Shahihnya Hadits Yang Membolehkan Berduaan

Seorang wanita [non-muhrim] dari kaum Anshar telah mendatangi Nabi saw., lalu beliau berduaan dengannya. (HR Bukhari & Muslim dari Anas bin Malik r.a.) Inilah salah satu dari hadits-hadits shahih yang terlupakan (jarang diungkap kepada publik).
Hadits tersebut dimuat di Shahih Bukhari, kitab “Nikah”, bab “Sesuatu Yang Membolehkan Seorang Pria Berkhalwat dengan Seorang Perempuan di Dekat Orang-orang”, jilid 11, hlm. 246. Hadits tersebut juga dimuat di Shahih Muslim, kitab “Keutamaan Para Shahabat”, bab “Keutamaan Kaum Anshar”, jilid 7, hlm. 174.
Kebanyakan ulama sepakat menetapkan bahwa dari segi sanad (periwayatan), derajat hadits yang paling tinggi (paling shahih) adalah yang dimuat di Shahih Bukhari dan sekaligus Shahih Muslim. (Peringkat kedua adalah yang dimuat di Shahih Bukhari, tetapi tidak dimuat di Shahih Muslim. Peringkat ketiga adalah yang dimuat di Shahih Muslim, tetapi tidak dimuat di Shahih Bukhari.) Jadi, keshahihan hadits tersebut amat sangat meyakinkan dan tidak meragukan sama sekali.
Lantas, apakah dengan shahihnya hadits tersebut, engkau boleh berduaan dengan pacarmu sebebas-bebasnya? Tidak! Imam Bukhari mengatakan secara tersirat (dari judul bab yang memuat hadits tersebut) bahwa berduaan itu boleh dengan syarat “di dekat orang-orang”.
Apa yang dimaksud dengan “di dekat orang-orang“? Mari kita simak penjelasan Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam kitabnya, Fathul Bari. Kitab ini kami pilih karena kitab inilah yang secara luas diakui sebagai kitab terbaik di antara kitab-kitab yang menjelaskan hadits-hadits shahih Bukhari.
Menurut Ibnu Hajar, “di dekat orang-orang” itu maksudnya keadaan mereka berdua “tidak tertutup dari pandangan orang lain” dan suara pembicaraan mereka “terdengar oleh orang lain” walaupun secara sama-samar (sehingga isi pembicaraan mereka tidak diketahui oleh orang lain). Lebih lanjut, Ibnu Hajar menerangkan, “Hadits tersebut juga menunjukkan bahwa pembicaraan dengan non-muhrim yang bersifat rahasia tidaklah tercela dalam agama jika aman dari kerusakan [lantaran zina dan kemunkaran lainnya].” (Fathul Bari, jilid 11, hlm. 246-247)
Atas dasar itu, kami simpulkan: Kita boleh berduaan dengan non-muhrim bila terawasi, yaitu dalam keadaan yang manakala terlihat tanda-tanda zina, yang ‘kecil’ sekalipun, akan ada orang lain yang menaruh perhatian dan cenderung mencegah terjadinya zina.
Lantas, bagaimana dengan hadits-hadits shahih lain yang menyatakan terlarangnya berkhalwat (berduaan) dengan non-murim? Tidakkah bertentangan? Tidak! Hadits-hadits yang menyatakan terlarangnya khalwat itu bersifat umum. Keumumannya telah dibatasi (ditakhshish) oleh hadits di atas. Dengan kata lain, hadits-hadits tersebut menyatakan: Kita tidak boleh berduaan dengan non-muhrim (tanpa disertai muhrim), kecuali bila terawasi (di dekat orang lain).
Jadi, kalau engkau berduaan dengan pacarmu (atau pun lawan-jenis non-muhrim lainnya), pastikanlah bahwa kalian berada dalam keadaan terawasi (di dekat orang lain). Adapun ketika kita melihat seseorang berduaan dengan pacarnya (atau pun lawan-jenis non-muhrim lainnya), seharusnya di antara kita ada yang mengawasi mereka supaya mereka tidak berzina. Jangan malah pura-pura tak tahu atau pun melarang mereka berduaan!

0 komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan komentar anda di sini "but no SPAM,sara,or porno list because I will erase it"