa saat tidur dia
mengigau dan melepas pakaiannya tanpa sadar. Ia merasa
tidak yakin. Sepanjang hidupnya baru kali ini ia bangun tidur
dengan kondisi yang menurutnya sangat memalukan.
Ia langsung bangkit, mencuci muka dan mengambil air
wudhu. Ia harus segera meng-qadha shalat Subuh. Pikirannya
benar-benar kacau. Hatinya tidak tenang. Ia shalat dengan
tidak bisa khusyuk sama sekali. Perasaan berdosa karena shalat
tidak tepat pada waktunya terus menggelayut di pikirannya.
Pagi yang bagi sebagian besar penduduk Kota Cairo
sangat cerah itur baginya terasa sangat suram.
Kekagetannya tidak berhenti sampai di situ. Selesai shalat
ia bermaksud menghidupkan laptopnya dan untuk mendengarkan
nasyid Raihan dengan winamp, namun ia tersentak
dengan adanya sebuah foto di atas laptopnya yang tergeletak
di atas meja. Poto itu adalah foto dirinya dengan seorang
perempuan berambut pirang dalam kondisi sangat memalu -
kan. Foto yang membuatnya gemetar dan didera kecemasan
luar biasa, juga rasa geram yang menyala. Sesaat ia bingung
harus berbuat apa. Ia sendiri tidak tahu perempuan berambut
pirang itu siapa..? Bagai-mana itu semua bisa terjadi..? Dan
dirinya..? Apa yang se-benarnya telah dilakukan perempuan itu
pada dirinya..? Dan apa yang telah dilakukannya dengan
perempuan itu..?
Serta merta ia disergap rasa sedih yang menusuk nusuk
jiwa. Airmatanya meleleh. Ia merasa telah ternoda. Harga diri
dan kehormatannya telah hancur. Ia merasa tidak memiliki
apa-apa. Ia merasa menjadi manusia paling ter-puruk dan
terhina di dunia. Sesaat lamanya ia bingung. Ia didera rasa

cemas dan ketakutan yang begitu besar sehingga ia tidak tahu
harus berbuat apa? Foto itu ia rasakan bagaikan pedang yang
siap menggorok lehernya. Dunia terasa hitam-pekat baginya.
Ia berusaha mengendalikan dirinya. Ia meyakinkan dirinya
bahwa ia adalah seorang lelaki. Ya. Seorang lelaki sejati
tepatnya. Seorang yang berani menghadapi masa-lah yang ada
di hadapannya. Ia adalah Mantan Ketua PPMI yang disegani.
Ia harus bisa menguasai diri. Harus bisa bertindak tepat, cepat
dengan akal sehat. Ia amati foto itu sekali lagi. Ia balik. Ia
menangkap sesuatu. Sebuah pesan singkat:
Please read "myoptions.doc" in ur notebook!
Furqan langsung menyalakan laptopnya dan mencari file
yang beriudul myoptions.doc. Langsung ketemu. Ia buka. Sebuah
pesan dengan bahasa Arab muncul di layar.
Tuan Furqan, begitu bangun tidur Anda pasti kaget
dengan keadaanmu dan dengan apa yang kau temukan. Saya
sudah tahu siapa Anda. Tak usah berbelit-belit. Kita langsung ke
inti masalah. Ini murni masalah bisnis. Bisnis kecil-kecilan
antara Tuan dan saya. Saya sudah punya foto-foto "menarik"
dengan Tuan. Jika Tuan ingin foto foto ini tidak jadi konsumsi
umum maka sebaiknya Tuan melakukan dua hal ini:
Pertama, jangan lapor ke polisi.
Kedua, silakan transfer uang sebesar 200.000 USD. ke
nomor rekening ini: 68978967605323 Banca Com-merciale
Italiana Roma (jangan lupa dicatat, sebab begitu file ini Tuan
tutup, file ini akan langsung musnah). Saya beri tenggang waktu
2 x 24 jam untuk mentransfer.
Ketiga, setelah uang masuk rekening saya, maka saya
akan kirim seluruh film negatif dari foto-foto tersebut dan saya
jamin tak ada yang saya tahan.
Terima kasih atas kerjasamanya.
Miss Italiana.

Furqan tertegun di depan layar laptopnya. Ia diintimdasi.
Ia mau diperas. Ia tidak percaya ini akan terjadi padanya. Ini
seperti di film-film yang pernah ia tonton. Siapakah Miss
Italiana itu..? Tiba-tiba ia teringat Sara. Apakah ini semua ada
hubungannya dengan undangan Sara..? Juga kekecewaan Sara..?
Siapakah Sara sebenarnya..? Benarkah ia putri Prof. Sa'duddin
seperti yang diakuinya..? Akal sehatnya mulai berjalan. Namun
ia tetap dicekam kece-masan dan ketakutan. Ia seperti diseret
masuk ke dalam dunia yang kelam.

PESONA GADIS ACEH
Begitu sampai di SIC, Azzam langsung membuat kuah
untuk baksonya. Beberapa siswa SIC minta menyicipi bola
bakso yang telah jadi. Ia tidak memenuhi permin-taan mereka.
Sebab jika satu anak diberi yang lain pasti akan minta. Dengan
bijak ia menjawab,
"Jangan kuatir, nanti kalian semua akan mendapat jatah,
masing-masing anak satu mangkok bakso. Sabar sedikit ya."
Seorang anak yang terkenal suka usil menukas,
"Walah minta satu saja tak boleh. Dasar pelit!"

Azzam tersenyum mendengarnya. Ia tidak kaget mendengarnya.
Sudah sering dan biasa. Maka ia tidak nenjawab apaapa.
Sebab saat nanti acara selesai, dan masih ada sisa bakso,
anak-anak itu akan minta lagi Biasanya ia akan meluluskan
permintaan mereka. Dan mereka akan ber-kata padanya, "Mas
Insinyur memang pemurah dan baik hati. Makasih ya Mas."
Acara di SIC selesai tepat pukul dua belas siang. Dari
acara itu Azzam mendapat keuntungan bersih tujuh puluh dollar.
Azzam langsung pulang ke Mutsallats. Nasir ternyata telah
ada di rumah. Sedang menanak nasi dan membuat telur
ceplok.
"Eh Kang Azzam, baru pulang. Teman-teman pada di
mana Kang kok sepi..?" tanya Nasir santai sambil mem balik
telur ceploknya. Kelihatannya ia sama sekali tidak tahu apa
yang telah terjadi di rumah itu.
"Mereka sedang di rumah sakit Rab'ah..?" jawab Azzam
sambil meletakkan panci besar dan perkakasnya pada tempatnya.
"Di rumah sakit? Siapa yang sakit Kang..?" Nasir kaget.
Pandangan matanya beralih dari telur ceploknya ke wajah
Azzam.
"Fadhil." Ucap Azzam datar.
"Fadhil..?! Sakit apa Kang..?"
"Sudahlah, kau makanlah dulu. Fadhil akan baik baik saja.
Sudahlah nanti kuceritakan semuanya."
Azzam masuk ke kamarnya untuk istirahat. Sementara
Nasir makan dengan sangat lahap.Nasi panas, telur ceplok dan
kecap terasa begitu nikmat bagi pemuda yang pernah nyantri
di Pesantren Buntet Cirebon itu. Guratan lelah masih tampak
jelas di wajahnya. Namun guratan le-lah itu masih belum

seberapa jika dibanding guratan lelah wajah Azzam yang kini
menelentangkan tubuhnya di atas tempat tidurnya.
Azzam memejamkan mata, tapi pikirannya mengembara
ke mana-mana. Mengembara ke ruang-ruang kelelahan demi
kelelahan, tanggung jawab demi tanggung jawab, bakti demi
bakti. Perjalanan hidup yang harus ditem-puhnya di Cairo
adalah kerja keras, tetesan keringat, mata yang kurang tidur,
pikiran yang penuh, dan doa yang dibalut tangis jiwa.
Ingatannya pada ibu dan adik-adiknya adalah tanggung jawab
sebagai seorang lelaki sejati yang beriman. Ingatan pada ayahnya
adalah kewajiban bakti seorang anak mengalirkan doa
pembuka rahmat Allah di alam baka.
"Kang apa yang sesungguhnya terjadi pada Fadhil..?"
Nasir duduk di sampingAzam. Ia tahu Azzam tidak tidur.
Azzam bangkit perlahan lalu duduk.
"Lebih tepat kalau kau bertanya, apa sesungguhnya yang
telah terjadi di rumah ini," jawab Azzam. Nasir diam saja, ia
tahu Azzam belum selesai bicara. Justru baru memulai bicara.
"Tadi malam terjadi peristiwa besar di rumah ini. Peristiwa
yang tak lain adalah getah dari tindakan ketidak hati-hatianmu,"
lanjut Azzam. Nasir kaget mendengarnya.
"Tindakan saya yang mana Kang..?!" tanya Nasir dengan
nada protes.
Azzam lalu menceritakan semua yang terjadi dengan
detil. Tak dikurangi dan tak dilebihi. Mata Nasir berkaca kaca.
Ia baru mengerti dengan "tindakan ketidak-hati-hatiannya
yang dimaksud Azzam.
"Maafkan saya Kang. Saya tidak tahu kalau akan sampai
terjadi hal yang tidak diinginkan seperti itu. Saya berun-tung
satu rumah bersama orang yang berjiwa mengayomi dan
melindungi seperti Sampeyan. Sekarang saya harus bagaimana

Kang baiknya..?" Ucap Nasir dengan di-sertai rasa penyesalan
yang dalam.
"Untuk sementara, selama kau di Mesir hapus itu nama
Wail El Ahdali dari ingatanmu. Dan bergaullah dengan orang
Mesir dan orang asing sewajarnya saja. Jangan sok terlalu
akrab. Bergaul sewajarnya selain membuat kita waspada juga
membuat kita lebih dihormati di negeri orang. Yang jelas
mungkin kau sedang dicari mahahits. Bersikap biasa saja. Jika
suatu kali diinterogasi mahahits jawablah yang wajar saja.
Yakinkan mereka bahwa kau tidak berbuat macam macam di
tanah mereka ini. Yakinkan mereka bahwa konsentrasimu
adalah bela jar di Al Azhar. Jangan pernah mengisyaratkan kau
kenal dan punya hubungan dengan Wail El Ahdali." Azzam
menasihati panjang lebar. Nasihat yang sangat penting bagi
orang yang terlalu familiar dengan siapa saja seperti Nasir.
Sikap familiar yang terkadang berlebihan, sehingga berpeluang
mengundang hal-hal yang tidak diingin-kan.
"Baik Kang. Tapi Wail itu orangnya baik kok Kang. Dia
bukan penjahat. Aku pernah ke rumahnya di daerah Mahallet
Marhum, dekat Tanta."
"Aku tidak mengatakan Wail itu tidak baik Sir. Aku percaya
kok teman-temanmu baik. Tapi yang terbaik bagi kita
saat ini adalah tidak kenal Wail dulu. Amn Daulah Mesir
merasa punya urusan dengan Wail. Kita biarkan itu sebagai
urusan mereka. Kita di sini adalah tamu. Dia orang Mesir. Dia
lebih tahu Mesir daripada ki-ta. Wail pasti memiliki cara
untuk menyelesaikan urusannya. Kita urus saja urusan kita
sebaik-baiknya.
"Bukankah urusan kita sendiri masih banyak..?" tegas
Azzarn.
"Ya Kang."
"Sekarang kita ke Mustasyfa Rab'ah."

"Baik Kang. Aku mandi dulu sebentar dan ganti pakaian
ya Kang..? Tadi pagi aku belum mandi."
"Ya. Tapi cepetan ya."
"Ya Kang."
Saat Nasir mandi, Azzam teringat akan tempe yang ia
pasrahkan pembuatannya pada Rio. Ia harus memeriksanya
untuk lebih merasa yakin bahwa pekerjaan anak buahnya itu
beres seperti yang ia harapkan. Ia melihat beberapa caloncalon
tempe di rak. Ia ambil satu, ia teliti.
"Bagus. Rio bisa diandalkan," lirihnya.
Ia merasa tenang, jika suatu saat nanti ia tidak bisa membuat
sendiri tempenya, ia bisa menyerahkannya pada Rio. Dengan
begitu bisnisnya akan tetap lancar. Dan Rio juga senang,
sebab dia akan mendapat tambahan gaji.
Nasir benar-benar mandi cepat. Entah apa yang ia lakukan
di kamar mandi. Rasanya baru masuk sudah keluar lagi. Ia
langsung masuk ke kamarnya dan ganti pakaian.
Sepuluh menit kemudian mereka berdua sudah keluar
rumah. Mereka berjalan kaki menuju jalan raya. Begitu ada
bus nomor 65 mereka naik. Selama dalam perjalanan yang
tidak lama itu Azzam tidur. Nasir masih didera rasa bersalah.
Tadi malam ia nyaris mau nekat tetap mengi-napkan Wail di
rumah. Namun ia ingat, jika Azzam ma-rah, maka seisi rumah
pasti akan juga marah.
Karena itulah, begitu selesai makan roti dan kabab, ia
mengajak Wail jalan kaki ke Tub Ramli. Ia dan Wail akhirnya
menginap di rumah Mat Nazri, mahasiswa asal Pahang,
Malaysia yang sama-sama agen tiket Malaysia Air Lines. Mat
Nazri percaya saja padanya, bahkan sangat senang dengan
kedatangan Wail. Mereka bertiga tidak tidur. Sebab Wail
banyak bercerita tentang masa kecilnya dan juga kedamaian

desanya. Cerita yang enak didengar dan mengasyikkan, karena
Wail sering mem-bumbui dengan humor-humor yang menyegarkan.
Ia masih ingat cerita Wail tentang Abu Nuwas. Wail
berkata,
"Waktu kecil dulu aku paling suka mendengar cerita
cerita lucu Abu Nuwas. Yang paling menarik membawakan
cerita adalah Ammu Husni. Dulu dia yang mengajari anakanak
desa kami membaca Al-Quran. Sekarang dia bekerja di
kementerian wakaf di Cairo. Saya masih ingat satu cerita dari
Ammu Husni tentang Abu Nuwas. Cerita yang jika saya mengingatnya
masih bisa tertawa, paling tidak tersenyum sendiri.
Ammu Husni bercerita begini:
'Suatu sore Khalifah Harun Ar Rasyid berjalan-jalan mencari
angin di luar istananya. Ia melewati pasar. Di sana, ia berpapasan
dengan Abu Nuwas. Sang Khalifah sangat kaget melihat
Abu Nuwas membawa sebuah botol yang kelihatannya
berisi arak dalam ukuran yang besar. Untuk meyakinkan apa
yang dilihatnya Sang Khalifah pun menghampiri Abu Nuwas.
'Sejak kapan kamu jadi pemabuk Abu Nuwas..?' selidik
Khalifah.
'Saya tidak pernah mabuk. Khalifah jangan ngawur menuduh
seenaknya!' jawab Abu Nuwas berkelit.
'Lalu apa yang kamu bawa itu..?'
'Botol.'
'Lalu apa isi botol itu..?'
'Susu, Khalifah.'
'Susu kok warnanya merah..? Sungguh aneh, bukankah di
mana-mana susu warnanya putih..?'
'Harap maklum Khalifah. Susu ini mulanya berwarna putih.
Tapi karena malu pada Khalifah jadi berubah merah. Ia

lebih pemalu dari gadis pingitan, Khalifah,' jawab Abu Nuwas
diplomatis.
Mendengar jawaban Abu Nuwas itu Sang Khalifah tertawa
terpingkal-pingkal. Kok bisa-bisanya susu memiliki sifat
malu. Sungguh jawaban yang konyol, namun menyegarkan.
Sang Khalifah lalu melanjutkan perjalanannya setelah tahu
ternyata yang dibawa Abu Nuwas memang bukan arak, tapi
minuman sejenis syirup dari kurma."
Nasir tersenyum sendiri. Cerita tentang Abu Nuwas,
yang kalau di Indonesia lebih di kenal Abu Nawas, sudah sangat
sering ia dengar. Tapi ceria tentang susu yang bisa
berubah merah warnanya karena malu baru ia dengar saat itu.
Mesir memang kaya dengan cerita -cerita lucu, di samping
juga kaya akan kisah romantis dan juga epik yang menggetarkan
jiwa.
Beberapa puluh meter sebelum sampai Mahattah Rab'ah
ia membangunkan Azzam. Azzam bangun dengan mata merah.
Mereka turun dan langsung ke rumah sakit. Di depan kamar
Fadhil, mereka melihat Nanang dan Ali berdiri di samping
pintu,
"Kenapa di luar..? Siapa yang di dalam..?" tanyaAzzam.
"Fadhil sedang ditunggui dua cewek," jawab Nanang.
"Siapa..?" tanya Azzam.
"Cut Mala, adik perempuannya dan Cut Rika teman Cut
Mala."
"Fadhil gimana keadaannya..?"
"Sudah sadar. Kata dokter akan baik-baik saja. Tapi tadi
pagi sempat diinfus dengan vitamin otak. Setelah di-scan, ada
gegar ringan. Mungkin karena kepalanya membentur lantai

saat dia jatuh tadi malam. O ya Kang, dia menanyakan Sampeyan
terus sejak sadar," kata Nanang menjelaskan.
"Baik kalau begitu aku masuk dulu."
Azzam langsung masuk. Dua mahasiswi berjilbab duduk
di samping Fadhil. Yang berjilbab biru muda bercakap-cakap
dengan Fadhil. Sementara yang berjilbab putih membaca
majalah.
"Assalamu 'alaikum..?" sapa Azzam.
Seketika yang ada di kamar itu menjawab salam. Fadhil
tersenyum melihat siapa yang datang. Ia langsung ber-kata
pada gadis berjilbab biru muda,
"Dik Mala, itu Kang Azzam, senior saya di rumah." Gadis
berjilbab biru mengangguk kepada Azzam sambil menangkupkan
kedua telapak tangan di depan dada. Azzam juga melakukan
hal yang sama sambil memper-kenalkan diri,
"Ya saya Azzam."
"Saya adiknya Kak Fadhil. Cut Mala. Lengkapnya Cut
Malahayati." Tukas gadis berjilbab biru berwajah putih bersih.
Azzam melihat sesaat, ia tertegun sesaat. Baru kali ini ia bertatap
muka dan melihat langsung wajah adik perempuan
Fadhil yang membuat Hafez nyaris gila. Ia harus mengakui,
memang memesona. Ia langsung menundukkan kepala, lalu
tanpa sadar ia mengalihkan pan-dangan ke arah gadis yang
satunya yang sedang meng-hadap ke arahnya dengan menundukkan
kepala.
"Dia teman Mala. Masih ada hubungan keluarga dengan
saya meskipun jauh. Namanya Cut Rika." Fadhil memperkenalkan.
Sebab ia tahu teman adiknya itu sangat pemalu.
Azzam hanya mengangguk-angguk. Gadis yang bernama Cut
Rika itu diam saja. Maka Azzam mengalihkan perhatiannya
pada Fadhil.

"Bagaimana keadaamnu Dhil..?"
"Baik Kang. Tak ada yang perlu dicemaskan. Tapi aku
perlu berbicara dengan Sampeyan tentang satu hal penting
jawab Fadhil.
"Apa itu..?" tanya Azzam penasaran.
"Sebentar Kang," jawab Fadhil sambil memberi isyarat
kepada adiknya agar ia dan temannya meninggalkan kamar.
Setelah keduanya keluar, Fadhil berkata,
"Bisa nggak Kang saya pulang sore ini? "
"Kenapa Dhil..? Kau masih perlu perawatan? "
"Terus terang Kang, saya tidak punya uang. Adik saya
juga. Kami tidak mungkin minta ibu kami di Indonesia."
"Sudahlah kau jangan memikirkan hal itu dulu. Biar hal
itu aku yang memikirkan, yang penting kamu sehat kem -bali.
Ujian tidak lama lagi. Ingat itu."
"Kalau bisa pulang secepatnya. Cobalah bicara kepada
dokternya, jika nanti dia datang."
"Baiklah."
"Terima kasih Kang."
"Ya sama-sama. Adikmu biar masuk lagi ya. Soalnya kelihatannya
ia ingin terus dekat denganmu. Aku dan te-manteman
shalat Ashar dulu."
"Iya Kang."
Azzam beranjak keluar memanggil dua gadis Aceh, lalu
mengajak teman satu rumahnya shalat Ashar. Sebab saat itu
azan tengah berkumandang.
Setelah Ashar dokter datang. Azzam membicarakan kemungkinan
Fadhil dibawa pulang.

"Dia boleh pulang, paling cepat besok siang." Jelas dokter
berambut putih meyakinkan.
Menjelang Maghrib, Cut Mala dan Cut Rika minta diri.
Tak lama setelah itu Azzam dan Nanang juga minta diri.
Untuk jaga malam, Nasir dan Ali menawarkan diri.
Atas permintaan Azzam, Hafez memang sejak awal tidak
usah dikabari dulu. Dia biar menyelesaikan urusannya di
Katamea dulu. Azzam tidak ingin Hafez tahu lalu langsung ke
rumah sakit dan bertemu Cut Mala.
Saat Azzam pamitan pada Fadhil, dengan nada bergurau
Fadhil berkata,
"Menurutmu Cut Mala, adikku, cantik tidak Kang..?"
Azzam menjawab dengan gurauan,
"Tanyakan saja pada Nasir, dia paling tahu tentang perempuan
cantik. Kelihatannya dia tadi mengamati betul
adikmu itu."
Nasir tidak menduga akan jadi sasaran tembak. Serta
merta ia berkata,
"Ya kalau belum ada yang mengkhitbah, cantik sih. Tapi
kalau sudah ada yang mengkhitbah, ya, tidak cantik."
Azzam tersenyum lalu pergi. Ia jadi teringat dua adiknya
kembali. Husna dan Lia. Apa mereka secantik Cut Mala, atau
malah lebih cantik? Tiba-tiba ia malu pada diri sendiri. Hatinya
benar-benar mengakui pesona gadis Aceh berjilbab biru
muda itu tadi. Fadhil memang telah berkali-kali bercerita tentang
adiknya yang baru satu tahun setengah menyusulnya
kuliah di Cairo. Namun baru sore itu ia bertatap muka dengan
gadis yang kata Fadhil, saat di Madrasah Aliyah pernah

menjuarai MTQ se-Tanah Rencong, Aceh. Ia bisa memahami
kenapa Hafez sedemikian jatuh hati padanya.

INSYAF
Orang-orang baru saja pulang dari jamaah shalat Maghrib
ketika Furqan menyalakan mobilnya dan membawanya
meluncur dari Haidar Tony ke arah Hay Sabe'. Tujuannya
adalah rumah Ustadz Saiful Mujab yang ter-letak di dekat
Masjid Ridhwan. Ia merasa tidak bisa mengambil keputusan
sendiri atas masalah yang menimpanya. Ia perlu pendapat
Ustadz Mujab yang selama ini ia anggap seperti kakaknya
sendiri. Sampai di rumah Ustadz Mujab ia disambut hangat
oleh Abdullah, anak sulung Ustadz Mujab yang berumur
tujuh tahun.
"Om Furqan, kok lama nggak main ke mana aja..?" tanya
Abdullah.

"Om Furqan sedang sibuk persiapan ujian," jawab Furqan
datar.
"Om, om, tadi di sekolah aku dapat hadiah." Begitulah,
tanpa diminta Abdullah pasti cerita tentang kejadian di sekolahnya.
Anak itu sekolah di Madrasah Ibtidaiyyah Al-Azhar
bersama anak-anak Mesir. Kemampuan bahasa Arabnya tidak
diragukan. Bahkan dalam hal-hal tertentu ia lebih mengerti
bahasa harian Mesir daripada kedua orangtuanya. Karena memang
ia sama dengan anak Mesir. Lahir dan besar di Mesir.
Bermain bersama anak-anak Mesir. Juga tidak jarang, berkelahi
dengan anak-anak Mesir.
"Hadiah apa..?"
"Hadiah karena aku telah hafal juz tiga puluh. Semua
yang hafal juz tiga puluh mendapatkan hadiah."
"Apa hadiahnya..?"
"Buku dan kaset nasyid anak-anak."
Percakapan keduanya terputus begitu Ustadz Mujab keluar.
Abdullah langsung masuk ke dalam. Sedangkan Furqan
langsung menjabat tangan Ustadz Mujab. Tanpa basa-basi
Ustadz Mujab berkata,
"Begini Fur, sampai sekarang si Anna belum bisa memberi
jawaban. Kau bersabarlah satu dua bulan lagi. Dia sedang
sibuk untuk melakukan penelitian untuk tesis-nya."
"Saya datang ke sini bukan untuk menanyakan masalah
itu Ustadz."
"Lalu untuk apa..?"
"Saya sedang menghadapi masalah besar yang saya merasa
tidak bisa menuntaskannya sendirian."
"Apa masalahmu..?"

Furqan lantas menceritakan semua yang dialaminya di
hotel. Sejak dia masuk hotel sampai dia keluar hotel. Terutama
tentang foto-foto yang membuatnya merasa tidak berharga
dan permintaan mengirim uang sebesar 200.000 USD. Ustadz
Mujab mendengarkan dengan seksama. Sesekali ia mengenyitkan
dahi. Saat Furqan mengakhiri ceritanya dengan wajah
bergurat kecemasan dan kesedihan, Ustadz Mujab mendesah
dan mengambil nafas panjang.
"Sekarang apa yang harus saya lakukan Ustadz..?"
Ustadz Mujab kembali menarik nafas dan berkata,
"Yang paling penting, kau harus mengintrospeksi dan
me-muhasabah-i dirimu sendiri. Ini teguran dari Allah atas
cara hidupmu yang menurutku sudah tidak wajar sebagai seorang
penuntut ilmu. Menurutku kau sudah berlebihan dengan
menginap di hotel untuk alasan agar bisa konsentrasi mem-
persiapkan sidang tesismu. Apa kamarmu masih kurang nyaman,
masih kurang luas..?!"
"Iya Ustadz, saya telah menyadarinya."
"Menurutku kamu tidak perlu mengindahkan ancaman
orang yang tidak kau kenal itu."
"Tapi, jika foto-foto itu benar-benar dijadikan konsumsi
publik bagaimana Ustadz..? Di mana saya menaruh muka
Ustadz..?"
"Itu kan foto fitnah. Tidak benar. Yang penting kau kan
tidak melakukannya."
"Aduh mental saya belum kuat jika foto-foto itu diketahui
mahasiswa Indonesia di Cairo Ustadz. Apalagi jika dipublikasikan
juga ke Tanah Air, bisnis ayah saya bisa hancur
Ustadz. Saya hidup tidak sendirian Ustadz. Masalahnya tidak
sesederhana yang Ustadz bayangkan."

Ustadz Mujab termenung mendengar perkataan Furqan.
"Ya, saya lupa kalau ayahmu itu seorang pengusaha nasional.
Masalahnya memang tidak sederhana. Aduh Furqan,
saya belum bisa memberi saran untuk masalahmu ini. Maafkan
saya." Ucap Ustadz Mujab.
Furqan terdiam sesaat lamanya. Ia tidak tahu harus minta
pendapat siapa lagi. Apa ia harus ke tempat bapak bapak
KBRI..?
"Tidak ada salahnya." Ucapnya dalam hati. Ia melihat jam
tangannya, masih agak sore. Ia harus segera meluncur ke
Dokki, maka ia langsung minta diri. Sebelum pergi Furqan
sempat berpesan, "Tolong jaga rahasia masalah ini. Doakan
saya menemukan jalan keluar secepatnya."
Furqan langsung meluncur cepat menuju Dokki. Di perjalanan
ia masih berpikir rumah siapa yang akan ia tuju. Sampai
di Ramsis ia baru bisa menentukan bahwa rumah orang
yang paling ia kenallah yang harus ia tuju. Yaitu rumah Pak
Rusydan, Atase Pendidikan dan Kebudayaan. Semestinya memang
lebih tepat ke Atase Bidang Politik, atau Atase Bidang
Konsoler. Saat ini yang paling ia perlukan adalah saran terbaik,
juga dukungan moril. Dukungan moril lebih bisa diharapkan
dari orang orang yang benar-benar mengenalnya.
Sedikit beruntung, malam itu ia langsung bisa bertemu
dan berbicara dari hati ke hati dengan Pak Rusydan. Dengan
penuh kearifan seorang bapak yang mengayomi anaknya, Pak
Rusydan berkata pada Furqan,
"Tenang, ini masalah kecil Nak Furqan. Jangan terlalu
cemas. Ini bukan masalah yang tidak bisa diselesaikan. Menurut
hematku, kita tetap harus minta tolong pada pihak
keamanan Mesir. Tidak bisa tidak."

"Tapi kalau penjahat itu tahu, maka saya bisa hancur
Pak."
"Tidak. Dia tidak akan tahu. Sebab kita tidak minta tolong
pada polisi biasa. Tapi kita langsung minta tolong pada
mahahits."
"Mabahits..?"
"Ya. Kau kan pernah jadi Ketua PPMI, dulu pernah mengantongi
nama-nama orang penting di kalangan mahabits.
Telponlah orang itu malam ini juga. Besok pagi saya akan
menguatkan dengan menelponnya."
"Oh ya baik Pak."
Setelah itu mereka memperbincangkan tema yang lain.
"Setelah selesai S.2 ini apa rencanamu Nak..?"
"Kalau bisa langsung aplikasi program doktor Pak."
"Bagus. Memang kalau bisa agar Indonesia maju setiap
KK melahirkan satu doktor. Saat ini ada seorang pakar yang
berpendapat bahwa kemajuan suatu negara bisa dilihat dari
jumlah doktor per satu juta orang penduduknya. Semakin
banyak jumlah doktornya, maka akan semakin maju. Tapi
doktor yang benar-benar doktor lho, bukan doktor hasil mem -
beli. Sebab sekarang ini banyak gelar doktor diobral dengan
harga sekian juta rupiah. Dan sudah banyak kasus terungkap,
orang-orang Indonesia termasuk paljng gemar membeli gelar.
Dan juga membeli ijazah."
"Kondisi bangsa kita memang memprihatinkan Pak."
"Karena itulah dibutuhkan generasi-generasi tangguh
yang berprestasi seperti kamu."
"Doanya Pak."

Setelah merasa cukup Furqan pamit minta diri. Di sepanjang
perjalanan dari Dokki sampai Haidar Toni Furqan
tiada henti berzikir dan beristighfar. Ia masih terus diteror
rasa cemas. Saat itulah ia benar-benar merasa membutuhkan
kasih sayang Allah. Ia membenarkan nasihat Ustadz Mujab,
"Yang paling penting, kau harus mengintrospeksi dan memuhasabah-
i dirimu sendiri. Ini teguran dari Allah atas cara
hidupmu yang menurutku sudah tidak wajar sebagai seorang
penuntut ilmu. Menurutku kau sudah berlebihan dengan menginap
di hotel untuk alasan agar bisa konsentrasi."
Mungkin benar penilaian Ustadz Mujab atas dirinya. Ia
telah melakukan sesuatu yang berlebihan. Sesuatu yang sejatinya
kurang pantas bagi seorang penuntut ilmu. Ia langsung
menyadari kekhilafannya itu. Ia yang mengambil spesialisasi
sejarah dan peradaban Islam semestinya menyadari bahwa
para pemikir dan ulama besar tidak ada yang berhasil meraih
ilmu dengan hidup ber-mewah-mewah.
Bagaimana mungkin ia bisa lupa bahwa dalam kitab-kitab
sastra, sejarah, manakib dan thabaqat banyak dijelaskan betapa
para ulama lebih biasa bergelut dengan kemiskinan, penderitaan
dan kesulitan hidup yang mencekik. Namun mereka
meresapinya dengan penuh kesa-baran. Dalam penderitaan
yang mencekik itulah mereka mengais ilmu dan hikmah.
Dalam kesulitan hidup itulah mereka menulis karya-karya
besar yang monumental. Bagaimana mungkin, ia yang jebolan
jurusan sejarah dan peradaban Islam Al Azhar University , dan
sebentar lagi meraih gelar master di jurusan yang sama dari
Cairo University bisa melupakan sunah para ulama itu.
Bagaimana mungkin ia bisa lupa kisah mengharukan
yang diriwayatkan oleh Imam Bakar bin Hamdan Al Maruzi
yang mengatakan, bahwa Imam Ibnu Kharrasy pernah bercerita,

"Demi mencari ilmu, aku pernah meminum air kencingku
sendiri sebanyak lima kali. Ceritanya, sewaktu sedang berjalan
melintasi gurun pasir untuk mendapatkan hadis aku merasa
kehausan luar biasa tanpa ada yang bisa aku minum. Maka
dengan terpaksa aku rninum air kencingku sendiri."
Ulama besar sekaliber Ibnu Kharrasy bahkan harus meminum
air kencingnya sendiri demi mempertahankan hidupnya
ketika mencari ilmu. Sedangkan dirinya, bisa-bisanya makan
dan minum di restoran mewah Hotel Meridien.
Bagaimana mungkin ia lupa cerita Imam Abu Hatim yang
pernah mengalami keadaan sangat memprihatinkan. Imam
Abu Hatim mengatakan, "Ketika sedang mencari hadis kondisiku
benar-benar sangat mempriha-tinkan. Karena tidak mampu
membeli sumbu lampu, pada suatu malam aku terpaksa keluar
ke tempat ronda yang terletak di mulut jalan. Aku belajar
dengan menggunakan lampu penerangan yang dipakai oleh
tukang ronda. Dan terkadang tukang ronda itu tidur, aku
yang menggantikannya ronda."
Sementara dirinya masih juga tidak merasa cukup akan
nyamannya lampu apartemannya. Harus lampu mewah Hotel
Meridien.
Bagaimana mungkin ia lupa kisah Imam Bukhari yang tidak
memiliki apa-apa. Sampai pakaian pun tidak punya,
sehingga ia terhalang dari menulis hadis. Bagaimana mungkin
ia melala ikan kisah menggetarkan yang beberapa kali ia baca
dan ia kaji itu..? Bagaimana mungkin ia lupa pada kisah yang
diriwayatkan oleh ulama besar seangkatan dengan Imam
Bukhari yang bernama Umar bin Hafesh Al Asyqar. Al Asyqar
mengatakan,
"Selama beberapa hari kami tidak mendapati Bukhari
menulis hadis di Bashrah. Setelah dicari ke mana mana
akhirnya kami mendapatinya berada di sebuah rumah dalam

keadaan telanjang. Ia sudah tidak punya apa-apa. Atas dasar
musyawarah kami berhasil mengumpulkan uang beberapa
dirham lalu kami belikan pakaian untuk dipakainya. Selanjutnya
ia mau bersama-sama kami lagi meneruskan penulisan
hadis."
Sementara dirinya selama ini memilih pakaian yang bermerk
dan mahal-mahal.
Bagaimana mungkin ia lupa akan penderitaan Imam
Malik. Yang demi membiayai dirinya menuntut ilmu, beliau
sampai mencopot atap rumahnya, lalu menjual papannya.
Bagaimana mungkin ia lupa..?
Bukankah itu semua adalah sejarah yang benar-benar
nyata. Bukan cerita fiktif yang mengada-ada. Datanya valid,
tertulis dalam banyak kitab-kitab sejarah, sastra dan lain sebagainya.
Bagaimana ia bisa melalaikan suatu kenyataan penting,
bahwa para ulama salaf menganggap kemiskinan adalah teman
akrab yang tidak mungkin ditinggalkan begitu saja. Justru
kemiskinan itu, saat menuntut ilmu, harus benar-benar dinikmati.
Sampai sampai ada seorang ulama menulis syair:
Aku bertanya kepada kemiskinan.
Di manakah kamu berada..?
Ia menjawab, aku berada di sorban para ulama.
Mereka adalah saudaraku.
Yang tidak mungkin aku tinggal begitu saja.
Bagaimana mungkin ia bisa melalaikan itu semua?
Hati Furqan gerimis. Airmatanya meleleh. Ia benar benar
menginsyafi cara hidupnya yang selama ini sudah tidak
wajar sebagai seorang penuntut ilmu. Ia benar benar merasa
kan bahwa ini semua adalah teguran dari Dzat Yang Maha
Bijaksana.

PERTEMUAN YANG
MENGGETARKAN
Hari berikutnya Fadhil boleh dibawa pulang. Untuk
membayar biaya rumah sakit, Azzam harus merelakan uang
hasil kerja kerasnya berjualan bakso. Begitu Fadhil sampai di
Mutsallats, Azzam langsung pergi ke Abbasea. Tujuannya
satu, yaitu ke kantor mabahits mencari Letnan Kolonel Hosam
Qatimi. Ia mau minta pertanggung jawaban. Sesampainya di
sana semua pertugas keamanan di sana tak ada yang merasa
mengenal nama Hosam Qatimi. Dan ia memang sama sekali
tidak melihat Hosam Qatimi dan anak buahnya di sana.

"Maaf, tidak ada nama Hosam Qatimi di sini. Kamu salah
alamat, Orang Indonesia!" Ucap seorang petugas berpakaian
seragam persis dengan seragam Hosam Qatimi.
Azzam meninggalkan kantor itu dengan perasaan marah
dan kesal. Marah, karena ia merasa dipermainkan oleh Letnan
Kolonel itu. Dan kesal, karena meskipun ia dipermainkan, ia
tidak bisa berbuat apa-apa kecuali pasrah, menerima yang
sudah terjadi. Ya sudahlah. Ia tidak punya kekuatan untuk
mengusut apalagi sampai memaksa Letnan Kolonel itu bertanggung
jawab. Ia hanya mengatakan dalam hati bahwa
kezaliman sekecil apapun akan ada hisabnya kelak. Biarlah
pengadilan Allah kelak yang memutuskan.
Ia melangkah pergi. Di luar gerbang ia berpapasan dengan
sedan Fiat putih yang dikendarai oleh Furqan. Ia tidak
tahu yang mengendarai mobil itu Furqan. Sebab ia memang
tidak memperhatikan. Furqan pun tidak tahu kalau yang baru
saja disimpanginya itu adalah Azzam teman satu pesawat saat
berangkat ke Mesir sembilan tahun yang lalu.
Azzam melangkahkan kakinya menuju Mahattah Abasea.
Ia mau mencari bus ke Sayyeda Zaenab. Kembali belanja
daging sapi. Ia harus membuatkan bakso untuk Bu Faizah
yang punya hajatan syukuran. Syukuran menempati rumah
baru. Sudah satu bulan yang lalu Bu Faizah pesan padanya. Ia
harus menepatinya. Meskipun sebenarnya ia ingin istirahat.
Sementara ia melaju di atas bus menuju Sayyeda Zaenab,
Furqan telah berada di salah satu ruang kantor yang baru saja
didatangi Azzam. Furqan berbincang bincang dengan seorang
lelaki gagah berkulit putih bersih. Lelaki setengah baya itu
memakai kemeja biasa. Tangannya biasa, tidak terlihat begitu
kekar. Ia lebih mirip direktur sebuah perusahaan daripada
anggota Mabahits Amn Daulah.
"Bagaimana kejadiannya..?" tanya lelaki itu.

Furqan lalu menjelaskan dengan detil segala hal yang
diala -minya di hotel. Lelaki itu mendengarkan dengan sek -
sama sambil memandangi wajah Furqan lekat-lekat. Begitu
Furqan selesai bercerita, lelaki itu bertanya,
"Jadi penjahat itu menamakan dirinya Miss Italiana..?"
"Ya," jawab Furqan.
"Baiklah, seperti janjiku dulu. Aku akan membantumu
agar kau nyaman belajar di Mesir ini. Tapi terus terang, ini
kasus yang cukup rumit. Perlu kerja keras. Terus terang, aku
juga akan minta bantuan beberapa anak buahku. Dan terus
terang, mereka perlu uang lelah."
Furqan langsung paham apa yang dimaksudkan lelaki
yang menduduki jabatan menentukan dan sangat disegani
kawan-kawan dan anak buahnya itu.
"Baiklah, kolonel, saya akan kasih seribu pound jika
berhasil menangani kasus ini."
"Itu untuk anak buahku. Lha yang untuk aku..?"
"Itu sudah termasuk untuk kolonel."
"Wah kayaknya tidak bisa. Aku tak sanggup, kalau cuma
segitu. Jika kami berhasil mengatasi ingatlah nominal 200.000
USD yang seharusnya kau keluarkan."
Furqan diam sesaat. Ia menghitung segala yang ia miliki.
Ia tidak ingin minta uang ke Tanah Air. Uang di rekeningnya
masih seribu dollar, dan itu ia cadangkan untuk beli tiket pulang
setelah sidang tesis magisternya. Kalau seribu dollar ia
lepas berarti untuk pulang ia harus minta kiriman. Tiba-tiba ia
teringat mobilnya. Mobil Fiat putihnya yang kondisinya masih
sangat bagus.

"Baiklah kolonel, bagaimana kalau mobil Fiat saya..?"
"Kau mau memberiku hadiah mobil?"
"Ya, jika kolonel berhasil. Mobil Fiat saya di depan itu
akan menjadi milik kolonel."
"Boleh saya lihat mobilnya, saya tidak mau mobil
rongsokan."
"Mari kita lihat kolonel."
Keduanya lalu keluar melihat mobil Fiat putih. Sang
kolonel melihat dengan teliti. Bahkan mencoba menyalakan
mesin segala. Ia mengangguk-anggukkan kepala dan mengajak
Furqan kembali masuk ke ruangannya.
"Baik, saya setuju. Saya akan bekerja keras menuntaskan
kasus ini. Kau tenang-tenang sajalah belajar."
"Kapan laporannya bisa saya terima."
"Paling lama satu minggu."
"Baiklah. Saya percaya pada kolonel. Saya pulang dulu.
Mobil saya bawa dulu. Minggu depan mobil itu akan jadi milik
Kolonel Fuad, jika saya telah melihat penjahat itu tertangkap
dan meringkuk dalam penjara."
"Insya Allah."
***
"Bagaimana keadaan kakakmu Dik..?" Tanya Tiara pada
Cut Mala. Saat itu hanya mereka berdua yang ada di dalam
rumah. Yang lain sedang kuliah. Mereka berdua duduk di sofa
sambil makan kwaci. Di Mesir makan kwaci adalah salah satu
budaya yang sangat merakyat.
"Sudah baik. Sudah dibawa pulang. Dia masih perlu
istirahat beberapa hari," jawab Cut Mala.

"Jadi tentang yang aku sampaikan di Hadiqah itu belum
kamu sampaikan kepadanya..?"
"Sudah saya sampaikan lewat telpon. Sebelum Kak Fadhil
sakit. Kak Fadhil minta agar aku menjelaskannya panjang
lebar secara langsung, tidak lewat telpon. Kami sudah janjian
mau bertemu di Masjid Nuri Khithab. Namun manusia hanya
bisa berencana sedangkan yang menentukan adalah Tuhan.
Belum sempat bertemu Kak Fadhil sudah sakit duluan. Jadinya
saya belum menjelaskan dengan detil. Dan otomatis Kak
Fadhil belum memberikan saran atau masukan."
"Kau tahu kira-kira kenapa kakakmu minta penjelasan
panjang lebar..?" Tiara penasaran. Ada secercah cahaya harapan
di hatinya. Ia berharap bahwa Fadhil memang menaruh
perhatian padanya, bahkan menaruh hati padanya.
"Saya tidak tahu persis, Kak. Tapi memang kakak saya
sering begitu. Seringkali jika saya minta saran, minta ketemu
langsung untuk menjelaskan dengan detil panjang lebar."
"Kalau kau menemuinya hari ini dan menjelaskan panjang
lebar tentang yang aku hadapi bisa tidak Dik..? Nanti malam
ayahku mau menelpon lagi. Kemarin beliau menelpon dan aku
janjikan nanti malam. Sampai sekarang aku belum punya
pegangan untuk mengambil sikap. Tolonglah Dik."
"Tapi kakak masih belum sehat benar Kak. Apa tidak bisa
menunggu dua atau tiga hari lagi..?"
Tiara menghela nafas. Ia memejamkan kedua mata.
Haruskah ia menjelaskan lebih dalam tentang perasaannya
yang selama ini ia simpan di dalam dada kepada Cut Mala?
Tak terasa matanya basah. Airmatanya tanpa bisa ia bendung
keluar perlahan membasahi pipi. Cut Mala menangkap dengan
jelas yang terjadi pada kakak kelasnya itu.

"Kak Tiara menangis..? Maafkan saya Kak, jika katakata
saya tidak berkenan." Lirih Cut Mala.
"Tidak apa-apa Dik. Kakak hanya merasa berat meresapi
masalah ini. Kakak ingin segera jelas. Kakak ingin segera konsentrasi
ujian. Hari-hari ini kakak sulit tidur. Tapi kau memang
benar. Dua hari lagi tidak lama. Atau kakak akan ambil
keputusan tanpa perlu saran dan penjelasan dari kakakmu.
Suatu saat nanti kamu akan tahu kenapa kakak menangis."
Jawab Tiara sambil tetap memejamkan mata.
Cut Mala diam . Dari kalimat yang disamp aikan Tiara, ia
bisa menangkap bahwa kakak kelasnya itu memendam sesuatu.
Ia hanya bisa meraba bahwa Tiara susah untuk mengambil
keputusan karena kelihatannya Tiara mengharapkan kakaknya,
Fadhil. Namun Cut Mala tidak mau terlalu jauh menduga
dan berprasangka. Bukankah sebagian pra-sangka adalah
dosa? Untuk menenangkan hati Tiara, ia berkata,
"Sore nanti saya akan menjenguk Kak Fadhil di rumahnya.
Saya akan melihat keadaannya, jika mau mungkinkan
saya akan jelaskan semuanya padanya."
Mendengar kalimat itu Tiara langsung membuka mata.
Ada binar bahagia di wajahnya.
"Benarkah Dik? Tolong ya Dik, jelaskan pada kakakmu,
usahakan!" tukas Tiara penuh harap.
"Insya Allah Kak. Sekali lagi jika keadaan memungkinkan."
"Semoga memungkinkan."
Melihat reaksi Tiara, Cut Mala memiliki sedikit petunjuk
bahwa kakak kelasnya itu menaruh hati pada kakak kandungnya.
Ia akan berusaha menjelaskan masalah kakak kelasnya itu
pada kakak kandungnya. Namun ia tidak akan menceritakan
segala petunjuk yang ia dapat bahwa Tiara diam-diam

menaruh hati pada kakaknya. Ia ingin semuanya berjalan
alamiah. Ia akan menceritakan apa adanya persis seperti yang
diceritakan Tiara padanya di Hadiqah Dauliyah.
***
Dari Pasar Sayyeda Zaenab Azzam naik bus 65. Ia memilih
duduk di bangku paling belakang. Karena barang bawaannya
agak banyak. Begitu bus merangkak berjalan, Azzam
mulai memejamkan mata. Rasa kantuknya tak bisa ia tahan.
Sepanjang perjalanan ia tidur. Pulas. Bahkan ketika bus yang
ditumpanginya telah memasuki kawasan Nasr City ia tak juga
bangun.
Bis 65 itu melintas di depan Masjid Ar Rahmah. Di sebuah
halte tak jauh dari situ bus berhenti menurunkan dan menaikkan
penumpang. Seorang penumpang turun, dan seorang
gadis berjilbab putih naik. Gadis itu membayar ongkos. Lima
puluh piaster. Gadis itu mencaricari tempat duduk. Semua
telah terisi. Kecuali satu kursi di bagian belakang. Tepat di
samping Azzam yang sedang pulas tidur. Gadis itu ragu untuk
duduk. Sang kondektur mempersilakan untuk duduk. Akhirnya
gadis itu duduk.
Azzam yang sedang tidur sama sekali tidak sadar, ada
seorang gadis yang duduk di sampingnya. Ia sangat pulas.
Wajah lelahnya tergurat jelas. Gadis itu memperhatikan wajah
Azzam.
"Benar kata kakak, dia seorang pekerja keras. Wajahnya
ada-lah wajah lelah pekerja keras," kata gadis itu dalam hati.
Gadis itu tak lain adalah Cut Mala, yang hendak menjenguk
Fadhil kakaknya.
Sampai di ENPI, kondektur bus berteriak keras,
"Enpi! Enpi Enpi!"

Azzam terbangun. Ia mengucek-ucek kedua matanya.
Cepat-cepat ia melihat ke jendela. Ia ingin tahu sampai di
mana dirinya sebenarnya. Begitu melihat gedung Enpi ia lega.
Ia tidak kebablasan. Ia berusaha keras menahan kantuknya. Ia
tidak mau ketiduran dan kebablasan sampai akhir terminal. Ia
harus turun di halte Mutsallats. Ia menggerak-gerakkan kepalanya
yang pegal. Ia melihat ke depan dan ke sampingnya. Ia
baru sadar ada seorang gadis duduk tepat di sampingnya. Ia
terperanjat.
"Mala ya..?" lirihnya.
Gadis itu memandang ke arahnya dengan tersenyum.
Kedua tangannya menelungkup di dada. Isyarat mengulurkan
salam.
"Iya Kang Azzam. Dari belanja ya Kang..?"
"Iya seperti biasa. Belanja kacang kedelai di Sayyeda Zaenab.
Mala mau ke mana..? Ke Mutsallats ya..?"
"Iya Kang. Mau nengok Kak Fadhil."
"Oh iya. Insya Allah kondisi Fadhil sudah baik kok.
Jangan cemas."
"Ya semoga segara pulih seperti sedia kala. Sebentar lagi
kan mau ujian. Saya kuatir kalau mengganggu ujiannya."
"Jangan kuatir. Kakakmu itu termasuk orang cerdas yang
bisa meresapi soal ujian dengan baik. Dia selalu naik tingkat
dengan predikat jayyid tiap tahun. Semoga sakitnya kali ini
menjadi penebus dosanya sehingga ia bisa lulus ujian akhir
dengan nilai terbaik."
"Amin."
Keduanya lalu diam. Azzam tidak menemukan tema
untuk dibicarakan. Demikian juga Cut Mala. Di samping itu
rasa segan menghalangi mereka berdua untuk terus berbicara.

Cut Mala sangat segan pada Azzam yang sangat dihormati
oleh kakaknya. Cut Mala juga tahu jika selama ini kakaknya
sering mendapat banyak bantuan dari orang yang duduk di
sam-pingnya. Azzam segan pada Cut Mala, karena prestasi
dan pesonanya. Ia sudah sering mendengar prestasi-prestasinya.
Tahun pertama di Al Azhar gadis itu langsung lulus naik
tingkat dua dengan predikat jayyid jiddan. Dan mendapat
penghargaan dari Bapak Atase Pendidikan. Suaranya yang
halus sedikit menggetarkan syaraf-syarafnya.
Ia jadi teringat Hafez. Ia bisa membayangkan jika Hafez
yang duduk di tempatnya saat itu, seperti apa rasa gembiranya.
Segera ia mencegah hatinya untuk merasakan simpati
berlebihan pada gadis Aceh itu. Ia teringat tiga adik perem-
puannya di Indonesia. Husna, Lia dan Sarah. Ia harus menghormati
Cut Mala. Ia ingin orang lain menghormati tiga
adiknya.
Bus terus melaju. Sampai di Mutsallats. Bus berhenti. Cut
Mala turun. Azzam menurunkan barang-barangnya. Cut Mala
menunggu Azzam. Azzam meminta kepada Cut Mala agar
duluan. Cut Mala langsung melangkah meninggalkan Azzam.
Azzam istirahat sesaat. Ia melihat ke arah penjual buah. Ia
ingin beli jeruk Abu Surrah. Ia memanggul kacang kedelainya.
Tangan kanannya menenteng plastik hitam berisi bumbu. Ia
berhenti di tukang buah dan membeli jeruk satu kilo. Lalu ia
berjalan pelan-pelan ke arah rumahnya. Cut Mala sudah tidak
kelihatan. Mungkin ia telah masuk flat-dan bertemu dengan
kakaknya.
Di pintu gerbang, Nanang telah menunggunya.
"Kedelainya biar saya angkat Kang." Nanang menawarkan
diri. Azzam yang sangat lelah menurunkan karungnya
yang berisi kedelai. Nanang langsung memanggulnya. Mereka
berdua menaiki tangga.

"Ada siapa saja di rumah Nang..?" tanya Azzam.
"Semua ada Kang," jawab Nanang sambil tetap menaiki
tangga satu per satu.
"Hafez juga ada..?"
"Ya ada. Dia pulang jam satu siang tadi. Dia sempat
marah-marah karena tidak diberitahu kalau Fadhi masuk rumah
sakit."
"Si Mala, adiknya Fadhil sudah masuk..?"
"Sudah Kang. Dia yang tadi memberitahu kalau Sampeyan
sedang berjalan. Katanya tadi satu bus Kang."
"Iya."
Azzam membayangkan bahwa telah terjadi pertemuan
antara Hafez dan Cut Mala. Ia bisa membayangkan seperti apa
kira-kira perasaan Hafez. Ia pasti sedang panas dingin. Hanya
ia yang tahu. Tentang Cut Mala, ia yakin gadis itu biasa-biasa
saja. Sebab kepentingan gadis itu sangat jelas, yaitu menjenguk
kakaknya.
Saat Azzam masuk flat, yang ada di ruang tamu hanya
Fadhil dan Cut Mala. Keduanya sedang berbincang-bincang.
Ia mendengar suara minuman diaduk. Ia masuk dapur. Hafez
sedang membuat teh.
"Jangan sampai kurang manis. Dan jangan sampai terlalu
manis lho Fez," ujar Azzam sambil meletakkan barang yang
dibawanya. Nanang meletakkan karung di tempat biasanya,
pojok dapur.
"E e iya Kang," jawab Hafez gugup. Wajahnya memerah.
"Jangan lupa itu ada buah. Setelah mengantar minuman.
Antar juga buahnya ya. Setelah itu kembali ke kamar. Jangan
menganggu kenyamanan pembicaraan kakak beradik itu ya."

Kata Azzam santai sambil berlalu merunggalkan Hafez yang
bersiap dengan dua gelas di atas nampan. Azzam masuk ke
kamarnya. Nanang melakukan hal yang sama. Sementara Hafez
membawa nampan ke ruang tamu dengan tangan bergetar.
"Wah jadi merepotkan Kak Hafez," kata Cut Mala kala
melihat Hafez datang membawa minuman.
"Ah tidak kok, sudah ada," jawab Hafez dengan nada
sebiasa mungkin. Ia tidak ingin tubuhnya yang gemetar dan
panas dingin diketahui oleh Fadhil maupun Cut Mala
"Mari silakan diminum," Hafez mempersilakan.
"Terima kasih Kak," sahut Cut Mala sambil menatap
wajah Hafez. Pada saat yang sama Hafez juga sedang memandang
ke arah Cut Mala. Cut Mala tersenyum lalu memandang
kakak-nya.
"Kak Fadhil, Kak Hafez kan orang Palembang ya. Berarti
dia bisa bikin empek-empek ya..?"
Fadhil menjawab dengan tersenyum, "Ya iyalah. Dia
jagonya kalau bikin empek -empek. Kalau mau dia bisa bisnis
empek-empek di Cairo ini, tapi dia tidak mau. Katanya takut
kuliahnya terganggu."
Hafez yang mendengar dirinya dipuji Fadhil di hadapan
Cut Mala merasa sangat berbahagia. Kedua kakinya seperti
tidak menginjak bumi. Ia seperti melayang. Ia segera menguasai
diri.
"Sebentar ya," kata nya sambil melangkah ke dapur. Ia
mengambil buah yang masih ada di dalam kantong plastik,
meletakkannya di atas piring dan membawa ke ruang tamu.
"Iya keluarkan semuanya Fez. Nanti kalau tidak habis
biar dibawa pulang Mala," ujar Fadhil santai.

"Iya nggak apa-apa. Siapkan sekalian kantong plastiknya
biar nanti saya bawa pulang," tukas Cut Mala santai.
Hafez kembali mencuri pandang ke wajah Cut Mala. Ia
seperti tersengat listrik. Ada perasaan sangat indah yang sangat
susah dilukiskan. Kakinya seperti mau lumpuh. Keringat
dinginnya keluar. Wajahnya memerah. Cepat-cepat ia membalikkan
badan.
"Mau ke mana Fez..? Masih ada lagi..?" celetuk Fadhil.
Hafez sudah menguasai keadaan, ia langsung membalikkan
badan dan menjawab dengan guyonan,
"Masih. Di dapur masih ada banyak buah. Mala mau
bawa..?"
"Boleh. Masih ada apa aja..?"
Spontan Hafez menjawab,
"Kubis, lombok, kentang, terong, wortel dan buncis.
Mau..?"
"Ah Kak Hafez punya rasa humor juga ya. Kalau itu sih di
kulkas kami sudah penuh. Berlebih malah. Terima kasih deh,"
tukas Cut Mala santai.
Hafez tersenyum. Ia punya kesempatan memandang Cut
Mala lagi. Hatinya benar-benar bergetar. Tubuhnya panas
dingin.
"Sama-sama," jawabnya seraya melangkah, langsung menuju
kamar Azzam. Itu adalah pertemuan yang sangat mengesan
dan menggetarkan jiwanya.

AIRMATA CINTA
Fadhil mengambil gelas berisi teh Arousa lalu menyeruputnya
perlahan. Cut Mala melakukan hal yang sama.
"Insya Allah, kakak sudah baik. Tak ada yang perlu dikuatirkan.
Kakak akan segera konsentrasi untuk ujian. Kakak
ingin lulus S.1 kalau bisa dengan predikat jayyid jiddan atau
mumfaz," kata Fadhil pada adiknya. Tangan kanannya masih
memegang gelas berisi teh. Ia kembali menyeruput isi gelas
itu perlahan.
"Syukur alhamdulillah. Untuk ujian Al-Qurannya kakak
sudah siap..?" tanya Cut Mala.

"Siap insya Allah. Sejak awal tahun pelajaran kakak sudah
siap."
"Selesai S.1 rencana kakak bagaimana..? Mau pulang ke
Indonesia atau bagaimana..?"
Fadhil mengambil nafas panjang.
"Abah dulu berpesan agar kakak dan kamu menuntut ilmu
setinggi mungkin. Ilmulah yang membuat derajat seseorang
dan derajat suatu bangsa terangkat. Sebenarnya kakak
ingin lanjut S.2 ke Sudan, atau ke Malaysia. Tapi biayanya,
kau tahu sendiri, tidak ada. Mungkin kakak akan bertarung
mati-matian untuk melanjutkan S.2 di Al Azhar, sembari
menunggu kamu selesai kuliah. Kalau menurutmu sebaiknya
bagaimana Dik..?"
"Menurutku apa yang menurut kakak baik adalah baik.
Kalau ada biaya memang S.2 di Sudan lebih cepat. Dan kakak
bisa lebih cepat mengabdi dan mengamalkan ilmu di Tanah
Air. Tapi menyelesaikan S.2 di Al Azhar jika bisa jauh lebih
baik. Meskipun sedikit lebih lama. Walau bagaimanapun Al
Azhar adalah universitas tertua di dunia. Wibawa dan kualitasnya
sangat diakui di dunia."
"Kau sendiri persiapanmu bagaimana Dik..?"
"Doakan prestasi Mala tidak menurun Kak. O ya Kak,
biaya rumah sakit kemarin bagaimana. Kakak dapat uang dari
mana..?"
"Alhamdulillah. Semua telah dibayarkan oleh Kang
Azzam. Meskipun Kang Azzam tidak minta dikembalikan,
suatu saat nanti jika ada rezeki pasti akan kakak kembalikan.
Kang Azzam terlalu baik bagi anggota rumah ini. Terkadang
aku iri padanya. Iri akan kebaikan dan sifat pemurahnya."
"O jadi Kang Azzam yang menutup semuanya."

"Iya. Kemarin dia baru bekerja keras dapat order bikin
bakso. Mungkin uang hasil dia bikin bakso itu yang digunakan
untuk menutup biaya rumah sakit kakak."
"Dia tingkat berapa Kak..?"
"Sudah tingkat empat. Tapi kelihatannya sengaja tidak ia
luluskan."
"Kenapa..?"
"Ia masih ingin bertahan di Mesir, demi adik-adiknya."
"Saya tidak paham maksud kakak."
"Kang Azzam itu sama seperti kita, seorang anak yatim.
Dia anak sulung. Adik perempuannya ada tiga. Dialah yang
selama ini bekerja keras menghidupi adik-adiknya. Terutama
membiayai sekolah adik-adiknya. Ya dengan membuat tempe
dan bakso. Ia ingin adiknya semua sekolah, maka ia korbankan
dirinya. Sebenarnya Kang Azzam itu sangat cerdas. Tak kalah
dengan dirimu. Dulu, tahun pertama di Al Azhar ia jayyid
jiddan. Ia juga dapat beasiswa dari Majlis A'la. Namun tahun
kedua ayah beliau meninggal. Sementara ibunya sering sakit
sakitan. Ia akhirnya mengalihkan konsentrasinya. Dari belajar
ke bekerja. Ia di Cairo ini untuk bekerja sambil belajar. Sejak
itu prestasinya menurun. Beberapa kali tidak naik tingkat. Ia
sudah sembilan tahun di Mesir tapi masih juga belum lulus
S.1. Tapi kakak sendiri tidak merasa lebih baik dari dia.
"Dalam hal prestasi akademik mungkin orang mengatakan
Kang Azzam gagal, atau tidak bisa dikatakan bisa dibanggakan.
Namun kakak bisa melihat sendiri, dalam hal meresapi
kehidupan real dia sangat bisa dibanggakan. Kakak sangat
salut padanya. Kakak pernah hendak mengikuti jejaknya, bekerja.
Tapi dia memberi nasihat untuk konsentrasi belajar saja.
Dia bilang, 'Adik kamu kan cuma satu. Dan masih bisa ditanggung
oleh ibumu. Lebih baik kamu menunaikan amanah

abahmu agar kamu belajar dan menuntut ilmu dengan serius.
Setiap orang memiliki kondisi yang berbeda-beda.' Nasihat
Kang Azzam itu sangat berarti bagi kakak. "
"Umurnya sudah berapa kak..?"
"Kira-kira 28 tahun."
Cut Mala lalu diam. Ia tidak menyangka orang yang tadi
du-duk di sampingnya dengan wajah begitu lelah adalah
seorang petarung yang mati-matian menghidupi keluarganya
jauh di Indonesia sana. Tak banyak orang tahu bahwa di Cairo
ada seorang mahasiswa seperti Azzam.
"Kenapa dia tidak segera menyelesaikan S.1 -nya dan
segera pulang ke Indonesia?" tanya Cut Mala.
"Kang Azzam menurutku memiliki strategi hidup yang
jenius. Jika pulang ke Indonesia, belum tentu bisa dapat masukan
sebesar ketika dia bekerja keras di Cairo. Dia mentargetkan
begitu ada salah satu adiknya selesai S.1, ia akan segera
menyelesaikan studinya dan pulang. Bebannya lebih ringan.
Dan dengan tetap di Cairo, dia masih bisa menimba ilmu.
Setiap pagi bakda Subuh Kang Azzam selalu ikut belajar
qira'ah riwayat Hafs dan Warasy pada Syaikh Abdul Adhim di
masjid. Dengan tetap di Cairo, ia bisa lebih baik dalam memotivasi
adikadiknya berprestasi. Saya pernah mendengar dari
Kang .Azzam, adiknya yang kuliah di UNS terpilih sebagai
mahasiswi teladan tingkat nasional. Lebih dari itu Kang
Azzam kelihatannya memang cinta sekali pada Mesir."
Cut Mala mengangguk-angguk mendengar penjelasan
kakak-nya.
"Jangan pernah kau ceritakan hal ini kepada siapapun ya
Dik. Kalau Kang Azzam tahu aku menceritakan dirinya padamu,
dia pasti akan sangat marah. Ia tidak ingin jati dirinya
dikenal. Ia ingin dirinya hanya dikenal sebagai mahasiswa

kawakan yang tidak lulus, dan dikenal sebagai pembuat tempe
dan bakso. Itu saja. Ini amanah lho Dik!"
Cut Mala kembali mengangguk. Mendengar kata kata
amanah ia jadi teringat sesuatu
"Oh ya Kak, nyaris lupa, aku dapat amanah dari Kak
Tiara untuk Kakak."
"Amanah apa Dik..?"
"Begini Kak, beberapa hari yang lalu aku diajak Kak
Tiara ke Hadiqah Dauliyah. Dia menceritakan masalah yang
saat ini dihadapinya kepadaku. Kak Tiara cerita, ia sedang
menghadapi masalah serius. Aku diminta untuk tidak membuka
hal ini kepada siapapun juga. Kak Tiara mendapat telpon
dari ayah-nya di Aceh yang memberitahu bahwa Kak Tiara
dilamar oleh seorang Ustadz. Namanya Ustadz Zulkifli. Dia
adalah salah seorang ustadz di pesantren Kak Tiara dulu.
Namun tidak pernah mengajar Kak Tiara. Karena ketika
ustadz itu masuk pesantren, Kak Tiara sudah kelas dua aliyah.
Sedangkan Ustadz itu mengajar di kelas satu. Jadi Kak Tiara
tidak tahu persis bagaimana sebenarnya ustadz itu. Ayah Kak
Tiara memberitahu, Ustadz Zulkifli itu pernah satu pesantren
dengan Kak Fadhil. Kak Tiara minta masukan dan saran.
Keputusan apa yang sebaiknya diambil Kak Tiara? Diterima
atau tidak lamaran itu..? Kak Tiara minta saran kepada Kak
Fadhil keputusan apa yang harus ia ambil. Itulah amanahnya
Kak. Bagaimana Kak..?"
Fadhil mendengarkan penjelasan adiknya yang panjang
lebar itu dengan nafas tertahan. Dadanya sebenamya terasa
sesak mendengar Tiara dilamar oleh Zulkifli. Ia kenal benar
dengan nama itu. Zulkifli adalah teman akrabnya di pesantren
dulu. Teman satu kamar. Ia memang sangat mengenalnya.
Orang-nya baik dan cerdas. Meskipun ada sedikit sifat som-
bongnya. Dan ia pernah tersakiti oleh sifat sombongnya.

Namun telah ia maafkan. Tidak ada manusia yang sempuma di
atas muka bumi ini kecuali Rasulullah Saw.
Ia yakin, setelah menjadi seorang ustadz, Zulkifli pastilah
sudah jauh lebih arif. Yang membuat dadanya sesak sebenarnya,
karena ia sejatinya menyimpan harapan hendak melamar
Tiara selepas ujian selesai. Ternyata telah didahului oleh
orang lain. Dan orang lain itu adalah temannya sendiri saat di
pesantren dulu, yaitu Zulkifli. Ada rasa nyeri menusuk-nusuk
ulu hatinya. Sakit dan pedih rasanya. Memendam rasa cinta
memang menyakitkan. Lebih menyakitkan lagi jika cinta itu
tidak kesampaian. Begitulah para pujangga berkata. Dan
begitulah keadaan Fadhil sepertinya. Tapi ah, benarkah begitu..?
Bisa jadi belum tentu..?
Fadhil terdiam sesaat lamanya. Cut Mala memperhatikan
kakaknya dengan seksama.
"Bagaimana Kak..? Apa saran kakak untuk Kak Tiara..?"
Cut Mala tidak sabar.
Fadhil tersadar. Ia harus berani menghadapi realita. Realitanya
gadis yang diam-diam telah ia rancang hendak ia lamar
selesai ujian padahal ujian tinggal satu bulan lagi telah
dilamar orang. Ia merasa sangat jahat jika meminta kepada
Tiara menolak lamaran itu, agar ia bisa melamarnya setelah
ujian. Ia merasa jika melakukan hal itu, ia seperti menikam
temannya sendiri. Ia merasa kebesaran jiwa dan kesabarannya
benar-benar sedang diuji. Ia harus bisa memberikan jawaban
sebagai seorang Muslim sejati.
Ya, seorang Muslim sejati. Yaitu Muslim yang gentle,
yang berani melepaskan Muslimah yang dicintainya kepada
saudara Muslim lainnya yang lebih siap darinya dalam urusan
menikah.
"Katakan pada Tiara, Ustadz Zulkifli itu teman baik
kakak selama di pesantren dulu. Ia orang yang baik. Susah

dicari ala-san untuk menolak lamaran orang sebaik Ustadz
Zulkifli. Itu pendapat kakak. Namun semuanya tentu kembali
kepada Tiara. Sebaiknya dia shalat Istikharah dulu. Walau
bagai-manapun dialah yang nanti akan menjalani apa yang
diputus-kannya." Jawaban Fadhil jelas, tegas dan tanpa ragu.
Meski jauh di lubuk hatinya, ada jenis getar-getar suara aneh
yang susah diartikan maknanya. Orang yang pemah jatuh
cinta, pastilah bisa mendengar getar-getar suara itu.
Cut Mala menangkap ketegasan dari ucapan kakaknya
itu. Ia tidak menangkap sedikit pun keraguan dari kata -katanya.
Ia sedikit kecewa kakaknya mengata kan hal itu. Ia sesungguhnya
berharap kakaknya menunjukkan satu isyarat
bahwa Tiara ada di hatinya. Namun dari sikap dan kata -kata
kakak-nya itu ia tidak menemukan isyarat yang ia cari itu
sama sekali. Ia menyimpulkan bahwa Tiara sama sekali tidak
terpikir oleh kakaknya. Meskipun kecewa diam-diam ia bangga
dan salut pada kakaknya. Kakaknya adalah pemuda yang
tegas, yang selalu mengutamakan ilmu dan belajar di atas
segalanya. Cut Mala benar-benar tak bisa menangkap getargetar
suara aneh yang ada di relung hati terdalam kakaknya.
Tidak pernahkah Cut Mala terselubungi selimut cinta yang
merindu dendam dalam dada seperti kakaknya..? Sehingga ia
tak bisa menangkap getar-getar suara aneh yang ada di relung
hati terdalam kakaknya itu? Ah, entahlah!
Setelah mendengar jawaban kakaknyar Cut Mala minta
diri. Hari sudah mulai sore. Ia harus segera pulang ke Masakin
Utsman untuk menyampaikan jawaban dan saran kakaknya
kepada Tiara agar bisa segera mengambil keputusan.
***
Tepat pukul lima lebih lima sore, Cut Mala sampai di
flatnya. Cut Mala langsung masuk ke kamarnya diikuti Tiara.
Tiara sepeffi tidak sabar mendengar berita yang dibawa Cut

Mala. Setelah menutup pintu Tiara langsung mencercar Cut
Mala dengan sebuah pertanyaan,
"Bagaimana Dik, sudah kausampaikan pada Kak Fadhil..?"
Cut Mala mengangguk dan berkata lirih, "Sudah."
"Apa sarannya..?"
"Intinya Kak Tiara diminta Istikharah dan memutuskan
sendiri."
"Tentang Ustadz Zulkifli bagaimana..?"
"Kata Kak Fadhil, dia orangnya baik." Agaknya Tiara
belum juga puas dengan jawaban singkat Cut Mala. Tiara
mengajak Cut Mala duduk lalu berkata,
"Tolong Dik, ceritakan dengan detil apa yang disampaikan
Kak Fadhil padamu. Tolong kau ulangi kata -katanya.
Jangan kau kurangi dan kautambahi kalau bisa."
"Apa tadi kurang jelas Kak..?"
"Jelas Dik, tapi aku perlu yang lebih jelas." Kata Tiara
dengan nada sedih.
Cut Mala menatap dalam-dalam wajah kakak kelasnya. Ia
merasa ada sesuatu yang dipendam oleh kakak kelasnya itu.
Sambil memandang wajah Tiara, ia berkata,
"Baiklah Kak. Saya akan berusaha tidak mengurangi dan
menambahi apa yang disampaikan Kak Fadhil. Setelah aku
sampaikan semua amanah kakak, panjang lebar. Kak Fadhil
terdiam sesaat, lalu tanpa keraguan ia berkata begini, 'Katakan
pada Tiara, Zulkifli itu teman baik kakak selama di pesantren
dulu. Ia orang yang baik. Susah dicari alasan untuk menolak
lamaran orang sebaik Ustadz Zulkifli. Itu pendapat kakak.
Namun semuanya tentu kembali kepada Tiara. Sebaiknya dia

shalat Istikharah dulu. Walau bagaimanapun dialah yang nanti
akan menjalani apa yang diputuskannya.' Begitulah kata Kak
Fadhil. Masih ada yang kurang jelas..?"
"Jadi dia mengatakan: Susah dicari alasan untuk menolak
lamaran orang sebaik Ustadz Zulkifli..?"
Cut Mala mengangguk.
"Itu berarti dia menyarankan saya untuk menerima
lamaran-nya," kata Tiara parau.
"Kak Tiara jangan salah paham. Menurut pemahamanku
kok Kak Fadhil tidak menyarankan apa-apa berkaitan menolak
atau menerima. Kak Fadhil berusaha objektif menilai Ustadz
Zulkifli. Bahkan Kak Fadhil tetap meminta Kak Tiara untuk
shalat Istikharah," tanggap Cut Mala.
"Dengan mengatakan, susah dicari alasan untuk menolak
lamaran orang sebaik Ustadz Zulkifli, itu sama saja memberi
saran jangan menolak lamaran Ustadz Zulkifli," tukas Tiara
pelan dengan mata berkaca-kaca.
"Sepertinya Kak Tiara kecewa ya mendengar apa yang
dikata-kan Kak Fadhil..?" raba Cut Mala.
Tiara diam. Matanya yang berkaca -kaca terpejam dalam.
Dari sikap Tiara itu, Cut Mala bisa menyimpulkan apa yang
dirasa kakak kelasnya itu.
"Kenapa Kak Tiara tidak terus terang kepada Mala...?"
kata Cut Mala sedikit keras.
"Terus terang apa Dik..?" tukas Tiara parau.
"Berterus terang kalau Kak Tiara mencintai Kak Fadhil,"
tegas Cut Mala.
Tiara kaget mendengar kata-kata Cut Mala.

"Bagaimana kau bisa berkata begitu Dik..?" tanya Tiara
dengan nada mengingkari apa yang ia dengar.
"Karena kedua mata Kak Tiara yang berkaca -kaca dan
peng-ingkaran Kak Tiara atas apa yang dikatakan Kak Fadhil.
Kak, jujurlah Kak! Kak Tiara mengharap Kak Fadhil kan..?
Jujurlah Kak..?"
Tiara mengangguk kemudian menutupi mukanya dengan
kedua tangannya dan menangis lirih. Cut Mala melihat hal itu.
Ia meneteskan air mata. Ia sendiri tidak tahu kenapa hatinya
terasa perih dan sedih. Ia merasa tak bisa banyak membantu
Tiara. Kakaknya sudah mengatakan dengan tegas, jelas dan
tanpa keraguan bahwa susah dicari alasan untuk menolak
lamaran orang sebaik Ustadz Zulkifli. Ia tahu persis watak
kakaknya yang tidak mungkin mencabut apa yang dikata -
kannya. Tapi benarkah ia tahu persis watak kakaknya..? Termasuk
dalam hal cinta-mencinta..? Kita lihat saja nanti kisah
selanjutnya.
Dalam hati Cut Mala berpikir, bahwa kejadiannya akan
berbeda jika sejak awal Tiara berterus terang padanya. Ia akan
berusaha bagaimana caranya agar kakaknya bisa bertemu hati
dengan Tiara. Sebab, sejak dulu sejatinya terbersit sebuah
harap di dalam hatinya, Tiara bisa menjadi pendamping hidup
kakaknya. Tiara, meskipun tidak secantik Masyithah. Namun
memiliki akal budi yang mempesona.
Dalam haru Cut Mala masih menaruh harap mereka
berdua akhirnya bisa bertemu dalam akad penuh barakah. Ia
hanya bisa menaruh harap dan catatan takdirlah yang pada
akhirnya akan menentukan segalanya.
Selesai shalat Maghrib, Cut Mala langsung menghubungi
kakaknya lewat telpon. Panjang lebar ia menjelaskan perasaan
Tiara yang sesungguhnya, juga harapan Tiara sebenarnya.
Namun persis seperti yang ia duga, kakaknya telah kukuh

dengan pendiriannya Bahkan kakaknya mengatakan lebih tegas
lagi tepatnya lebih ditegas-tegaskan lagi, "Memang sebaiknya
Tiara menerima lamaran Zulkifli. Itu yang lebih baik secara
syariat daripada mengharap cinta seorang lelaki yang belum
jelas iya dan tidaknya!"
Cut Mala kecewa dengan jawaban kakaknya, tapi ia tidak
punya kuasa apa-apa. Ia hanya bisa menyampaikan apa yang
baru saja dikatakan kakaknya itu pada Tiara. Setelah mendengar
penuturan Cut Mala, Tiara berkata lirih dengan mata
nanar berkaca-kaca,
"Baiklah, akan aku turuti saran kakakmu itu. Semoga di
kemudian hari kakak kandungmu itu tidak menyesal memberikan
saran itu!"
Hati Cut Mala bergetar mendengarnya. Ia tidak tahu
harus berbuat apa. Ia hanya bisa menghela nafas dan memejamkan
mata. Ia merasa tak ada yang lebih misterius dalam
hidup ini melebihi cinta. Ia pernah mendengar bahwa cinta
bukanlah apa yang kita pikirkan, tetapi ia adalah suratan
takdir, suratan nasib. Benarkah demikian..?

SURAT DAR1 INDONESIA
Malam itu Hafez berpamitan pada teman-teman satu
rumahnya. Kepada teman-temannya ia mengaku memerlukan
suasana baru untuk menyongsong ujian. Ia minta ijin pindah
ke Katamea untuk selama dua bulan. Di Katamea ia akan
tinggal satu kamar dengan Salman. Tak ada yang tahu sejatinya
Hafez pindah ke Katemea karena apa kecuali Azzam.
Hafez membawa buku-buku muqarrar-nya, pakaian dan barang
barang yang ia anggap penting. Barang yang ia bawa satu
koper dan dua kardus ukuran sedang. Ditemani oleh Nanang
ia pergi dengan taksi.
Kepergian Hafez yang katanya untuk menenangkan diri
membuat Fadhil, Nasir dan Ali semakin sadar bahwa ujian tiKetika

dak lama lagi. Hanya Azzam yang tidak terpengaruh apa-apa.
Sebab bebannya tinggal satu mata kuliah saja, yaitu Tafsir
Tahlili. Kalau ia ingin lulus, ia hanya perlu sedikit serius. Na -
mun kalau masih ingin di Mesir, ya diktat dibaca tapi saat
menjawab soal ya sekenanya. Baginya jika masih ingin di
Mesir ya sebaiknya tidak lulus. Dengan begitu ia masih bisa
mendapatkan visa tinggal gratis.
Azzam sendiri meskipun statusnya masih belum lulus, ia
merasa telah lulus. Sebab, ya itu tadi bebannya tinggal satu
mata kuliah saja. Ia bahkan sudah bisa memprediksi yudisium
yang akan tertulis dalam ijazahnya. Meskipun nilainya mepet,
tapi tetap jayyid, alias baik. Dengan yudisium jayyid, jika ada
rezeki ia masih memiliki peluang untuk melanjutkan S.2 di
beberapa universitas terkemuka di dunia, seperti di IIUI
Pakistan maupun IIUM Malaysia. Jadi, meskipun orang mengenalnya
sebagai pembuat tempe, tapi ia tetap memiliki
standar minimal prestasi akademik.
Malam itu ia minta tiga anak buahnya Rio, Yayan dan
Anam yang bekerja membuat tempe. Ia merasa harus istirahat.
Ia tak mau jatuh sakit. Jam setengah sembilan setelah minum
madu hangat dicampur air habbah sauda, Azzam masuk kamar
untuk tidur. Ia mengatur jam bekernya dan menyalakan
murattal Syaikh Sa'ad Al Ghamidi pelan. Ia rebahan di atas
kasur dengan nyaman. Matanya belum terpejam. Ia memandang
langit-langit kamarnya yang putih polos. Di langitlangititu
ia seolah melihat wajah ibunya dan ketiga adiknya,
Husna, Lia, dan Sarah. "Sudah sembilan tahun aku berpisah
dengan mereka. Aku seharusnya segera pulang," lirihnya.
Tiba-tiba ia merasa begitu rindu pada mereka. Ia bangkit dan
mengambil buku agendanya. Di sana terselip surat terakhir
dari Husna. Surat yang ia terima tiga bulan yang lalu.
Husna juga mengirimkan foto terbaru mereka. Ia ingin
melihat foto mereka. Ia duduk di meja belajarnya dan meman-

dangi foto yang ada di tangannya dengan seksama. Husna
dengan jilbab putihnya. Lia tersenyum dengan tangan mengacungkan
bravo ke udara. Sarah yang duduk di atas pasir
dengan tertawa. Dan ibundanya yang bersahaja, kerudungnya
berkelebat ke kanan seakan hendak lepas ke udara. Di bela -
kang mereka terhampar lautan dengan ombaknya yang indah.
Di balik foto itu tertuliskan keterangan singkat:
"Rekreasi di Pantai Kartini Jepara saat mengantar Dik Sarah
ke Kudus." Kedua matanya berkaca-kaca. Ia jarang menangis.
Namun jika didera rindu pada ibunda dan adik-adiknya ia
mudah sekali menangis.
Ia pandangi wajah ibundanya yang mulai tampak guratgurat
tuanya. Bersamaan dengan airmatanya yang merembes
keluar, ia berkata lirih, "Ibu kapan kita kembali bertemu..?"
Tiba-tiba ia merasa berdosa. Sebenarnya, ia yang lebih
bisa menjawab pertanyaannya itu daripada ibunya. Ibunya
hanya bisa menunggu. Ialah yang harus memutuskan dan mengambil
tindakan nyata, kapan pulang ke Indonesia dan
bertemu ibu.
Ia bangkit dan membawa foto itu ke kasur. Ia merebahkan
badannya dan meletakkan foto itu di dadanya. Ia memejamkan
mata. Sambil terus membayangkan wajah ibu dan
adik-adiknya ia berdoa dalam hati memohon kepada Dzat
Yang Maha Kuasa, agar mempertemukan dia dengan ibu serta
adik-adiknya dalam tidurnya. Baginya, bertemu mereka dalam
mimpi mampu sedikit meredam kerinduannya yang membara.
Matanya terpejam, tapi pikirannya masih sadar. Telinganya
menangkap suara seseorang mengetuk pintunya. Ia tak
jadi tidur. Kenyamanannya buyar. Hatinya sedikit marah tidurnya
diganggu.
"Ada apa..?" ucapnya setengah berteriak.

"Maaf Kang, ini ada surat buat Sampeyan dari Indonesia."
Mendengar itu rasa marahnya hilang seketika, berganti
rasa bahagia yang luar biasa. Ia langsung bangkit dari tempat
tidurnya.
"Surat dari Indonesia..?" tanyanya seolah tak percaya.
"Iya Kang dari Indonesia."
"Dari siapa..?"
"Biasa, dari adik Sampeyan, dari Husna."
Azzam langsung melompat dan membuka pintu. Di depan
pintu kamarnya Ali berdiri dengan senyum mengembang.
"Ini Kang suratnya." Kata Ali sambil menyodorkan sepucuk
surat beramplop cokelat muda.
"Siapa yang bawa..?" tanya Azzam.
"Seperti biasa, suratnya tadi jatuh ke rumah Miftah di
Abdur Rasul.Yang membawa ke sini si Miftah sendiri. Ia langsung
pergi. Katanya sedang punya janji" jawab Ali tenang.
Azzam menerima surat itu dengan hati luar biasa bahagia.
Ia menutup pintu dan mengamati amplop surat itu
dengan seksama. Di bagian depan amplop tertulis, "Radio Jaya
Pemuda Muslim Indonesia (JPMI) Solo." Di bawahnya
tertulis nama dirinya dan alamat suratnya. Ia mengambil
gunting dan membuka surat itu. Berisi dua lembar kertas HVS
putih yang dilipat. Surat itu ditulis dengan komputer. Azzam
membaca surat itu dengan segenap perasaan rindu dan
cintanya:

Menjumpai
Kakakku Tercinta
Abdulllah Khairul Azzam
Di Bumi Para Nabi
Assalamu'alaikum wa Rahmatullah wa Barakatuh.
Dari pojok Kota Kartasura tercinta kami tiada henti
mengirimkan doa, semoga Kak Azzam senantiasa sehat,
terjaga dari segala keburukan, dan berada dalam
selimut rahmat-Nya siang malam. Amin.
Kak, alhamdulillah, kami semua di rumah baik, sehat
wal afiyat, berlimpah rahmat Allah. lbu alhamdulillah
baik dan sehat. Beliau sudah sangat rindu
pada Kakak. Husna sendiri juga sehat. Dua minggu yang
lalu Husna menerima ijazah profesi, Husna sudah bisa
praktik sebagai psikolog. Segala puji bagi Allah Swt.
Ini tak lepas dari jasa Kakak. Lia sudah menyelesaikan
D.2. PGSD-nya. Ia kini mengajar di SDIT Al
Kautsar Solo. Dan Sarah masih belajar di Pesantren
Al-Quran di Kudus. Terakhir Husna ke Kudus ia sudah
hafal Juz 27, 28, 29 dan 30.
Kak Azzam tercinta,
Selama delapan tahun ini sejak ayah berpulang ke
rahmatullah, engkau telah menunaikan kewajibanmu dengan
baik. Lihatlah kami, kini adik-adikmu sudah bisa
engkau banggakan. Kami sangat berterima kasih dan
bangga kepadamu Kak. Selama ini kami tahu engkau tidak
lagi memikirkan dirimu Kak. Studimu di Al Azhar
yang seharusnya bisa selesai dalam empat tahun, bahkan
sampai sekarang, belum juga selesai. Padahal kau
sudah sembilan tahun di Mesir. Kami tahu bahwa engkau
mengorbankan dirimu dan segala idealismemu demi untuk
membiayai hidup dan sekolah kami.
Kak Azzam tercinta,
Aku sendiri masih ingat surat kakak ketika kakak
berhasil naik tingkat tahun pertama di A1 Azhar.

(Surat itu masih kusimpan baik-baik Kak). Dalam
surat itu kakak menjelaskan kepada ayah, bahwa kakak
adalah satu-satunya mahasiswa dari Indonesia tingkat
pertama yang meraih predikat jayyid jiddan, atau Sangat
Baik. Saya masih ingat Kak, begitu membaca surat
kakak, ayah langsung sujud syukur dan menangis haru
dan bahagia. Ayah sangat bangga. Ayah langsung meminta
ibu masak enak dalam porsi besar. Malam harinya
ayah mengundang tetangga kanan kiri untuk syukuran.
Saat itu aku juga sangat bangga pada Kakak.
Kak Azzam tercinta,
Satu bulan setelah menerima surat dari kakak, ayah
dipanggil Allah. Ayah meninggal karena kecelakaan.
Tahukan engkau kakakku, ternyata di saku baju ayah
yang berlumuran darah itu ada suratmu. Sedemikian
bangganya ayah pada dirimu, bahkan suratmu itu selalu
dibawanya ketika ayah pergi kerja. Saat ayah tiada,
kami merasakan dunia terasa gelap. Namun, kau dari
negeri para nabi menguatkan kami. Kepada kami, adikadikmu
ini kau berpesan untuk terus tenang dan konsentrasi
belajar. Sejak itu kau datang tiap bulan
dengan kirimanmu yang kautransfer lewat bank ke rekening
ibu. lbu yang memang sering sakit dan tidak bisa
lagi bekerja keras sering menangis, aku yakin ibu
menangis haru bercampur bangga, setiap kali menerima
transferan uang dari kakak.
Tak lama setelah itu aku tahu dengan detil apa
yang kakak lakukan di Mesir untuk kami. Kakak bekerja
keras membuat tempe, berjualan tempe dan membuat bakso
demi kami. Kakak rela mengorbankan studi kakak
demi kami. Kami tahu itu pasti sangat berat bagi kakak.
Sebab kami tahu mental kakak sejatinya adalah
mental berkompetisi dan berprestasi. Sejak SD sampai
Madrasah Aliyah kakak selalu rangking satu. Dan karena
prestasi kakak itu, di setiap pelepasan kelulusan,
dari SD sampai Madrasah Aliyah, ayah selalu diminta
pihak sekolahan untuk maju ke panggung pelepasan,
sebagai wali murid dari siswa paling berprestasi. Tak
henti hentinya ayah membanggakan prestasi kakak itu
kepada kami, anak-anaknya. Kami pun terlecut karenanya.

Kak Azzam,
Sungguh, saat mengetahui hal itu aku menangis. Nun
jauh di sana, di negeri para nabi kakak mati-matian
jualan tempe dan bakso demi kami. Sungguh Kak, semangatku
untuk survive, untuk maju dan berprestasi semakin
terlecut, terlecut dan terlecut. Adik-adik juga
terlecut. Hari berganti hari. Matahari terus terbit
dan tenggelam. Sudah delapan tahun kakak membanting
tulang dan berkorban. Kini kakak bisa segera pulang
untuk melihat adik-adik kakak yang alhamdulillah sudah
bisa menatap masa depan dengan kepala tegak berlimpah
rahmat Tuhan seru sekalian alam.
Kak Azzam tercinta,
Kami tahu sebentar lagi kakak akan menghadapi ujian.
Sudah saatnya kakak menata masa depan kakak. Kami
berharap saat ini kakak kembali konsentrasi ke studi
kakak. Kakak harus segera selesai dan segera pulang.
Kami semua sudah rindu. Sementara jangan pikirkan
kami dulu. Insya Allah kami berkecukupan. Aku sendiri
sejak dua bulan ini sudah menjadi pengisi rubrik psikologi
remaja di Radio JPMI (Jaya Pemuda Muslim Indonesia)
Solo, juga diminta sebagai asisten dosen di
UNS. Dik Lia sudah menjadi pengajar tetap di SDIT.
Gaji kami berdua Insya Allah cukup untuk hidup layak.
Jika kakak ada rezeki dialokasikan saja untuk membeli
tiket pulang dan mungkin membeli buku-buku referensi
yang pasti akan sangat kakak perlukan jika nanti
mengamalkan ilmu di Tanah Air.
Kak Azzam tercinta,
Harapan kami kakak bahagia membaca surat ini. Lia
titip salam. Salam rindu dan kangen tiada tara katanya.
Sarah titip kecupan cinta katanya. Ibu titip setetes
air mata cinta dan bangga untukmu kakakku tercinta.
Ini dulu ya. Selamat menempuh ujian. Semoga
lulus dan segera pulang ke Tanah Air. Semoga Allah swt
melimpahkan rahmat dan taufik-Nya kepada kakak. Amin
Wassalam,
Dengan sepenuh cinta,
Adikmu,
Ayatul Husna

Azzam membaca surat dan adiknya dengan air mata
berderai-derai. Selesai membaca surat itu ia langsung tersungkur
di atas karpet. Sujud syukur kepada Allah Swt. Ia
menangis merasakan keagungan kasih sayang Allah Swt.
Kerja kerasnya membuahkan hasil. Ia sangat bahagia. Ia
merasa ini semua adalah karena kasih sayang Allah Swt.
Dalam sujudnya ia meminta kepada Allah agar diberi
tam-bahan kekuatan untuk belajar dan diberi tambahan ilmu
yang bermanfaat. Ia menguatkan azzam untuk lulus tahun itu
juga. Tinggal satu mata kuliah, Tafsir Tahlili. Dan ia akan
mempelajarinya dengan penuh konsentrasi. Selesai ujian ia
akan fokus mencari dana untuk pulang. Hatinya tiba-tiba
riang dan bahagianya membuncah-buncah. Dengan penuh
penghayatan ia berdoa, "Ya Allah kabulkan harapanku untuk
lulus dan pulang tahun ini. "
Malam itu Azzam tidur dengan penuh kedamaian. Ia
bermimpi dirinya telah berada di Indonesia makan pagi
bersama ibu dan adik-adiknya. lbunya membuat bubur dengan
sambel tumpang yang sangat sedap. Sementara Husna mem -
buat bakwan dan mendoan. Lia membuat teh tu bruk kesukaannya.
Dan Sarah bercerita tentang pengalaman indahnya
selama berada di Pesantren Al-Quran. Pagi itu ia makan bubur
buatan ibunya dengan sangat lahap. Ibunya memperhatikan
dengan kedua mata bersinar-sinar bahagia.
"Iyo Le. mangano sing akeh. Ben awakmu seger. Trus ndang
cepet kawin."62 Kata ibunya yang disambut tawa riang adikadiknya.
Azzam lalu ikut juga tertawa. Rasanya sangat bahagia.
"Kawin sama siapa tho Bu." Sahut Azzam.
"Ya sama mahasiswi Indonesia yang cantik-cantik itu tho.
Apa kau kira ibu tidak tahu. Ada Cut Mala, ada Laila, Masyithah,
ada Cut Rika, ada Hilda, ada Erna, dan ada Anna. Kau
Iya, Nak, makanlah yang banyak. Biar badanmu segar. Terus segera menikah.

tinggal pilih salah satu dari mereka." Jawab ibunya, menyebut
nama-nama mahasiswi Indonesia di Cairo yang ia ketahui. Ia
tidak mengerti dari mana ibunya tahu nama-nama itu.
"Kok ibu tahu nama mereka..?" Tanyanya heran.
"Lho kamu ini bagaimana tho, kan mereka semua kemarin
ke sini menemui ibu. Mereka menginap di pesantrennya Anna.
Dan sebentar lagi mereka mau datang ke sini..?"
"Datang ke sini..? Ke rumah kita ini..?"
"Iya. Kamu itu bagaimana tho. Katanya kamu ingin ketemu
mereka. Kamu ingin menunjukkan gadis yang kamu pilih
pada ibu dan adik-adikmu."
Azzam sama sekali tidak bisa mengerti dengan apa yang
didengarnya. Bagaimana mungkin mahasiswi mahasiswi itu
bisa datang ke rumahnya. Kapan mereka pulang dari Mesir.
Belum hilang keheranannya. Tiba-tiba ada suara memberi
salam sambil mengetuk pintu. Itu suara Cut Mala, ia hafal
betul dengan suara itu.
"Lha itu mereka datang!" Seru ibunya dengan wajah
bahagia. Ketiga adiknya juga menampakkan wajah sangat
bahagia. Ia masuk terpaku di tempatnya. Sementara ibu dan
adik-adiknya bergegas ke ruang tamu. Sayup-sayup ia mendengar
ibunya menanyakan kabar pada mereka. Tak lama kemudian,
Husna, adiknya memintanya untuk ke ruang tamu. Ia
berjalan dengan kaki gemetar.
Ia masuk ke ruang tamu dengan menundukkan kepala. Ia
lalu duduk di samping ibunya. Pelan-pelan ia mengangkat
kepala-nya. Di depannya duduk tujuh orang gadis dengan
pesona masing-masing. Ya ada Cut Mala, Erna, Masyithah,
Cut Rika, Hilda, Laila dan seseorang memakai cadar. Ia tidak
tahu siapa dia.
Ibunya berkata, "Yang pakai cadar ini namanya Anna.
Anna Althafunnisa."
"Anna Althafunnisa..?" Kagetnya.

Perempuan bercadar itu mengangguk. Ia semakin penasaran
dan bingung. Selama ini ia hanya mendengar berita
kecantikan Anna Althafunnisa, tapi tidak pernah tahu seperti
apa. Dan saat itu, ketika Anna ada di hadapannya pun masih
juga menyembunyikan wajahnya. Dan ia bingung, kenapa
Anna Althafunnisa ikut datang, bukankah ia telah dilamar
Furqan? Terus Cut Mala, kenapa juga ikut datang. Bukankah
Cut Mala seharusnya telah dikhitbah Hafez, teman satu
rumahnya.
"Apakah kau ingin aku membuka cadarku? Agar kau bisa
melihat wajahku..?" Kata Anna seolah tahu rasa penasarannya.
Dengan suara bergetar ia menjawab, "I...iya."
"Baiklah."
Perlahan Anna menyingkap cadar penutup wajahnya.
Baru seperempat yang disingkap, tiba-tiba ia merasakan
tubuhnya melayang. Wajah itu bercahaya. Anna tidak langsung
me-nyingkap semua. Anna menahan sesaat. Lalu kembali
meng-gerakkan tangannya untuk menyingkap. Tiba-tiba....
Kriing... kriing... kriiing...
Jam bekernya berbunyi keras sekali. Ia terkesiap bangun.
Ia sangat kecewa, itu semua hanya mimpi belaka. Lebih kecewa
lagi, ia belum sepenuhnya melihat wajah Anna Althafunnisa.
"Yah hanya mimpi." Lirihnya pada diri sendiri.
Ia lalu berpikir, mana mungkin ia bisa memiIih salah satu
dari tujuh mahasiswi Cairo itu. Mana mungkin mereka datang
ke rumahnya. Mana mungkin mereka mau menjadi pendamping
hidup penjual tempe seperti dirinya.
"Ah mimpi itu ada-ada saja."
Tiba-tiba ia tersenyum sendiri.
Ia bersyukur masih bisa memimpikan hal yang indah. Ia
ber-syukur doanya minta bertemu dengan ibunya dalam
mimpi benar-benar terkabul. Tiba-tiba ia berpikir: "Bisa jadi
kalau aku berdoa, meminta dijodohkan dengan salah satu dari

tujuh gadis dalam mimpiku itu juga akan terkabul. Apa
salahnya berdoa..?"
Ia tersenyum. Saatnya Tahajud dan bermunajat pada
Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang.
Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah
kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu: mudah-mudahan
Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji

BINTANG
YANG BERSINAR TERANG
Anna baru saja pulang dari Khan Khalili. Ia membeli
Papyrus, kaos, celak, siwak, gantungan kunci khas Cairo, dan
minyak wangi. Ia tidak membeli banyak oleh-oleh untuk pulang,
terutama makanan. Sebab ia masih akan mampir di Kuala
Lumpur beberapa hari. Ia bisa membeli tambahan oleh-oleh di
Kuala Lumpur nanti.
"Wah jadi pulang nih Kak." Sapa Zahraza begitu Anna
mele-takkan barang belanjaannya di atas meja ruang tamu.
"Insya Allah." Jawab Anna pelan sambil mengusap peluh
di wajahnya. Hari ini lebih panas dari biasanya. Dan Anna naik
taksi yang AC-nya sedang rusak.

"Belanja sendirian Kak..?"
"Tidaklah Zah. Tadi aku pergi bertiga. Aku ditemani Cut
Mala dan Erna. Cut Mala turun di Rab'ah sedangkan Erna itu
masih di bawah. Ada penjual buah keliling. Ia ingin beli buah."
"Cut Mala itu yang mana sih Kak. Aku sering dengar
namanya tapi kok belum pernah ketemu orangnya."
"Cut Mala, anak Aceh yang kemarin jayyid jiddan itu lho.
Anaknya cantik dan ramah. Ia sering nulis di buletin Citra.
Kalau mau kenalan nanti sore jam empat dia mau datang ke
rumah ini. Dia mau tanya tentang beberapa masalah Ushul
Fiqh."
"Wah kebetulan. Awak penasaran banget dengan yang
namanya Cut Mala Kak. Dia katanya pernah diminta membaca
Al-Quran oleh teman-teman mahasiswi di rumah Negeri
Kedah. Suaranya katanya sangat indah. Ia jadi pembicaraan.
Sayang awak tak hadir saat itu."
"Iya dia memang pernah menjuarai Musabaqah Tilawatil
Quran se-Aceh."
"Oh ya, Wan Aina mana Zah..?"
"Dia baru saja tidur. Dua puluh menit yang lalu. Baru
pulang dari rapat panitia seminar."
"Seminarnya jadi positif hari Ahad..?"
"Insya Allah positif, Profesor Razlina Afif, Guru Besar
Sejarah Islam dari Universiti Malaya bahkan sudah tiba di
Cairo. Profesor Sherly Lombard, Pakar Sejarah Asia Tenggara
dari Birmingham University juga positif bisa datang."
"Syukur alhamdulillah kalau begitu."
"Tapi ada sedikit masalah..?"
"Apa itu..?"

"Seminarnya kan memakai bahasa Inggris, jadi moderatornya
harus benar-benar yang bisa berbahasa Inggris. Renca -
na panitia yang menjadi moderator adalah Wan Faiza Wan
Nuh, yang sedang menempuh master di Cairo University . Wan
Faiza tiba-tiba mengundurkan diri karena ia harus ke Damaskus
untuk suatu urusan yang katanya sangat penting. Sampai
sekarang panitia belum menemukan moderator yang tepat."
"Lha Wan Aina kan bahasa Inggrisnya bagus."
"Dia bilang tidak berani."
"Masak tidak berani..?"
"Dia sendiri yang bilang begitu," kata Zahraza meyakinkan.
"Benar Kak Anna, saya tidak berani menghadapi audiens
yang begitu banyak," tiba-tiba Wan Aina menjawab dari pintu
kamarnya. "Tapi panitia, atas usulan saya sudah menemukan
moderator yang tepat insya Allah," lanjut Wan Aina.
"Siapa Wan..?" tanya Zahraza.
"Kak Anna Althafunnisa."
"Apa..? Aku..? Kau jangan bercanda Wan..?" Anna kaget.
"Aku tidak bercanda Kak Anna. Aku serius. Dan aku
diamanahi panitia untuk membereskan masalah ini. Dengan
sepenuh harap aku minta Kak Anna mau menjadi moderator
untuk acara seminar besok."
"Kau jangan main-main Wan, bahasa Inggrisku jelek"
"Kak Anna selalu merendah. Saya sudah lama hidup dengan
Kak Anna, sudah lama mengenal Kak Anna. Hanya
kakak yang menurut saya paling tepat untuk memoderatori
seminar besok. Kakak pernah ikut pertukaran pelajar ke Wales

selama satu tahun sebelum kuliah di Al Azhar. Bahasa kakak
halus khas Wales," kata Wan Aina meyakinkan Anna.
"Tapi rasanya susah Wan. Segala sesuatu perlu persiapan.
Aku tak ada persiapan sama sekali untuk tema seminar ini
Wan. Aku bisa seperti badut nanti."
"Jangan kuatir Kak. Dalam satu jam ke depan, saya akan
kasih Kakak print out makalah yang akan disampaikan oleh
Profesor Razlina Afif dan Profesor Sherly Lombard. Juga
makalah yang ditulis Prof. Dr.Nadia Hashem dari Cairo University
. Dengan modal tiga makalah itu paling tidak Kakak
punya persiapan yang cukup ditambah beberapa literatur yang
nanti akan saya usahakan segera ada di meja belajar Kakak.
Bagaimana Kak..?"
Anna diam tak menjawab.
"Ingat Kak, kita harus saling tolong menolong dalam
kebaik-an. Tolonglah panitia Kak!" desak Wan Aina.
Anna sama sekali tidak bisa mengelak, akhirnya ia menjawab,
"Baiklah akan aku coba semampuku."
"Terima kasih Kak."
Seperti yang dijanjikan Anna pada Zahraza, jam empat
tepat Cut Mala tiba di rumah itu. Zahraza sangat senang berkenalan
dengan gadis dari Aceh yang rendah hati itu.
"Saya pernah sekali ke Banda Aceh. Saya sempat tengok
Masjid Baiturrahman. Rumah kamu jauh tak dari Masjid Baiturrahman?"
tanya Zahraza pada Cut Mala
"Kalau rumah saya dari Masjid Baiturrahman jauh sekali.
Saya tinggal di Pidie. Kalau tempat kelahiran saya cukup dekat
dengan Masjid Baiturrahman. Masih satu kota. Saya lahir
di Ulee Kareng, Banda Aceh," jelas Cut Mala.

Zahraza yang memang suka ngobrol mengajak Cut Mala
berbicara ke mana-mana. Obrolan mereka berhenti ketika
Anna mengajak Cut Mala masuk ke kamarnya. Cut Mala
sangat hormat dan kagum pada gadis yang judul tesisnya
sudah diterima itu. Ia sendiri bercita-cita bisa mengikuti jejak
Anna Althafunnisa.
Cut Mala membawa diktat kuliahnya. Segala yang musykil
baginya ia tanyakan dengan tanpa rasa malu pada Anna.
Anna menjawab sejelas jelasnya dengan penuh kesabaran.
"KakAnna, maksud kaidah ini apa..?" tanya Cut Mala.
"Coba baca apa kaidahnya!" pinta Anna.
"Kaidahnya begini Kak: Al Itsar bil qurbi makruuhun wa fi
ghairiha mahbuubun! Di sini tidak ada penjelasan dan contohnya
sama sekali Kak. Saya belum benar-benar paham."
Anna langsung menjawab dengan tenang,
"Kaidah itu artinya, itsar, mengutamakan orang lain, dalam
hal mendekatkan diri kepada Allah, atau mengutamakan
orang lain dalam beribadah, itu hukumnya makruh. Adapun
meng-utamakan orang lain pada selain ibadah itu dianjurkan.
Dalam ibadah yang dianjurkan dan disunahkan adalah berlomba-
lomba mendapatkan yang paling afdal. Mendapatkan
pahala yang paling banyak. Maka mengutamakan orang lain
sangat tidak dianjurkan alias makruh.
"Contohnya, jika seseorang memiliki air yang hanya cukup
buat berwudhu untuk dirinya saja, maka ia tidak boleh
memberikan air itu pada orang lain, agar orang lain bisa berwudhu
sementara ia tayammum. Yang disunahkan adalah dia
menggunakan air itu untuk berwudhu biarkan orang lain
tayammun. Kecuali jika ada orang lain yang membutuhkan
untuk minum karena kehausan, maka ia sebaiknya memberikan
air itu padanya dan ia bisa bersuci dengan tayammum.

"Contoh lain, jika seorang Muslimah memiliki satu mukena.
Lalu datang waktu shalat. Ia tidak diperbolehkan mempersilakan
orang lain shalat dulu menggunakan mukenanya dan
ia menunggu setelah orang-orang selesai menggunakan mukenanya.
Yang benar adalah ia harus segera shalat sebelum yang
lain. Ia harus mengutamakan dirinya. Sebab shalat di awal
waktu itu lebih baik. Baru setelah ia shalat ia bisa meminjamkan
pada orang lain. Dalam ibadah sekali lagi dimakruhkan
mengutamakan orang lain. Begitu maksud kaidah itu Dik. Kau
bisa menganalogikan dengan yang lain."
Cut Mala tampak puas mendengar jawaban itu. Tiba-tiba
ia terpikir sesuatu yang menarik untuk ia tanyakan,
"Maaf Kak saya mau tanya. Kalau misalnya. Sekali lagi ini
misalnya lho Kak. Misalnya ada seorang gadis Muslimah,
dilamar oleh seorang pemuda yang sangat baik. Baik agamanya,
akhlaknya, prestasinya, juga wajahnya. Lalu ia mengalah,
mengutamakan saudarinya yang menurutnya lebih baik
darinya dan lebih pantas menikah dengan pemuda Muslim
tadi. Apa ini termasuk makruh Kak?"
Anna menatap kedua mata Mala. Sebuah pertanyaan yang
membuatnya tersenyum sekaligus kagum akan kreativitas
gadis dari Aceh ini. Bukankah pertanyaan yang baik adalah separo
dari ilmu..?
"Menurutmu menikah itu ibadah nggak Dik..?" tanya
Anna.
"Ibadah Kak. Bukankah menikah itu menyempurnakan
separo agama..?"
"Jadi jelas kan jawabannya. Aku pribadi kalau menemukan
pemuda yang baik, yang menurutku sungguh baik dan ada
yang menjodohkan aku dengannya ya aku akan mengutamakan
diriku dulu. Tidak akan aku tawarkan pada akhwat lain.
Menikah kan ibadah. Cepat-cepat menikah kan juga bagian

dari berlomba-lomba dalam kebaikan. Kalau aku itsar, mengutamakan
akhwat lain, berarti aku akan kalah cepat. Akhwat
itu akan menikah duluan, dapat jodoh duluan dan aku belum.
Jadi tertunda. Dan, tambah lagi belum tentu aku akan dapat
jodoh yang lebihbaik dari itu. Meskipun jodoh ada yang
mengaturnya yaitu Allah swt. Tapi kita kan harus ikhtiar. Di antara
bentuk ikhtiar, ya, ketika menemukan yang baik tidak
usah mengutamakan orang lain. "
Cut Mala merasa mendapatkan wawasan baru belajar
pada Anna. Cut Mala terus bertanya dan bertanya. Kurang
lebih satu jam setengah Cut Mala berada di kamar Anna.
Menjelang Maghrib ia minta diri. Zahraza mengingatkan agar
datang ke seminar.
"Jangan lupa datang dan ajak teman-teman satu
rumahmu ya. Besok moderatornya Kak Anna," ucap Zahraza.
"Insya Allah," jawab Cut Mala lirih.
***
Hari yang dinanti oleh mahasiswa Asia Tenggara tiba.
Seminar sehari membahas sejarah ulama perempuan di Asia
Teng-gara digelar juga. Peserta membludak. Di antara daya
tarik-nya, selain nara sumbernya adalah tiga profesor dari
univer-sitas terkenal di dunia, juga lantaran dimeriahkan oleh
Group Nasyid terkemuka dari Malaysia. Auditorium Shalah
Kamil Al Azhar University penuh sesak. Peserta yang hadir di
luar prediksi panitia. Karena sudah mendekati ujian panitia
mentargetkan enam puluh persen kursi ruangan Shalah Kamil
terisi sudah bagus. Beberapa mahasiswa yang tidak bisa masuk
ruangan sempat protes. Tapi panitia bisa menenangkan
keadaan.
Seminar itu berjalan sangat hidup. Anna Althafunnisa
jadi bintang yang bersinar cemerlang. Bahasa Inggrisnya
yang khas Wales serta pengetahuannya yang luas, ditambah

guyonan-guyonan segarnya benar-benar menghidupkan suasana.
Hadirin selalu berdecak kagum dan tersihir oleh kepiawaian
mahasiswi dari Indonesia yang selama ini tidak banyak
dikenal itu.
"Uedan, moderatornya siapa itu Cak..? Cuantik, pinter dan
bahasa Inggrisnya fasih buetul! Anake sopo yo kae..?" Seorang
mahasiswa dari Surabaya berkomentar pada temannya.
Sejak saat itu Anna menjadi buah bibir di kalangan
mahasiswa Asia Tenggara. Cut Mala yang menjadi staf redaksi
buletin Citra, bersiap menulis profil orang yang dikaguminya
itu. Cut Mala, tiba-tiba merasakan bahwa prestasinya
selama ini tak ada artinya apa-apa dibanding dengan yang
telah diraih Anna Althafunnisa. Ia merasa harus banyak bela -
jar pada perempuan yang begitu sabar menjelaskan kaidahkaidah
fikih padanya.
Di pojok auditorium itu seorang pemuda memandangi
Anna dengan hati harap-harap cemas. Ia menaruh harapan
besar bisa menyunting moderator yang sangat cemerlang itu.
Namun kejadian di hotel membuatnya sangat cemas bisa
menggagalkan harapannya. Pemuda itu adalah Furqan yang
telah melamar Anna lewat Ustadz Mujab.
Furqan sama sekali tidak mengira kalau moderator pada
hari itu adalah Anna. Hari itu ia benar-benar tersihir oleh
pesona gadis yang telah dipinangnya, tapi belum juga memberi
jawaban iya atau tidak. Furqan merasa jika ia gagal meminang
sang bintang itu, ia benar-benar menderita kerugian
yang tiada terkira besarnya.
Sementara di sisi lain, seorang pemuda agak kurus memperhatikan
pesona Anna dengan mata berkaca-kaca. Dalam

dada pemuda itu membuncah perasaan cemburu, kaget, bahagia
juga sedih. Cemburu karena ia pernah mencoba untuk
melamar gadis yang sedang menjadi pusat perhatian. Bahagia
karena pada akhirnya ia bisa mengetahui wajah gadis yang
pernah ia lamar itu dengan jelas. Bahkan menyaksikan sendiri
kepiawaian dan kecerdasan gadis itu. Memang bukan sembarang
gadis.
Dan kaget karena gadis itu adalah gadis yang pernah ia
tolong bersama kawannya untuk ikut taksinya saat pulang
belanja dari Pasar Sayyeda Zaenab. Ia pernah berbincangbincang
dan pernah berada dalam jarak yang sangat dekat
dengan gadis itu. Ia sangat menyesal bahwa ia tidak berterus
terang mem-berikan nama aslinya pada gadis itu.
Pemuda itu adalah Khairul Azzam yang begitu mendengar
ada seminar dengan moderator Anna Althafunnisa, ia
langsung datang untuk menghilangkan penasarannya. Dalam
hati pemuda itu berkata, "Alangkah bahagianya Furqan, jika ia
benar-benar bisa menyunting Anna. Semoga kebaikan selalu
menyertai kalian." Pemuda itu mengusap matanya yang basah.
Hanya basah.Tak sampai ada airmata yang tumpah.
Anna menunaikan tugasnya dengan baik. Ia tampil biasa
saja. Tidak ada yang ia buat-buat. Mengalir alamiah. Selesai
seminar pikirannya cuma satu: besok terbang ke Malaysia
bersama WanAina untuk melakukan penelitian tesisnya. Ia
sama sekali tidak sadar kalau ia telah menyihir banyak orang
dan telang menjadi seorang bintang. Bintang di kalangan
mahasiswa Asia Tenggara di Mesir.

RATAPAN HATI
Pada saat Furqan menghadapi sidang munaqasah tesisnya,
Anna terbang meninggalkan Cairo. Furqan kecewa ketika
ia tahu Anna tidak menghadiri sidang munaqasah tesisnya.
Para penguji yang terdiri atas tiga guru besar dari dalam dan
satu guru besar dari luar universitas memberi nilai mumtaz
atau summa cumlaude pada Furqan.
Puluhan mahasiswa Indonesia yang menghadiri sidang
munaqasah itu meneriakkan takbir. Furqan menangis haru. Ia
berdiri memeluk satu per satu guru besar yang mengujinya.
Di antara guru besar itu adalah Prof. Dr. Sa'duddin, orang
yang oleh Sara diaku sebagai ayahnya, tapi Furqan meragukannya.
Ketika memeluk Prof. Dr. Farhat Shahin, yang tak

lain adalah pembimbing utamanya ia menangis terisak-isak
sambil mengucapkan terima kasih tiada terhingga.
Selesai acara munaqasah Furqan didekati Prof.Dr. Sa'duddin.
"Maaf, Anakku, di Indonesia kau tinggal di mana..?" tanya
Profesor Sa'duddin.
"Di Jakarta, Profesor. Ada yang bisa saya bantu..? Kelihatannya
agak penting." Jawab Furqan.
"Saya sebenarnya ingin banyak menggali informasi tentang
kondisi sosial dan budaya Jakarta. Beberapa hari yang
lalu saya minta putri saya, Sara, untuk mengundangmu makan
malam. Tapi mungkin kamu sedang tidak ada waktu."
"Jadi Sara itu benar putri profesor..?"
"Iya.Benar. Ia suka sekali dengan orang-orang Indonesia.
Katanya ramah-ramah. Ia pernah ke Jakarta dan Malang. Ia
sangat terkesan."
Furqan baru tahu bahwa sikapnya yang meragukan Sara
sebagai putri penulis terkenal itu sama sekali tidak bisa dibenarkan.
"Maafkan saya,saat itu saya tidak bisa menerima undangan
profesor. Tapi, insya Allah, saya siap membantu profe-sor
sebatas kemampuan saya."
"Terima kasih sebelumnya. Nanti kapan-kapan saya akan
menghubungimu. Kau ada kartu nama..?"
Furqan meraba sesuatu di saku celananya. Ia mengambil
dompetnya dan mengeluarkan kartu namanya.
"Ini profesor. Sekali lagi maafkan saya. Salam buat Sara,
juga sampaikan beribu-ribu maaf saya padanya. "

"Sudahlah kau tidak melakukan kesalahan apapun pada
kami. Tak ada yang harus dimaafkan. Oh ya saya perlu banyak
informasi mengenai Indonesia dan Jakarta karena saya akan
dikirim untuk bertugas di Kedutaan Republik Arab Mesir di
Jakarta."
"Benarkah..?"
"Iya. Insya Allah saya berangkat ke Indonesia bulan depan."
"Wah, saya senang mendengarnya. Selamat datang di Indonesia
profesor. Semoga nanti betah di sana dan bisa menunaikan
tugas dengan baik. Sara ikut..?"
"Tentu. Dia yang paling senang mendengar kabar ini. "
"Yah sekali lagi ahlan wa sahlan di Indonesia. Jika ada
yang bisa saya bantu akan saya bantu, insya Allah," jawab Furqan
dengan hati gembira.
Hari itu Furqan sangat bahagia, sesaat ia melupakan masalahnya.
Malam harinya ia mengadakan syukuran di rumahnya.
Para mahasiswa yang mengenalnya silih berganti berdatangan
mengucapkan selamat kepadanya. Di milist-milist kalangan
mahasiswa Indonesia di Cairo terkirim puluhan tahniah
dan ucapan selamat.
Azzam yang mendapat kabar Furqan telah menyelesaikan
S.2-nya turut larut dalam bahagia. Siang itu ia tidak bisa
menghadiri munaqasah, maka malam itu ia menyempatkan datang.
Begitu Azzam muncul di rumahnya Furqan langsung
merangkulnya dengan hangat.
"Alfu mabruk, Akhi. Semoga ilmu yang kau dapat bermanfaat.
Maaf tadi siang aku tak bisa datang ke sidang munaqasahmu,"
ucap Azzam.

"Tak apa. Terima kasih malam ini kau datang. Kau masih
dengan kesibukan bisnismu ya?" tanya Furqan.
"Iya. Doakan tahun ini aku lulus, aku merencanakan pulang,"
jawab Azzam santai.
"Apa kita pulang satu pesawat, sebagaimana dulu kita
berangkat ke sini satu pesawat hehehe...?" gurau Furqan.
"Boleh, kalau kau bisa menunggu sampai aku selesai
ujian."
Nasir yang saat itu juga ada di situ langsung menyahut,
"Mas Furqan sudah beli tiket Ka ng. Pekan depan dia
pulang."
Azzam langsung menukas,
"Pasti sudah tidak sabar untuk segera menikah hehehe..."
"Lha apa lagi yang ditunggu? Umur sudah cukup. Gelar
M.A. sudah diraih. Mobil tinggal pakai. Rumah di Jakarta telah
tersedia. Gadis manapun yang dilamar pasti akan menerima
dengan kedua tangan terbuka. Kalau tidak segera menikah
nanti malah banyak dosa," sahut Nasir.
Furqan hanya bisa tersenyum mendengarnya. Ingatannya
langsung terbang ke Indonesia. Ia langsung teringat
Anna. Ia semakin kukuh dengan keputusannya untuk pu-lang
dan langsung melamar Anna kepada kedua orang tuanya.
"Lha kalau Sampeyan kapan rencana nikahnya Kang
Azzam?" Nasir gantian bertanya pada Azzam.
Azzam sedikit kaget, tapi langsung menjawab dengan
gurauan,"Insya Allah nanti kalau sudah punya warung bakso
minimal tiga dan dua pabrik tempe di Indonesia. Serta punya
mobil Escudo dua. Biar kalau melamar gadis juga tidak ditolak
hehehe..."

Semua yang ada di situ langsung tertawa mendengarnya.
"Ayo Akh, makan seadanya." Furqan mempersilakan
Azzam untuk makan sambil menunjuk ke arah pelbagai jenis
makanan yang telah terhidang secara prasmanan.
"Wah kayaknya ada Coto Makasar. Boleh juga," seru
Azzam.
"SilakanAkh, seadanya. Coto Makasarnya itu dibikin oleh
teman-teman yang tinggal di sekretariat KKS."
Azzam jadi ingat kalau Furqan memang memiliki darah
Sulawesi. Meskipun ia lahir dan besar di Jakarta. Ayahnya asli
Makasar. Ibunyalah yang asli Betawi. Karena memiliki dua
darah itulah, darah Betawi dan Makasar, ia dulu bisa terpilih
menjadi Ketua Umum PPMI. Sebab ia mendapat dukungan
penuh dari KPJ dan KKS.
Tamu yang datang ke rumah Furqan semakin banyak.
Beberapa orang dari KBRI juga datang. Semua larut dalam
bahagia dan gembira. Setiap kali ada yang selesai S.2 atau S.3
selalu disambut bahagia dan bangga oleh mahasiswa Indonesia.
Dengan hadir di acara syukuran itu semangat belajar
Azzam kembali membara. Dulu, dirinya dan Furqan satu
pesawat. Setengah tahun perta-ma tinggal satu rumah. Dan di
tahun pertama ia satu-satunya mahasiswa Indonesia yang
jayyid jiddan, sementara Furqan naik tingkat dengan predikat
hanya maqbul.
Namun, kini Furqan sudah meraih gelar masternya. Sementara
dirinya S.1 belum juga selesai. Dadanya sebe-narnya
membara juga. Lebih membara lagi saat dia ingat gara-gara
keterlambatannya meraih gelar akademis ia di-anggap tidak

layak melamar Anna. Dan gadis yang kini jadi bintang
bersinar itu juga akan disunting oleh Furqan.
Namun ia segera sadar, ia harus menata hati. Ia harus
sadar bahwa keadaan dirinya dan Furqan sangatlah berbeda.
Furqan serba cukup bahkan berlimpah. Sementara dirinya harus
memeras keringat dan berdarah-darah. Ia sadar semuanya
Allah yang mengatur. Ia berusaha menyejukkan hatinya bahwa
prestasi tidak hanya terbatas pada meraih gelar akademis
formal.
Ia bisa bertahan hidup mandiri sekian tahun di Cairo apakah
bukan suatu prestasi? Ia teringat surat dari adiknya. Husna
telah sarjana, bahkan telah menyelesaikan program profesinya
sebagai psikolog. Lia telah menyelesaikan PGSV-nya
dan telah mengajar. Hatinya terhibur dan terasa sejuk. "Orang
bisa memiliki prestasinya masing-masing," katanya pada
dirinya sendiri.
Dan tentang jodoh. Allah lah yang mengatur. Di muka
bumi ini perempuan salehah tidak hanya satu. Tidak hanya
Anna. Jutaan perempuan salehah tersebar di muka bumi ini.
Kenapa harus kecil hati. Kalau Anna memang jodohnya
Furqan, dan Allah yang mengaturnya, kenapa ia harus tidak
rela. Kenapa ia tidak yakin bahwa Allah akan menyediakan
jodoh yang terbaik untuknya, yang lebih dari Anna Althafunnisa?
Yang jelas, dengan bersilaturrahmi ke rumah Furqan ia
mendapatkan satu manfaat yang cukup besar, yaitu munculnya
kembali idealismenya yang sudah lama terkubur. Tahun ini ia
ingin selesai S.1 dari Al Azhar dengan predikat jayyid. Langsung
pulang ke Tanah Air. Langsung bekerja, wirausaha,
paling tidak ia bisa membuat warung bakso di Kartasura. Jika
ada waktu ia akan langsung melanjutkan S.2. Tidak harus
muluk-muluk. Bisa S.2 di Solo, Semarang atau Jogja. Menikah.

Lalu membuat rencana-rencana bersama isterinya untuk masa
depan ke-luarganya.
Ia mentargetkan minimal ia berpendidikan S.2. Tapi ia
memiliki satu obsesi, yaitu harus kaya! Ia sudah terlanjur
dikenal sebagai businessman di Cairo, tidak dikenal seba-gai
aktivis kelompok studi, maka sekalian ia tak mau kepalang
tanggung, ia harus jadi businessman yang disegani di Indonesia
nanti. Biarlah teman temannya nanti ada yang menjadi guru
besar, pemikir besar, kiai besar, mubaligh besar, sementara ia
ingin menjadi konglomerat besar.
Itulah obsesinya yang muncul saat itu. Jika jadi konglomerat
besar ia bisa berjihad di jalan Allah swt dengan hartanya
seperti Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf. Dan ia
akan tetap berusaha mengamalkan ilmu yang didapatkan selama
belajar di Mesir sebisa mungkin. Ia jadi ingat Imam Abu
Hanifah. Bukankah Imam Abu Ha -nifah adalah seorang imam
yang juga seorang kong-lomerat terkemuka di jamannya?
***
Sementara di Mutsallats, Fadhil didera oleh rasa penyesalan
mendalam atas sarannya kepada Tiara. Apalagi setelah
tahu bahwa Tiara sebenarnya sangat mengharapkannya. Ia
merasa, sebenarnya ia bisa meralat perkataannya secepatnya.
Namun rasa tinggi hatinyalah yang mencegahnya. Ia berteduh
di bawah alasan seorang lelaki tidak akan mencabut apa yang
telah dikatakannya. Kini kata hatinya tidak bisa diingkarinya.
Ia sebenarnya juga mengharapkan hal yang sama dari Tiara.
Ia merasa telah melakukan satu kesalahan tak termaafkan dengan
menegaskan agar Tiara tidak menolak lamaran Zulkifli.
Ia menyesal, tapi tak berdaya.
Sebenarnya, yang lebih bijak menurutnya, setelah ia tahu
Tiara mencintainya, adalah memberikan kebebasan kepada
Tiara untuk memberikan pilihannya. Ia tetap memberikan

kesaksian yang adil tentang kredibilitas Zulkifli, temannya di
pesantren dulu. Namun ia juga memberikan ruang yang
terbuka kepada dirinya sendiri untuk dipilih oleh orang yang
mencintainya.
Tadi sore Cut Mala, adiknya, menelpon dirinya bahwa
Tiara sudah menerima lamaran Zulkifli. Pernikahan akan
diselenggarakan setelah ujian. Ayah Tiara, Zulkifli dan ayah
ibunya akan datang ke Cairo. Pernikahan akan dia-dakan di
Cairo. Dan seluruh anggota KMA nanti pasti akan diminta
untuk membantu mengurus segalanya. Fadhil terbakar oleh
rasa penyesalannya. Ia adalah koordinator sekaligus vokal
grup nasyid Nanggroe Voice yang menjadi kebanggaan warga
KMA di Cairo. Pastilah ia nanti akan diminta menjadi penghibur
dalam pesta walimah Tiara dan Zulkifli. Hatinya terasa
perih. Ia ber-tanya pada dirinya sendiri, apakah ia mampu
menghadapi hal itu. Batinnya pilu. Ya. Di dadanya, beriburibu
genderang kepiluan mengalun bertalu -talu.
Fadhil mondar-mandir sendirian di kamarnya. Sejak pulang
dari rumah sakit ia tidak pergi ke mana-mana kecuali ke
masjid yang tak jauh dari apartemennya. Segala perkembangan
yang terjadi di dunia luar ia ikuti dari cerita temantemannya.
Ia kelihatan tenang, tak ada yang tahu kalau dia
sedang didera pilu tiada tara. Adiknya pun tak tahu kalau ia
sejatinya sedang membutuhkan pelipur lara. Cinta yang tak
berlabuh di tempatnya, sungguh menyiksa.
Fadhil menatap diktat-diktat kuliahnya dengan pandangan
hampa. Tak ada semangat membara untuk mengu-nyahnya
seperti tahun-tahun sebelumnya. Tak ada target yang melecut
seperti biasanya. Beberapa kali ia mengutuk dirinya sendiri,
betapa dungu akal pikirannya. Terkadang muncul rasa berdaya,
rasa bisa mengatasi segala, rasa untuk tidak mundur dari
apa yang telah diputuskannya.

Namun rasa menyesal datang bagai badai yang membuatnya
terpelanting tiada berdaya. Lebih dari itu, ia juga
didera rasa berdosa, "Pastilah Tiara merasakan sakit yang lebih
dari yang aku rasa. Pastilah ia merasakan kekecewaan
tiada terkira!" Ia meratap sendiri. Ia berharap andai waktu bisa
diputar ke belakang beberapa hari saja. Ia akan melamar Tiara
sebelum gadis itu mengabar-kan dilamar oleh orang lain.
Andai saja...
Tiba-tiba ia ingat beberapa tahun yang lalu sebelum ia
berangkat ke Mesir. Setelah lulus dari pesantren, ia ditu gaskan
untuk mengabdi di Pesantren Daarul Hikmah, Meulaboh.
Ia mengajar hanya setengah tahun. Mengajar di kelas dua
Madrasah Aliyah. Di kelas itulah ia menemukan murid perempuan
yang cerdas dengan wajah biasa saja, tapi memiliki
pesona yang kuat. Murid itu adalah Tiara. Setelah itu ia pergi
ke Mesir.
Tak disangka ternyata Tiara menyusulnya kuliah di
Cairo. Dialah yang dulu ke sana kemari mengurus administrasi
Tiara masuk Al Azhar University. Dia pula yang menca -
rikan rumah. Dia pula yang mempertemukan Tiara dengan
Madam Zubaida pemilik flat mewah di Masakin itu. Sehingga
akhirnya Tiara dan teman-temannya pin-dah ke flat itu sampai
sekarang. Dia pula yang mengusa-hakan Tiara bisa mendapat
beasiswa.
Dan tatkala Cut Mala datang, ia titipkan adiknya itu pada
Tiara. Selama ini ia bersikap wajar dan biasa. Ia tidak mengisyaratkan
rasa simpatik dan tertariknya pada Tiara. Apalagi
isyarat cinta. Namun sungguh, ia tidak bisa membohongi hatinya
sendiri bahwa sejak mengajar di pesantren dulu, ia sudah
menaruh hormat, bangga dan juga cinta pada mahasiswi Al
Azhar yang memiliki lesung pipi kalau tersenyum itu. Ia
mengenang sejuta ke-nangan dengan hati tak tenang. Amboi...

Mengingat itu semua jiwanya seperti terbakar. Api penyesalan,
api kecemburuan, api cinta tak kesampaian, api pem -
bodohan atas keputusan diri sendiri yang tak berpenghabisan,
semuanya menyatu jadi satu, membumbung ke awan biru.
"Astaghfirullaaah!!" Fadhil menjerit dan meninjukan tangannya
ke tembok kamarnya. Ia merasa hatinya seakan mau
pecah dan hancur. Ia lalu duduk perlahan, sejurus kemudian
menelentangkan tubuhnya di atas karpet. Air matanya bercucuran.
Wajah Tiara berkelebatan di pikiran. Setiap kali
datang berkelebat, seolah menancapkan satu duri di hati. Terasa
perih dan nyeri. Telpon di ruang tamu berdering-dering.
Ia berdiri pelan-pelan. Begitu ia angkat, telpon itu mati. Ia
menghela nafas dalam-dalam. Ia letakkan gagang telpon itu
kembali. Telpon berdering lagi. Ia angkat,
"Ya."
"Assalamu'alaikum, ini Mala Kak."
"Ada apa Dik..?"
"Ingin memastikan saja, kalau kakak baik-baik saja."
"Ya kakak baik-baik saja kok Dik."
"Sudah dibaca semua muqarrar-nya Kak..?"
"Ada yang sudah, ada yang belum. Kamu sendiri bagaimana
Dik..?"
"Alhamdulillah semua muqarrar sudah Mala baca. Sekarang
mulai meringkas."
"Alhamdulillah. Oh ya bagaimana kabar Tiara..?" tanya Fadhil
sambil kaget pada dirinya sendiri kok tiba tiba menanyakan
kabar Tiara. Hal yang selama ini tidak pernah ia
lakukan. Biasanya adiknya yang tanpa dia minta bercerita.

"Seperti yang kakak tahu, Kak Tiara sudah menerima
lamaran Ustadz Zulkifli. Namun entah kenapa Kak Tiara
sepertinya murung saja Kak. Kayaknya ia kecewa pada Kakak.
Mala tahu persis kalau Kak Tiara itu memang sungguhsungguh
menaruh hati pada Kakak."
Mendengar hal itu, air mata Fadhil meleleh. Satu persatu
air matanya jatuh ke lantai. Namun entah kenapa setiap kali
berbicara di telpon muncul sifat tinggi hatinya.
"Semoga dia bisa menerima kenyataan yang ada. Bukankah
Al-Quran menjelaskan tidak semua yang diharap manusia
itu akan ia dapat. Insya Allah, Zulkifli akan menjadi yang
terbaik baginya."
"Iya Kak. Ini dulu ya. Jangan lupa jaga kesehatan ya Kak.
Assalamu'alaikum."
"Wa 'alaikum salam wa rahmatullah."
Fadhil meletakkan gagang telpon. Telinganya masih penuh
dengan kata -kata adiknya tentang Tiara: "Namun entah
kenapa Kak Tiara sepertinya murung saja Kak. Kayaknya ia
kecewa pada Kakak. Mala tahu persis kalau Kak Tiara itu
memang sungguh-sungguh menaruh hati pada Kakak."
"Astaghfirullah, aku telah menyakiti orang lain dan menyakiti
diriku sendiri. Rabbana zhalamna anfusana wa in lan
taghfir lana wa tarhamna lanakuunanna minal khasi-riin." Ratap
Fadhil dalam hati.

RASA OPTIMIS
Pagi itu Furqan itikaf di masjid. Sejak Subuh ia masih
belum beranjak dari tempat duduknya. Ia duduk bersila mem -
baca Sirah Nabawiyah sambil menunggu waktu Dhuha tiba. Ia
menunggu sampai matahari benar-benar terasa hangatnya.
Sejak peristiwa di hotel itu dan ia menyadari kekhilafannya,
ia semakin banyak mendekatkan diri kepada Sang Pencipta
manusia dan alam semesta. Setelah meraih gelar masternya
ia semakin memperkuat ibadahnya. Seolah ingin menebus kelalaian
yang selama ini diperbuatnya.
Begitu waktu Dhuha tiba, ia shalat dua belas rakaat. Setelah
itu barulah ia meninggalkan masjid menuju apartemennya.
Tak ada siapa-siapa di rumahnya. Dua teman-nya, Abduh
dan Maftuh telah pergi entah ke mana. Ia langsung mandi.

Berkemas. Menyalakan mobilnya dan pergi. Tujuannya perta -
ma tama adalah sarapan di Wisma Nusantara. Baru setelah itu
ia mau ke Abbasea. Ke kantor Kolonel Fuad. Tadi malam sebelum
tidur ia dibel kolonel itu bahwa penjahat yang menamakan
dirinya Miss Italiana telah ditangkap.
Pukul sepuluh lebih enam belas menit Furqan sampai di
Abbasea. Kolonel Fuad menyambutnya dengan senyum mengembang.
"Aku tepati janjiku. Aku bilang paling lama satu minggu
untuk menangkap penjahat yang berbuat kurang ajar padamu
itu. Kemarin sore, saat ia tertangkap genap satu minggu dari
hari kita membuat kesepakatan. Ia sekarang meringkuk di
dalam sel." Tanpa ditanya Kolonel Fuad menjelaskan keberhasilannya
panjang lebar.
"Di mana kalian menangkapnya..?"
"Di Port Said.Ia hendak berlayar ke Yunani. Penjahat itu
kami tangkap tadi sore.Begitu tertangkap langsung kami
larikan ke Cairo. Begitu sampai di sini, aku langsung kontak
kamu."
"Apa dia orang Yunani..?"
"Bukan. Dari data yang kami kumpulkan, dia ternyata
orang Israel."
"Orang Israel..?" tanya Furqan kaget.
"Ya. Dia orang Israel. Tapi ia memiliki lima paspor. Yaitu
Spanyol, Italia, Amerika, Israel, dan Rusia. Dia masuk
Mesir menggunakan paspor Spanyol. Dia berangkat dari
Madrid. Setelah beroperasi di Mesir selama tiga bulan, dia
hendak lari ke Yunani."
"Apa yang dia kerjakan selama di Mesir..?"
"Banyak. Yang jelas, ia mata -mata Mosad."

"Mata-mata Mosad..?!" Furqan kaget bukan main.
"Ya, benar."
"Bagaimana mungkin kalian bisa kecolongan..?"
"Penjahat itu selalu lebih pintar satu langkah dari polisi.
Tapi alhamdulillah, akhirnya toh dia tertangkap. Kau ingin
melihatnya..?"
"Boleh."
Furqan diajak ke ruang tahanan. Di sana ia melihat seorang
perempuan berambut pirang memakai celana jeans dan
blues hitam. Perempuan itu memang persis seperti yang ada
dalam foto memalukan itu. Dengan bahasa Inggris seadanya
dan dengan nada geram Furqan bertanya,
"Hei, why you do it to me..?"
Perempuan berambut pirang itu malah tertawa terkekehkekeh.
Lalu ia berbicara tidak jelas. Kemudian bernyanyi-nyanyi
seperti orang gila.
"Apa dia gila..?" tanya Furqan pada Kolonel Fuad.
Sang Kolonel tersenyum mendengar pertanyaan Furqan.
"Dia pura-pura gila."
"Sejak kapan dia pura-pura gila..?"
"Sejak dia ditangkap. Yang jelas tidak ada orang yang
benar-benar gila yang bisa bepergian ke luar negeri dan memiliki
lima paspor. Mari aku tunjukkan kelima paspor-nya!"
Furqan menurut. Ia dibawa ke ruang penyimpanan barang
bukti.
"Ini paspor-paspornya." Kata Kolonel Fuad sambil menyerahkan
lima paspor yang warnanya berbeda-beda.

Furqan menerima paspor-paspor itu dan melihatnya dengan
seksama.
"Bagaimana dia bisa mendapatkan paspor-paspor ini..?"
tanya Furqan lugu. asli'."
"Ya tentu saja dari Israel. Paspor-paspor itu palsu tapi
asli. "
"Maksud Kolonel dengan 'palsu tapi asli' itu bagaimana..?"
"Paspor itu sesungguhnya palsu. Karena yang mengeluarkan
bukan negara asalnya tapi yang mengeluarkan sebenarnya
adalah Mosad Israel. Tapi asli, artinya bahkan negara
aslinya pun akan mengakui itu asli. Sebab tidak bisa dibedakan
dengan yang asli. Jenis kertasnya sama. Semuanya sama. Kau
harus tahu, Israel memiliki semua jenis kertas yang digunakan
untuk membuat uang di seluruh dunia. Juga memiliki semua
jenis kertas yang digunakan untuk membuat paspor di seluruh
dunia. Israel juga memiliki teknologi untuk membuat uang
dan paspor yang sama persis dengan yang ada di seluruh
dunia. Inilah rahasia yang berhasil kami kuak. Maka kita harus
hati-hati. Dengan membuat uang yang palsu, tapi benar benar
tidak bisa dibedakan dengan yang asli Israel bisa merusak
ekonomi suatu negara. Krisis ekonomi di Asia Tenggara dalam
analisis kami tak bisa dilepaskan dari rekayasa Israel."
Kolonel Fuad memberikan penjelasan panjang lebar.
Furqan jadi sangat mafhum. Jika untuk membuat paspor di
seluruh dunia adalah begitu mudah bagi Mosad Israel, maka
untuk sekadar mengetahui identitas dirinya dan membuka
kamar hotelnya bukanlah pekerjaan yang susah.
"Sekarang tidak ada yang perlu kaukuatirkan. Penjahat
yang mengancam kamu sudah tertangkap. Aku telah menunaikan
janjiku, sekarang giliran kamu melunasi janjimu,"
kata Kolonel Fuad tegas.

"Baiklah, hari ini juga aku bayar lunas janjiku. Nanti sore
aku akan datang lagi kemari membawa uang seribu pound dan
menyerahkan mobilku padamu,"jawab Furqan tak kalah tegas.
Dengan tertangkapnya Miss Italiana, ia merasa ancaman yang
selama ini menghantuinya telah sirna. Ia merasa sangat lega.
Seolah kiamat yang selama ini mengancamnya tak jadi datang.
"Pukul berapa kau akan datang..?" Tanya Kolonel.
"Pukul lima sore, insya Allah."
"Baik. Aku tunggu. Pukul lima sore di sini."
Furqan minta diri. Ia langsung mengendarai mobilnya ke
Maydan Husein. Tujuan pertamanya Bank Faisal Al Azhar. Ia
hendak mengambil tabungannya. Setelah itu ke Khan Khalili.
Ia hendak beli oleh-oleh untuk keluarganya di Indonesia.
Beberapa hari lagi ia mau pulang.
Di depan Bank Faisal Al Azhar, ia bertemu dengan
Azzam yang tampak tergesa-gesa hendak ke kampus.
"Oi Zam, oi kau sekarang rajin kuliah ya..?" sapanya dengan
tersenyum.
Dengan tersenyum juga Azzam menjawab,
"Lha iya lah. Mumpung masih di Mesir harus rajin kuliah
lah."
"Lha begitu. Itu baru namanya mahasiswa. Masak bikin
bakso terus, apa mau tinggal di Mesir terus..?"
"Itulah Fur. Doakan aku ya. Tinggal satu mata kuliah
saja.Aku ingin lulus tahun ini. Kau saja sudah M.A., masak aku
S.1 saja tak kelar-kelar. Sudah ya Fur, aku mau kuliah dulu.
Ini mata kuliahnya Doktor Abdul Fattah Asyur. Aku sudah
terlambat nih," jawab Azzam sambil melangkah.

"Ya Waffaqakumullah,"  tukas Furqan.
Azzam melangkah ke arah kampus, sementara Furqan
langsung melangkah masuk ke dalam Bank.
Sampai di dalam ia mengerutkan keningnya. Orang Mesir
penuh. Ia harus antri. Ia berdiri sambil melihat suasana. Ada
dua orang Malaysia yang sedang menukarkan uang. Dari dollar
ke pound Mesir. Ia tahu kedua anak itu dari Malaysia dari
cara berpakaian dan logat bicaranya.
Lima belas menit kemudian tiba gilirannya melakukan
transaksi. Ia mengambil dua ribu lima ratus pound. Lalu ia
mentransfer sisa tabungannya ke rekeningnya yang ada di
Indonesia. Ia menutup tabungannya. Dalam pikirannya, jika
nanti kembali lagi ke Mesir ia bisa membuka tabungan lagi.
Namun jika ternyata karena satu dan lain hal ia tidak kembali
atau ia lama di Indonesia, uang tabungannya akan sangat
berguna baginya.
Setelah itu ia ke Khan Khalili. Ia belanja dengan cepat.
Tanpa banyak memilih dan menawar. Ia seperti dikejar-kejar
waktu. Ia memang harus cepat. Sebab siang ini juga ia harus
ke rumah Ustadz Mujab untuk membicarakan masalah kelanjutan
lamarannya pada Anna. Dan ia masih akan membawa
mobil itu sampai sore hari ini. Setelah itu ia tidak lagi bawa
mobil. Jika teman-temannya bertanya di mana mobilnya, ia
akan menjawab sudah di tangan orang Mesir. Mereka akan
menyangka mobil itu dibeli orang Mesir. Ia memang tidak
ingin masalahnya menjadi konsumsi masyarakat Indonesia di
Cairo. Ia ingin mereka hanya tahu prestasinya. Itu saja.
***
"Jadi kamu ingin langsung melamar Anna kepada kedua
orang tuanya..?" tanya Ustadz Mujab pada Furqan.

"Iya Ustadz. Biar lebih cepat tahu kejelasannya. Jika tidak
demikian Anna bisa terus mencari alasan untuk mengundurundur
jawabannya."
"Kamu sudah benar-benar siap jika Anna atau keluarga
Anna menolakmu..? Padahal jika kamu mau bersabar sam-pai
hati Anna benar-benar siap, kamu punya peluang besar untuk
diterima olehnya."
Furqan diam sesaat. Ia berpikir sejenak lalu menjawab,
"Saya yakin Anna sudah punya sikap. Ia hanya ragu. Justru
jika saya langsung datang pada orangtuanya, ia tidak ada
kesempatan lagi untuk ragu. Saya rasa peluang saya lebih
besar jika saya langsung melamar pada orang tuanya Ustadz.
Ini sudah saya pikir masak-masak."
"Kalau kau sudah memikir masak-masak ya sudah. Aku
hanya berharap kau dan dia bertemu dalam ridha-Nya. Baiklah
agar kau punya alasan logis datang ke rumah Anna sebelum
resmi melamarnya, aku akan menitip sesuatu untuk ayahnya.
Juga akan aku bikinkan surat pengantar pendek yang isinya
memperkenalkan dirimu dengan singkat. Ayah Anna masih
terhitung kerabatku. Beliau pasti akan sangat senang mendapat
titipan dariku."
"Iya, terima kasih Ustadz."
"Kau tunggu sebentar ya."
Ustadz Mujab masuk ke kamar kerjanya. Lelaki yang
masih menjadi mahasiswa S.2 di Institut Liga Arab itu
menulis surat lalu membungkus sesuatu berbentuk kotak kecil
dengan kertas kado. Sejurus kemudian ia keluar dan menyerahkan
sepucuk surat dan bungkusan itu pada Furqan.
"Yang terbungkus itu isinya minyak Hajar Aswad asli.
Berikan pada Pak Kiai Lutfi Hakim, ayah Anna. Sebaik-nya
kau sendiri yang memberikan. Jika misalnya beliau pas tidak

di rumah saat kau di sana, sebaiknya kau me-nunggu sampai
beliau ada," jelas Ustadz Mujab.
"Baik Ustadz."
"Semoga semuanya dimudahkan Allah swt."
"Amin."
Furqan sangat yakin, maksud dan keinginannya menyunting
mahasiswi yang saat itu paling menjadi buah bibir di
kalangan mahasiswa Indonesia di Cairo, pasti terkabulkan. Ia
selama ini berpendapat, takdir itu ada hukum-hukum alamnya.
Takdir itu mengikuti aturan sebab dan akibat. Ia merasa telah
menemukan kebenaran pendapat-nya itu lewat ratusan kejadian
yang telah ia alami selama ini. Juga kejadian yang dialami
oleh orang lain.
Misalnya, ia selalu lulus ujian karena memang ia belajar
dengan baik. Lulus ujian adalah akibat dan belajar dengan baik
adalah sebab. Jika sebabnya tidak ada yaitu belajar dengan
baik, maka akibatnya akan sirna. Karena tidak belajar dengan
baik, maka yang terjadi adalah tidak lulus ujian.
Contoh lain menurutnya adalah kematian. Menurutnya,
kematian adalah akibat. Kematian yang menurut banyak orang
adalah takdir, sebenarnya tak lain dan tak bukan adalah akibat.
Pasti ada sebabnya. Ia tidak bisa memercayai adanya kematian
tanpa sebab. Seseorang itu mati karena ia melakukan
sesuatu atau masuk ke dalam suatu keadaan yang mengharuskan
mati. Itu adalah hukum alam.Ada orang mati karena
kecelakaan. Memang hukum alamnya, jika kepala pecah atau
orang kekurangan darah pasti mati. Jika ditarik lagi, orang
mati karena kecelakaan, bisa jadi karena ia tidak hati-hati di
jalan raya. Atau ia telah hati-hati tapi orang lain yang tidak
hati-hati. Jadi tindakan tidak hati-hati di jalan raya bisa menyebabkan
kecelakan. Dan kecelakaan menye babkan kematian.

Bahkan ada orang mati karena keracunan makanan. Memang
hukum alamnya, jika tubuh manusia kemasu kan racun
tertentu bisa merusak jaringan syaraf, otak dan pembuluh
darah yang mengakibatkan seseorang mati.
Jadi dalam pandangannya, takdir itu pasti sesuai hukum
alam. Takdir bisa dikalkulasi dan dihitung secara matematis.
Apalagi teknologi manusia semakin tinggi. Jika orang ingin
panjang umur dan tidak mati-mati, maka menurutnya, orang
itu harus berjalan sesuai dengan hu-kum alam yang membuat
manusia tetap hidup, serta tidak melanggar hukum yang
membuat ia mati.
Selama ini ia selalu mendasarkan tindakan dengan kalkulasikalkulasi
dan hitungan matematis. Ayahnyalah yang sejatinya
mengajarinya sejak kecil. Ayahnya yang pernah kuliah
ekonomi di Amerika itu selalu bertindak sesuai dengan kalkulasi
matematis. Dan ia melihat dengan kepalanya sendiri
ayahnya hidup sukses.
Ia sendiri merasa, bahwa ia saat ini bisa selamat dari
intimidasi penjahat perempuan yang menamakan dirinya Miss
Italiana itu juga karena kalkulasinya yang matang. Meskipun
ia cemas dan takut, ia mengambil tindakan yang tepat; yaitu
bermusyawarah dengan orang tepat. Sehingga ia selamat. Itu -
lah takdir, menurutnya.
Jika ia tidak berpikir cermat dan melakukan kalkulasi dan
tindakan yang tepat, mungkin ia telah menemukan kia-mat.
Itulah takdirnya.
Demikianlah ia berpikir tentang takdir.
Maka dengan kalkulasi dan strateginya, yang ia anggap
matang. Serta hukum-hukum alam yang menurutnya telah
tersedia, ia pasti akan mendapatkan Anna Althafunnisa. Hukum-
hukum yang menurutnya membuat seorang gadis suka
pada seorang pemuda ada pada dirinya. Prestasi ia punya.

Penampilan dan tampang diakui banyak orang. Materi ada.
Keluarga dan silsilah keturunan sa-ngat terjaga. Doa, selalu
terpanjatkan siang malam tiada henti-hentinya. Apalagi kurangnya?
Menurut hukum alamnya, tak bisa tidak, Anna
Althafunnisa pasti berhasil disuntingnya.
Ia sangat optimis. Dan selama ini, jika ia optimis, ia selalu
berhasil meraih apa yang diinginkannya. Ia meyakini kekuatan
optimisme dan mind magic yang acapkali dilon-tarkan
oleh motivator-motivator kaliber dunia. Benarkah demikian?
Akankah ia sukses menyunting gadis idamannya, Anna Althafunnisa?
Waktulah nanti yang akan menjawabnya.

PERIKSA DARAH
Seluruh mahasiswa Al Azhar, termasuk yang dari Indonesia
sibuk mempersiapkan diri menghadapi ujian akhir tahun.
Ujian kenaikan tingkat. Bagi yang tingkat empat berarti ujian
kelulusan S. 1.
Azzam benar-benar belajar dengan serius. Ia meringkas
materi Tafsir Tahlili, sama seperti ketika ia tingkat satu dulu.
Ringkasannya itu telah ia kuasai di luar kepala. Ia benar-benar
siap menyongsong ujian. Ia benar-benar siap untuk lulus.
Teman-teman satu rumahnya, semuanya su-dah sampai pada
tahap konsentrasi penuh. Sudah siaga satu menghadapi ujian.
Fadhil sudah bisa menguasai dirinya untuk sementara
waktu. Masalahnya dengan Tiara sementara terlupakan dengan
sendirinya. Nasir sudah sering di rumah. Ia sudah lebih
tenang. Kasusnya berkaitan dengan Wail El Ahdali tak lagi

mengganggu pikirannya. Seorang maba-hits telah menemuinya
di rumahnya dan tidak bisa membuktikan ia terkait dengan
jaringan yang dicurigai pemerintah Mesir. Nanang berjuang
keras menghafalkan muqarrar Al-Qurannya. Ia harus lancar
enam juz. Sementara Ali seperti biasa, jika menghadapi ujian,
sering itikaf di Masjid Musa bin Nushair Hayyu Sabe'. Berangkat
jam sembilan pagi pulang jam delapan malam. Sementara
nun jauh di Katamea sana, Hafez sudah meringkas hampir
semua materi mata kuliah yang diujikan. Hafez sudah menemukan
kembali jati dirinya.
Di Masakin Utsman, Cut Mala dan teman-temannya sudah
jarang keluar rumah. Mereka sibuk dengan diktat masingmasing.
Semua sibuk menghadapi ujian. Semua tegang. Kecuali
Furqan. Ia sibuk menata barang-barangnya ke dalam kopernya.
Lusa dia akan terbang ke Indonesia. Keluarganya sudah
menunggunya. Mereka akan menjemputnya di Bandara
Soekarno-Hatta. Ibunya bahkan mengabarkan telah mempersiapkan
syukuran besar-besar atas prestasi-nya meraih predikat
summa cumlaude untuk gelar masternya.
Furqan sangat berbunga-bunga. Rasanya ia tidak sabar
menunggu satu hari saja. Ia ingin segera sampai ke Indonesia.
Jumpa keluarga. Syukuran. Lalu terbang ke Jogja dan berkunjung
ke rumah Anna Althafunnisa di Klaten sana.
Biasanya, orang yang mau pulang ke Tanah Air didatangi
oleh banyak teman. Baik yang cuma sekadar menjenguk
untuk memberikan sekadar doa selamat, maupun yang datang
untuk menitip sesuatu. Namun suasana di rumah Furqan
sangat sepi. Di rumah itu ia cuma sendiri. Rumah tiga kamar
itu hanya dihuni oleh tiga orang. Masing-masing menempati
satu kamar. Tiga orang itu adalah Furqan, Abduh dan Maftuh.
Ketiganya orang Jakarta. Dan ketiganya anak orang kaya.
Abduh sedang ke Dokki. Adapun Maftuh sedang ke Thub
Ramli.
Tak ada yang datang hari itu. Mungkin karena para
mahasiswa sedang konsentrasi belajar. Atau mungkin karena
Furqan sangat sering pulang. Tiap tahun pulang dua kali. Jadi

tidak ada yang istimewa dengan kepulangannya. Mereka
menganggapnya hal yang biasa. Berbeda jika mahasiswa lain
yang pulang. Yang lima tahun tidak pernah pulang terus mau
pulang ke Tanah Air untuk selamanya. Terasa istimewa.
Maka banyak yang menjenguknya.
Setelah selesai mengemasi barang-barangnya, Furqan
merapikan kamarnya. Ia sangat berharap secepatnya kembali
lagi ke Cairo dengan membawa Anna Altha-funnisa sebagai
isterinya. Ia dan kedua temannya sudah sepakat bahwa siapa
yang duluan menikah berhak menempati rumah itu. Dan yang
tidak menikah terpaksa harus pindah. Ia yakin ialah yang akan
menempati rumah itu. Tiba-tiba ia teringat sesuatu.
"Masya Allah, aku belum membeli mushaf khusus untuk
mahar," lirihnya pada diri sendiri. "Insya Allah nanti bakda
Ashar aku akan ke Darussalam dan membeli mushaf untuk
mahar yang terbaik dan termahal untuk Anna," gumamnya.
Sayup-sayup ia mendengar bel rumahnya berbunyi. Ya.
Benar. Ia membuka pintu kamarnya dan keluar untuk mem -
buka pintu. Begitu pintu terbuka ia agak kaget. Seorang berpakaian
polisi. Setelah memberi salam polisi itu bertanya,
"Anda yang bernama Furqan..?"
"Ya benar. Ada apa ya..?"
"Saya diminta oleh Kolonel Fuad untuk membawa Anda
ke kantornya sekarang. Penting!" Kata polisi itu dengan nada
tegas dan terasa kurang ramah. Furqan jadi bertanya-tanya
dalam hati; ada apa gerangan..? Apa yang terjadi..?
"Sekarang..?!" Furqan meminta ketegasan ulang.
"Ya sekarang juga! Saya tunggu!" jawab polisi itu.
"Baiklah."
Furqan masuk ke kamarnya untuk ganti pakaian. Lalu
keluar dan meluncur ke Abbasea bersama polisi itu.
Sampai di Abbasea ia disambut oleh Kolonel Fuad.

"Maaf mengganggumu Furqan.Tapi ini prosedur standar
dan ini penting," kata Kolonel Fuad sambil mengisyarat-kan
Furqan untuk duduk.
"Saya tidak paham dengan yang Kolonel maksud," tukas
Furqan bingung.
"Aku tahu kau besok pagi mau pulang ke Indonesia. Tapi
sayang rencana kepulanganmu agaknya harus tertunda."
"Apa maksud Kolonel..?"
"Kau harus periksa darah dulu!"
"Kenapa untuk pulang saja harus periksa darah. Kalian
jangan membuat peraturan yang mengada-ada. Mentang
mentang ini negara kalian ya!" Furqan emosi mendengar
perintah Kolonel Fuad yang baginya sangat tidak masuk akal.
"Tenanglah dulu Furqan. Akan aku jelaskan duduk persoalannya.
Aku sebenarnya tak ingin merepotkan siapa saja.
Atau mencegah seseorang pulang ke negaranya. Tapi untuk
kebaikan bersama, kebaikan bagi kamu, teman-teman kamu,
negara kamu dan negara kami, maka prosedur ini harus dijalani.
Begini Furqan, penyelidikan kami menemukan hal yang
sangat tidak kita inginkan bersama. Perempuan brengsek
yang mengaku sebagai Miss Italiana itu memang benar-benar
orangnya Mosad. Selain dikirim ke Mesir ini sebagai mata -
mata, ternyata ia juga ditugaskan untuk merusak masyarakat
negeri ini. Korbannya ternyata sudah puluhan. Ada yang jadi
korban amoralnya dalam arti yang sesungguhnya. Ada yang
cuma menjadi korban intimidasinya. Lha kami tidak tahu
kamu ini termasuk jenis yang mana. Kamu tergolong yang
menjadi korban intimidasinya saja atau juga korban amoralnya..?"
Furqan diam di tempat duduknya. Mendengar penjelasan
Kolonel Fuad itu tiba-tiba ada aliran kecemasan yang menyusup
ke dalam dadanya.
"Bisa lebih jelas lagi maksud Kolonel dengan korban
amoral dan korban intimidasi..?" tanyanya.
Kolonel Fuad mengusap mukanya lalu menjawab.

"Aku harap kau tidak kaget dengan penjelasanku ini.
Perempuan bule itu nama aslinya adalah Golda Olmetz. Ia
seorang pelacur profesional di Tel Aviv yang diambil Mosad
sebagai tentaranya. Perempuan itu seorang pengidap AIDS.
Ia ditugaskan ke Mesir memang untuk menu-larkan virus itu
pada penduduk Mesir."
Mendengar hal itu muka Furqan langsung pucat pasi.
Bibirnya biru.Badannya dingin. Tulang-tulangnya seperti dilolosi.
Ia diam seribu bahasa. Kolonel Fuad melanjutkan
keterangannya,
"Sudah puluhan orang yang menjadi korban kebejatan
dan kejahatan Golda Olmetz ini. Hampir semuanya yang
pernah difoto bugil bersamanya terkena AIDS. Namun kami
juga menemukan ada empat orang yang tidak tertulari AIDS,
hanya menjadi korban intimidasi saja. Saya tidak tahu kamu
masuk kriteria korban yang mana. Sebab menurut ceritamu,
saat itu, kamu tidur tidak merasakan apa-apa, tiba-tiba bangun
dalam keadaan nyaris tak berbusana, dan menemukan foto itu.
Lha saat kamu tidur itu apa yang dilakukan perempuan itu
kepadamu kan kita tidak tahu. Untuk memastikan, kamu harus
periksa darah dulu."
Tubuh Furqan seperti lumpuh. Dunia terasa sangat menakutkan.
Langit seolah mau runtuh menimpanya. Tanpa
terasa airmatanya mengalir di pipinya. Kolonel Fuad menatap
wajah Furqan yang sayu kehilangan harapan hidupnya. Maka
ia berusaha sedikit menenangkan,
"Aku tahu berita ini sangat berat bagimu Furqan. Tapi
kamu harus tegar menghadapinya. Aku percaya sepenuh-nya
kau orang baik. Kau hanya korban. Semoga kau tetap bersih
tidak tertulari virus AIDS itu. Jika ternyata kau terkena AIDS,
kau adalah orang yang beriman. Itulah takdirmu. Kau harus
sabar menerimanya. Kau akan diantar Sersan Shabur ke Ru -
mah Sakit Ains Syams untuk periksa darah. Semua biaya kami
yang menanggung. Tiga hari lagi akan ketahuan hasilnya.
Sekarang kau boleh berangkat." Kata Kolonel itu lalu memanggil
anak buahnya. Lalu Furqan dibawa ke Rumah Sakit
Ains Syams untuk diambil darahnya guna diperiksa. Tiga hari

lagi ia diminta datang untuk mengambil hasilnya. Dari rumah
sakit Furqan langsung diantar pulang ke flatnya.
Begitu ia tiba di kamarnya, Furqan tak kuasa menahan
tangisnya. Ia menangis meraung-raung seperti anak kecil.
Untunglah saat itu hanya ia sendiri yang ada di rumah itu. Ia
merasakan kecemasan yang paling hebat. Kecemasan yang
belum pernah ia alami sebelumnya. Ia juga merasakan keta -
kutan yang luar biasa. Ketakutan yang juga belum pernah ia
alami sebelumnya. Dan ia juga mengalami kesedihan yang
nyaris membinasakannya. Ia merasa menjadi manusia paling
sengsara di dunia. Ia menangis sambil menyebut-nyebut nama
Allah.
"Ya Allah, ya Allah, ya Allah! Ya Allah kasihanilah hamba-
Mu yang lemah ini ya Allah!"
Ia tak tahu harus berbuat apa saat itu. Dan ia tidak kuat
membayangkan jika hasil test darah itu memvonisnya positif
terkena HIV. Hancur sudah masa depannya. Jika itu yang
terjadi, ia merasa akan menjadi bangkai yang berjalan. Ia akan
dianggap lebih menjijikkan dari kotoran dan lebih busuk dari
sampah yang paling busuk. Jika itu yang terjadi, ia merasa
riwayatnya telah tamat sebelum ia mati.
Ia terus meratap kepada Allah.
Ia baru merasa betapa lemah, kerdil dan tiada berdaya
dirinya. Semua rasa optimisnya lenyap. Ka lkulasi-kalkulasi
dan prediksi-prediksinya yang selarna ini ia agungkan sebagai
pilar paling vital untuk menentukan hukum-hukum takdir
yang diyakininya sama sekali sirna. Tak ada lagi kalkulasi matematis.
Tak ada lagi hitung-hitungan strategis. Tak ada lagi
prediksiprediksi logis. Semua lenyap di hadapan rasa cemas,
takut dan sedih tia-da terkira. Semuanya lenyap di hadapan
kenyataan yang dialaminya.
Begitu cepat kondisi berubah. Baru saja ia merasa sangat
optimis, sangat yakin akan memboyong Anna Althafun-nisa
sebagai isterinya ke Cairo dan menempati rumahnya, ia
bahkan merencanakan akan membeli mushaf mahar paling
baik dan paling mahal untuk Anna, tiba-tiba semua berubah.

Rasa optimisnya tak tersisa sedikit pun. Yang ada hanya rasa
takut dan sedih tiada terkira.
Ia merasa begitu kecil dan kerdil. Begitu tidak ada artinya.
Ia baru merasa bahwa manusia sesungguhnya tidak bisa
menentukan takdirnya. Manusia sama sekali tidak bisa som -
bong bisa menentukan takdirnya. Kewenangan yang diberikan
Tuhan untuk manusia hanyalah berikhtiar dan berusaha.
Adapun takdir sepenuhnya ada-lah hak dan keputusan Tuhan
Yang Maha Kuasa. Tuhan-lah yang berhak memutuskan
segala-galanya. Dan Dialah Yang Maha Pemberi keputusan
lagi Maha Mengetahui.

Detik demi detik ia dicekam rasa cemas dan takut. Ia
merasa seperti seorang penjahat yang menunggu giliran
eksekusi hukuman mati. Ia seperti menunggu giliran un-tuk
dihukum pancung. Ia tak bisa berbuat apa-apa kecuali pasrah.
Ia terpaksa mengundurkan jadwal pulangnya. Beberapa orang
yang tahu ia akan pulang kaget ia tak jadi pulang.
Abduh dan Maftuh bertanya, "Kok diundur kenapa?"
Furqan menjawab, "Masih ada keperluan yang harus aku
selesaikan."
Ia masih belum bisa menerima bahwa ini semua akan
menimpa dirinya.

"Ya Allah jangan Engkau uji hamba dengan penyakit itu.
Ya Allah rahmati hamba-Mu yang lemah ini, rintihnya
berulang kali dalam hati.
Setiap kali shalat ia selalu menangis. Ia merasa tidak ada
lagi tempat berlabuh dan mengungsi mencari keamanan kecuali
kepada Allah Yang Maha Mengatur nasib hamba hamba-
Nya. Bayangan menakutkan mengidap virus HIV terus menterornya.
Ia sangat sedih dan membutuhkan orang yang
menghiburnya. Namun ia tidak berani bercerita. Ia simpan
sendirian di dalam dada. Ia sangat tersiksa.
Jika akhirnya ia benar-benar mengidap HIV, habis sudah
masa depannya. Ia merasa menjadi orang paling malang dan
paling sengsara di dunia. Ia merasa menjadi manusia paling
hina dan paling tiada berguna. Ia akan dipandang sebagai
makhluk yang menjijikan oleh siapa saja. Bahkan juga oleh
keluarganya.
Ia kembali menangis meratapi nasibnya. Apa gunanya
gelar M.A., jika ia mengidap penyakit paling ditakuti manusia
sedunia. Apa gunanya belajar bertahuntahun di bumi para
nabi, jika akhirnya pulang hanya membawa aib bagi diri dan
keluarga.
Ia benar-benar merasa sangat nelangsa dan tersiksa. Ia
merasa, kepalanya dipenggal seribu kali lebih baik dari-pada
disiksa dengan rasa takut yang sangat mencekik seperti ini.
Dalam kondisi seperti itu ia terus berusaha untuk tetap sadar,
bibir dan hatinya basah oleh istighfar.
Tiga hari berlalu. Hari penentuan tiba. Dengan tubuh
lemah ia datang ke Rumah Sakit Ains Syam untuk mengambil
hasil test darahnya. Ia berharap bahwa Allah masih melindungi
dirinya.

Ketika ia menanyakan hasil test darahnya pada seorang
petugas dengan memberikan secarik bukti ia pernah test tiga
hari yang lalu, petugas itu berkata,
"Maaf Tuan, dengan sangat terpaksa Tuan harus test
darah lagi."
Mendengar kata -kata itu tubuhnya seakan mau hancur.
Tubuhnya gemetar. Dengan terbata -bata ia bertanya, "Ke...kenapa..?
A...apa ada tanda-tanda saya positif. Dan untuk
meyakinkan lagi saya harus test ulang..?"
"Tidak Tuan. Kebetulan sampel dari Tuan dan beberapa
sampel yang lain hari itu belum kami bawa ke laborato-rium.
Kami letakkan di almari itu. Dan almari itu ambruk karena
kecerobohan seorang petugas kami. Sampel-sampel darah itu
tumpah. Jadi tidak bisa dianalisis di laboratorium. Kami benarbenar
minta maaf atas insiden yang tidak kami inginkan ini.
Jadi Tuan kami minta test darah kembali. Kami akan menganalisisnya
secepat mungkin, besok Tuan bisa datang melihat
hasilnya. "
Furqan sedikit lega. Ia merasa eksekusi hukuman pancungnya
tertunda satu hari. Dengan pasrah ia kembali diambil
darahnya. Furqan pulang dengan pikiran kosong. Hidup ia
rasakan sebagai sebuah penderitaan.
* * *
Kampus Al Azhar University kembali memperlihatkan
wibawanya.
Ujian Al-Quran secara lisan mulai dilaksanakan
Mayoritas mahasiswa bergumul dengan hafalannya. Ada
yang optimis, ada yang pesimis. Yang hafalannya lancar, ujian
lisan terasa sangat menyenangkan. Tak ada yang perlu dita -
kutkan. Apa yang perlu ditakutkan oleh orang yang hafal
ayat-ayat suci Al-Quran..? Melantunkan ayat-ayat suci Al

Quran yang diminta doktor penguji dengan tartil dan tenang
adalah sebuah kenikmatan yang susah dilukiskan.
Sebaliknya, bagi yang tidak hafal, atau belum hafal, masuk
gerbang kampus saja telah membuatnya berkeri-ngat
dingin. Wajah ramah doktor penguji terasa sangat menyeramkan.
Detik-detik dilalui dengan jantung berdegup kencang.
Azzam tidak perlu datang ke kampus, karena ia sudah
tidak perlu lagi ujian Al-Quran. Semua mata kuliahnya sudah
lulus. Tinggal satu saja yang belum; yaitu Tafsir Tahlili. Hari
itu yang ujian Al-Quran adalah Ali dan Nanang. Ali berangkat
dengan tenang dan senyum mengembang. Enam juz telah ia
hafal sejak dua bulan yang lalu di luar kepala. Selama di dalam
bus, dari rumah sampai kampus, ia mengulang hafalannya
dengan penuh penghayatan.
Sementara Nanang berangkat dengan wajah pucat. Selain
karena kurang tidur, karena semalam suntuk ia ma-sih
berjuang menghafal, ia didera rasa cemas lantaran masih ada
sahu juz yang belum benar-benar ia hafal. Yaihu juz enam.
Jika juz enam yang jadi perhatian utama doktor penguji, maka
mata kuliah Al-Quran benar-benar terancam. Nanang benarbenar
pasrah. Ia sedikit menye-sal kenapa tidak sejak awal
tahun ia menghafal, sehingga mendekati ujian seperti itu ia
tinggal mengulang dan mengulang.
Sampai di kampus, ujian lisan telah berjalan. Ali langsung
menyerahkan kartu mahasiswanya begitu doktor penguji
keluar dari ruangan unhuk memanggil mahasiswa yang siap.
Ali masuk bersama dua orang dari Pakistan. Doktor benarbenar
menguji. Setiap juz ditanyakan. Ali bisa menjawab
dengan lancar dan tenang. Dua mahasiswa dari Pakistan itu
menjawab dengan bacaan yang indah dan lantang. Doktor
penguji tersenyum senang. Semua pertanyaan tidak ada yang

tidak terjawab. Akhirnya doktor penguji berkata, "Semoga
Allah memberkahi kalian!"
Ali dan dua mahasiswa Pakistan keluar dengan senyum
mengembang.
Di ruang yang lain, Nanang baru saja masuk karena namanya
dipanggil doktor penguji. Ruang ujian Nanang dan
ruang Ali terpisah. Nomor induk mahasiswalah yang menentukan.
Nanang duduk sendirian. Ia tegang. Doktor pengujinya
memilih menguji mahasiswanya satu per satu.
"Namamu Nanang..?" tanya Doktor itu.
"Iya Doktor."
"Dari Indonesia ya..?"
"Indonesianya di daerah mana..?"
"Dari Lamongan, Jawa Timur, Doktor."
"Lamongan itu kalau dari Surabaya jauh..?"
"Tidak terlalu jauh, kurang lebih lima puluh kilo saja."
"Tahun lalu saya ke Surabaya, saya diudang oleh seorang
Doktor Tafsir lulusan Al Azhar ini yang mengajar di sana.
Saya diundang untuk memberi prasaran tentang ‘Dunia jin dan
Setan dalam Pandangan Al-Quran dan Sunnah'." Jelas Doktor
berkaca mata tebal itu.
"Doktor sempat ke mana saja selama di Indonesia, terutama
ketika di Surabaya..?" Rasa tegang Nanang telah hilang.
Ia jadi berani bertanya kepada Doktor yang hendak mengujinya
itu.
"Selain di IAIN Sunan Ampel, saya sempat memberi
ceramah di Universitas Airlangga, wawancara di Radio Delta,
dan dibawa panitia ke sebuah pesantren tua di Bangkalan. Oh
ya, saya juga diminta memberikan kuliah umum di Universitas
Muhammadiyah Malang."
"Bagaimana kesan Doktor selama di Indonesia..?"
"Saya sangat terkesan. Saya diperlakukan laiknya seorang
raja. Apalagi ketika di Malang. Saya suka dengan
panorama alamnya, sejuk dan indah. Saya kira, Universitas
Muhammadiyah Malang sangat beruntung bisa bertengger di
tempat seindah Malang. Oh ya sudah terlalu banyak kita
berbincang. Sekarang saatnya ujian Al-Quran. Dua soal saja
untukmu. Coba kau lantunkan awal juz dua!"
Nanang sedikit tergagap,tapi ia langsung menguasai diri.
Awal juz dua sangat ia hafal. Ia langsung melantunkan ayat
ke-147 dari surat Al Baqarah dengan pelan-pelan. Setelah tiga
ayat ia baca, doktor menyuruhnya berhenti.
"Teruskan ayat ini: Qaala Rabbii innii laa amliku illa nafsi
wa akhi..!" Perintah Doktor penguji.
Nanang langsung memeras otaknya, memutar memorinya.
Ia tahu ayat itu ada di surat Al Maidah, ada di juz enam.
Beberapa kali telah ia baca. Namun ia belum hafal. Ia berusaha
mencari sambungannya, tapi sama sekali tidak bisa. Setelah
beberapa kali mencoba dan tidak kisa ia akhirnya menyerah
dan berterus terang,
"Maaf Doktor, juz enam saya belum hafal benar."
"Baiklah. Kau boleh meninggalkan ruangan. Dan tolong
panggilkan mahasiswa yang bernama Mat Nazri."
Nanang keluar dengan perasaan tidak tenang. Ia bisa
menjawab satu, dan ia gagal satu. Ia tidak yakin Al Qurannya
akan lulus. Namun ia masih juga berharap Doktor itu
memberikan belas kasihan padanya.
***

Sore itu menjelang Maghrib, Furqan telentang di tempat
tidurnya. Semangat hidupnya benar-benar redup. Ia merasa
hidup matinya ditentukan oleh hasil test darahnya besok.
Keterangan Kolonel Fuad membuat bulu kuduknya merinding.
Begitu banyak korban perempuan jalang kiriman Mosad
itu. Nyaris semuanya terkena virus HIV. Hanya empat orang
yang tidak kena dan masih bersih. Artinya persentase selamatnya
kecil.
Airmatanya meleleh. Bagaimana nanti hancurnya ayah
dan ibunya jika ia benar-benar mengidap virus itu..? Akan
ditaruh di mana mukanya jika hal itu menjadi berita nasional
di Tanah Air. Seorang mahasiswa Indonesia di Mesir, Mantan
Ketua PPMI terkena AIDS. Di bumi mana ia sanggup
mengangkat kepala dengan tegak.
Dan Anna Althafunnisa. Ah, jika ia terkena AIDS keinginannya
menyunting Anna ibarat punguk merindukan
bulan. Mustahil Anna akan mau menerimanya. Dan kalau toh
Anna menerimanya, ia sendiri mana mungkin tega menulari
perempuan pujaan hatinya dengan penya-kit AIDS yang
dideritanya. Hanya Allah lah yang bisa menyelamatkannya. Ia
benar-benar mengharap dan mengiba belas kasih dari Allah.
Kepada siapa lagi ia melabuhkan harapannya selain kepada
Allah swt..?
Ia teringat firman-Nya:
Dan sesungguhnya kepada Tuhannmulah kesudahannya segala
sesuatu.
Dan sesungguhnya Dialah yang menjadikan orang ter-tawa
dan nzenangis.
Dan sesungguhnya Dialah yang menghidupkan dan mematikan.

Dan sesungguhnya Dialah yang menciptakan pasangan laki-laki
dan perempuan.
Kini tak ada yang bisa dilakukannya kecuali menangis
memohon belas kasih-Nya, dan dengan segenap jiwa, ia pasrah
dalam genggaman kekuasaanNya.
Furqan menghapus airmatanya ketika ia mendengar suara
seseorang masuk rumah. Temannya pulang. Bisa Abduh
bisa Maftuh. Ia berusaha menghapus kesedihannya. Ia harus
tampak biasa. Beberapa saat kemudian pintu kamarnya
diketuk pelan.
"Mas Furqan, Mas Furqan!"
Itu suara Abduh.
"Iya masuk saja Duh, tidak dikunci," jawab Furqan. Ia
masih terlentang dan pura-pura membaca majalah Mimbratul
Islam. Abduh masuk.
"Saya siang ini baru tahu kenapa akhir-akhir ini Mas
Furqan sedih. Siapa perempuan bule itu Mas..? Mas sudah
menikah diam-diam ya..? Atau...? Tapi kenapa foto-foto seperti
itu bisa dipajang di internet..? Tolong jelaskan, Mas!"
"Kau lihat foto-foto apa sih Duh..?" Furqan balik bertanya.
Ia sebenarnya sangat kaget mendengar pertanyaan Ab-duh,
tapi ia harus berusaha seolah tidak terjadi apa-apa.
"Tadi dari Dokki, aku singgah di sebuah warnet di Tahrir
Mas, aku ingat kalau punya janji chatting dengan adikku yang
kuliah di UNDIP Semarang. Di sela -sela chatting aku buka
email. Aku mendapat email dari seo-rang teman di Amerika

yang menginformasikan ada foto asusila yang disebar oleh
mahasiswa Al Azhar. Temanku itu memberi alamat websitenya.
Aku buka, dan ternyata itu foto-fotomu dengan seorang
perempuan bule. Ada keterangannya panjang lebar di setiap
foto."
"Yang benar Duh..?" tukasnya dengan nada tidak jelas
antara menyanggah dan kaget.
"Aku tidak salah lihat Mas. Bahkan selain foto-fotomu ditampilkan
juga kartu identitas pasca sarjanamu Mas. Ka -lau
tidak percaya ayo kita lihat. Mana laptopmu Mas..?"
Furqan menunjuk ke arah lemarinya. Kepalanya terasa
mau pecah. Abduh tak mungkin bohong. Kini foto-foto itu
telah menyebar ke seluruh dunia. Ia rasanya ingin mati saja.
Abduh menyalakan laptop, mengambil kabel telpon dan
menyambungkannya ke jaringan internet. Sepuluh menit
kemudian ia sudah membuka website yang ia maksud.
"Ini Mas, ada lima belas foto tidak senonoh. Mas modelnya.
Dan ini foto ruangan hotelnya. Itu meja di mana ada
laptop dan naskah tesis Mas. Trus terakhir lihat ini, kar-tu
mahasiswa Mas!"
Furqan tak bisa menyangkal. Sesaat lamanya ia tak bisa
bicara. Hanya airmatanya yang menjawab apa yang dilihatnya.
"Aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada dirimu
Mas. Tolong jujurlah padaku agar aku tidak berburuk sangka
padamu!" Pinta Abduh sambil menatap orang yang selama ini
dihormatinya itu dengan seksama.
Furqan malah merangkul Abduh dan menangis tersedusedu.
Abduh diam saja. Ia membiarkan Furqan puas menangis
dalam rangkulannya. Setelah puas Furqan melepaskan rangkulannya
dan menceritakan dengan terbata-bata semua yang

dialaminya selama ini. Ia curahkan semua kesedihan dan
penderitaannya.
"Kalau kau tidak memercayaiku Duh, lalu siapa yang
akan percaya padaku..? Kalau kau tidak menghiburku dan
menguatkanku siapa yang akan menghibur dan menguatkanku?
Besok adalah penentuan. Doakan aku Duh, aku takut
sekali. Aku tak bisa membayangkan terpukulnya keluargaku
jika aku terkena AIDS Duh!"
Furqan kembali menangis. Abduh yang mendengar itu
semua ikut terharu dan meneteskan air mata.
"Ini memang berat Mas. Tapi percayalah Allah Maha
tahu dan Maha Bijaksana. Semua akan baik-baik saja. Percayalah
Mas. Aku akan selalu mendukung Mas, apapun yang
terjadi. Aku ada di belakang Mas, ada di samping Mas. Aku
percaya Mas tidak bersalah, Mas difitnah, Mas tidak kena
virus itu dan Mas tetap memiliki masa depan yang baik," lirih
Abduh meyakinkan Furqan.
Kata-kata Abduh itu sangat berarti bagi Furqan. Ia
kembali memeluk adik kelasnya itu.
"Terima kasih Duh."
"Mas harus yakin bahwa Mas tidak apa-apa. Semua akan
baik-baik saja. Mas harus yakin, Mas tidak boleh memi-kirkan
yang tidak-tidak. Ingat Mas, Allah itu mengikuti prasangka
hamba-Nya kepada-Nya. Jika Mas berkeyakinan bahwa Allah
Maha Pengasih dan Allah menjaga Mas, insya Allah itulah
yang akan terjadi!"
"Iya Duh, terima kasih atas dukunganmu.

LANGIT SEOLAH RUNTUH
Malam itu Furqan tidak tidur. Setelah shalat Tahajud, ia
mengharu biru bermunajat kepada Tuhannya. Shalawat Munjiyat
ia hayati dan ia baca berulang kali. Doa Nabi Yunus ia
resapi maknanya dan ia baca berulang-ulang kali dengan airmata
terus menetes tiada henti.
Menjelang Subuh ia lelah. Ia rindu pada hadis-hadis Nabi.
Ia membuka Sunan Tirmidzi. Ia membuka asal membuka. Kedua
matanya membuka sebuah riwayat dari Anas: Sesungguhnya
sedekah itu bisa meredam murka Tuhan dan menjaga seseorang
dari kematian yang buruk. 70 Hadis yang termaktub dalam Su-
nah Tirmidzi itu begitu terasa menyejukkan kalbunya. Ia tak
ingin dimurka Allah. Ia tak ingin mati dalam keadaan buruk.
Maka paginya setelah shalat Subuh dan itikaf sampai
Dhuha tiba ia keluar masjid dan berjalan sepanjang jalan
untuk membagi sedekah pada orang Mesir yang memerlukannya.
Barulah setelah itu ia sarapan dan pulang. Pagi itu
jiwanya lebih tenang. Ia lebih siap membaca hasil test
darahnya.

Jam sepuluh ia pergi ke Rumah Sakit dengan menggunakan
bus. Hal yang sudah lama tidak ia lakukan. Biasanya ia
memakai mobil sendiri atau taksi.
Sampai di Terminal Abbasea ia melihat seorang ibu meminta-
minta. Ia turun. Ia sedekahkan uang lima puluh pound.
Ibu-ibu itu terbelalak, lalu mengucapkan beribu-ribu terima
kasih dan nyaris sujud di kakinya saking gembiranya. Ia lalu
melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki. Sepanjang jalan ia
terus melafalkan doa Nabi Yunus tiada henti. Dengan harapan
ia diselamatkan oleh Allah sebagaimana Nabi Yunus disela -
matkan oleh Allah.
Begitu sampai di Rumah Sakit, sang petugas sudah tahu
kenapa dia datang. Tanpa ia bertanya petugas berkumis tipis
itu langsung menyodorkan selembar kertas, sambil berkata,
"Ini hasilnya Tuan!"
Furqan langsung membukanya perlahan dengan tangan
gemetaran. Jantungnya berdegup kencang. Ia membaca-nya
dengan seksama. Ia mengeja hasil yang tertera dalam kertas
putih itu. Dan ia dinyatakan POSITIF. Jan-tungnya nyaris
berhenti. Ia tidak percaya dengan apa yang ia baca. Ia perhatikan
baik-baik. Ia eja hurufnya. Dan kata yang tertulis tetap
sama: POSITIF. Ia baca keterangan lain. Mungkin inisial
yang salah. Mungkin nama yang tertera di situ bukan namanya.
Tapi ia tidak mendapatkan hal yang mengubah rasa

tertekannya yang luar biasa. Nama yang tertera dan nomor
paspornya adalah miliknya.
Ia merasakan langit seolah runtuh menimpa kepalanya.
Pikirannya terasa gelap. Air matanya langsung tumpah. Ia
merasa telah mati. Pedang yang sangat tajam seolah telah
membabat lehernya. Tombak paling tajam dan berkarat seolah
menancap di dadanya. Seluruh persendiannya seolah dipaku
dengan paku-paku berkarat nan runcing. Tulang-tulangnya
seolah telah dilolosi satu per satu. Sesaat lamanya ia tidak bisa
berbuat apa-apa. Seolah-olah bumi hendak membetot kakinya.
Airmatanya terus meleleh membasahi pipinya.
"Anda tidak apa-apa?" Tanya petugas berkumis tipis
pelan.
"A...apakah ini tidak mungkin keliru..?" Kata Furqan dengan
suara terbata-bata.
Petugas itu menggelengkan kepalanya seraya berkata
pelan, "Tidak mungkin. Bersabarlah. Ujian Allah bisa datang
dalam bentuk apa saja. Bersabarlah!"
Tangis Furqan meledak, "Bagaimana mungkin ini terjadi..?
Bagaimana mungkin..? Aku tidak pernah melakukan dosa
besar itu. Tidak pernah!"
Tangisnya menarik perhatian beberapa orang yang lewat
tak jauh dari tempatnya berdiri.
"Sabarlah saudaraku. Sabarlah. Tenangkan pikiranmu.
Percayalah Allah Maha Pengasih dan Penyayang."
"Aku tak percaya lagi Allah Maha Penyayang. Aku tak
percaya lagi hi... hi...!" Hati Furqan benar-benar terguncang.
Ia merasa dunianya telah kiamat. Belaiar kerasnya selama ini
sia-sia. Gelar masternya sia-sia. Hidupnya sia-sia. Dan ibadahnya
menyembah Allah selama ini ia rasakan sia-sia.

"Aku tak percaya lagi Allah Maha Penyayang. Aku tak
percaya lagi...!" Furqan kembali mengulang apa yang baru saja
diucapkannya sambil menangis.
Petugas berkumis tipis itu bangkit dari tempat duduknya
lalu berdiri mendekap Furqan. Ia mendekap seperti seo-rang
ayah mendekap anak kesayangannya.
"Aku percaya kau sedih. Aku percaya kau terpukul. Tapi
dinginkanlah kepalamu. Bersabarlah. Apa yang tertulis dalam
kertas itu belum akhir dari hidupmu. Masih ba-nyak yang bisa
kau lakukan dalam hidupmu."
Furqan memeluk petugas itu erat-erat.Ia memeluk seperti
anak kecil memeluk ibunya karena takut jika ditinggal pergi.
"Hidupku sudah tamat. Aku sudah mati! Lebih baik aku
langsung dikubur saja daripada aku harus menanggung aib
yang sangat memalukan diriku, ibuku, ayahku, dan keluarga -
ku!"
"Bersabarlah. Sebagian besar orang yang terkena HIV
memang akibat dari perbuatan dosa, perbuatan yang menjijikkan.
Namun ada yang terkena HIV bukan karena dosanya.
Hanya karena takdir telah menggariskan dia demikian,
sebagai ujian. Jangan pesimis. Kenapa tidak kauanggap ini
sebagai ujian yang kau harus lulus dengan hasil terbaik di sisi
Allah?"
"Kau bisa berkata begitu karena kau tidak mengalami apa
yang aku alami. Aku tak tahu harus berbuat apa lagi. Ke mana
aku harus melangkahkan kaki ini. Aku tidak tahu. Hidupku
sudah tamat!"
Petugas berkumis tipis itu diam. Furqan masih terisakisak.
Tiba-tiba Furqan merasakan kepalanya seperti dikeluarkan
isinya. Sakit sekali. Lalu semuanya terasa gelap.

Furqan pingsan. Petugas ihl membawa Furqan ke ruang
perawatan. Pada saat ihl Kolonel Fuad datang. Ia berbincang
sebentar dengan petugas. Ia lalu melihat Furqan. Kolonel
Fuad mengamankan segala sesuahmya. Ia meminta kepada
pihak rumah sakit untuk menjaga keraha-siaan apa yang
dialami Furqan. Dia mengatakan, "Pihak Keamanan Negara
yang akan langsung menangani hal ini." Kolonel Fuad lalu
menunggu Furqan sampai siu-man.
Begitu siuman Furqan langsung ingat apa yang dialaminya.
Ia langsung menangis. Kolonel Fuad menenangkannya.
"Aku akan membantumu. Aku akan membantu menyelamatkan
reputasimu, nama baikmu dan keluargamu. Tapi kau
harus dengar kata -kataku Furqan!" Kata Kolonel Fuad tegas.
Furqan diam sesaat. Kata-kata Kolonel Fuad ihu memberikan
setitik cahaya dalam gelap dunia yang ia rasakan.
"Aku telah minta rumah sakit merahasiakan hasil pemeriksaanmu.
Aku akan minta mereka menghapus filemu. Tapi
kau tetap harus meninggalkan negara ini. Dan kau harus
berjanji padaku, bersumpah demi Allah bahwa kau tidak akan
membahayakan orang lain. Tidak akan menu-larkan virusmu
pada orang lain. Kalau kau mau aku akan bantu dirimu. Akan
aku bantu menutup rahasiamu ini. Tak akan ada orang yang
tahu bahwa kau mengidap virus HIV kecuali kau sendiri, aku,
beberapa petugas rumah sakit dan tentu saja Allah Swt.
Dengan begitu kau masih bisa menghirup udara dengan lebih
lega. Bagaimana..? Kau mau berjanji padaku dan bersumpah
demi Allah..?"
Mata Furqan sedikit berbinar.
"Mau Kolonel."
"Baiklah." Kolonel itu lalu mengambil mushaf Al-Quran
dari saku depan jaket cokelat tuanya. "Peganglah Al-Quran ini

dan bersumpahlah bahwa kau tidak akan menularkan virusmu
pada orang lain."
Dengan meneteskan airmata Furqan bersumpah seperti
yang diminta oleh Kolonel Fuad. Ia sedikit lega. Tapi dunia
sudah tidak lagi cerah baginya. Baginya hidup ini sudah tidak
ada lagi gairahnya.
"Terima kasih Kolonel. Bagaimana dengan KBRI..? Saya
sudah pernah bercerita apa yang saya alami pada orang-orang
KBRI..? Dan bagaimana dengan temanteman satu rumah saya?
Mereka sudah tahu bahwa saya periksa darah?"
"Ah itu gampang!" Jawab Kolonel Fuad. "Aku akan mintakan
untuk kamu agar rumah sakit membuatkan kete-rangan
bahwa hasil kamu negatif. Itu bisa kamu tun-jukkan pada
teman-teman satu rumah kamu dan orang-orang KBRI yang
bertanya padamu. Dengan begitu nama kamu di Mesir ini
tetap bersih. Sebab aku tahu sesungguhnya kamu sama sekali
tidak bersalah dalam masalah ini. Bagaimana..?"
"Terima kasih Kolonel."
"Sebentar kalau begitu ya. Kau istirahat dulu. Akan aku
mintakan surat keterangan itu saat ini juga." Kolonel itu lalu
melangkah meninggalkan ruangan di mana l urqan berbaring.
Ia hanya sendirian di ruangan yang berisi tiga tempat tidur
itu.
Furqan memejamkan mata. Ia tetap merasa sebenarva ia
telah mati. Ia masih tidak percaya bahwa semua ini bisa
terjadi. Dan begitu cepat semua ini terjadi. Ia menangis. Ia
teringat semua rasa optimismenya dan kini semua itu sirna. Ia
bertanya-tanya apa ini semua adalah akibat dari kesom -
bongannya yang berpandangan bahwa takdir bisa dikalkulasi.
Tiba-tiba hp-nya berdering. Ada SMS masuk. Ia buka.
Dari Ustadz Mujab. Lalu ia baca dengan mata kerkaca-kaca,

"Ass wr wb. Akhi, apa kabar..? Ini ada kabar baik
bagimu. Akhi, alhamdulillah hasiinya positif. Aku baru dpt
SMS dari Anna Althafunnisa. Dia menyatakan menerima
pinanganmu. Dia menunggumu di indonesia. Syukran. "
Membaca SMS itu ia langsung menangis. Ia semestinva
bahagia. Namun apalah gunanya kesediaan Anna Althafunnisa
jika ia sendiri sudah merasa tidak lagi menjadi manusia yang
pantas hidup. Apa kira-kira reaksi gadis yang ia dambakan
menjadi isterinya itu jika tahu ia mengidap AIDS? Akankah ia
tetap menyatakan kesedia-annya menerima pinangannya? Jika
Ustadz Mujab tahu ia terkena AIDS, akankah tetap mengirimkan
SMS itu padanya? Ia sendiri tidak tahu apa reaksi
kedua orang tuanya jika mengetahui anaknya telah mengidap
AIDS..?
Ia membaca kembali SMS dari Ustadz Mujab.
Akhi, alhamdulillah hasilnya positif.
Alangkah berbedanya kata "positif" yang tertulis dalam
SMS Ustadz Mujab dengan positif yang tertulis dalam kertas
hasil periksa darah yang tadi ia baca Matanya berkaca-kaca.
Membaca SMS Ustadz Mujab semestinya ia menjadi orang
paling berbahagia saat itu. Namum saat ini SMS itu justru
membuat hatinya semakin merana.
"Ini. Suratnya sudah jadi." Suara Kolonel Fuad mengagetkannya.
Ia sama sekali tidak mendengar langkahnya.
"Dengan surat ini kau bisa meyakinkan siapa saja bahwa kau
bebas AIDS. Asal kau tidak periksa darah lagi saja. Kalau kau
sudah kuat segeralah kau pulang. Bersikaplah biasa saja.
Anggap saja kau masih Furqan yang kemarin. Dan saya beri
waktu tiga hari untuk meninggalkan Mesir." Lanjut Kolonel
Fuad.

"Terima kasih Kolonel." Jawab Furqan sambil menerima
secarik kertas itu. Secarik kertas itulah yang ia anggap akan
menyelamatkan namanya. Ia tidak bisa memba-yangkan jika
semua orang Indonesia di Cairo tahu ia mengidap AIDS. Ia
tidak bisa membayangkan jika ada satu koran nasional
Indonesia yang memuat berita tentang dirinya yang mengidap
AIDS. Sebab banyak maha-siswa Indonesia yang menjadi
koresponden koran Tanah Air. Dan mereka bisa menulis apa
saja.
Hp-nya kembali berdering. Ia buka SMS dari Ustadz
Mujab. SMS yang sama. Dikirim dua kali. Furqan harus
menjawabnya. Dan ia belum menemukan kata -kata yang tepat
unhuk menjawabnya. Hatinya ia rasakan perih bagai diiris-iris
silet berkarat di semua sisinya.

KABAR GEMBIRA
Waktu terus bergulir. Ujian Al Azhar mendekati hari
akhir. Azzam sudah selesai ujian. Begitu selesai mengerjakan
semua soal dengan baik, di dalam hati ia mengucapkan tahmid
dan takbir. Ia merasa begitu dimudahkan oleh Allah dalam
menjawab soal. Hampir tujuh puluh persen dari yang ia ringkas
keluar. Ia sangat optimis Allah akan memberinya kelulusan.
Selesai ujian Azzam teringat akan pesanan Eliana, Putri
Pak Dubes; Soto Lamongan untuk syukuran pesta ulang ta -
hunnya. Ia langsung bergerak mencari informasi resep terbaik.
Juga mencari bahan-bahannya. Nanang memberikan
nomor telpon kerabatnya yang profesinya memang jualan
Soto Lamongan di Surabaya. Azzam langsung menelponnya.
Ia bertanya banyak hal dan panjang lebar tentang Soto
Lamongan. Setelah ia rasa cukup lengkap informasinya, ia
mencoba membuatnya. Orang-orang satu rumahnya yang

menilainya. Hanya Ali yang mengatakan mantap. Yang lain,
termasuk Nanang, yang asli Lamongan masih merasa kurang.
Kurang puas ia mencoba membuat lagi. Mereka mencicipi
lagi. Masih juga dianggap kurang mantap Ia mencoba mem -
buat lagi. Yang ketiga oleh Nanang dianggap cukup dan lumayan.
Ia jadi percaya diri.
Pada hari H. ia telah siap dengan Soto Lamongannya di
halaman Wisma Duta, tempat di mana syukuran ulang tahun
diadakan. Acara itu yang kata Putri Pak Dubes sederhana,
tetap terasa mewah. Ternyata makanan yang dipesan tidak
hanya Soto Lamongan, tapi ada juga Coto Makasar, Empekempek
Palembang, dan nasi minyak campur daging khas
Yaman.
Karena dibanding yang lain Soto Lamongan adalah makanan
yang paling langka ada di Cairo, maka Azzam benarbenar
dibuat sibuk oleh antrean hadirin yang menginginkan
hasil masakannya. Ia melayani dengan sabar. Hampir semua
orang mengatakan rasanya mantap dan memuaskan. Dengan
Soto Lamongan itu Putri Pak Dubes merasa teristimewakan.
Dan seperti yang telah disepakati selesai acara itu ia mendapat
3000 pound untuk 500 mangkok Soto Lamongan yang ia
hidangkan.
Dengan uang itu ia bisa membeli tiket pesawat untuk
pulang. Sisanya bisa ia gunakan untuk membeli buku-buku
dan kitab-kitab penting. Ia tersenyum, bahwa hari yang ia
nanti-nantikan sebentar lagi juga datang. Hari ia terbang
pulang, berkumpul denga n keluarga tersayang.
Selesai acara Eliana mengajaknya berbicara. Eliana
bertanya banyak tentang Furqan padanya. Azzam menjawab
dengan jawaban seorang sahabat yang setia pada sahabatnya.
Azzam menjelaskan segala yang baik tentang Furqan dan
menutupi kekurangannya. Dan Azzam menjelaskan juga bahwa
Furqan kemungkinan besar sudah punya seorang calon
sebagai pendamping hidupnya. Namun Azzam tidak mau
menyebutkan namanya. Eliana sempat kaget, tapi tidak ada
perubahan rona di wajahnya. Putri Pak Dubes i'tu malah bertanya,

"Kalau Mas Khairul sendiri sudah punya calon..?"
Azzam menjawab dengan senyum saja.
"Kok cuma senyum. Jadi sudah punya..?" Tanya Eliana
lagi.
"Belum. Apa Mbak Eliana mau jadi calonku hehehe...?
Jadi isteri pembuat tempe itu makmur lho Mbak. Gizi keluarga
selalu tercukupi hehehe..." Kata Azzam sambil bergurau.
"Wah kalau begitu, aku mau. Siapa yang tidak mau gizinya
tercukupi hi hi hi." Jawab Eliana juga sambil bercanda.
Eliana lalu bercerita dua atau tiga bulan ke depan akan
pulang ke Indonesia. Ia akan membintangi sebuah film layar
lebar garapan sutradara nomor satu di Indonesia. Dan Solo
adalah salah satu lokasi yang diambil dalam setting film layar
lebar itu.
"Wah kalau saya sudah pulang asyik bisa lihat Mbak
Eliana akting." Sahut Azzam santai.
"O ya, rumah Mas Khairul di Solo ya..?"
"Iya. Tepatnya di Kartasura-nya."
"Kalau begitu minta alamatnya. Siapa tahu saya ada
kesempatan mampir nanti."
"Boleh. Ibu dan adik-adik saya pasti senang jika kedatangan
tamu artis cantik seperti Mbak."
Eliana merasa tersanjung mendengar perkataan Azzam
yang pada akhirnya memuji kecantikannya Selama ini ia belum
pernah mendengar pemuda satu ini memuji kecantikannya.
Dan kali ini ia mendengarnya.
"Dan ibu saya pasti akan lebih senang lagi jika Mbak
Eliana misalnya jadi mampir nanti memakai busana Muslimah.
Wah ibu saya bisa tidak bisa tidur berharihari. Beliau pasti
akan mengatakan, 'Wualah-wualah ini kok ada bidadari datang
kemari wualah-wualah.' Begitu. Ibu saya akan merasa
seperti kedatangan tamu paling agung." Azzam melanjutkan
perkataannya dengan santai. Ia sudah menganggap Eliana

bukan siapa-siapa. Bukan gadis istimewa yang sempat memesonanya
ketika awal kali bertemu dengannya. Eliana sudah ia
anggap seperti orang lain pada umumnya.
Apalagi saat itu, dalam diri Eliana tak menunjukkan
adanya tanda-tanda perubahan ke arah yang lebih baik dari
tatacaranya berbusana. Masih suka memakai kaos ketat dan
cekak yang jika jongkok maka sebagian kulit tubuh belakangnya
kelihatan. Bagi Azzam, gadis seperti itu bukanlah impiannya.
Baginya, gadis cantik, kaya dan cerdas seperti Eliana
belumlah cukup. Tapi ia harus berbalut perangai mulia. Yaitu
perangai yang ditunjukkan oleh Ummul Mukminiin, Sayyida
Khadijah.
"Baiklah. Kalau sempat mampir aku akan pakai busana
Muslimah. Menyenangkan orang katanya dapat pahala. Iya
kan..?" Kata Eliana sambil tersenyum.
"Iya benar."
"O ya Mas Khairul. Mulai awal bulan depan sinetron
perdana saya mulai tayang. Judulnya, 'Dewi-dewi Cinta'.
Tayang seminggu sekali tiap malam minggu jam delapan
malam. Prime time lho, Mas. Beritahu ibunda Mas Khairul.
Kalau perlu, beritahukan kepada ibunda Mas Khairul bahwa
yang jadi pemain utamanya adalah teman baik Mas Khairul."
"Baik. Nanti kalau saya kirim kabar ke Indonesia saya
beritahu mereka."
"O ya aku dengar Furqan baru pulang ke Indonesia. Mas
Khairul ikut mengantar ke Bandara..?"
"Wah aku malah tidak tahu Mbak. Kok tidak bilangbilang
ya? Biasanya dia memberitahuku."
***
Pengumuman ujian biasanya keluar bulan Juli. Azzam
mentargetkan awal bulan Agustus sudah pulang. Masih ada
waktu kira-kira satu bulan. Ia harus memanfaatkannya dengan
sebaik-baiknya. Ia ingin mengkhatamkan belajar Al-Qurannya
setiap Subuh pada Imam Masjid di dekat apartemennya.
Untuk itu, bisnis tempenya sementara ia percayakan pada Rio.
Ia hanya mengontrol dan mengarahkan saja. Namun ia tetap
memerlukan tambahan dana. Sebab, ketika ia pulang ke Indonesia
nanti, awal-awal hidup di Tanah Air, ia jelas perlu dana.
Perlu modal. Ia tidak mungkin minta ibunya atau adik-adiknya.
Maka bisnis tempe dan bakso tetap harus jalan sampai
hari H ia pulang.
***
Kepada Nasir, yang menjadi broker tiket Malaysian Air
Lines, Azzam telah memesan tiket untuk awal Agustus. Sekali
jalan, dari Cairo ke Jakarta. Ia telah membayarnya lunas. Itu ia
lakukan agar ia mendapatkan seat. Bulan Agustus adalah bulan
mahasiswa banyak pulang. Jika tidak memesan seat sejak
awal bisa tidak mendapatkan dan akibatnya pulang pun tertunda.
Orang satu rumah sudah tahu kalau Azzam memang
berniat pulang. Dan kemungkinan besar adalah pulang ke
Tanah Air untuk selama-lamanya. Artinya tidak akan kembali
ke Mesir lagi untuk melanjutkan studi. Beberapa orang dari
Jawa Tengah dan Jawa Timur sudah ada yang nitip. Azzam
menerima dengan lapang dada. Ia sediakan satu tas ransel. Ia
katakan pada yang mau nitip, "Tas itu yang untuk membawa
titipan, selama barang kalian masih bisa masuk dalam tas itu
silakan. Jika sudah penuh berarti kuota untuk barang titipan
sudah penuh." Jika tidak begitu ia akan sangat kerepotan.
Sebab ia sendiri juga akan membawa barang yang tidak
sedikit.
Sore itu Azzam menyempatkan bermain bola di Nadi
Kahruba. Sudah sangat jarang ia bermain bola. Ia merasa perlu
bermain bola untuk kenangan hari-hari terakhir di Mesir.
Meskipun lama tidak main, kemampuannya sebagai bek andal
tenyata tidak hilang. Dulu waktu tingkat dua ia pernah mem -
bela Tim KSW an menjuarai Indonesian Game. Ia dinobatkan
sebagai bek terbaik dalam turnamen antar kekeluargaan
seluruh mahasiswa Indonesia di Mesir. Ia oleh teman-temannya
dijuluki "Maldini from Java." Sore itu kemampuannya
bermain bola ia perlihatkan di lapangan. Ia mencetak satu gol
di awal pertandingan.
Ketika sedang asyik-asyiknya main bola, ada suara yang
memanggil-manggil namanya dari jauh. Ternyata Hafez. Ia
berlari mendekati Hafez.
"Ada apa Fez..?"
"Aku baru dari rumah Miftah Kang. Ini Kang ada surat
dari Indonesia."
Wajah Azzam langsung berbinar-binar bahagia. Ia menerima
sepucuk surat dengan amplop berwarna cokelat muda. Ia
langsung membuka dan membacanya. Ia tak sabar untuk menunggu
pulang dulu ke apartementnya. Hafez berangsut duuk
di trotoar sambil mengawasi orang-orang yang bermain
bola di atas aspal.
"Membacanya sambil duduk Kang, lebih enak," seru
Hafez.
Azzam pun duduk dan menekuri huruf demi huruf surat
yang ditulis oleh adiknya itu. Sementara keringatnya masih
terus keluar membasahi kaosnya. Adiknya itu menulis:
Menemui
Kakakku Tercinta
Abdullah Khairul Azzam Di Kota Seribu Menara
Assalamu'alaikum wa Rahmatullah wa barakatuh.
Kak, bagaimana kabarmu..? Sudah selesai ujian ya.
Ketika kakak membaca surat ini, kami yang di Indonesia
berharap dalam sehat, baik tak kurang suatu
apa dan selalu dalam dekapan kasih sayangAllah Swt.
Amin. Kami jugaberdoa semoga kakak lulus ujian, dan
meraih gelar Lc. dengan predikat memuaskan. Amin.
Kami yang di Tanah Air alhamdulillah baik. Aku,
Lia dan Ibu pertengahan Juli ini mau menjenguk
Sarah ke Kudus.Adik bungsu kita itu hebat Kak. Saat

liburan sekolah datang, ia tidak mau pulang, ia
tetap ingin di pondok. Katanya di pondok bisa menambah
hafalan Al Quran. Ah, aku jadi ingat kakak.
Kata ibu, si Sarah itu sangat mirip kakak. Lebih
suka di pondok daripada di rumah. Semangat menuntut
ilmunya luar biasa. Otaknya pun cerdas. Doakan kami
semua ya Kak.
Kak Azzam terkasih,
Persisnya kapan kakak berencana pulang..? Kami
benar benar sudah kangen.Apalagi ibu, beberapa kali
aku mendengar ibu malam-malam tidur mengigau dengan
menyebut nama kakak berulang-ulang. Kami harap kakak
pulang secepatnya. Begitu ada kesempatan pulang
langsung pulang.
Oh ya Kak, sedikit kabar gembira. buku kumpulan
cerpenku yang berjudul "Menari Bersama Ombak" mendapatkan
penghargaan dari Diknas sebagai buku kumpulan
cerpen terbaik tahun ini. Aku diundang ke
Jakarta untuk menerima hadiah awal bulan Agustus.
Jika kakak bisa pulang sebelum itu, atau pas aku di
Jakarta sangat baik. Kita bisa bertemu di Jakarta
dan kakak bisa melihat adikmu menerima penghargaan
itu.
Kak Azzam yang kami nanti, ini dulu ya. Kami
menunggumu setiap hari. Kami juga mendoakanmu tiada
henti. Dan seperti biasa, seperti yang sudah-sudah
Lia titip salam. Salam rindu dan kangen tiada tara
katanya. Sarah titip kecupan cinta katanya. Ibu titip
setetes airmata cinta dan bangga untukmu kakakku
tercinta. Semoga Allah melimpahkan rahmat dan
taufikNya kepada kakak. Amin ya Rabbal 'alamin.
Wassalam,
Ta'zhim adikmu.
Ayatul Husna
Ps: Husna merasa sudah saatnya menikah. Kakak
sebagai wali Husna bisa mulai memikirkan hal ini.
Husna sepenuhnya patuh pada kakak.

Tak ada satu huruf pun yang terlewat. Niat Azzam untuk
segera pulang semakin kuat. Dan tiba-tiba ia tersenyum sendiri.
Ya, Husna sudah dewasa. Sudah saatnya menikah. Pesan
di akhir suratnya sungguh menyentuh kalbunya. Memang
dialah sekarang yang jadi wali adik-adiknya. Ia berkewajiban
mencari jodoh untuk mereka. Namun ia sendiri belum menikah.
Ia sungguh takjub atas kecerdasan adiknya mengingatkannya.
Husna jelas menginginkan kakaknya segera
menikah baru menikahkan dirinya.
Dalam hati ia berkata, "Insya Allah, Dik, kakak akan
segera pulang. Begitu pulang kakak akan menikah secepatnya.
Umur kakak toh sudah hampir kepala tiga. Setelah itu kakak
akan menikahkan kalian dengan pemuda yang saleh, bi idznillah."
"Kang sudah selesai membaca suratnya..?" tanya Hafez.
"Sudah," jawab Azzam sambil memandang Hafez.
"Kang."
"Iya Fez, ada apa..?"
"Aku ingin menagih janji Sampeyan."
"Janji apa Fez..?"
"Itu, janji Sampeyan untuk membicarakan pada Fadhil
tentang keinginanku menyunting Cut Mala. Aku sudah tidak
sabar Kang."
Azzam jadi ingat, ia punya janji dan punya tugas tambahan
sebelu m pulang; yaitu menjelaskan masalah Hafez pada
Fadhil, kakak kandung Cut Mala.
"Insya Allah, akan aku bilangkan pada Fadhil secepatnya.
Tapi aku minta kamu bersikap dewasa jika seandainya rasa
cintamu itu bertepuk sebelah tangan lho Fez," jawab Azzam.
"Aku sudah siap menerima apa pun yang terjadi. Tapi

tolong Kang, diusahakan jangan sampai bertepuk sebclah
tangan lah."
"Wah lha ini yang sulit. Cinta itu tidak bisa dipaksakan
Fez. Kau harus tahu itu. Aku sih berharap Cut Mala dan
kakaknya menerimamu dengan tangan terbuka. Tapi kau
harus dewasa menghadapi sesuatu yang di luar harapan kita.
Dan sebelum aku memberitahu kamu apa hasilnya kamu
jangan banyak tanya ya..?"
"Baik Kang."
.
RESEP CINTA
IBNU ATHAILLAH
Pulang dari main bola Azzam langsung mencari Fadhil
untuk membicarakan masalah Hafez. Ia kuatir jika tidak dibicarakan
segera nanti terlupa. Ternyata Fadhil tidak ada. Kata
Nanang sedang menghadiri rapat di KMA. Azzam langsung
membersihkan badan. Maghrib tak lama lagi akan datang. Ia
berharap bisa berbicara dengan Fadhil nanti malam.
Maghrib sampai Isya, Azzam tidak pulang. Ia belajar
tartil Al Quran pada Imam Adil Ramadhan. Imam masjid yang
masih perjaka itu sebenarnya adalah kakak kelasnya di Fakultas
Ushuluddin, dan usianya sama dengannya. Adil Ramadhan
lulus S.1 dengan predikat terbaik di angkatannya. Dan
sekarang sudah diangkat sebagai asisten dosen di Al Azhar.

Azzam tidak malu untuk belajar pada orang yang seusia
dengannya. Ia sudah dua tahun belajar pada imam masjid yang
berasal dari pelosok desa di Mesir utara itu. Tinggal satu juz
lagi. Ia memang minta waktu khusus. Biasanya hanya setelah
Subuh. Ia menjelaskan kepada Adil satu bulan lagi pulang.
Adil Ramadhan siap mengajarnya secara intensif. Beliau berharap
sebelum Azzam pulang, belajarnya membaca Al-Quran
dengan disiplin qira'ah riwayat Imam Hafs bisa khatam.
Qira'ah riwayat Imam Hafs adalah qira'ah yang lazim dipakai
di dunia Islam termasuk di Indonesia.
Azzam belajar dengan penuh semangat. Ia ingin khatam.
Ia merasa prestasi akademisnya yang tidak cemerlang harus
ditutup dengan menuntaskan ilmu paling pokok dalam Islam.
Yaitu ilmu membaca Al-Quran dengan baik dan benar. Dengan
ilmu itu ia bisa mengajarkan cara membaca Al-Quran
dengan benar, tidak asal-asalan. Adapun ilmu untuk memahami
Al Quran, ia telah mendapatkannya dari kampus Al
Azhar.
Bakda shalat Isya ia tetap di masjid untuk mengaji kitab
Al Hikam karya Ibnu Athaillah As Sakandari dengan Adil
Ramadhan. Malam itu ia mendapat pencerahan sangat berharga
dari kitab Al Hikam tentang hal yang sangat penting
baginya sebagai seorang penuntut ilmu. Ibnu Athaillah mengatakan,
"Khairul ilmi ma kaanatil khasyyah ma'ahu. Ilmu yang
paling baik adalah yang disertai khasyyah."
Adil Ramadhan menjelaskan bahwa khasyyah adalah rasa
takut kepada Allah yang disertai mengagungkan Allah. Maka
segala jenis ilmu yang tidak mendatangkan rasa takut kepada
Allah dan juga tidak mendatangkan pengagungan kepada
Allah tiada kebaikannya sama sekali. Adil Ramadhan berpesan
pada Azzam,
"Untuk mengetahui ilmumu bermanfaat atau tidak cukuplah
kau lihat bekasnya. Jika dengan itu kau semakin takut
kepada Allah dan semakin baik ibadahmu kepada-Nya, maka

itulah tanda ilmumu benar-benar bermanfaat. Jika sebaliknya
maka berhati-hatilah, Saudaraku!"
Pulang dari masjid Azzam langsung mencari Fadhil.
Ternyata anak itu belum juga pulang. Ia langsung beranjak ke
kamarnya. Malam itu kegiatan membuat tempe di rumah
libur. Rio dan teman-temannya sedang ikut mukhayyam yang
diadakan oleh Universitas Al Azhar di Alexandria.
Azzam kembali membaca ulang surat dari adiknya. Ia
tersenyum. Pesan terakhir Husna yang membuatnya tersenyum.
Ia jadi memikirkan dirinya sendiri. Jika ia hendak menikah
dengan siapa sebaiknya ia menikah ya..? Ia tidak punya
bayangan sama sekali. Dan ia sendiri merasa tidak perlu untuk
mencari bayangan itu saat itu. Sebentar lagi ia akan pulang.
Biarlah masalah itu ia pikirkan setelah ia pulang. Bukankah
Allah telah menjelaskan bahwa Allah menciptakan makhluknya
di alam semesta ini berpasang-pasangan..? Ia yakin pasangan
hidupnya telah ada, telah tersedia. Jadi ia tak perlu
mengkuatirkannya.
Malam itu untuk pertama kalinya setelah sekian tahun
lamanya ia tidur benar-benar di awal malam. Dalam tidurnya
ia kembali bermimpi bertemu ibu dan adik-adiknya.
***
Dalam perjalanan dari sekretariat Keluarga Mahasiswa
Aceh di Makram Abied sampai Mutsallats, Fadhil tak kuasa
menahan sesak di dadanya. Airmatanya terus meleleh tanpa
bisa ditahannya. Ia baru saja menghadiri rapat pembentukan
panitia pernikahan Tiara dengan Zulkifli. Seperti yang ia
duga, ia pasti diminta terlibat jadi panitia. Ia bahkan sempat
diminta untuk jadi ketua panitianya. Dengan berat hati ia
menolaknya.
Namun akhirnya ia tidak bisa menolak untuk jadi penanggung
jawab acara akad nikah dan walimah. Fadhil benarbenar
tersiksa. Ia akan melihat orang yang dicintainya diam-

diam dengan sangat mendalam akan menikah dengan orang
lain. Menikah di depan matanya, dan ia jadi panitianya.
Yang membuat dadanya sangat sesak, ia juga harus memimpin
tim nasyid yang dipimpinnya untuk meramaikan pesta
pernikahan itu. Selain pemimpin, ia adalah vokal utama di tim
nasyid itu. Ia akan menjadi penghibur dalam pesta pernikahan
itu. Ia tidak bisa membayangkan seperti apa penampilan
dirinya nanti. Sanggupkah ia melaksanakan ini semua.
Saat ini, belum apa-apa dirinya sudah terbakar oleh api
cemburu, api penyesalan dan kesedihan yang luar biasa panas
baranya. Ia meratapi nasibnya. Alangkah ruginya dirinya,
tidak mendapatkan orang yang dicintainya. Tidak mendapatkan
gadis sebaik Tiara yang sudah lama ia damba. Dan alangkah
bahagia temannya itu, Zulkifli yang akan menyunting
gadis selembut Tiara.
Yang membuatnya semakin tersiksa adalah, Tiara dalam
rapat tadi tampak murung. Ia jadi teringat katakata adiknya,
Cut Mala, beberapa waktu yang lalu, "Namun entah kenapa ia
sepertinya murung saja Kak. Kayaknya ia kecewa pada Kakak.
Mala tahu persis kalau Kak Tiara itu memang menaruh harap
pada Kakak."
Ia yakin Tiara juga mengalami kesedihan yang sama.
Seperti yang dialaminya. Kesedihan seorang pencinta yang
dipisahkan dengan orang yang dicintainya. Kesedihan seorang
pencinta yang diputus harapannya tmtuk bisa bersanding dan
hidup bersama dengan orang yang dicintainya.
Tiba-tiba entah kenapa, ia merasa memang benarbenar
sangat mencintai gadis yang pernah menjadi muridnya itu. Ia
merasa akan kehilangan sesuatu yang paling berharga untuk
selamanya. Ia kembali meratapi nestapanya. Ia adalah juga
manusia biasa dengan segala kelemahannya.
Sampai di rumah Fadhil langsung merebahkan tubuhnya
di atas tempat tidurnya. Matanya sedikit pun tak mau terpejam.
Airmatanya terus meleleh. Hatinya pilu. Tubuhnya seperti
remuk redam.

Di Masakin Utsman Tiara juga didera nestapa yang
sama. Bahkan lebih dalam sakitnya. Gadis itu seperti kehilangan
daya hidupnya. Ia merasa menjadi makhluk paling
malang di jagad raya. Ia benar-benar tersiksa oleh perasaan
hatinya. Ia belum bisa menerima kenyataan bahwa ia telah
menerima lamaran orang yang tidak diharapkannya. Ia belum
bisa menerima kenyataan bahwa ia akan menikah tidak dengan
orang yang selama ini dikaguminya, dihormatinya dan dicintainya.
Yaitu Fadhil, kakak Cut Mala. Orang yang ia kagumi
sejak di pesantren dulu.
Ia belum bisa menerima kenyataan bahwa ia pada akhirnya
akan hidup bersama dengan orang yang sama sekali asing
baginya. Ia harus melayani dan mengabdi dengan jiwa terpaksa.
Ia menahan perih di dadanya. Hatinya menjerit sekeraskerasnya.
Ooo alangkah bahagianya perempuan yang mendapatkan
cintanya.
Ooo alangkah bahagianya perempuan yang melayani
suami yang dicintainya dan mencintainya.
Ooo alangkah bahagianya membangun rumah tangga
dengan sepenuh cinta. Cinta dari sang isteri dan cinta dari
sang suami. Kedua cinta itu bertemu jadi satu dan menjelma
menjadi kekuatan cinta yang berselimutkan ibadah kepada
Tuhan Yang Maha Memberi Cinta.
Itulah sepenuh cinta yang didamba-damba Tiara. Menikah
dengan orang yang dicintainya, dan orang yang dicintainya
itu juga mencintainya. Menikah dengan perasaan bahagia.
Mengabdi pada suami dengan perasaan bahagia dan mela -
hirkan buah cinta dengan perasaan bahagia dan bangga.
Hati Tiara perih luar biasa mendapati kenyataan bahwa
kebahagiaan seperti itu tidak ia dapat. Ia sudah mendapat
keterangan banyak tentang calon suaminya. Namun belum
juga ada api cinta terpercik di dalam jiwanya. Hatinya masih
diisi rasa cinta pada Fadhil, orang yang ia rasakan pernah
rmengajarnya dengan penuh kelembutan dan cinta. Sekaligus
orang yang selama ini begitu baik padanya.

Yang lebih menyiksanya adalah, ia sadar bahwa perasaan
seperti itu dilarang dalam agama. Ia tahu persis akan hal itu.
Ia seorang mahasiswi Al Azhar. Ia sangat tersiksa. Seharusnya
ketika ia menerima pinangan seseorang dalam hatinya, hanya
ada nama orang yang meminangnya dan bukan orang lain. Ia
sudah matimatian untuk membersihkan hatinya dari yang
tidak pantas dan dicela. Ia sudah mati-matian melupakan
Fadhil. Namun entah kenapa ia tidak bisa.
Ia berusaha mencari-cari alasan untuk membenci Fadhil,
tapi tidak berhasil. Yang ada justru sebaliknya, setiap kali ia
menekan hatinya untuk membuang Fadhil, tiba-tiba muncul
rasa kehilangan yang menyakitkan dan menyiksanya. Sebagai
seorang Muslimah yang tahu adab dan akhlak, seharusnya ia
tidak merasa demikian. Seharusnya ia bisa menerima kenyataan
yang dihadapinya. Akal sehatnya menyadarkannya akan
hal itu. Namun betapa susah menghapus rasa cinta yang terlanjur
menghujam ke dalam jiwa.
Jam tiga, Fadhil belum juga memejamkan mata Dunia ini
sangat tidak nyaman ia rasa. Ia masih memikirkan nasibnya.
Arakah ia masih kuat bertahan di Cairo untuk melanjutkan S.2
seperti yang ia rencana, jika setelah menikah Tiara dan
Zulkifli tinggal satu kota dengannya, dan ia pasti akan sering
bertemu mereka di KMA dan di mana-mana..?
Jika mereka memerlukan bantuan pastilah ia yang akan
diminta. Minta siapa lagi? Bukankah ia yang paling dekat
dengan mereka. Dialah teman satu pesantren Zulkifli, dan
dialah yang selama ini minta Tiara membimbing Cut Mala
adiknya? Di Cairo tak ada yang lebih dekat dengan mereka
selain dia. Sanggupkah ia menunaikan kewajibannya sebagai
seorang sahabat, seorang saudara seiman, sebangsa, sedaerah,
bahkan sealumni dengan penuh keikhlasan?
Hanya airmatanya yang menjawab. Kalau ia jauh dari
mereka atau mereka jauh darinya tak akan terasa berat.
Namun mereka akan sangat dekat dengannya, dan ia akan
terus diminta dekat dengan mereka.
Di negeri orang, kawan satu bangsa beda pulau ibarat
saudara. Apalagi kawan satu daerah dan satu alumni. Fadhil

merasa, jika ia tetap bertahan di Cairo, hidupnya akan terasa
berat. Kecuali jika ia menemukan pengganti Tiara, pengganti
yang lebih ia cintai dan ia sayangi. Dan di Cairo ini adakah
yang bisa melebihi Tiara dalam menawan hati dan jiwanya? Ia
sama sekali belum bisa menemukannya.
Fadhil menghela nafas. Ia merasa benar-benar tidak
berdaya. Ia tak tahu lagi harus berbuat apa. Hidup terasa hampa.
Terasa ada sesuatu bagian paling berharga yang terenggut
darinya.
Jam beker di kamar Azzam berdering-dering, Fadhil
mendengarnya. Ia melihat jam di dinding kamarnya. Jam tiga
lebih dua puluh lima. Sejurus kemudian Fadhil mendengar
suara beker itu mati, pintu berderit dibuka, dan gemericik
suara air di kamar mandi. Tiba-tiba Fadhil merasa iri dengan
Azzam. Azzam yang di matanya begitu tegar menghadapi
hidupnya. Azzam yang selalu ia lihat bekerja dan bekerja. Ia
tak pernah mendengar Azzam berbincang-bincang tentang
perempuan.
Setahunya, Azzam tak mengenal perempuan kecuali
ketiga adik dan ibunya. Merekalah yang menjadi segala -
galanya baginya. Ia ingin seperti Azzam, tapi ternyata ia tidak
bisa mengingkari bahwa selain ibunya dan Cut Mala adiknya,
ternyata ada Tiara di dalam hatinya.
Fadhil bangkit mengambil air wudhu lalu shalat. Hatinya
tidak bisa khusyuk, tapi ia tetap shalat. Selesai shalat ia ke
kamar Azzam. Azzam sedang membaca kitab Al Hikam.
"Ee kau Dhil, sudah bangun..?"
"Bukan sudah bangun Kang, tapi aku memang tidak bisa
tidur!"
"Kenapa tidak bisa tidur..?"
"Aku mau cerita, tapi tolong ini jadi rahasia di antara kita
berdua saja ya."
"Baik."

"Begini Kang. Aku sedang menghadapi masalah psikologis
yang pelik Kang."
"Pelik bagaimana Dhil..?"
Fadhil lalu menceritakan semuanya. Tentang Tiara yang
meminta pendapatnya karena dilamar Zulkifli yang tak lain
adalah temannya sendiri di Indonesia. Tentang saran yang ia
berikan. Tentang segala perasaan cintanya pada Tiara. Tentang
kekecewaan Tiara. Tentang pernikahan Tiara yang akan
segera diadakan. Tentang hasil rapat di KMA yang memintanya
jadi penanggung jawab acara. Tentang dirinya yang
harus mendendangkan nasyid di hadapan mempelai berdua.
Tentang segala rasa cinta pada Tiara yang membuatnya
tersiksa. Tentang kesedihan dan nestapanya yang menyesak
dada. Fadhil menceritakan itu semua dengan mata berkaca -
kaca.
"Bayangkan Kang, kalau boleh jujur, aku sudah bersimpati
padanya sejak mengajarnya di Madrasah Aliyah. Dulu aku
tidak merasakannya. Tapi sejak dia tiba di Cairo ini, aku diamdiam
sudah merencanakan hendak mengkhitbahnya begitu aku
lulus. Aku sangat mencintainya. Namun herannya ketika dia
minta saran kenapa aku bisa memberi saran demikian. Kenapa
aku sok jadi pahlawan dengan mengutamakan orang lain?
Sekarang aku seperti terpanggang oleh api cemburu dan
penyesalan yang sangat menyakitkan. Aku harus bagaimana
Kang..?"
Azzam tersenyum. Entah kenapa mendengar kisah Fadhil
ia ingin tertawa, tapi tidak dilakukannya. Ia takut membuat
Fadhil semakin tersiksa. Dengan tenang, ia berniat menghibur
dan memberikan jalan yang lebih terang kepada Fadhil. Ia
menanggapi,
"Dhil, Fadhil, masalah yang kau hadapi itu masalah kecil.
Tak usah kaubesar-besarkan. Nanti semuanya akan baik-baik
saja. Ini kebetulan aku baru saja membaca perkataan Imam
Ibnu Athaillah yang sangat dahsyat tentang cinta. Dan perkataan
beliau ini bisa jadi terapi yang tepat untuk penyakit

cintamu. Ya, aku katakan apa yang kau simpan di hatimu itu
adalah penyakit. Cinta sejati itu menyembuhkan tidak menyakitkan."
Dengar baik-baik ya perkataan Ibnu Athaillah, saya bacakan
langsung dari kitab aslinya. Beliau mengatakan: la yukhriju
asy syahwata illa khaufun muz'ijun aw syauqun muqliqun! Artinya
tidak ada yang bisa mengusir syahwat atau kecintaan pada kesenangnn
duniawi selain rasa takut kepada Allah yang menggetarkan
hati, atau rasa rindu kepada Allah yang membuat hati merana!
"Coba resapi baik-baik kata-kata ulama besar dari Iskandaria
ini. Kecintaanmu pada Tiara itu syahwat. Hampir semua
orang yang jatuh cinta itu merasakan apa yang kau rasakan.
Dan perasaan seperti itu tidak akan bisa kaukeluarkan, kauusir
dari hatimu kecuali jika kau memiliki dua hal.
"Pertama, rasa cinta kepada Allah yang luar biasa yang
menggetarkan hatimu. Sehingga ketika yang ada di hatimu
adalah Allah, yang lain dengan sendirinya menjadi kecil dan
terusir. Kedua, rasa rindu kepada Allah yang dahsyat sampai
hatimu merasa merana. Jika kau merasa merana karena rindu
kepada Allah, kau tidak mungkin merana karena rindu pada
yang lain. Jika kau sudah sibuk memikirkan Allah, kau tidak
akan sibuk memikirkan yang lain.
"Karena hatimu miskin cinta dan rindu kepada Allah,
jadinya kau dijajah oleh cinta dan rindu pada yang lain. Saat
ini yang menjajah hatimu adalah rasa cinta dan rindumu pada
Tiara. Itulah yang membuatmu tersiksa Padahal kau sudah
tahu kalau dia sudah dilamar dan dikhitbah saudaramu sendiri.
Kau harus tahu perasaan seseorang tidak bisa mengubah
hukum syariat. Seberapa besar rasa cintamu kepada Tiara dan
seberapa besar perasaan cintanya kepadamu, tidak akan mengubah
hukum dan status Tiara, bahwa ia telah dikhitbah oleh
saudaramu. Apalagi Tiara telah menerimanya.
"Panitia pernikahan telah ditata. Kau sama sekali tidak
boleh merusaknya. Kalau kau mau jadi pahlawan jangan setengah-
setengah. Jadilah pahlawan yang benar benar pahlawan,
meskipun harus mengorbankan sesuatu yang kau anggap pa-
ling berharga. Tidak ada pahlawan yang tidak berkorban apa-apa!
"
Kedua mata Fadhil basah mendengar kata-kata Azzam
yang membukakan jalan lebih terang baginya. Tapi Tiara
masih juga tertulis dengan jelas di hatinya.
"Terima kasih Kang. Cinta memang bukan segala-galanya,
tapi kehilangan cinta seperti kehilangan segala -galanya."
Azzam tersenyum dan berkata dengan suara pelan,
"Benar. Mencintai makhluk itu sangat berpeluang menemui
kehilangan. Kebersamaan dengan makhluk juga berpeluang
mengalami perpisahan. Hanya cinta kepada Allah yang
tidak. Jika kau mencintai seseorang ada dua kemungkinan
diterima dan ditolak. Jika ditolak pasti sakit rasanya. Namun
jika kau mencintai Allah pasti diterima. Jika kau mencintai
Allah, engkau tidak akan pernah merasa kehilangan. Tak akan
ada yang merebut Allah yang kaucintai itu dari hatimu. Tak
akan ada yang merampas Allah. Jika kau bermesraan dengan
Allah, hidup bersama Allah, kau tidak akan pernah berpisah
dengannya. Allah akan setia menyertaimu. Allah tidak akan
berpisah darimu. Kecuali kamu sendiri yang berpisah dari-
Nya. Cinta yang paling membahagiakan dan menyembuhkan
adalah cinta kepada Allah 'Azza wa Jalla."
Mendengar hal itu ada kesejukan yang mengaliri jiwanya.
Kesejukan yang membuat hatinya sedikit terhibur dan lega.
Jiwanya perlahan mulai menemukan ketenangan.

SEPUCUK SURAT
Dl HARI PENGHABISAN RESEP
Tiara belum juga bisa menerima kenyataan yang dihadapinya.
Dua hari lagi rombongan pengantin putra dari Aceh
akan datang. Ia masih tidak percaya bahwa bukan Fadhil
Mutahar yang akan menjadi suaminya. Ia merasa dua hari
masih bisa digunakan unhuk mengubah segalanya.
Pagi ihu setelah shalat Subuh ia menulis sepucuk surat
untuk Fadhil. Itulah usahanya yang paling penghabisan untuk
mendapatkan cintanya. Cut Mala ia paksa untuk mengantarkan
surat itu kepada orang yang ia damba.
Fadhil sudah menyiapkan diri untuk menghadapi hari
yang sangat berat baginya. Kata -kata Azzam menyitir sepenggal
kalimat Ibnu Athaillah terus tergianggiang di kepala.

"Tidak ada yang bisa mengusir syahwat atau kecintaan pada
kesenangan duniawi, selain rasa takut kepada Allah yang menggetarkan
hati, atau rasa rindu kepada Allah yang membuat hati
merana!"
Ia telah menyadari sepenuhnya, bahwa cintanya kepada
Tiara yang sedemikian dahsyat menjajah hatinya hanya bisa
diusir dengan menghadirkan rasa cinta, rindu, dan takut kepada
Allah yang memenuhi seluruh hati dan jiwa. Dengan sekuat
tenaga ia mulai menata hati dan jiwanya. Ia telah berusaha
sebisa mungkin menghadirkan Allah dalam hatinya, dan mem -
buang yang selain Dia. Meskipun itu adalah hal yang sangat
berat ia rasa. Namun ia terus berusaha dan berusaha.
Hari itu Fadhil puasa, saat teman-temannya tidak puasa.
Ia memilih di rumah saja saat teman-temannya, rekreasi menelusuri
sungai Nil ke Qanathir El Khairiyyah. Hanya ia dan
Azzam yang di rumah. Azzam asyik dengan membaca kitab Al
Hikam-nya. Sementara dirinya berusaha menenteramkan jiwanya
dengan membaca sejarah hidup para tabi'in yang mulia.
Pagi itu Cut Mala datang menemui kakaknya. Datang
mengantarkan surat yang diamanahkan kepadanya.
"Kak, ini ada surat dari Kak Tiara. Katanya sangat penting.
Kakak diminta langsung membacanya dan langsung
menjawabnya. Saya diminta membawanya."
Fadhil agak kaget mendengar apa yang dikatakan adiknya.
Kaget bercampur penasaran, gembira, dan kecewa. Ia
penasaran apa gerangan isi surat itu. Gembira karena yang
menulis adalah Tiara. Itulah untuk pertama kalinya ia menerima
surat dari orang yang sesungguhnya ia damba. Dan
kecewa karena ia merasa tidak berhak lagi mendambakannya.
Dengan tangan sedikit gemetar ia terima surat itu. Ia agak
ragu. Ia menatap Mala.
"Bacalah Kak sekarang juga," ucap Mala meyakinkannya.
Perlahan ia ambil surat dari amplopnya dan ia baca.

Kepada
Kakakku sekaligus ustadzku,
Ustadz Fadhil Mutahar
Yang sangat aku hormati dan yang, aku harus mengakuinya
secara tertulis, SANGAT AKU CINTAI.
Assalamulaikum wa Rahmatullah wa Barakaatuh.
Doaku mengawali isi surat ini, semoga yang menulis surat ini
dan yang membaca surat ini diampuni dosa-dosanya oleh Allah
‘Azza wa Jalla. Jika mengharapkan cinta seseorang adalah berdosa
semoga diampuni oleh Allah ‘Azza wa Jalla. Jika menulis
surat demi cinta adalah dosa maka semoga Allah ‘Azza wa Jalla
mengampuni orang yang menulisnya.
Kak Fadhil tercinta,
Surat ini adalah usaha penghabisanku untuk mewujudkan
harapanku, dan untuk meyakinkan diriku bahwa cinta bisa mengubah
nasib seorang gadis malang yang kini berada di ujung pedang.
Kak Fadhil tercinta,
Aku harus berbuat apa Kak agar bisa hidup dengan orang
yang aku damba? Dan orang itu adalah kakak. Perasaanku terhadap
kakak sesungguhnya sangat jelas, sejelas matahari di siang
hari, dan purnama raya di malam hari. Begitu ada yang datang
melamarku aku minta pertimbangan kakak dengan harapan kakak
menunjukkan rasa cinta dan cemburu. Tapi yang aku dapatkan
adalah sikap tinggi hati, kakak menyarankan agar aku terima
saja lamaran itu. Mendengar saran kakak itu terus terang
hatiku geram dan marah, maka seketika itu tanpa pikir panjang
aku terima lamaran itu. Saat itu aku tidak berpikir bahwa
sesungguhnya aku belum bisa menerimanya.
Kak Fadhil tercinta,

Aku tahu kalau kakak juga mencintai saya. Aku bisa membacanya
dari sikap kakak selama ini. Sejak kakak pertama kali
bertemu dengan diriku. Dan saat itu aku menjadi murid kakak.
Sampai saat aku menginjakkan kaki di Mesir dan kakak termasuk
tim yang menjemput diriku dan teman-temanku. Sampai
ketika aku sudah tinggal di Mesir.
Selama ini tanpa bicara sepatah kata kakak sudah menunjukkan
dan mengisyaratkan rasa cinta kepadaku. Aku memang
diam, karena seorang gadis memang sebaiknya diam dan menunggu.
Aku menunggu keberanian kakak untuk meminangku. Sungguh,
Kak, aku menunggu. Aku sempat berpikir, mungkin kakak
akan menunggu sampai kakak selesai kuliah. Dan aku siap
menunggu. Sampai lamaran itu datang. Aku beritahukan kepada
kakak, dengan harapan kakak memberikan ketegasan. Memberikan
harapan yang lebih bisa dipertanggungjawabkan.
Namun apa salahku Kak..? Apa..? Sampai kau begitu tega
membabat semua harapanku. Apa salahku sampai kau begitu
tega melukaiku..? Dan juga melukai dirimu sendiri.
Kak Fadhil tercinta,
Dengan surat ini, aku mengajak kakak untuk rendah hati.
Dan aku mengajak kakak untuk berani. Berani bertindak, berani
melangkah agar kita tidak lebih sakit lagi. Aku bisa merasakan
betapa sakitnya kakak menjadi penanggung jawab acara
pernikahan nanti (jika itu terjadi). Betapa sakitnya kakak harus
mendendangkan nasyid di hadapan kami..? Aku sendiri merasakan
sakit berlipat-lipat saat merasakan betapa akan sakitnya diri
kakak saat itu.
Aku sendiri akan sangat sakit, dan entah apakah aku nanti
bisa menahannya, ketika mengetahui yang mengakad diriku benarbenar
orang lain, bukan kakak. Yang berbahagia di pelaminan
adalah orang lain dan bukan kakak. Sementara kakak hanya
menjadi penghibur para tamu yang sedang menikmati hidangan.
Kak Fadhil tercinta,
Masih ada waktu. Ini memang sudah terlambat. Namun
masih bisa diperbaiki selama akad nikah itu belum terjadi. Kak,

dua hari lagi mereka akan datang. Hari berikutnya akad nikah.
Dan hari berikutnya pesta walimah. Kalau kakak mau, aku
akan katakan supaya mereka membatalkan semuanya. Dan aku
akan jelaskan semuanya. Biarlah kerugian di pihak calon pengantin
lelaki nanti aku yang merampungkannya.
Jika kakak mau dan jika kakak berani. Sebab risiko selanjutnya
adalah aku dan kakak yang akan menghadapi. Memang
kita akan menantang badai. Tapi bukankah pencinta sejati selalu
siap menantang badai. Aku yakin kakak adalah seorang pencinta
sejati. Ya, kakak adalah seorang pencinta sejati yang gagah berani,
yang siap mengarungi penjalanan panjang hidup dengan gagah
berani pula: demi orang-orang yang dicintai.
Dan dengan menulis surat ini aku telah memulai. Karena aku
juga ingin menjadi pencinta sejati. Selanjutnya tinggal kakak,
apakah kakak punya nyali..?
Kak Fadhil tercinta,
Aku berharap kakak tidak lagi tinggi hati.Aku berharap
kakak menyambut baik maksud surat ini. Inilah harapan terakhirku.
Juga; harapan terakhir bagi kakak jika kakak memang
memiliki rasa cinta yang sama denganku. Jika kakak tidak
menyambutnya, maka ketahuilah sesungguhnya yang menghujamkan
pedang ke jantung gadis malang penulis surat ini adalah dua
tangan kakak yang sangat jahat. Sesungguhnya yang memenggal
leher gadis penulis surat ini adalah tangan algojo kakak yang
kejam. Aku berharap itu tidak terjadi.
Kak Fadhil tercinta,
Aku tunggu jawabannya. Segera. Langsung jawab seketika
surat ini telah kakak baca. Sebab tak ada lagi waktu yang tersisa.
Maafkan jika hal ini kakak anggap menambah dosa.
Wassalam,
Yang sungguh mencintaimu
Tiara Kemala Putri

Tubuh Fadhil bergetar hebat. Rasa cinta dan damba pada
Tiara yang nyaris pupus kembali bertunas. Wajah Tiara yang
memohon penuh iba kepadanya terbayang di pelupuk mata.
Kata-kata Tiara dalam suratnya terngiang-ngiang kembali,
Kak Fadhil tercinta,
Aku berharap kakak tidak lagi tinggi hati. Aku berharap kakak
menyambut baik maksud surat ini. Inilah harapan terakhirku. Juga
harapan terakhir bagi kakak jika kakak memang memikili rasa
cinta yang sama denganku.
Fadhil goyah. Hatinya oleng. Ia kembali terbayang dengan
kata-kata Tiara selanjutnya,
Jika kakak tidak menyambutnya, maka ketahuilah sesungguhnya
yang menghujam-kan pedang ke jantung gadis malang penulis
surat ini adalah dua tangan kakak yang sangat jahat. Sesungguhnya
yang memenggal leher gadis penulis surat ini adalah tangan
algojo kakak yang kejam. Aku berharap itu tidak terjadi.
Atas ajakan tawaran dan ancaman itu perasaannya
mengiyakan. Namun akal sehatnya menentang habis-habisan.
Ada pertarungan dahsyat dalam batinnya. Ia tidak bisa memutuskan.
Hatinya pilu. Wajahnya jadi biru. Seluruh otot-ototnya
terasa kaku.
"Ada apa Kak..? Apa yang terjadi..?" tanya Mala melihat
perubahan muka kakaknya.
Fadhil menarik nafas.Terasa nyeri. Dadanya terasa sakit
sekali. Tapi ia berusaha menahan dan menguatkan diri. Ia tak
mau lagi masuk rumah sakit, meskipun cuma sehari.
"Bacalah surat ini. Dan tolong bantu kakak untuk mengambil
keputusan," ujar Fadhil dengan suara parau. Cut Mala
mengulurkan tangan mengambil surat itu dan membacanya
kata demi kata. Fadhil memperhatikan wajah adiknya dengan
seksama. Perlahan-lahan mata adiknya itu berkaca-kaca. Tak
selang berapa lama Cut Mala telah selesai membaca dengan
muka yang sama pucatnya dengan kakaknya.
"Aku bisa merasakan harapan yang dirasa Kak Tiara.
Namun setelah urusan pernikahan itu sedemikian matangnya,

panitia telah terbentuk, dan dua hari lagi mereka akan datang,
Mala rasa menerima surat ini kakak benar-benar bagai makan
buah simalakama."
"Lalu apa yang sebaiknya kakak lakukan Dik. Tolong
kakak kasih saran..?"
"Kak, Mala tidak bisa kasih saran. Sebab perasaan Mala
tidak jernil1 lagi. Perasaan Mala sangat terlibat di sini. Terus
terang Mala juga sangat ingin Kak Fadhil bersanding dengan
Kak Tiara. Aku sendiri jika jadi Kak Tiara mungkin akan lebih
nekat lagi. Lebih baik kakak minta saran segera pada orang
yang pikirannya masih jernih dan bisa menjaga rahasia ini."
"Tidak ada siapa-siapa di rumah ini kecuali Kang Azzam
yang sejak pagi belum keluar dari kamarnya."
"Minta saran dia saja."
Fadhil ragu. Ia sudah bisa meraba Azzam pasti akan
memberi jawaban yang tidak jauh berbeda dengan yang pernah
diberikan kepadanya. Fadhil sebenarnya mencari saran
yang lebih mendukung ajakan Tiara.
"Cepat sana Kak, minta saran pada Kang Azzam. Sebab
kakak harus segera menjawab hari ini juga!" Cut Mala mendesak.
Dengan berat hati Fadhil bangkit menuju kamar Azzam.
Azzam ternyata masih duduk di meja belajarnya. Di
hadapannya bukan lagi kitab Al Hikam tapi kitab Tafsir Ayatul
Ahkam. Tanpa basa-basi lagi Fadhil menjelaskan kesulitan
yang dihadapinya. Ia minta Azzam membaca surat yang diterimanya.
Azzam langsung membacanya dengan seksama.
"Bagaimana Kang..? Apa yang harus saya lakukan Kang..?"
tanya Fadhil melihat Azzam selesai membaca.
Azzam menatap wajah Fadhil dengan tatapan serius, lalu
berkata tegas,
"Jika kau memang berani menantang badai. Badai yang
tidak hanya di dunia, tapi juga badai di akhirat kelak, maka
kau bisa ikuti ajakan Tiara! Dan dengar baik baik kata-kataku

ini Fadhil, jika kau mengiyakan ajakan Tiara, maka kau akan
merusak tatanan. Kau bukan seorang lelaki sejati tapi kau seorang
munafik, pengkhianat yang menikam saudaranya sendiri.
Coba bayangkan berapa banyak yang akan sakit jika ide gila
Tiara itu kau dukung dan kau turuti.
"Dhil, percayalah padaku, jika Tiara itu jadi menikah
dengan Zulkifli setelah akad dan menemui malam pertama dan
bulan madu, seluruh kenangannya denganmu akan hilang. Ia
hanya akan mencintai suaminya, orang yang pertama menyentuhnya.
Dan kau kelak, begitu menikah dan punya isteri juga
sama. Jika Tiara memang benar-benar tidak bisa menerima
Zulkifli tentu sejak pertama dia akan langsung menolaknya,
tanpa harus meminta pertimbanganmu. Tanpa harus mencari
dulu kepastian atau isyarat atau ketegasan, atau apalah namanya
darimu.
"Pesanku hanya satu, kau jangan jadi pecundang, jangan
jadi pengkhianat! Jadilah kau lelaki sejati. Kau jangan kalah
oleh perasaan. Sebagian perasaan itu datangnya dari nafsu
yang mengajak dosa. Tapi ikutilah petunjuk Nabi. Demi menjaga
rahmat dan kasih sayang sesama manusia dan khususnya
sesama Muslim, Baginda Nabi sudah memberikan petunjuk
yang indah bagi kita. Petunjuk dan tatakrama berkaitan
dengan melamar wanita. Beliau dengan tegas mengatakan,
'Haram hukumnya bagi seorang Muslim melamar di atas lamaran
saudaranya!' Kita dilarang melamar wanita yang telah duluan
dilamar orang lain. Kecuali kalau wanita itu memang telah
menolak, dan artinya masih kosong, tidak ada yang melamarnya,
maka kita boleh melamarnya.
"Apa yang kau lakukan jika kau turuti ajakan gila Tiara.
Kau kelak akan berhadapan dengan Baginda Nabi di depan
pengadilan Allah. Kau akan berhadapan dengan Zulkifli yang
harga dirinya kau injak-injak. Kau juga akan berhadapan
dengan keluarga Zulkifli yang kau rendahkan. Kau juga akan
berhadapan dengan seluruh teman-temanmu dari Aceh karena
kau telah menorehkan sejarah buram di tengah-tengah mereka.

"Dalam pandanganku yang paling tepat kau lakukan adalah
beristighfar. Dan mintalah Tiara untuk sadar. Tetaplah
berjalan di jalan yang lurus, jalan yang telah digariskan oleh
Rasulullah Saw. Dan tetaplah kau jadi lelaki sejati. Tak usah
kau sesali apa yang terjadi. Ini mungkin yang terbaik bagi
kalian berdua. Jika ternyata takdirnya kalian memang akan
bersatu dan bertemu, maka Allahlah yang akan mengatur
semuanya. Apa bangganya kita mendapatkan cinta dari orang
yang kita damba, namun kita kehilangan cinta Allah 'Azza wa
Jalla. Apa bangganya..?
"Dan terakhir ingat Dhil, pencinta sejati bukanlah seperti
yang ditulis Tiara dalam tulisannya. Pencinta sejati adalah
orang yang mencintai karena Allah dan rasulNya. Kukira
ketika menulis surat itu, perasaan dan pikiran Tiara sedang
oleng. Tidak jernih dan tenang. Dan dalam kondisi seperti itu,
setan dengan gampang merasuki perasaan dan pikirannya.
Hati-hatilah Dhil."
Fadhil mendengarkan dengan waiah terpekur. Kata-kata
yang ditulis Tiara yang mengharu-biru dalam suratnya seolah
hangus terbakar oleh kata demi kata yang disampaikan Azzam
dengan tegas dan berwibawa.
"Jazakallah Kang. Aku sudah tahu apa yang harus kuputuskan!"
"Semoga keputusan yang tepat dan terbaik."
"Semoga Kang."
"Amin."

SANG PENGANTIN
Tiara membaca surat pendek yang ditulis oleh Fadhil itu
berulang-ulang. Dadanya seperti tertusuk puluhan paku berkarat.
Ia sangat sedih dan kecewa berat.
Adikku, bukannya aku tidak mencintaimu. Sungguh aku
sangat mencintaimu. Dan bukannya aku tidak mendamba hidup
bersamamu. Sungguh aku sangat ingin hidup bersamamu.
Namun tidak semua yang didamba manusia pasti diraihnya.
Aku sangat mencintaimu, tapi aku tidak mau kehilangan cinta-
Nya. Aku mendamba hidup bersamamu, tapi aku lebih mendamba
hidup bersama ridha-Nya.
Jangan paksa aku menikam saudaraku sendiri. Jangan
paksa aku melakukan tindakan yang melanggar aturan Ilahi.
Mari kita samasama insyaf. Cinta sejati itu tidak menzalimi.
Cinta sejati berorientasi ridha Ilahi.

Adikku, kita adalah orang Aceh. Dan kita sudah diajari
untuk tegar, berbesar hati, dan setia pada teman sendiri. Maafkan
aku. Doaku selalu menyertaimu semoga engkau bahagia
selalu. Amin.
Kakakmu,
Fadhil.
Harapan telah tertutup. Tak ada pilihan lagi baginya
kecuali menghapus airmatanya dan menghadapi hidup yang
sesunOguhnya. Hidup yang tidak lagi hanya harubiru rasa
cinta pada pujaan jiwa. Ia merasa bahwa Fadhil benar. Kata -
katanya benar. Seorang Muslim tidak boleh menzalimi Muslim
yang lain. Apapun alasannya dalam Islam kezaliman tidak
dibenarkan. Termasuk kezaliman dengan alasan cinta. Sungguh
naif, cinta macam apa yang mendatangkan kedzaliman..?
Tiara akhirnya mengoreksi dirinya sendiri. Dialah sesungguhnya
yang salah menentukan langkah. Semuanya,
sebenarnya ada di tangannya. Kenapa ketika lamaran ZuIkifli
datang dan ia tidak suka lantas meminta pertimbangan Fadhil.
Ia baru sadar betapa sulit posisi Fadhil saat itu. Zulkifli adalah
temannya, dan ia harus setia pada temannya. Maka wajarlah
jika Fadhil memberikan saran seperti itu. Meskipun ia mendapatkan
saran itu, saran untuk tidak menolak lamaran Zulkifli
dari Fadhil. Namun sesungguhnya kalau dia memang tidak
suka dia boleh dan tidak ada salahnya menolaknya. Kenapa
saat itu ia emosi dan langsung menelpon ayahnya di Indonesia,
menerima lamaran Zulkifli. Ia merasa memperoleh pelajaran
berharga, keputusan yang diambil dengan penuh emosi,
hanya mendatangkan penyesalan tiada henti.
Kini setelah semua tertata rapi ia menulis surat untuk
merusak semuanya dengan alasan cinta. Tinggal hitungan jam
saja, Zulkifli dan kedua orangtuanya akan datang. Ayahnya
juga akan datang. Ia bukannya mempersiapkan menyambut
mereka dengan penuh kehangatan, namun malah mengajak
Fadhil mempersiapkan pedang paling tajam guna menikam
mereka dari belakang. Tiara menghela nafas panjang. Mata -
nya terpejam. Ia merasa dirinya benar-benar sangat malang.

***
Fadhil terus berjuang untuk tabah dan berbesar jiwa. Tak
ada pilihan lain baginya. Siang itu ia dan beberapa mahasiswa
Aceh ke Bandara untuk menjemput Zulkifli dan rombongannya.
Saat bertemu Zulkifli ia berusaha sekuat tenaga untuk
ikhlas dan berbahagia. Ia rangkul kawan lamanya itu dengan
muka ceria. Ia ucapkan kalimat: Selamat datang di negeri Nabi
Musa wahai sahabat tercinta.
Ia tempatkan Zulkifli dan rombongannya di Wisma
Nusantara. Ia sendiri yang mengantarkan Zulkifli dan rombongannya
ke kamarnya. Ia berikan nomor telpon flatnya, jika
ada apa-apa minta bantuan apa saja, ia minta untuk menghubungi
dirinya.
Fadhil ingat betul kata -kata Azzam,
"Pesanku hanya satu, kau jangan jadi pecundang, jangan jadi
pengkhianat! Jadilah kau lelaki sejati. Kau jangan kalah oleh
perasaan. Sebagian perasaan itu datangnya dari nafsu yang mengajak
dosa. Tapi ikutilah petunjuk Nabi!"
Fadhil berusalla keras memberikan yang terbaik untuk
sahabat lama dan rombongannya. Termasuk di dalamnya adalah
ayah Tiara, orang yang pernah ia harapkan akan jadi mertuanya.
Apa yang dilakukan Fadhil bukannya tidak diketahui oleh
Tiara. Tiara tahu semuanya dari ayahnya yang banyak bercerita
tentang kebaikan Fadhil sejak bertemu di Bandara. Juga
cerita dari ayah dan ibu Zulkifli yang beberapa kali memujimuji
Fadhil.
"Fadhil itu kan temannya Zulkifli sejak dulu. Saya beberapa
kali bertemu dengan dia di pesantren dulu. Dia itu baik,
ramah dan sangat perhatian. Saya masih ingat saat saya ke

pesantren dulu sandal saya hilang di-ghosob oleh para
santri, saat itu Fadhil-lah yang bingung ke sana kemari mencari
sandal saya. Zulkifli ini malah santaisantai saja." Cerita
ayah Zulkifli dengan santai di hadapan Tiara. Cerita yang
secara tidak sengaja sangat menyanjung Fadhil luar biasa.
Cerita itu semakin membuat ulu hatinya ngilu bagai ditusuktusuk
sembilu.
Pada hari akad nikah yang dilaksanakan di KBRI, Fadhil
adalah orang yang paling sibuk. Dialah yang mencarikan
mushaf ke toko buku Darussalam, karena saat itu Tiara minta
maharnya ada mushaf. Dan Zulkifli belum mempersiapkan itu.
Fadhil langsung lari dengan taksi. Ia mencarikan mushaf
mahar yang terbaik. Tiara tahu bahwa yang mencarikan
mahar adalah Fadhil. Matanya berkaca -kaca saat itu juga. Ia
berusaha sekuat tenaga agar airmatanya tidak meleleh, apalagi
tumpah.
Dalam hati ia berkata, "Seharusnya memang dia yang
mencarikan mahar untukku dan dia pula yang akad nikah
denganku." Kalimat itu hadir dalam hatinya tanpa ia bisa
menolaknya. Sungguh tidak mudah menikah dengan orang
yang tidak dicintai, sementara orang yang dicintai ada di
depan mata dengan segala kemuliaan akhlak dan pengorbanannya.
Ia beristighfar ketika sadar akan apa yang baru saja
ia ucapkan di dalam hatinya.
Akad nikah berlangsung. Fadhil duduk menundukkan
muka dengan hati gemuruh luar biasa. Tiara duduk dengan
penuh rasa pasrah. Zulkifli menjawab akad dengan mantap
dan lantang. Akad nikah telah terjadi. Pipi Fadhil basah. Tiara
tak kuasa menahan tangisnya. Fadhil memeluk Zulkifli dengan
hangat sambil mengucap,
"Baarakallahu laka wa baaraka 'alaika wa jama'a bainakuma
fi khair!"
Zulkifli berulang kali mengucapkan rasa terima kasihnya
yang tiada terhingga. Saat Fadhil melangkah meninggalkan
ruangan, Tiara sempat melihat mata Fadhil yang sembab, ia
Ghosob. dipinjam tanpa ijin yang punya

juga sempat melihat Fadhil mengusap airmatanya dengan
punggung tangannya.
Hati Tiara bagai diiris-iris. Ia memandangi pemuda yang
dikaguminya itu melangkah keluar.
Usai akad Fadhil langsung minta pada teman temannya
dari Aceh untuk membereskan semuanya. Ia minta diri untuk
pulang. Ia bilang ada urusan penting Namun sebenarnya, ia
tiada kuasa untuk menumpahkan tangisnya. Keluar dari KBRI
ia mencegat taksi, dan saat taksi itu berjalan ia menangis
dengan sepuas-puasnya.
Ia sendiri tidak tahu menangis karena apa..? Apakah ia
menangis karena sedih bahwa gadis yang dicintainya telah jadi
milik orang lain? Ataukah menangis bahagia karena temannya,
yaitu Zulkifli telah mendapatkan pasangan hidupnya..?
Ataukah menangis karena bangga pada dirinya sendiri yang
telah berhasil melalui ujian paling berat dalam hidupnya..?
Taksi sampai di Mutsallats. Sampai di rumahnya ia
langsung mengunci kamarnya dan menangis sepuaspuasnya.
Semua yang pernah ia alami bersama Tiara seperti diputar
dalam ingatannya. Sejak pertama kali bertemu di pesantren
sampai surat terakhir Tiara dan bagaimana ia menjawabnya.
Dan paling akhir adalah saat dirinya menyaksikan Tiara
diakad dan diperisteri orang lain di depan matanya. Dan dialah
yang mencarikan maharnya.
***
Ujian bagi Fadhil belum selesai. Ia masih harus menghadapi
satu ujian lagi. Mendendangkan nasyid dalam pesta
walimatul ursy. Fadhil nyaris tidak kuat. Ia nyaris tidak datang.
Tapi ia kembali teringat dengan katakata Azzam,
"Pesanku hanya satu kau jangan jadi pecundang...!"
Akhirnya ia menetapkan hati untuk berangkat. Tim Nasyid
yang ia pimpin adalah Tim Nasyid khas Aceh.Tim Nasyid
yang mengangkat etnik musik khas Aceh. Tim Nasyidnya
sama sekali tidak menggunakan perangkat musik modern.

Namun menggunakan perangkat musik tradisional khas Aceh,
yaitu Geundeurang, Rapa'i dan Seurune Kale.
Geundeurang, adalah alat musik tabuh berbentuk
panjang terbuat dari kulit kambing dan kayu nangka dan
menggunakan stik letter L sebagai penabuhnya. Sedangkan
Rapa'i adalah alat musik tabuh khas Aceh yang menyerupai
rebana dengan berbagai ukuran dan memakai tamborin. Dan
Seurune Kale adalah alat musik tiup yang terbuat dari kayu
nangka dan diujungnya menggunakan daun lontar sebagai
penyaring suara.
Anggota Tim Nasyidnya itu delapan orang. Dua vokalis,
salah satunya adalah dirinya. Bahkan dirinya adalah vokalis
utama. Dua penabuh Geundeurang. Empat penabuh Rapa'i
dengan berbagai ukuran. Dan dua peniup Seurune Kale.
Sebelum tampil ia memberi semangat kepada timnya untuk
tampil yang sebaikbaiknya.
Acara walimatul ursy diadakan di Daarul Munasabat
Masjid Musa bin Nushair Hay El Sabe'. Ayah Zulkifli adalah
seorang pedagang sukses yang kaya raya di Aceh. Pesta
pernikahan itu diadakan besar-besaran. Seluruh orang Aceh di
Mesir diundang. Seluruh pejabat dan staf KBRI, pengurus
PPMI, pengurus WIHDAH, dan seluruh ketua kekeluargaan
diundang.
Untuk menata hatinya Fadhil minta agar Ramzi Muda,
vokalis yang satunya tampil lebih dulu. Tim Nasyid Nangroe
Voice muncul dengan diiringi tepuk tangan yang membahana
dari hadirin. Hati Tiara sudah lebat. Badai bagai bergulunggulung
di dalam dadanya. Ia merasa tidak adil Fadhil harus
jadi penghibur dalam acara itu. Tidak adil. Walau bagaimana
pun Fadhil pernah menjadi ustadznya. Namun ia tidak bisa
berbuat apa-apa.
Nangroe Voice menata posisinya. Hadirin diam. Suasana
hening. Fadhil tidak kelihatan. Seurune Kale ditiup perlahan.
Diikuti hentakan tabuh Rapa'i. Iramanya mengalun, menggema,
menyihir siapa saja yang mendengarnya. Keindahan
semakin menjadijadi ketika Geundeurang ditabuh menyem -
purnakan irama.

Hadirin bertepuk tangan. Musik khas tradisional Aceh itu
sesaat lamanya memainkan sihirnya. Tidak ada hati yang tidak
condong untuk mengikuti iramanya. Lalu sihir itu disem -
purnakan oleh suara indah Ramzi Muda yang melantunkan
lagu berjudul, "Saleuem":
Assalamo'alaikum wa rahmatullah.
Jaroe dua blah ateuh jeumala.
Karena saleum nabi kheun sunnah.
Jaroe taumat tanda mulia.
Iseulam tauhid mu'arifat.
Watee meusafat geukheun agama.
Hadirin benar-benar terpesona. Lagu itu selesai. Ramzi
Muda masuk barisan untuk jadi backing vokal.
Irama musik berubah jadi lebih dahsyat. Menghentak,
menggelegar, mengambil hati, dan menyihir pikiran. Dan
muncullah Fadhil. Seluruh hadirin bertepuk tangan. Fadhil
tersenyum dan mengangguk kepala dengan santun. Ia seperti
seorang artis dan seniman besar. Fadhil mengangkat tangannya
memberi isyarat pada para pemusik. Irama perlahan berubah
menyayat hati. Hadirin larut. Tiara tiada kuasa menahan
airmatanya. Fadhil mengumandangkan suaranya dan semua
yang mendengarnya tersihir di tempatnya,
Allah Allah Allahu Rabbi.
Beek dilee Neubri Kiamat donya.
Lhe tat bueut salah ka dengon keuji.
Sayang lon Robbi asoe neuraka.
Dipetik dari lagu berjudul Saleum ciptaan Yakop S/lmam J. dalam Album Etnik Atjeh
Saleum Group.
Dipetik dari lagu berjudul Troh Bak Watee. karya Komunitas Nyabung Aceh dalam
album World Music from Aceh.

Fadhil larut dengan penghayatannya. Musik mengiringi
keindahan cengkok Acehnya. Tiara terpaku di tempatnya
dengan berurai airmata. Tiba-tiba Fadhil memasukkan kalimat
yang meremas-remas jantung Tiara. Masih dalam irama yang
sama Fadhil dengan kehebatannya memasukkan isi surat yang
pernah ditulisnya ke dalam lagu yang dibawakannya,
Mari kita sama-samaa insyaf.
Cinta sejati itu tidak menzalimi.
Cinta sejati berorientasi ridha Ilahi.
Allah Allah Allahu Rabbi.
Aku cinta dirimu duhai bidadari.
Tapi aku lebih cinta Tuhanku, Ilahi, Rabbi.
Mendengar lagu itu, jiwa Tiara bagai dibetot dari jasadnya.
Sekuat tenaga ia bertahan agar tetap bisa duduk dengan
tegap di tempatnya. Ingin rasanya saat itu ia berlari dan
menangis sejadijadinya di kamarnya. Ia benar-benar didera
kesedihan yang mencekik leher. Ulu hatinya bagai dihusuktusuk
belati berulang kali.
Hadirin tersihir. Empat Rapa'i terus ditabuh menggedorgedor
jiwa, Seurune Kale terus bersuara naik turun menyayat
jiwa. Dan Geundeurang menyempurnakan keindahan. Suara
Fadhil bagai bermantra penuh kekuatan. Ia menyanyikan
lagunya dengan segenap kekuatan jiwa. Ia tidak mewakili
siapa-siapa. Ia menyuarakan suara hatinya sendiri ia hmjukan
sepenuh hati kepada Tiara dan kepada dirinya sendiri. Ia tak
kuasa membendung airmatanya yang merembes perlahan.
Hadirin tersihir oleh mimik dan penampilannya yang
total. Hanya dia yang tahu kenapa airmatanya mengalir?
Airmata itu tidak sekadar penghayatan, tapi perasan jiwa yang
keluar begihu saja karena tiada mampu membendung berkecamuknya
rasa haru, rasa sedih, rasa kecewa, rasa tidak
berdaya, rasa bahagia dan rasa setia pada cinta, kesucian dan
kemuliaan.
Allah Allah Allahu Rabbi.
Aku cinta dirimo duhai bidadari.
Tapi aku lebih cinta Tuhanku, Ilahi, Rabbi.

BUNGA HARAPAN
Fadhil merasa dirinya tak bisa lagi bertahan di Cairo.
Setelah Tiara menikah, hidup di Cairo sama sekali tidak indah.
Apalagi Zulkifli telah memutuskan untuk hidup beberapa
tahun di Cairo. Ia yang telah menyelesaikan S.1 di IAIN Ar
Raniry hendak mencoba S.2 di Institut Liga Arab.
Fadhil menceritakan rencananya kepada Cut Mala adiknya.
Bahwa jika dia lulus. Yang berarti selesai sudah S.1-nya
ia akan pulang. Pulang ke Indonesia. Ke Aceh untuk menemani
ibunya. Atau ke kota lain untuk mencari pengalaman kerja.
Jika belum lulus ia akan meninggalkan Cairo dan akan memilih
tinggal di Tanta. Yang penting jauh dari Tiara dan suaminya.
Ke Cairo hanya unhuk hal-hal penting dan jika ujian tiba.
"Kalau pulang dari mana kakak akan dapatkan uang? Beli
tiket itu perlu uang Kak. Trus uang yang pinjam Kang Azzam
untuk biaya rumah sakit kakak juga belum dikembalikan.
Bagaimana Kak..?" tanggap Tiara.

"Entahlah semoga nanti ada jalan. Yang jelas, sangat
berat untuk tetap bertahan di Cairo."
Cut Mala hanya diam. Ia bisa merasakan apa yang dirasakan
kakaknya. Cut Mala masih ingin, kakaknya itu tetap di
Cairo menemaninya. Tiba-tiba terlintas dalam pikirannya bahwa
kakaknya akan bisa bertahan jika kakaknya itu menemukan
pengganti yang lebih baik dari Tiara. Entah kenapa tiba-tiba
ia merasa seperti menemukan cahaya. Ia teringat dua orang
yang menurutnya, pesonanya jauh mengalahkan Tiara. Dua
orang itu adalah Anna Althafunnisa dan Masyithah.
Ia berniat mempertemukan, atau lebih tepatnya menjodohkan
kakaknya tercinta dengan salah satu dari keduanya.
Dalam pandangannya mereka berdua sangat istimewa. Baik
secara fisik, intelektual maupun akhlaknya. Dan ia merasa
kakaknya berhak mendapatkan salah satu di antara mereka
berdua. Ia tiba-tiba tersadar, Anna Althafunnisa sedang pulang
di Indonesia. Umurnya lebih tua dari kakaknya. Dan
sudah S.2.
Rasanya agak susah mempertemukannya dengan kakaknya.
Meskipun bukan hal yang musta hil. Namun ia rasa yang
paling pas adalah Masyithah. Umurnya sama dengan Tiara.
Dan dalam banyak hal sebenarnya Masyithah lebih unggul.
Hanya saja Masyithah memang tidak pernah membuka dirinya
ke publik. Ia bercadar. Hanya orang-orang tertentu yang tahu
segala kelebihannya. Termasuk wajahnya yang jelita khas
perpaduan Mesir-Pakistan. Ia ingin mempertemukan kakaknya
dengan gadis kelahiran Banda Aceh itu.
"Lebih baik tunggu pengumuman saja dulu Kak. Setelah
itu nanti kembali kita pikirkan," kata Cut Mala berusaha
menenangkan.
* * *
Pengumuman hasil ujian itu akhirnya datang. Kampus Al
Azhar kembali menunjukkan wibawanya.
Ribuan mahasiswa menangis bahagia karena lulus. Tidak
sedikit yang menangis sedih karena tidak lulus, dan karenanya
harus mengulang di tingkat yang sama satu tahun.

Azzam datang ke kampus dengan hati diliputi rasa takut
dan harap. Sepanjang jalan menuju kampus ia berdoa semoga
lulus. Di gerbang kampus ia bertemu Ali dan Miftah.
"Gimana Li, Mif ? Lulus..?"
"Alhamdulillah, saya lulus, jayyid Kang. Nanti malam kita
syukuran. Miftah juga lulus tapi masih ninggal dua mata
kuliah," jelas Ali dengan muka berseri-seri.
"Alhamdulillah. Lha aku bagaimana..? Kalian tahu nggak
aku lulus atau tidak..?"
Miftah.
"Lihat saja sendiri Kang. Lebih mantap!" tukas
Azzam bergegas menuju papan pengumuman. Ratusan
mahasiswa berdesakan melihat papan pengumuman. Sesaat
lamanya Azzam mencari-cari namanya tidak juga ketemu.
Akhirnya setelah seperempat jam mencari ia menemukan
namanya. Dan dengan hati berdebar ia baca. Ia dinyatakan
lulus dengan predikat: "JAYYID".
Azzam langsung sujud syukur. Berkali-kali Azzam mengumandangkan
takbir. Sebuah senyum tersungging di bibir.
Pikirannya langsung melayang ke Indonesia. Ke wajah ibunya,
dan adik-adiknya tercinta. Sudah sembilan tahun ia berpisah
dengan mereka. Rencananya sangat jelas dan tidak perlu
ditunda lagi. Yaitu pulang. Ia tak ingin berlama-lama. Dua
hari lagi adalah awal Agustus. Ia teringat pesan Husna, agar
pulang awal Agustus jika bisa. Sebab saat itu Husna ada di
Jakarta untuk menerima penghargaannya sebagai salah satu
penulis cerpen terbaik di Nusantara.
"Ya, insya Allah, kita bertemu di Jakarta, Husna.
Azzam langsung cepat-cepat mencari telpon. Ia harus
segera menghubungi Nasir meminta tiketnya di-conform untuk
penerbangan dua hari yang akan datang. Tak ada lagi alasan
untuk menunda pulang.
Sampai di Mutsallats Azzam langsung ke tempat Adil
Ramadhan memberitahukan bahwa dua hari lagi ia akan me-
El Shirazy

ninggalkan Cairo. Mungkin untuk selamalamanya. Imam
Muda itu langsung menjabat tangannya erat dan berkata,
"Selamat berjuang dan mengamalkan ilmu. Baik, nanti malam
Al-Quranmu kita khatamkan!" Azzam sangat bergembira
mendengar hal itu.
Tidak lupa Azzam juga memberitahukan dan berpamitan
kepada bapak-bapak KBRI yang selama ini menjadi langganannya.
Mereka semua mengucapkan selamat jalan. Ketika
ia memberitahu Pak Amrun Zeinu ihwal kepulangannya,
Atase Perdagangan itu langsung memintanya datang menemuinya.
Tanpa pikir panjang Azzam datang menemuinya.
"Ada apa Pak?" Azzam langsung menga jukan pertanyaan
begitu ia duduk di hadapan Pak Amrun.
"Jadi kau benar mau pulang..?" Yang ditanya malah balik
bertanya.
"Ya. Dua hari lagi, insya Allah."
"Kebetulan sekali. Kau mau tidak saya ajak bisnis..?"
"Bisnis apa Pak..?"
"Bisnis pengiriman buku-buku teman-teman mahasiswa.
Begini Zam, seperti yang kau tahu, bulan ini aku dapat jatah
mengirim satu kontainer. Itu akan aku gunakan untuk mem-
fasilitasi teman-teman mahasiswa yang ingin mengirimkan
kitab-kitab dan buku-buku mereka. Seperti biasa hitungan per
kardus. Kontainer akan tiba di Jakarta. Untuk wilayah Jakarta
dan Jawa Barat sudah kutunjuk si Aan Zaidan sebagai penanggung
jawab pengiriman ke alamat masingmasing. Jadi
jasa kita meliputi pengirimannya di Indonesia sekalian. Lha
untuk wilayah Jateng, Jogja dan Jatim aku belum ketemu
orang yang tepat. Karena kau mau pulang bagaimana kalau
kau saja penanggung jawabnya..?"
Azzam langsung paham. Baginya itu adalah tawaran
yang sangat menarik. Paling tidak bisa jadi kerjaan begitu tiba
di Tanah Air.

"Boleh Pak. Dan langsung saja. Kita profesional saja Pak.
Untuk bisnis ini insentif untuk saya berapa..? Biar saya
semangat gitu lho Pak..?"
"Saya samakan dengan Aan saja ya..?"
"Luas Jawa Tengah dan Jawa Timur itu tidak bisa dibandingkan
dengan luas Jawa Barat lho Pak. Apalagi misalnya
ada yang rumah mahasiswa itu Banyuwangi, ada yang Cilacap,
ada yang Brebes. Dari ujung ke ujung. Bisa lebih profesional
Pak..?"
Pak Amrun langsung paham dengan siapa ia berhadapan.
Azzam sudah cukup kenyang berbisnis. Meskipun tempe dan
bakso. Tapi pengalaman itu sangat membedakan Azzam dengan
Aan. Azzam bisa tegas dalam negosiasi dan terasa begitu
lincah. Sementara Aan saat itu begitu ditawari angka nominal
langsung mengiyakan. Pak Amrun tidak mau mempermalukan
dirinya sendiri dengan mendapat stigma tidak profesional di
mata Azzam.
"Baik, dua kali lipatnya Aan. Bagaimana Zam..?"
"Berapa insentif Aan..?"
"Tiga ratus lima puluh dollar. Jadi insentifmu setelah
seluruh tugasmu selesai adalah tujuh ratus dollar. Bagaimana..?"
Azzam berpikir sebentar. Lalu menjawab, "Baik. Setuju
Pak."
Azzam keluar dari ruangan Pak Amrun dengan penuh
kemenangan dan bahagia. Ia semakin cepat ingin pulang. Ia
tidak akan menganggur. Pekerjaan pertama setelah pulang
adalah mengantarkan kitab-kitab yang dibawa kontainer Pak
Amrun. Ia akan keliling Jawa Tengah, Jogja dan Jawa Timur.
Pekerjaan lapangan yang mengasyikkan.
Dari tempat Pak Amrun, Azzam menyempatkan untuk
menemui Pak Ali. Kepada Pak Ali ia memberitahukan kepulangannya
ke Indonesia yang tinggal dua hari lagi. Azzam
minta untuk didoakan agar diberi keselamatan dan kemudahan
segala urusan.

"Yang paling penting, saat kamu bermasyarakat jagalah
akhlak muliamu agar kamu dimuliakan oleh orang lain. Ingat
pesanku ini baik-baik ya Mas." Kata Pak Ali sambil menepuknepuk
pundak Azzam.
"Oh ya kau pulang naik apa..?" Tanya Pak Ali.
"Naik MAS. Nanti transit di Kuala Lumpur." Jawab
Azzam.
"Wah berarti nanti kau satu pesawat dengan Eliana. Aku
dengar dia mau ke Jakarta dua hari lagi. Juga pakai MAS.
Katanya dia ada pertemuan dengan sutradara di Jakarta. Nanti
saya beritahu Eliana. Dia pasti senang. Sebab katanya dia mau
mengajak ibunya untuk menemaninya ke Jakarta. Katanya
tidak enak pergi sendirian, tidak ada yang diajak bicara. Tapi
Bu Dubes tidak ada waktu. Bu Dubes harus menemani Pak
Dubes berkunjung ke Manshurah, memenuhi undangan
Rektor Universitas Manshurah."
Azzam hanya diam mendengar kabar Pak Ali itu. Ia
berpikir kenapa harus sering bertemu Eliana. Kenapa pulang
ke Indonesia saja juga bersama Eliana. Kalau nanti Eliana
tahu, pasti gadis itu akan minta tempat duduk di sampingnya.
Perjalanan selama sebelas jam. Ia akan bersama gadis itu
selama sebelas jam. Ia merasa harus memikirkan sesuatu
untuk sedikit memberi perubahan pada gadis itu. Ia merasa,
jika selama sebelas jam bersama ia tidak memberi pencerahan
pada gadis itu alangkah mubazirnya. Ia berpikir pencerahan
apa yang harus ia sampaikan pada gadis itu, yang tak lama lagi
mungkin akan menjadi artis paling terkenal di Indonesia..?
"Oleh-olehnya sudah dibeli semua..?" Pertanyaan Pak Ali
membuyarkan otaknya yang sedang berpikir.
"E..alhamdulillah sudah Pak."
"O ya, bisa tidak saya nitip surat dan oleh-oleh kecil buat
anak saya yang kuliah di Fakultas Kedokteran UNS..?"
"Boleh Pak. Tapi oleh-olehnya jangan besar-besar ya Pak.
Sebab yang nitip sudah banyak, tempatnya terbatas."

"Saya tahu."
"Nama anak bapak itu siapa..?"
"Elfira Agustina."
"Saya tunggu paling lambat satu jam sebelum saya berangkat
ke bandara ya Pak. Semakin cepat semakin baik."
"Baik Mas. Terima kasih sebelumnya."
***
Malam itu Azzam khataman. Ia telah selesai belajar tiga
puluh juz. Oleh Adil Ramadhan ia diberi sanad qira'ah Hafs
sampai ke Rasulullah Saw. Ia sangat bangga memiliki sanad
itu. "Sanad ini aku dapat dari guruku Syaikh Farhat Abdul
Majid, beliau mendapatkannya dari Syaikh Mahmud Hushari,
dan seterusnya sampai ke Rasulullah Saw." Jelas Adil pada
Azzam.
Selesai khataman Azzam pulang. Dan rumahnya telah
penuh dengan orang yang hendak mengucapkan salam perpisahan.
Malam itu memang ada acara perpisahan. Semua
anggota rumahnya ada. Nasir, Ali, Nanang, Hafez dan Fadhil
malam itu di rumah tidak ke mana-mana. Acaranya santai.
Hanya makan-makan.
Masih juga ada yang mencoba menitip barang pada
Azzam. Namun ia dengan sangat berat menolaknya. Ia tunjukkan
ranselnya yang khusus untuk membawa barangbarang
titipannya. Sudah penuh dan padat. Bahkan saking
padatnya semut pun nyaris tak bisa menyusup ke dalamnya.
Sementara tas kopernya dan tas jinjingnya juga penuh. Memang
sudah sejak satu bulan sebelumnya ia ancang-ancang.
Malam itu Azzam membagi warisan. Barangbarangnya
yang tidak mungkin ia bawa, ia wariskan pada teman-temannya.
Untuk alat-alat membuat bakso dan tempe serta jaringannya,
tidak ia wariskan, tapi ia jual kepada Rio dengan harga
yang sangat murah. Rio pun senang, bahkan meskipun mem -
bayar, Rio tetap merasa mendapatkan warisan yang luar biasa
berharganya. Dan dalam akad jual beli itu ada satu syarat,
yaitu jika ternyata dalam satu tahun berikutnya Azzam

kembali ke Cairo, meskipun kemungkinan itu kecil, maka
Azzam akan kembali membayar harga yang sama dan semuanya
kembali ke tangan Azzam.
Pagi hari menjelang keberangkatan, Hafez mengetuk
kamar Azzam. Begitu Hafez yang muncul, Azzam langsung
paham.
"Bagaimana Kang..? Sudah dibicarakan pada Fadhil atau
Cut Mala..?" tanya Hafez dengan nada cemas.
"Belum Fez. Afwan. Fadhil dan Cut Mala saat itu sedang
menghadapi masalah psikologis yang cukup pelik. Aku tak
mau menambah pelik. Jadi aku tunda. Rencanaku nanti akan
aku bicarakan padanya dari Indonesia lewat telpon. Bagaimana..?"
Mendengar jawaban itu wajah Hafez berubah. Ia terlihat
kecewa.
"Sungguh Fez. Aku sudah berusaha beberapa kali.Tapi
kesempatan itu belum terbuka. Maafkan aku kalau mengecewakanmu.
Kalau kau tidak bisa bersabar, maka kau bisa
langsung bicara empat mata dengan Fadhil. Atau enam mata
dengan Cut Mala sekalian."
Hafez terdiam.
"Baiklah Kang. Aku tetap percayakan pada Sampeyan.
Tapi tolong jangan ditunda lagi. Begitu sampai di Indonesia
sambil memberi kabar pada Fadhil sampaikan keinginanku
mengkhitbah Cut Mala, adiknya. Tolong jangan lupa dan
jangan ditunda-tunda Kang."
"Baik Fez,insya Allah."
Mendengar jawaban itu bunga -bunga harapan bermekaran
di hati Hafez. Ia merasa betapa bergairahnya hidup
memiliki bunga-bunga harapan. Dan bunga harapan paling
Akan jual beli dengan syarat seperti yang diminta Azzam ini, tidak
diperbolehkan oleh mayoritas ulama fiqh, kecuali dari kalangan Syiah Imamiyyah.
Penjelasan lebih detilnya insya Allah ada di novel DARI SUJUD KE SUJUD (Ketika Cinta
Bertasbih 3).

indah adalah harapan mendapat cinta dari orang yang dicinta.
Bunga harapan paling menggairahkan dan paling menghidupkan
adalah harapan mereguk cinta sambil bertasbih dan bertahmid
memuji dan menyucikan asma Allah Yang Maha
Pengasih dan Penyayang.
Detik-detik mengharukan tiba. Rumah Azzam kembali
penuh orang. Menjelang berangkat ada acara kecil pelepasan
ke Bandara. Ada kesan-kesan dari teman-teman yang ditinggalkan
terutama teman satu rumah. Yang paling terbata -bata
karena terharu akan ditinggalkan adalah Fadhil. Ia merasa
Azzam adalah sosok yang sangat berarti baginya selama ini.
Yang lebih terbata-bata bahkan sampai menangis saat menyampaikan
kalimatnya adalah Azzam. Ia tidak kuasa menahan
sedihnya meninggalkan Bumi Para Nabi yang sudah
menjadi Tanah Air keduanya.
"Semoga benar kata orang Mesir, bahwa yang telah
minum air Nil ia akan kembali lagi berulang kali ke Mesir."
Ucap Azzam di akhir sambutan.
Koper, tas dan ransel diturunkan. Tiga mobil Eltramco
telah datang. Sebagian mahasiswa ikut mengantar ke Bandara
sebagian lagi tidak. Tiga mobil Eltramco itu penuh. Azzam
satu mobil dengan Nasir, Hafez, Fadhil, Ali dan beberapa
teman yang selama ini akrab dengannya.
"Kang, nanti kalau menikah kasih kabar ya." Nasir membuka
percakapan.
"Pasti Sir. Tapi sampai sekarang aku belum punya calon
Sir. Kau ada pandangan Sir..?" Tanya Azzam.
"Siapa Kang ya?" Jawab Nasir.
"Alah Sir, kau kan punya adik perempuan si Laila. Kenapa
tidak kasih aja si Laila. Kang Azzam mau kan dengan si
Laila..?" Celetuk Ali membuat suasana hangat.
"Iya Sir. Kayaknya si Laila sama Kang Azzam itu memiliki
mental yang sama. Mental bisnis. Itu klop Sir. Bagaimana
Sir..?" Tambah Hafez.

Nasir diam tak bisa berkata -kata. Ia tidak menyangka
kalau perkataan isengnya akan menyerang dirinya. Azzam
yang dalam mobil itu paling dewasa senyamsenyum saja.
"Aku tahu, ya Nasir gengsi lah menjodohkan adiknya
dengan penjual tempe dan penjual bakso yang terkenal sering
tidak naik tingkat. Sampai-sampai S.1 saja sembilan tahun. Ya
nggak Sir..?" Santai Azzam membuat Nasir semakin terpojok.
Tapi tiba-tiba Nasir punya ide mengalihkan perhatian sekaligus
memanaskan suasana.
"Bukan begitu Kang. Aku sih tidak keberatan. Yang
paling penting kan Sampeyan. Apa Sampeyan berminat dengan
adik saya, Laila. Dia itu aktivis habis. Tak betah diam di
rumah. Aku lihat sih untuk Sampeyan, biar kehidupan rumah
tangga balance ada sosok yang lebih tepat." Jawab Nasir
membuat yang mendengar penasaran. "Siapa Sir..?" Tanya Ali.
"Jangan kaget ya...." Sahut Nasir sambil menaik turunkan
alisnya.
"Udah cepat, siapa yang lebih tepat untuk Kang Azzam..?"
Desak Hafez.
"Dia adalah orang yang halus budi bahasanya, selama ini
juga dikenal baik oleh Kang Azzam. Dia adalah Cut Mala, adik
Fadhil Mutahar."
Fadhil tersentak, Azzam tersentak, dan yang paling tersentak
adalah Hafez. Hatinya langsung didera rasa cemburu
luar biasa mendengar pujaan hatinya disebut namanya dan
disandingkan dengan orang lain dan bukan dirinya.
Fadhil segera menguasai dirinya. Ia mengerti maksud
Nasir. Jelas Nasir ingin menggojlog dirinya. Ia tak mau jadi
tempat gojlogan.
"Di atas segalanya adalah cinta. Jika Kang Azzam bisa
mencintai adik saya dan adik saya mencintainya maka kenapa
tidak..?" Ujar Fadhil tegas.
Mobil Eltramco terus melaju. Membelah Hayyu Tsamin.
Azzam tersenyum sendiri mendengar hal itu.

"Kenapa tersenyum sendiri Kang..?" Tanya Ali yang
melihat ekspresinya.
"Wah ini menarik. Lha siapa yang tidak suka sama Cut
Mala..? Jangan-jangan yang ada di mobil ini selain Fadhil
semuanya pada naksir Cut Mala. Wah ini perlu gerak cepat.
Siapa cepat dia dapat! Ayo siapa yang berani saat ini melamar
Cut Mala pada kakaknya, paling tidak menyatakan rasa cinta.
Siapa berani..?" Tukas Azzam santai.
Semua diam. Hening. Azzam tersenyum penuh kemenangan.
Ia geli melihat anak-anak itu besar diomongan kecil di
nyali. Ia berkata begitu sebenarnya ingin memberi peluang
pada Hafez untuk bicara. Tapi Hafez malah mematung dengan
bibir kaku terkunci rapat.
"Baik, pada diam semua. Tidak ada yang berani..? Saya
tawari satu per satu. Hafez bagaimana Fez..? Tertarik sama Cut
Mala..? Ingin menyunting Cut Mala..? Ayo angkat suara. Bicara
pada kakaknya, mumpung dia sudah mengumumkan yang
penting cinta. Di atas segalanya adalah cinta..?"
Hafez diam.
"Kau Sir, bagaimana..? Berani..?"
Nasir diam juga.
"Kau Li, Mif, Kim, Bur, Dul, Wur, dan kau Man, Gilman.
Bagaimana ada yang berani menyampaikan isi hatinya..? Ada
yang berani..?"
Semua diam.
"Bagaimana ini Dhil, semua nggak ada yang berani. Aku
yakin mereka semua sama naksir pada adikmu itu, tapi entah
kenapa mereka diam seribu bahasa." Kata Azzam tenang. Ia
yang sejak awal mau dijadikan bahan gojlokan sudah menang
sepuluh kosong.
"Yang akan menyunting adikku memang hanya orang
yang punya nyali Kang. Cut Mala hayati tidak akan bersanding
kecuali dengan lelaki sejati." Sahut Fadhil bangga.

"Karena semua diam dan tidak ada yang berani. Aku tidak
ingin dikatakan dalam mobil ini tidak ada lelaki sejati. Okey
Dhil, sampaikan pada adikmu itu aku melamarnya. Aku mencintainya!"
Kata Azzam yang dengan nada seolah-olah serius,
padahal dalam hati ia hanya ingin memancing cemburu pada
orang-orang yang ada di dalam mobil itu. Terutama Hafez.
Semua yang mendengar perkataan itu tersentak. Terutama
Hafez. Ia bagai disambar petir. Ulu hatinya seperti
ditusuk tombak berkarat.
"Kau serius, Kang..?" Tanya Ali.
"Kenapa kau gusar, Li..?" Sambut Azzam.
"Ah tidak Kang. Tapi benar kata Nasir, Cut Mala memang
cocok untuk Sampeyan."
"Pokoknya kalian jangan iri ya kalau penjual tempe ini
nanti menyunting gadis Aceh itu he he he...."
Hafez merasakan tubuhnya seperti mau hangus. Ia sangat
marah dan jengkel tapi ia tidak bisa berbuat apaapa. Tak lama
mobil sampai di Bandara. Barang-barang diturunkan dan
diletakkan di troli. Semua yang mengantar ikut masuk ke
dalam Bandara. Masih ada waktu satu jam setengah.
Hafez mendekati Azzam dan berbisi.
"Tega benar kau Kang!" Kata Hafez dengan wajah geram.
Azzam tersenyum.
"Wualah Fez. Jadi kau menganggap serius guyonan di
mobil tadi. Kau kan lihat dari awal tadi itu guyonan. Gojloggojlogan.
Tenanglah aku tak akan berbuat jahat padamu.
Nanti akan aku sampaikan yang sebenarnya pada Fadhil.
Jangan kuatir. Toh aku sudah mau pulang. Kau masih di
Cairo. Apa yang kau kuatirkan..?"
"Maafkan aku Kang. Aku sangat cemburu tadi."
"Aku tahu."
Azzam sampai di Bandara dan bertemu dengan Pak Ali.

"Mas Irul langsung saja masuk. Eliana sudah di dalam.
Sepuluh menit lagi chek in tutup!" Kata Pak Ali seketika itu
juga mengingatkan. Azzam merangkul dan meminta doa pada
Pak Ali.
"Aku doakan semoga ilmumu bermanfaat, kau sukses dan
hidupmu barakah dan bahagia. Semoga selamat sampai Indonesia.
Sampaikan salam saya pada keluargamu dan pada Pak
Kiai Lutfi ya. Jangan lupa." Lirih Pak Ali di telinga Azzam.
Azzam mengangguk.
Dan detik-detik yang sangat berat baginya itu pun
datang. Detik-detik berpisah dengan teman-teman. Detikdetik
meninggalkan bumi tempat ia belajar bertahun-tahun. Ia
harus masuk ke dalam Bandara untuk mengambil boarding
pass. Satu per satu teman yang mengantarnya ia peluk dengan
hati basah dan mata berkaca-kaca. Di telinga mereka ia
bisikkan permintaan maaf jika ada khilaf, juga permohonan
doa agar selamat selama dalam perjalanan.
Saat memeluk Fadhil, ia meminta untuk tabah. Ia juga
meminta agar omongannya di mobil tadi jangan diperhatikan.
Jangan dimasukkan dalam hati. Dianggap angin lalu saja. Ia
hanya bercanda. Ia juga menjelaskan ada seseorang yang
sebenarnya menginginkan Cut Mala, adiknya. Dan orang itu
bukan dia.
"Siapa orangnya Kang?" Tanya Fadhil penasaran.
"Yang jelas dia termasuk sangat dekat denganmu dan
sangat mencintai adikmu itu. Dan sekali lagi yang jelas orang
itu bukan aku. Nanti lebih jelasnya aku telpon dari Indonesia
saja ya." jawab Azzam lirih.
Setelah semua ia peluk, satu per satu koper dan barangbarang
bawaannya ia masukkan ke dalam alat detektor. Ia lalu
masuk ke kawasan yang hanya boleh dimasuki para penumpang.
Ia melambaikan tangan perpisahan. Azzam langsung ke
meja pengambilan boarding pass. Kopernya ditimbang. Tak ada
masalah. Ranselnya tetap ia cangklong dan tas jinjingnya ia
bawa dengan tangan kanan.

Setelah mengambil boarding pass, Azzam berjalan menu-ju
ruang tunggu pemberangkatan. Tas ransel dan tas jinjing-nya
harus melewati detektor terakhir untuk dilihat isinya. Tak ada
masalah. Ia lalu berjalan melewati free duty. Ia melihat sekilas,
tak ada barang yang menarik untuk dibeli. Ia melewati stand
penjual majalah dan koran. Ia teringat Husna yang suka
menulis. Mungkin beberapa koran dan majalah asli Mesir dan
Timur Tengah akan membuat adiknya itu senang. Ia beli
koran Ahram, Gomhoriya, dan Syarq El Ausath. Untuk majalah
ia memilih majalah El Adab, El Arabi dan El Manar El Jadid.
Harganya dua kali lipat dari biasanya. Tak apa. Tetap ia
bayar demi adik yang dicintainya. Ia lalu mengambil tempat
duduk tak jauh dari papan informasi jadwal kedatangan dan
pemberangkatan. Ia melihat ke jadwal, seperempat jam lagi ia
akan boarding. Ia melihat sekeliling. Mencari-cari Eliana.
Tidak ia temukan. Ia lihat ratusan penumpang sudah siap
berangkat. Sepertiga lebih adalah mahasiswa dari Malaysia.
Tak ada yang ia kenal. Jika ia melihat mahasiswa Malaysia itu
dan mereka melihatnya, ia tersenyum dan menganggukkan
kepala. Mereka juga akan melakukan hal yang sama. Sebuah
penghormatan untuk saudara. Merasa seolah sudah kenal
lama.
Ia membuka koran Ahram, yang pertama ia baca adalah
tulisan Prof. Dr. Muhammad Imarah. Tulisan yang sangat
menyentuhnya tentang pentingnya ijtihad. Di jaman global
yang sedemikan cepat berubah, ijtihad adalah sebuah kemestian
yang tidak bisa diabaikan. Mengebiri ijtihad sama saja
menginginkan umat ini mati pelan-pelan. Itu kesimpulan yang
ia dapat dari esai yang ditulis pemikir yang sangat disegani di
Mesir dewasa ini. Tiba-tiba ia merasa benar-benar tidak merasa
rugi membeli koran-koran dan majala h itu. Ilmu dan informasi
yang baru saja ia dapat sangat mahal harganya. Ia terus
membaca sampai ia mendengar pengumuman agar penumpang
pesawat MAS segera masuk pesawat.
Ia bangkit dan berjalan ikut antrean masuk pesawat. Seorang
petugas dari MAS memeriksa lembar boarding pass satu
per satu dan menyobeknya. Hatinya bergetar hebat saat ia
menginjakkan kakinya di dalam pesawat. Ia nyaris tidak

percaya bahwa sebentar lagi ia akan pulang ke Indonesia. Ia
tidak peduli lagi pada Eliana. Ia berjalan dan mencari tempat
duduknya, 9C. Ketemu. Ia meletakkan barang-barangnya di
bagasi yang ada di atas kepalanya. Ia melihat ke deretan
tempat duduknya. 9A ditempati oleh lelaki bule, 9B seorang
gadis Mesir memakai jilbab modis model Turki sampai di
leher saja. Gadis itu tersenyum padanya sambil mengangguk.
Ia merasa senyum gadis Mesir itu begitu alami dan manis.
"Ya Allah jagalah aku dari fitnah wanita."
Doanya lirih dalam hati sambil duduk di samping gadis
itu. Memang, di samping gadis Mesir itulah ia harus duduk.
Seluruh penumpang sibuk dengan meletakkan barang bawaan
dan mencari tempat duduknya. Ia mencium bau wangi dari
parfum gadis itu. Ia lihat lelaki bule yang duduk di dekat
jendela telah mulai asyik membaca sebuah buku. Ia jadi
teringat bahwa perjalanan ke Jakarta cukup panjang dan lama.
Ia ingat koran-koran dan majalahnya. Bisa untuk dibaca-baca.
Ia bangkit mengambil Ahram dan El Arabi dari tas jinjingnya.
Ia duduk dan memasukkan koran dan majalahnya itu di
kantung tempat majalah yang ada di depannya. Ia melihatlihat
ke depan ke arah pintu pesawat. Ia tidak menemukan
sosok Eliana. Ia merasa tak perlu lagi mencari Putri Pak
Dubes itu.
"Dia toh bisa ngurus dirinya sendiri." Katanya pada dirinya
sendiri.
Ia memasang sabuk pengamannya lalu mengambil koran
Ahram dan mulai membaca. Kali ini opini yang ditulis sejarawan
terkemuka Prof. Dr. Sa'duddin Zifzaf. Baru membaca
satu alenia ia mendengar gadis yang ada di sampingnya berta -
nya padanya,
"Maaf, Anda dari Indonesia atau Malaysia..?"
Ia menghentikan bacaannya.
"Saya dari Indonesia." Jawabnya pelan.
"Dari Jakarta..?"
"Tidak, saya dari Surakarta."

"Oh Surakarta. Surakarta itu dari Solo dekat ya?"
Azzam tersenyum mendengar pertanyaan gadis Mesir
itu.
"Surakarta itu nama lain Solo, Nona."
"O ya. Maaf, saya kira Surakarta itu bersebelahan dengan
Solo. Saya memang sedikit bingung. Ternyata nama lainnya
ya."
"Nona pernah ke Indonesia..?"
"Pernah. Dan ini saya kebetulan mau ke Indonesia lagi.
Ke Jakarta. Anda nanti turun di Jakarta kan..?"
"Ya, nanti saya turun di Jakarta.. Kalau boleh tahu Nona
ke Jakarta dalam rangka apa..?"
"Menyusul ayah saya."
"O."
"Ayah saya tugas di Jakarta. Di Kedutaan Mesir di Jakarta."
"O. Di bagian apa
"Atase Politik."
"Kalau boleh tahu siapa nama beliau..?"
"Namanya baru saja Anda baca. Tertulis di koran yang
ada di tangan Anda."
Azzam mengerutkan dahi
"Prof. Sa'duddin Zifzaf maksud Nona..?" Tanyanya untuk
memastikan.
"Ya."
"Benarkah..?"
"Ya. Benar."
"Ini. Yang nulis di Ahram ini..?" Tanya Azzam sambil
memperlihatkan opini yang tertulis di koran itu. Di bawah
judul tertulis nama Prof. Dr. Sa'duddin Zifzaf."

Ilyas Mak’s eBooks Collection
Gadis itu mengangguk dan tersenyum.
"Ya itu yang menulis ayahku."
"Kalau begitu salam ya untuk beliau. Saya penggemar
berat tulisan-tulisan beliau. Kalau boleh tahu siapa nama
Nona..?"
"Sara. Lengkapnya Sara Sa'duddin Zifzaf."
Azzam tiba-tiba merasa sangat beruntung. Jika ia bisa
berkenalan dengan Prof. Dr. Sa'duddin Zifzaf tentu ia merasa
lebih beruntung lagi. Pramugari mengumumkan pesawat akan
segera terbang. Para penumpang diminta memasang sabuk
pengaman. Tak lama kemudian pesawat itu mulai berjalan.
Sara memejamkan mata, kedua tangannya menengadah. Ia
berdoa. Azzam memperhatikan sekilas. Ia mendengar suara
anak Prof. Sa'duddin itu membaca doa safar.
Azzam tersadar, ia juga harus berdoa, sebentar lagi ia
akan melakukan perjalanan panjang. Pulang ke Indonesia.
Bertemu dengan Husna, Lia, Sarah dan ibundanya tersayang.
Tiba-tiba ia didera rasa rindu dan haru teramat dalam. Setelah
sembilan tahun lebih di perantauan ia akhirnya akan segera
pulang.
"Kalau Anda mau, nanti di Jakarta aku kenalkan dengan
ayahku."
Ucap Sara usai berdoa. Azzam masih menunduk dan memejamkan
mata. Ia masih larut dalam doanya. Pesawat berjalan
semakin kencang. Dan akhirnya terbang meninggalkan
tanah Mesir. Azzam merasakan hatinya bergetar.
Ketika pesawat telah mengangkasa beberapa saat lamanya
awak pesawat mengumumkan sabuk pengaman boleh
dilepas. Pesawat berjalan dengan stabil dan tenang. Azzam
kembali melanjutkan membaca koran. Para pramugari mulai
sibuk membagi makanan dan minuman. Di antara deru mesin
pesawat Azzam mendengar seseorang memanggilnya pelan.
"Mas Irul."
Ia menoleh ke samping kanan. Eliana.

Eliana berdiri di samping kanannya.
"E...ya."
"Mas Irul. Mas Irul pindah ke kursi di samping saya ya.
Nomor 15 F. Saya sudah bilang pada orang samping saya itu
untuk bisa tukar kursi dengan Mas Irul. Saya ingin banyak
bercerita pada Mas Irul. Bagaimana Mas..?"
Azzam tidak langsung menjawab, ya. Ia menoleh ke gadis
Mesir di sampingnya.Gadis itu sedang membaca majalah yang
disediakan pesawat. Saat Azzam ragu Eliana terus mendesak.
Akhirnya Azzam mengangguk dengan hati berdebar. Ia tak
kuasa menolak permintaan Putri Pak Dubes itu. Ia tidak
menemukan alasan kuat untuk menolaknya. Saat berjalan ke
arah 15 F mengikuti Eliana, Azzam sempat berdoa dalam hati,
"Ya Allah jagalah hamba-Mu yang lemah ini."

Bersambung ke ...

"KETIKA CINTA BERTASBIH 2"

Cerita Diambil Dari
Buku pertama dari dwilogi
Ketika Cinta Bertasbih Buku I karya Habiburrahman El Shirazy
ini mulai ditulis di Singopuran Kartasura,
Rabu 20 Juli 2005, tengah malam.
Alhamdulillah selesai ditulis di Candiwesi Salatiga,
Jumat, 22 September 2006, waktu Dhuha.
Dan saya tulis ulang untuk Blog ini tanpa
mengubah isi dari cerita dalam buku/Novel Asli nya..

0 komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan komentar anda di sini "but no SPAM,sara,or porno list because I will erase it"